PART 4
Aku mengamati sejenak sekelilingku sebelum keluar dari kendaraan. Setelah menarik napas beberapa kali, aku akhirnya keluar dan berjalan menuju pintu masuk utama gedung perkantoran tempat Mas Raka bekerja.
Meski kedua tungkaiku terasa lemas, tapi aku berusaha membuat langkahku terlihat tetap tegak berjalan.
Siapa pun yang berada di posisiku saat ini, kujamin dadanya pun akan berdebar hebat diiringi gelegak amarah yang nyaris membuat kepala seperti hendak meledak.
Amarah dari seorang istri yang kesetiaan dan pengabdiannya dikhianati.
Amarah seorang wanita yang hendak menangkap basah suaminya sendiri bersama perempuan lain.
Tubuhku gemetar hebat rasanya, dengan kedua kaki serta tangan yang mendadak terasa dingin.
Aku langsung menuju resepsionis.
"Selamat siang, Ibu. Ada yang bisa saya bantu?" Sang resepsionis menyambut ramah seraya berdiri ketika aku menghampiri meja kerjanya.
"Selamat siang. Saya ingin bertemu dengan Pak Raka," jawabku.
"Oh, sudah ada janji sebelumnya, Ibu?" tanya gadis berambut lurus sebahu hasil smoothing salon tersebut.
"Saya istrinya, dan saya kemari untuk memberi kejutan ulang tahun pada suami saya," ucapku dengan binar yang dibuat-buat.
"Oh ... begitu. Kalau begitu silakan langsung saja, Ibu." Gadis berwajah manis itu tersenyum lebar, kemudian mempersilakanku untuk meneruskan langkah menuju ruangan Mas Raka.
Aku melempar senyum sembari mengucapkan terima kasih padanya sebelum berjalan menuju lift yang akan mengantarku ke ruang kerja Mas Raka.
Saat sedang menunggui lift, berdiri tak jauh dariku seorang lelaki mengenakan pakaian formal kerja. Sepertinya ia juga sedang menunggu lift, sama sepertiku. Dengan tujuan berbeda.
"Tring!" Suara denting yang khas terdengar berbunyi ketika pintu lift di depan kami membuka.
Pria itu lebih dulu masuk, kemudian menekan angka sepuluh pada deretan tombol angka di samping pintu deretan sebelah kanan.
Oh, ternyata sama dengan tujuanku. Aku jadi tak perlu repot-repot menekan angka, karena ruang kerja Mas Raka memang terletak di lantai sepuluh.
Lift bergerak naik. Dalam benda persegi berukuran 1,5x1,5 meter ini aku dan si pria yang berdiri membelakangiku itu hanya diliputi keheningan.
Semakin dekat dengan tujuan, perasaanku semakin tak karuan. Ibarat pergi berperang, aku tak tahu apa yang akan kudapati nanti di depan sana.
Entah pulang membawa kemenangan, atau pulang dengan kekalahan. Tapi sudah kupatenkan dalam hati, jika pun aku kalah, maka aku tak kan mau hancur dan menderita sendiri.
Mas Raka harus kuseret serta bersama gundiknya. Itu tekad bulat yang kubawa sebelum memutuskan datang kemari.
"Tring!" Pintu lift membuka.
Si pria depan melangkah ke luar lebih dulu, baru disusul olehku kemudian. Mungkin dia salah satu bawahan Mas Raka atau dia kemari hanya untuk sekedar kepentingan bisnis.
Entahlah. Dan tak penting juga aku memikirkannya.
Berjalan di belakang pria itu, terkesan seperti aku sedang mengikutinya. Karena langkah pria itu benar-benar seakan membawaku pada tujuanku.
Pria itu kemudian tiba-tiba berbelok dan masuk ke sebuah ruangan. Sepintas, kulihat papan nama bertuliskan CEO terpasang pada pintu ruangan tersebut.
Oh, jadi dia hendak bertemu sang CEO perusahaan, Pak Dahlan, rupanya.
Aku akhirnya tiba di depan sebuah ruangan berukuran luas yang dipenuhi oleh para staf kantor berikut meja-meja kerja mereka yang berderet rapi memenuhi ruangan.
Sesorang menyadari kehadiranku. Kamudian, seakan ia memberi kode pada rekan-rekan kerjanya yang lain, mereka semua kini menatapku.
Hampir mereka semua mengenali, karena ini bukan pertama kali aku datang menemui Mas Raka di sini. Melangkahkan kaki memasuki ruangan, aku berusaha tampak biasa saja.
Tak boleh ada yang tahu, apa sebenarnya yang kurasakan di dalam sini. Berpura-pura tenang, padahal sebenarnya sedang gelisah.
"Ehmm ... Mbak Nir, mau ketemu Pak Raka, ya?" Sekretaris Mas Raka yang cukup kukenal, bertanya saat aku melewati mejanya.
"Iya, benar. Mas Raka ada kan, di dalam?" jawabku sekaligus bertanya.
"A-ada, sih, Mbak ... t-tapi, bapak sedang ada tamu," jawabnya seperti ragu-ragu.
"Tamu penting?" tanyaku sambil mengangkat sebelah alis.
Gadis itu tak menjawab, melainkan justru melirik ke arah rekan-rekan kerjanya yang lain.
Seakan meminta pendapat, harus mengatakan apa padaku, atau apa yang harus dilakukannya untuk membuatku pergi dari sini.
Tentu saja ini semakin menyulut kecurigaanku.
Kuhela napas sejenak. Mengumpulkan tekad serta kekuatan untuk menunjukkan power di depan sekretaris Mas Raka serta seluruh staf-nya di ruangan ini.
Jelas mereka tahu persis siapa 'tamu' yang sedang berada dalam ruangan suamiku sekarang ini.
Dan aku sudah tak sabar ingin melihat langsung siapa pemilik celana dalam berenda merah yang sedang kubawa dalam bungkusan dalam tas kerjaku sekarang.
Tanpa merasa perlu berbasa-basi lagi, aku segera membalik tubuh dan langsung menekan handel pintu ruang kerja Mas Raka.
Tak sempat sekretarisnya mencegahku, wanita itu hanya bisa menjerit tertahan ketika pintu akhirnya terbuka dan menampilkan sebuah pemandangan luar biasa.
Mas Raka di dalam sana, bersama seorang gadis muda berseragam sekolah. Hal luar biasanya adalah, gadis itu duduk di atas pangkuan Mas Raka. Saling berhadapan.
"Biadab kalian!" seruku lantang sambil menatap ke arah mereka berdua dengan napas yang menderu.
🍁🍁🍁
PART 5"Biadab kalian semua!" teriakku lantang dengan napas menderu demi menyaksikan apa yang terlihat di depan mata.Sepasang manusia laknat itu tampak sangat terkejut hingga Mas Raka refleks mendorong gadis di pangkuannya itu dengan kasar hingga ia terjatuh ke lantai.Mas Raka buru-buru berdiri. Menatapku dengan mata melotot seperti sedang melihat hantu.Wajah laki-laki yang masih bergelar suamiku itu kini tampak seputih kertas. Pucat seperti mayat, seakan tak ada lagi darah yang mengaliri wajahnya."N-nirmala!" serunya terbata."Iya, Mas. Kenapa? Kaget melihat aku di sini?" Kujawab dia seraya melangkah masuk. Terdengar olehku derap langkah-langkah kaki di belakang.Para staf bawahan Mas Raka serentak maju, ingin melihat langsung apa yang tengah berlangsung di dalam sini.Kuhampiri Mas Raka yang terlihat gemetaran. Langkahku berhenti tep
PART 7"Ada apa ini ribut-ribut?" Pria itu mengulang pertanyaannya, namun tak seorang pun berani menjawab.Melihat bagaimana reaksi Mas Raka serta para stafnya, kutebak pria jangkung di depan kami ini bukanlah orang sembarangan. Bisa jadi ia menduduki jabatan penting di perusahaan ini.Tatapan laki-laki itu tiba-tiba berhenti padaku. Tajam, tapi tidak mengintimidasi. Mungkin karena ia menyadari bahwa aku bukan pekerja di sini, jadi dia sekedar ingin mendapat penjelasan.Aku berdehem sebentar sebelum mulai berbicara."Mohon maaf sebelumnya jika kedatangan saya membuat kegaduhan siang ini. Saya, istri dari Raka Prasetya, baru saja menangkap basah suami saya sendiri dengan anak magang di kantor ini," ujarku tegas sambil menunjuk pada Mirna yang berdiri di belakang Mas Raka.Gadis bau kencur tapi kenyang pengalaman soal hubungan terlarang itu berdiri di belakang suamiku seolah
PART 7Aku dan Mirna berdiri saling berhadapan. Dasar jalang kecil, berani-beraninya ia mencaci maki aku seperti tadi.Bukan Nirmala namanya kalau diam saja saat dihina. Biarpun lawannya seorang bocah kegatalan seperti si Mirna ini."Dasar pelacur jalang! Kamu bangga, dapat bekas orang, ya? Kamu sadar nggak, kalau kamu cuma dimanfaatkan laki-laki buaya ini? Dia tidak mungkin menikahimu, dia cuma mau menikmati tubuhmu saja.Jangan bangga dulu kamu, apalagi buru-buru tersanjung oleh semua kalimat gombalannya dia. Hanya dibayar recehan, tapi dipakai sepuasnya."Kuhantam harga diri bocah SMA itu. Itu juga kalau dia masih pu
PART 8Jika menghinaku, terserah. Tapi jika berani membawa-bawa anakku yang tak bersalah, maka kau akan menyesal! Itulah prinsip yang kujunjung tinggi selama ini.Pantang bagiku membiarkan seseorang menyeret-nyeret apalagi bicara buruk tentang keluarga yang tak tahu apa-apa dalam permasalahannya denganku.Mirna menjerit keras ketika dengan sekuat tenaga aku menarik rambutnya yang panjang dengan kedua tanganku. Mas Raka serta Pak Brahma juga serta merta berdiri. Pastinya hendak memisahkan kami.Tapi sebelum itu terjadi, aku harus melakukan sesuatu terhadap jalang cilik ini. Sesuatu yang akan membuatnya mengenangku seumur hidup.Mirna sempat mencakar tanganku dalam upayanya melepaskan diri. Aku mencengkeram makin kuat hingga cewek sundal itu meraung menangis kesakitan.Kurasakan dua buah tangan melingkari pinggangku, berusaha menarikku menjauh dari tubuh Mirna. Aku tahu aku
PART 9Aku cukup terkejut saat mengetahui siapa yang menelepon. Ibunya Mas Raka. Dia menghubungiku pasti karena telah mendapat aduan dari Mas Raka, putra kesayangannya.Kuhela napas panjang sejenak, sebelum menjawab panggilan wanita yang sebentar lagi statusnya akan berubah menjadi mantan mertua itu."Assalamualaikum, Bu," sambutku tetap berusaha menjaga kesopanan meskipun putranya telah menggoreskan luka batin yang begitu dalam padaku."Halo, Nirmala. Ada di mana kamu sekarang?" sahutnya tanpa basa-basi, tanpa membalas salam yang kuucapkan di awal kalimat."Mala sedang di rumah ibu, Bu. Ada apa?" balasku tetap tenang.
PART 10"Dasar perempuan sok! Silakan kamu bawa Kayla. Tapi jangan harap, kamu bisa mendapat sepeserpun harta gono-gini, Nirmala!" ancam Mas Raka sambil menunjuk wajahku.Ditunjuk-tunjuk dengan cara tak sopan begitu, tentu saja aku tak terima. Gegas aku bangkit berdiri sambil menatap murka pada Mas Raka."Jangan mimpi kalau kamu berpikir bisa mendapat semua harta yang kita kumpulkan bersama, Mas! Ada keringatku juga dalam setiap sen yang kita kumpulkan selama menikah!"Aku menghardik Mas Raka sembari balas menuding wajahnya."Nirmala, yang sopan kamu sama Raka! Gimana pun juga dia masih suami kamu," ujar ibu Mas Raka.
PART 11"Permisi, Bu, ini barang-barang Pak Raka sudah siap."Kemunculan Mbak Yah, asistenku, menginterupsi sejenak ketegangan yang sedang berlangsung antara aku, Mas Raka, Alia, serta ibu mertua."Bagus. Taruh saja di depan pintu, Mbak Yah. Biar tinggal di angkut sama yang punya," jawabku sembari melirik Mas Raka dengan tatapan mengejek."Berhenti kamu, babu! Siapa kamu berani-beraninya lancang mengeluarkan barang-barang anakku!" teriak ibu Mas Raka tanpa kami duga.Mbak Yah tampak terkejut sekaligus ketakutan dihardik kasar seperti itu. Gadis berambut panjang itu menatapku, seakan meminta perlindungan.
PART 12Pagi hari. Aku terbangun dengan kepala yang terasa sedikit pening. Mungkin karena aku kurang tidur semalam.Bohong saja kalau kubilang bahwa aku bisa tidur nyenyak semalam. Siapa pun yang berada dalam posisiku saat ini, juga pasti merasakan hal yang sama denganku.Marah, gelisah, sedih, kecewa, semua melebur jadi satu dalam pikiran. Jika ditanya apakah aku menangis? Maka jawabanku adalah tidak.Tak setetes pun airmata yang kutumpahkan meski nyeri begitu terasa di dalam sini. Tangisku terlalu berharga untuk seorang pecundang seperti Mas Raka.Bicara soal Kayla, putri semata wayangku, tak ada seorang pun ibu di dunia in