PART 8
Jika menghinaku, terserah. Tapi jika berani membawa-bawa anakku yang tak bersalah, maka kau akan menyesal! Itulah prinsip yang kujunjung tinggi selama ini.
Pantang bagiku membiarkan seseorang menyeret-nyeret apalagi bicara buruk tentang keluarga yang tak tahu apa-apa dalam permasalahannya denganku.
Mirna menjerit keras ketika dengan sekuat tenaga aku menarik rambutnya yang panjang dengan kedua tanganku. Mas Raka serta Pak Brahma juga serta merta berdiri. Pastinya hendak memisahkan kami.
Tapi sebelum itu terjadi, aku harus melakukan sesuatu terhadap jalang cilik ini. Sesuatu yang akan membuatnya mengenangku seumur hidup.
Mirna sempat mencakar tanganku dalam upayanya melepaskan diri. Aku mencengkeram makin kuat hingga cewek sundal itu meraung menangis kesakitan.
Kurasakan dua buah tangan melingkari pinggangku, berusaha menarikku menjauh dari tubuh Mirna. Aku tahu aku pasti akan kalah tenaga pada siapapun yang berusaha menarik tubuhku saat ini.
Karena itu, sebelum cengkramanku terlepas dari rambut gadis itu, dengan sekuat tenaga kugoreskan cakaran kuku-kuku cantik hasil manicure-ku ke wajah Mirna. Tepat mengenai bagian pipinya.
"Aaarggghh ... sakiitt! Aaaarhh!" Mirna melolong panjang, sembari memegangi pipinya yang berdarah-darah. Bahkan kulit wajahnya pun ada yang menempel pada kuku-ku.
"Sudah gila kamu, Nirmala!" teriak Mas Raka sembari mendekap gadis itu.
Jika Mas Raka ada di dekat Mirna, berarti tangan yang masih melingkari pinggangku saat ini tangan Pak Brahma, dong.
Aku refleks menoleh, laki-laki itu langsung melepas kedua tangannya sembari melangkah mundur menjauhiku.
"Uuhuuhuu ... sakit, Abaaangg!" Mirna menangis seraya memeluk manja Mas Raka yang sedang berusaha menenangkannya. Benar-benar menggelikan.
"Benar-benar sudah kehilangan nurani kamu, Nirmala. Dia ini masih anak kecil!" Mas Raka lagi-lagi menghujatku demi membela Mirna.
"Nuranimu yang sudah mati, Mas! Kamu tuli, ya, nggak denger tadi dia ngomong apa ke aku? Kalian memang pasangan yang cocok. Sama-sama menjijikkan!" semburku pedas.
"Ya wajar Mirna marah, wong kamu ngancem mau lapor ke sekolah dan orangtuanya!" sungut Mas Raka. Benar-benar sudah cacat otak laki-laki ini.
"Wajar, kamu bilang? Hey Raka Prasetya, dia nyumpahin anak kamu mati, lho. Kayla! Kalau dia hanya menyumpahiku, aku mungkin akan memilih diam daripada meladeni jalang kecil itu.
Tapi Kayla, oh ... jelas aku tak kan terima! Cakaran itu saja masih kurang sebenarnya. Jika kalian tak ikut campur, tentu sudah kurobek mulutnya!" semburku murka.
"Huhu ... huuuhu ... wajahku rusak, Abang. Wajah Mirna udah nggak cantik lagi. Tuntut dia Abang karena sudah bikin Mirna begini. Tuntut dan masukin dia ke penjara!" tangis Mirna diiringi hasutan pada Mas Raka.
"Iya ... tenang ya. Nanti kita ke dokter buat ngobatin wajah kamu." Mas Raka sungguh tak tahu malu. Bisa-bisanya dia bicara seperti itu di depanku dan Pak Brahma, atasannya sendiri.
Aku sudah tak dianggapnya sebagai istri dengan berlaku seperti itu di depan mata kepalaku. Ingin rasanya kuangkat kursi lalu menghantam kepala sepasang insan laknat tersebut biar mampus sekalian.
"Pokoknya Abang harus tuntut perempuan itu. Aku nggak terima diginiin, Bang! Uhuhu ... wajahku ... wajahku!"
"Iya, pasti Abang tuntut dia nanti." Jawaban Mas Raka membuatku semakin naik pitam. Aku hendak menyemburkan makian, tapi gerakan tangan Pak Brahma yang mencekal tangan ini, mencegahku.
"Kalau Anda menuntut Ibu Nirmala, maka saya tak akan segan berdiri di belakangnya, Pak Raka. Akan saya sewa pengacara terbaik di negeri ini untuk melawan Anda.
Sebagai laki-laki, Anda sungguh memalukan. Semoga hanya Anda, satu-satunya suami dengan perilaku menjijikkan di dunia ini."
Mendengar ucapan Pak Brahma, Mas Raka seakan beku di tempatnya. Begitu pun aku, langsung menoleh kaget dan tak menyangka.
***
"Darimana sih, kok lama amat urusan lo, Nek?" Lesti menegurku dengan suara berbisik ketika aku akhirnya kembali ke kantor."Hei, muka lo napa pucet? Abis berantem lo, sama orang di jalan?" Lesti kembali menanyaiku.
Aku tak mungkin menceritakannya sekarang pada Lesti. Jiwaku saja masih dihantam shock.
Ya, meskipun aku telah berhasil mempermalukan Mas Raka dan selingkuhannya yang masih bocah itu, tapi tak kupungkiri ada rasa nyeri yang menusuk dada
Merasa harga diri ini telah tercabik-cabik oleh perbuatan Mas Raka yang ternyata lebih membela pelacur kecil itu ketimbang aku dan Kayla, anaknya sendiri.
Semakin bulat tekadku untuk menyudahi mahligai rumah tangga bersama lelaki pecundang itu. Tak ada gunanya dia dipertahankan.
Toh tanpa dia aku masih bisa berdiri di atas kaki sendiri. Aku masih bisa menafkahi diri sendiri dan juga Kayla, putri semata wayang kami."Hei, Mala, ditanya malah diem aja? Kalau nggak enak badan mending pulang aja, La." Lesti mencolek pundakku.
Aku tersenyum tipis pada sahabatku itu, kemudian menggeleng lemah.
"Nggak apa-apa kok, Les. Aku baik-baik saja. Sudah yuk, balik kerja. Maaf ya, tadi aku kelamaan izin keluarnya," ujarku mengalihkan pembicaraan dari Lesti. Aku masih terlalu jengah untuk ditanya-tanyai saat ini.
Gadis berambut sebahu itu hanya mengangguk, kemudian kembali ke meja kerjanya. Masing-masing kami pun tenggelam dalam pekerjaan hingga jelang waktu pulang.
Tak ada yang tahu apa yang baru saja kualami. Aku berusaha bersikap seakan semuanya baik-baik saja.
Mengobrol dan tertawa bersama teman-teman kerjaku, agar mereka tak mencium gelagat mencurigakan jika aku aku bersikap murung.
Biarlah untuk sementara semuanya kupendam sendiri. Toh masalah rumah tanggaku, aku tidak ingin menjadikannya sebagai konsumsi publik.
Biar masalah ini kuselesaikan dengan pihak keluarga saja nantinya.
Sepulang dari kantor, aku tidak langsung menuju rumah, melainkan ke rumah Ibuku terlebih dahulu. Aku ingin menumpahkan semua uneg-unegku pada wanita yang telah melahirkanku itu.
Setegar tegarnya seorang wanita, tetap akan menjatuhkan air mata jika dirinya diuji dengan masalah hati dan perasaan. Salah satunya adalah aku.
Meski tadi siang aku begitu garang melabrak Mas Raka di kantornya, tetapi tetap saja perasaan ini juga ikut hancur bersamaan dengan karamnya biduk rumah tanggaku bersama lelaki itu.
Dengan berurai air mata, aku pun menceritakan semuanya pada ibu. Bersimpuh di bawah kakinya, kucurahkan rasa hancur dan tersakiti yang sedang kurasakan saat ini.
Wanita yang sangat kucintai itu juga ikut menangis, membayangkan nasib rumah tangga putrinya terancam kandas karena hadirnya orang ketiga.
"Ya Allah, Nirmala ... yang sabar ya, Nduk. Ibu yakin kamu pasti kuat dan kamu harus kuat. Jangan lemah, jangan tunjukan air matamu di depan Raka.
Tunjukkan padanya bahwa dia telah melakukan kesalahan besar dengan memilih berselingkuh bersama perempuan lain.
Tunjukkan padanya bawah kamu terlalu berharga untuk disia-siakan begitu saja. Buktikan pada Raka, bahwa tanpa dia, kamu dan Kayla akan tetap baik-baik saja."
Ibu berkata untuk menguatkanku yang sedang merasa rapuh saat ini.
"Iya, Bu. Insya Allah, Nirmala akan kuat. Mana Kayla, Bu?" tanyaku begitu menyadari sejak kedatanganku tadi aku belum melihat sosok putri kesayanganku itu.
"Tadi dibawa sama Puspa, mungkin sebentar lagi pulang. Hapus airmatamu, Nduk. Jangan sampai Kayla melihatnya.
Dia pasti akan sangat sedih jika melihat mamanya menangis," ucap ibu sembari menyeka pipiku dengan ujung jarinya yang gemetar.
Aku tahu pasti, saat ini, ibu sedang sama hancurnya denganku. Ibu juga merasa terkhianati oleh Mas Raka. Luka seorang anak, adalah juga merupakan luka bagi orangtuanya.
Jika anak terluka, maka orangtua juga akan ikut sakit. Pun sebaliknya, jika orangtua terluka, maka anak juga akan ikut sakit.
Saat baru hendak beranjak berdiri, mendadak ponselku berbunyi. Kukeluarkan dari saku celana, dan terkejut saat melihat siapa nama pemanggilnya.
🍁🍁🍁
PART 9Aku cukup terkejut saat mengetahui siapa yang menelepon. Ibunya Mas Raka. Dia menghubungiku pasti karena telah mendapat aduan dari Mas Raka, putra kesayangannya.Kuhela napas panjang sejenak, sebelum menjawab panggilan wanita yang sebentar lagi statusnya akan berubah menjadi mantan mertua itu."Assalamualaikum, Bu," sambutku tetap berusaha menjaga kesopanan meskipun putranya telah menggoreskan luka batin yang begitu dalam padaku."Halo, Nirmala. Ada di mana kamu sekarang?" sahutnya tanpa basa-basi, tanpa membalas salam yang kuucapkan di awal kalimat."Mala sedang di rumah ibu, Bu. Ada apa?" balasku tetap tenang.
PART 10"Dasar perempuan sok! Silakan kamu bawa Kayla. Tapi jangan harap, kamu bisa mendapat sepeserpun harta gono-gini, Nirmala!" ancam Mas Raka sambil menunjuk wajahku.Ditunjuk-tunjuk dengan cara tak sopan begitu, tentu saja aku tak terima. Gegas aku bangkit berdiri sambil menatap murka pada Mas Raka."Jangan mimpi kalau kamu berpikir bisa mendapat semua harta yang kita kumpulkan bersama, Mas! Ada keringatku juga dalam setiap sen yang kita kumpulkan selama menikah!"Aku menghardik Mas Raka sembari balas menuding wajahnya."Nirmala, yang sopan kamu sama Raka! Gimana pun juga dia masih suami kamu," ujar ibu Mas Raka.
PART 11"Permisi, Bu, ini barang-barang Pak Raka sudah siap."Kemunculan Mbak Yah, asistenku, menginterupsi sejenak ketegangan yang sedang berlangsung antara aku, Mas Raka, Alia, serta ibu mertua."Bagus. Taruh saja di depan pintu, Mbak Yah. Biar tinggal di angkut sama yang punya," jawabku sembari melirik Mas Raka dengan tatapan mengejek."Berhenti kamu, babu! Siapa kamu berani-beraninya lancang mengeluarkan barang-barang anakku!" teriak ibu Mas Raka tanpa kami duga.Mbak Yah tampak terkejut sekaligus ketakutan dihardik kasar seperti itu. Gadis berambut panjang itu menatapku, seakan meminta perlindungan.
PART 12Pagi hari. Aku terbangun dengan kepala yang terasa sedikit pening. Mungkin karena aku kurang tidur semalam.Bohong saja kalau kubilang bahwa aku bisa tidur nyenyak semalam. Siapa pun yang berada dalam posisiku saat ini, juga pasti merasakan hal yang sama denganku.Marah, gelisah, sedih, kecewa, semua melebur jadi satu dalam pikiran. Jika ditanya apakah aku menangis? Maka jawabanku adalah tidak.Tak setetes pun airmata yang kutumpahkan meski nyeri begitu terasa di dalam sini. Tangisku terlalu berharga untuk seorang pecundang seperti Mas Raka.Bicara soal Kayla, putri semata wayangku, tak ada seorang pun ibu di dunia in
PART 14Gadis-gadis berseragam itu tampak sangat terkejut ketika kusodorkan gambar Mirna dan Mas Raka.Beberapa siswi lain yang sedang mengantre juga ikut datang mendekat. Ingin melihat apa yang sedang teman mereka lihat pada layar ponselku."Ihh ... ini kan si Mirna anak IPS 3 itu, kan? Ya oloh ... amit-amit ish kelakuan kayak gitu!" seru seorang gadis yang langsung menutup mulutnya dengan dua tangan, sambil beralih menatapku."Elah ... gue sih udah nggak heran, dari kelas dua dulu gue pernah lihat dia dibawa om-om ke hotel.Cuma pas gue cerita, nggak ada yang percaya. Ternyata bener, kan? Si Mirna emang cewek nggak bener!"
PART 14Mirna terus meratap sembari menangis. Sangat berbanding terbalik dengan kegaharannya yang sesaat lalu seakan hendak membinasakanku."Pak ... saya mohon. Kalau saya dikeluarkan sekarang, tidak akan ada sekolah lain yang mau menerima saya, Pak. Saya tidak mau menunda lagi kelulusan saya.Mohon pertimbangkan, Pak. Saya mohon belas kasihannya. Lagi pula, tidak semua yang dikatakan perempuan ini benar.Dia hanya melebih-lebihkan cerita supaya bisa mempermalukan saya!" Mirna menunjuk ke arahku."Ck ck ck, masih berani kamu bilang saya fitnah? Kalau saya mau, kamu dan suami saya bisa saya laporkan pada polisi atas pasal perz
PART 15"Nirmala, Raka serta ibunya ingin saya memecat kamu dari perusahaan ini sebagai balasan atas apa yang telah kamu lakukan terhadap Raka."Mata Pak Bondan menyipit, sementara senyumnya mengembang di bibir hitamnya. Aku tetap bergeming, berusaha tak terpengaruh pada kata-kata Pak Bondan.Lelaki itu kembali terkekeh. Menatapku sambil menjilat bibir bawahnya sendiri. Memuakkan, tapi aku berusaha menahan diri, sebab ingin mendengar lebih banyak lagi."Tapi kamu tenang saja, Nirmala. Saya tidak sejahat itu. Tentunya akan sulit bagi kamu jika kehilangan pekerjaan sementara pernikahanmu sendiri sedang di ambang perceraian. Karena itu, bagaimana jika kita membuat kesepakatan?"Sepasang mata Pak Bondan berkilat saat mengucap kata 'membuat kesepakatan' barusan."Kesepakatan?" ulangku sambil menelengkan kepala.
PART 16Bersama Lesti, aku mulai masuk menyusuri jalanan gang yang sempit juga sedikit gelap. Bau busuk berasal dari parit kecil yang warna airnya kehitaman menyengat penciuman ketika kami lewat.Debaran dalam dadaku kian mengeras, saat menatap sebuah rumah bermodel sangat sederhana dengan cat putih yang mengelupas di sana-sini."Itu rumahnya, Les?" tanyaku sambil menoleh pada Lesti."Kalau kata google map mah iya, La," jawab Lesti tak kalah pelan."Ayo," kataku, melanjutkan langkah.Walau perasaanku sedikit tak enak, tapi aku pantang pulang sebelum menang. La