PART 10
"Dasar perempuan sok! Silakan kamu bawa Kayla. Tapi jangan harap, kamu bisa mendapat sepeserpun harta gono-gini, Nirmala!" ancam Mas Raka sambil menunjuk wajahku.
Ditunjuk-tunjuk dengan cara tak sopan begitu, tentu saja aku tak terima. Gegas aku bangkit berdiri sambil menatap murka pada Mas Raka.
"Jangan mimpi kalau kamu berpikir bisa mendapat semua harta yang kita kumpulkan bersama, Mas! Ada keringatku juga dalam setiap sen yang kita kumpulkan selama menikah!"
Aku menghardik Mas Raka sembari balas menuding wajahnya.
"Nirmala, yang sopan kamu sama Raka! Gimana pun juga dia masih suami kamu," ujar ibu Mas Raka.
Dia tak terima anaknya kutuding dan kuhardik, tapi diam saja ketika anaknya memperlakukan aku seperti itu. Benar-benar seorang ibu mertua teladan.
"Sebentar lagi akan jadi mantan, Bu!" tukasku cepat.
"Dan bukankah Ibu juga lihat, siapa dulu yang memulai, Bu? Ibu tadi lihat kan, bagaimana Mas Raka membentak-bentakku dengan cara tak sopan?
Dasar laki-laki tak tahu malu, sudah salah bukannya menyesal malah tambah belagu. Nggak punya otak kamu, Mas! Kalian pikir, mentang-mentang kalian bertiga dan aku sendirian, aku akan gentar?
Biarpun aku seorang wanita, tapi aku dididik oleh almarhum ayah untuk menjadi seorang pejuang. Bukan untuk menjadi seorang pecundang seperti kamu, Mas!" balasku tajam.
Cukup sudah aku mencoba berbaik-baik, percuma saja. Karena sedari awal tujuan diadakannya pertemuan ini pun memang untuk membela Mas Raka.
"Cukup ya, Nirmala. Jangan sombong kamu. Kalau Raka jadi duda sih, tetap gampang buat mencari penggantimu. Dia laki-laki, terpelajar pula.
Tapi kamu? Stigma seorang janda itu sudah telanjur buruk di mata masyarakat. Kamu hanya akan jadi bahan gunjingan orang-orang jika sampai menjadi janda.
Sudahlah, damai saja. Lupakan persoalan ini dan saling memaafkan. Namanya manusia kan wajar berbuat kesalahan." Ibu Mas Raka kembali urun bicara.
"Luar biasa memang cara didik Ibu terhadap Mas Raka. Memaafkan dan melupakan semua, setelah harga diriku diinjak-injak begitu rupa oleh dia?" Kutunjuk Mas Raka.
"Maaf, Bu, aku nggak bisa." Aku menegaskan.
"Anak Ibu ini, memang berpendidikan. Lulusan S2 dengan gelar cumlaude. Tapi sayang, dia sama sekali tidak bermoral!" tambahku lagi.
"Kamu memang benar-benar keras kepala, Nirmala." Ibu Mas Raka mendesis geram.
"Bukan keras kepala, Bu. Ini namanya aku membela harkat dan martabatku sebagai wanita terhormat.
Orang yang keras kepala sebenarnya, adalah orang yang tak mau mengakui kesalahan dan tetap bersikap jumawa. Dan contohnya saat ini tengah berdiri di depanku."
Aku memandang Mas Raka dengan tatapan sinis.
"Terserah kamu saja, Nirmala. Kalau mau cerai ya silakan! Kamu pikir, aku nggak bisa hidup tanpa kamu?
Jangan berharap aku mau menyembah-nyembah di bawah kakimu supaya kamu mau kembali. Aku ini lelaki, tinggal tunjuk saja perempuan mana yang kumau!"
Mas Raka bicara sambil balas menatap sinis padaku.
"Ya, baiklah. Kalau begitu kuanggap kita sudah sama-sama sepakat untuk bercerai. Jadi aku rasa sudah tak ada lagi yang perlu dibicarakan di antara kita.
Satu yang harus kamu ingat, Mas, Kayla akan ikut denganku. Juga semua harta bersama akan kita bagi dua.
Tadinya mau kuambil semua, tapi menimbang jabatanmu di kantor sekarang sudah turun ke level cleaning servis, rasanya terlalu kejam jika kulaksanakan niatku itu."
Aku berkata sembari menatap mereka bertiga bergantian.
"Apa?! Cleaning service?!" seru ibu Mas Raka. Ia tampak shock ketika kubeberkan fakta tersebut.
Sepertinya Mas Raka belum mengatakan pada ibunya bahwa ia mengalami penurunan jabatan di kantor.
"Benar-benar kejam kamu ya, Mala. Tega kamu, menghinakan anak saya seperti itu.
Nggak heran kalau sampai Raka selingkuh, mungkin dia nggak pernah mendapat ketenangan batin selama ini hidup sama kamu."
Ibu Mas Raka meradang.
"Bukan nggak mendapat ketenangan batin, Bu. Tapi dasarnya Mas Raka aja yang kegatelan ingin mencicipi daun muda.
Apa Ibu tahu, selingkuhan Mas Raka itu masih berstatus seorang pelajar SMU?" balasku.
"Iya. Raka sudah menceritakannya pada saya. Memang ya, umur nggak jadi jaminan seseorang mampu bersikap bijak.
Dan kamu yang seharusnya bisa lebih dewasa, ternyata nggak kalah kekanakan dibandingkan anak sekolah," jawab ibu Mas Raka.
"Hmm, saya sependapat dengan Ibu. Ibu yang seharusnya menjadi teladan dan mengayomi anak serta menantu, ternyata sudah buta nuraninya.
Sudah jelas siapa yang salah, malah dibela mati-matian. Aku nggak apa-apa, Bu, jadi janda. Ketimbang jadi istri dari laki-laki tukang zinah." Aku membalas telak.
"Ya sudah, kenapa kamu masih di sini kalau begitu? Pergilah dari rumahku, Mala. Kan kamu maunya kita cerai," tukas Mas Raka sengit.
"Aku yang pergi? Nggak kebalik, kamu Mas? Rumah ini aku yang bayar, lho!" Aku balas menukas.
"Tapi uang DP-nya kan aku yang bayar!" sengit Mas Raka lagi.
"Uang DP cuma 20%, Mas! Selebihnya, cicilan rumah ini aku yang membayar sampai sekarang dengan hasil keringatku!"
Aku membalas tak mau kalah. Pokoknya, aku tak terima kalau Mas Raka sampai berhasil menduduki rumah ini.
Rumah ini adalah hak-ku dan Kayla. Rumah yang kubeli dari hasil memeras keringat bekerja di kantor.
"Biar pun cuma dua puluh persen, tapi tetap saja ada hak Mas Raka di rumah ini, Mbak. Jangan sewenang-wenang kamu jadi istri. Jangan menggunakan kesalahan kakakku ini untuk menguasai semua, termasuk merampas haknya." Alia, adik Mas Raka tiba-tiba berbicara.
"Benar itu, Mala. Apa yang dikatakan Alia itu benar seluruhnya. Kamu jangan ambil kesempatan, mentang-mentang Raka berbuat salah," timpal ibu Mas Raka.
Aku terdiam sejenak. Berpikir keras mencari cara terbaik untuk menyelesaikan masalah pembagian harta kami. Kuakui, sebenarnya yang dikatakan Alia dan ibu Mas Raka itu ada benarnya.
Dalam rumah ini, masih ada hak Mas Raka walaupun kecil jumlahnya.
Setelah beberapa saat berpikir, aku pun akhirnya menemukan solusi yang menurutku cukup adil untuk pihakku dan juga pihak Mas Raka.
"Begini saja, biar adil rumah ini surat-menyuratnya akan kit ganti menggunakan nama Kayla. Maka bisa dibilang, rumah ini adalah milik Kayla, anak kita," ujarku sambil menatap Mas Raka.
"Lho, enak saja kalau rumah ini jadi milik Kayla. Otomatis, setelah kalian bercerai, kamu dan Kayla dong yang akan menempati rumah ini. Kan nggak mungkin Kayla tinggal sendirian di sini."
Ibu Mas Raka mengungkapkan keberatannya. Sungguh tak habis pikir aku dengan isi kepala perempuan paroh baya ini. Padahal Kayla kan cucunya sendiri.
"Ya udah. Kalau kalian tidak setuju, kita jual rumah saja rumah ini dan dari hasil penjualannya nanti akan kuserahkan bagian dua puluh persen punya Mas Raka pada saat membayar DP pembelian rumah ini dulu.
Dan selama proses penjualan berlangsung, tidak ada satupun dari kita yang boleh menempati rumah ini sampai rumah ini benar-benar terjual!" tegasku.
Ketiga orang itu Saling pandang. Sepertinya saling meminta pendapat satu sama lain, apakah harus menyetujui usulku atau mereka masih keberatan dan merasa dirugikan dengan usulku tadi.
"Aku nggak punya tempat tinggal selain rumah ini, Nirmala. Kamu kan tahu, rumah Ibu sudah penuh oleh saudara-saudaraku yang juga tinggal di sana." Mas Raka kembali angkat bicara.
"Ya itu kan bukan urusanku, Mas. Kamu tinggal saja di rumah gundikmu itu. Bukannya kalian sangat saling mencintai?
Pokoknya, selagi rumah ini belum terjual, di antara kita berdua tidak ada yang boleh menempati rumah ini. Dan ini sudah mutlak keputusanku!" ucapku tegas.
"Kamu sudah nggak waras, ya? Perempuan itu kan masih anak-anak. Masih kecil, Mala. Bagaimana mungkin kamu suruh Raka tinggal di rumah orangtuanya dia?" Ibu Mas Raka lagi-lagi membela anaknya.
"Kecil-kecil tapi sudah jago bikin anak kecil?" tukasku tajam.
"Dan Mas Raka adalah gurunya," lanjutku sinis.
Wajah laki-laki itu kembali memerah.
"Sudah, aku capek. Silakan kamu kemasi pakaianmu, Mas. Aku juga akan sama berkemas. Mbak Yah akan ikut denganku," ujarku lagi.
"Ya nggak bisa gitu dong, Nirmala. Kamu ini jadi istri kok seperti kacang lupa kulit? Lupa kamu, dulu siapa yang mengangkat derajatmu?
Sebelum menikah dengan Raka, kamu itu hanyalah seorang gadis yang berasal dari keluarga sederhana. Beruntungnya kamu Raka menikahimu sehingga taraf hidup kamu serta keluargamu jadi ikut meningkat."
Ucapan ibu Mas Raka tentu saja menyinggung harga diriku.
"Atas dasar apa Ibu bicara begitu? Aku menikah dengan Mas Raka juga tetap bekerja mencari nafkah. Kalau bicara masalah derajat, apa Ibu lupa siapa almarhum ayahku dulu?
Beliau dulu adalah seorang perwira TNI. Keluarga kami adalah keluarga yang disegani dari dulu sampai sekarang, meski ayahku telah tiada.
Kami, anak-anaknya, mampu menjaga nama baik ayah dengan menjauhkan diri dengan tindakan tak terpuji. Berzina dengan anak di bawah umur, misalnya." Kembali aku menyindir telak Mas Raka dan ibunya.
"Mbak Yah ...!" Aku kemudian berseru memanggil Mbak Yah, asisten rumah tanggaku.
Tak lama, gadis itu kemudian tergopoh-gopoh datang menghadap.
"Iya, Bu?" ujar Mbak Yah.
"Mbak, tolong kemasi seluruh pakaian Pak Raka, ya. Pastikan tidak ada satu pun yang tertinggal.
Setelah itu, Mbak Yah bereskan juga barang-barang saya, Kayla, serta barang Mbak Yah sendiri. Malam ini juga kita akan pindah dari rumah ini. Rumah ini akan segera dijual."
Aku memberi perintah pada Mbak Yah. Sesaat, bisa kulihat pupil mata gadis itu membesar. Mungkin terkejut, kenapa tiba-tiba.
Tapi akhirnya gadis usia dua puluhan itu mengangguk dan langsung kembali masuk ke dalam.
"Aku nggak akan pergi dari sini sebelum kudapatkan dua puluh persenku, Nirmala." Mas Raka tiba-tiba kembali bersuara.
"Boleh, silakan saja kamu tidur di teras kalau mau. Karena setelah ini, rumah akan aku kunci dan kugembok." jawabku santai.
"Nirmala!" bentak Ibu Mas Raka.
"Apa, Bu? Mau belain lagi? Kalau kalian masih ngotot juga, aku akan lapor ke RT sekaligus ke kantor polisi untuk melaporkan Mas Raka atas tuduhan perzinaan. Ingat, aku punya bukti kuat!
Jangan sampai, Mas Raka sudah turun jabatan, eh harus masuk penjara pula. Ibu nggak takut, keluara Ibu yang terhormat itu akan tercoreng dan jadi cemoohan jika orang-orang sampai tahu apa yang sudah dilakukan Mas Raka?"
Sengaja kutekan psikis Mas Raka dan ibunya supaya mereka takut dan ciut nyalinya.
Wanita berkaca mata tebal itu menelan ludah susah payah. Kurasa ia sudah mengenal karakterku yang punya sifat tegas dan tak mudah menyerah ini.
Yang bisa ia lakukan hanyalah menatap marah ke arahku. Geram, tapi tak bisa berbuat apa-apa, karena menyadari aku sudah menggenggam kartu As Mas Raka.
🍁🍁🍁
PART 11"Permisi, Bu, ini barang-barang Pak Raka sudah siap."Kemunculan Mbak Yah, asistenku, menginterupsi sejenak ketegangan yang sedang berlangsung antara aku, Mas Raka, Alia, serta ibu mertua."Bagus. Taruh saja di depan pintu, Mbak Yah. Biar tinggal di angkut sama yang punya," jawabku sembari melirik Mas Raka dengan tatapan mengejek."Berhenti kamu, babu! Siapa kamu berani-beraninya lancang mengeluarkan barang-barang anakku!" teriak ibu Mas Raka tanpa kami duga.Mbak Yah tampak terkejut sekaligus ketakutan dihardik kasar seperti itu. Gadis berambut panjang itu menatapku, seakan meminta perlindungan.
PART 12Pagi hari. Aku terbangun dengan kepala yang terasa sedikit pening. Mungkin karena aku kurang tidur semalam.Bohong saja kalau kubilang bahwa aku bisa tidur nyenyak semalam. Siapa pun yang berada dalam posisiku saat ini, juga pasti merasakan hal yang sama denganku.Marah, gelisah, sedih, kecewa, semua melebur jadi satu dalam pikiran. Jika ditanya apakah aku menangis? Maka jawabanku adalah tidak.Tak setetes pun airmata yang kutumpahkan meski nyeri begitu terasa di dalam sini. Tangisku terlalu berharga untuk seorang pecundang seperti Mas Raka.Bicara soal Kayla, putri semata wayangku, tak ada seorang pun ibu di dunia in
PART 14Gadis-gadis berseragam itu tampak sangat terkejut ketika kusodorkan gambar Mirna dan Mas Raka.Beberapa siswi lain yang sedang mengantre juga ikut datang mendekat. Ingin melihat apa yang sedang teman mereka lihat pada layar ponselku."Ihh ... ini kan si Mirna anak IPS 3 itu, kan? Ya oloh ... amit-amit ish kelakuan kayak gitu!" seru seorang gadis yang langsung menutup mulutnya dengan dua tangan, sambil beralih menatapku."Elah ... gue sih udah nggak heran, dari kelas dua dulu gue pernah lihat dia dibawa om-om ke hotel.Cuma pas gue cerita, nggak ada yang percaya. Ternyata bener, kan? Si Mirna emang cewek nggak bener!"
PART 14Mirna terus meratap sembari menangis. Sangat berbanding terbalik dengan kegaharannya yang sesaat lalu seakan hendak membinasakanku."Pak ... saya mohon. Kalau saya dikeluarkan sekarang, tidak akan ada sekolah lain yang mau menerima saya, Pak. Saya tidak mau menunda lagi kelulusan saya.Mohon pertimbangkan, Pak. Saya mohon belas kasihannya. Lagi pula, tidak semua yang dikatakan perempuan ini benar.Dia hanya melebih-lebihkan cerita supaya bisa mempermalukan saya!" Mirna menunjuk ke arahku."Ck ck ck, masih berani kamu bilang saya fitnah? Kalau saya mau, kamu dan suami saya bisa saya laporkan pada polisi atas pasal perz
PART 15"Nirmala, Raka serta ibunya ingin saya memecat kamu dari perusahaan ini sebagai balasan atas apa yang telah kamu lakukan terhadap Raka."Mata Pak Bondan menyipit, sementara senyumnya mengembang di bibir hitamnya. Aku tetap bergeming, berusaha tak terpengaruh pada kata-kata Pak Bondan.Lelaki itu kembali terkekeh. Menatapku sambil menjilat bibir bawahnya sendiri. Memuakkan, tapi aku berusaha menahan diri, sebab ingin mendengar lebih banyak lagi."Tapi kamu tenang saja, Nirmala. Saya tidak sejahat itu. Tentunya akan sulit bagi kamu jika kehilangan pekerjaan sementara pernikahanmu sendiri sedang di ambang perceraian. Karena itu, bagaimana jika kita membuat kesepakatan?"Sepasang mata Pak Bondan berkilat saat mengucap kata 'membuat kesepakatan' barusan."Kesepakatan?" ulangku sambil menelengkan kepala.
PART 16Bersama Lesti, aku mulai masuk menyusuri jalanan gang yang sempit juga sedikit gelap. Bau busuk berasal dari parit kecil yang warna airnya kehitaman menyengat penciuman ketika kami lewat.Debaran dalam dadaku kian mengeras, saat menatap sebuah rumah bermodel sangat sederhana dengan cat putih yang mengelupas di sana-sini."Itu rumahnya, Les?" tanyaku sambil menoleh pada Lesti."Kalau kata google map mah iya, La," jawab Lesti tak kalah pelan."Ayo," kataku, melanjutkan langkah.Walau perasaanku sedikit tak enak, tapi aku pantang pulang sebelum menang. La
PART 17"Pak Brahma?" seruku tak percaya ketika melihat sosok tersebut di hadapanku. Lesti bergerak lebih merapat."Siapa, Nek?" bisiknya."Bagaimana Bapak bisa ada di sini?" Mengabaikan pertanyaan Lesti, aku justru melempar tanya pada sosok jangkung dengan potongan rambut rapi belah tepi tersebut."Bisa kita bicarakan saat di perjalanan nanti? Mobil saya parkir di sana." Laki-laki itu menujuk satu arah. Di ujung jalan sebelum belokan.Kendati sangat penasaran kenapa Pak Brahma bisa ada di lokasi dan waktu yang sama denganku, kurasa menerima tawarannya adalah sebuah pilihan bijak.
PART 18"Apa? Jabatan itu untuk Nirmala? Pak Brahma bercanda? Nirmala mana kompeten di bidang itu? Dia cuma lulusan S1, dan sama sekali tidak punya basic dalam pengembangan bisnis!"Mas Raka memprotes. Wajahnya terlihat shock, begitu pun aku saat ini jika dilihat orang lain. Aku kaget sekaligus tak menyangka. Ada angin apa sih Pak Brahma ini?"Yang menentukan layak atau tak layak bukan Anda, Pak Raka. Saya yakin Nirmala cukup kompeten, dan dia akan saya didik dengan tangan saya sendiri nanti."Pak Brahma menatapku yang sedang terpelongo hingga tak mampu mengucap sepatah kata pun. Lidah ini terasa kelu."Saya permisi dulu, sam