Share

Jangan Sentuh Apapun

Jika ada yang lebih cepat dari kedipan mata, itu adalah waktu yang dilalui oleh Wilona. Rasanya baru kemarin mereka menjadi tawanan di rumah rentenir itu, sekarang sudah satu minggu berlalu sejak saat itu.

Selain pekerjaannya yang berbeda, kehidupan mereka juga banyak berubah. Salah satunya, ia harus mengurus perpindahan sekolah Arjuna. 

Kemudian hari ini adalah hari pertama anak itu di sekolah baru. Berterima kasihlah pada Arshaka, sebab atas bantuannya, Arjuna masuk ke sekolah swasta ternama dengan mudah.

Pukul setengah enam pagi adalah jadwal Wilona memasak sarapan untuk tuan barunya, Arshaka. Alih-alih bertanya, ia mempunyai cara tersendiri untuk mengetahui makanan apa yang ingin disantap pria itu.

Sebuah catatan menu dari sarapan sampai makan malam akan dipajang, lalu Arshaka akan mencoret masakan yang tidak ingin ia makan.

Hal itu lebih memudahkan bagi Wilona.

“Daging lada hitam, brokoli dan jamur,” gumam wanita itu sambil membaca menu sarapan yang Arshaka tandai.

Tak banyak berpikir, ia langsung mengambil bahan-bahan dari dalam kulkas. Menyiapkan satu persatu, kemudian mulai memasak dari daging lebih dulu.

Awalnya, suasana di dapur terasa cukup tenang. Tidak ada yang lebih keras dari suara rebusan air yang mendidih. Namun hanya perasaan Wilona … atau ada seseorang yang sedang memperhatikannya?

Seorang lelaki berperawakan tinggi dengan luka di tangan, terlihat mengintip dari balik tembok. Tampangnya lumayan menyeramkan, tapi jika dilihat beberapa saat, mata lelaki itu seperti anak-anak yang penasaran akan sesuatu.

“Ada perlu di dapur?” tanya Wilona setelah cukup lama diperhatikan. “Mau menggunakan dapur?”

Lelaki yang berpikir Wilona tidak menyadari keberadaannya, terkejut. Ia beringsut mundur, tapi wanita di depan perapian sudah terlanjur menemukannya.

Dahi Wilona mengkerut. Tak mau mengambil pusing, ia kembali melanjutkan memotong kentang dan sayuran lainnya.

Akan tetapi, laki-laki yang tadi bersembunyi terlihat mengintip lagi. Tidak secara terang-terangan, tapi Wilona bisa dengan jelas menyadarinya.

Wilona menarik napas sebentar. Lalu menatap lelaki yang lagi-lagi bersembunyi.

“Aku bisa melihatmu,” ucap wanita itu. “Katakan saja ada apa?”

Seperti pencuri yang tertangkap, lelaki itu keluar dengan malu-malu, tidak sesuai dengan penampilannya yang garang.

“Aku sudah melihatmu mengintip dari tadi. Katakan ada apa?” tanya Wilona.

“Begini, Bu ….” Ia mengambil jeda untuk menelan ludah sebentar. Lalu setelahnya berujar, “Sebelumnya saya yang bertanggung jawab memasak untuk bos. Tapi setelah Ibu datang, bos sama sekali tidak mau menyentuh masakan saya.”

Kalimat barusan terdengar seperti keluhan di telinga Wilona. Membuatnya mendadak merasa bersalah untuk banyak alasan.

“Jadi ….”

Wilona mengernyit. Menunggu lelaki di seberang meja dapur meneruskan.

“—Jadi … saya ingin belajar sama Ibu.”

“Maksudmu belajar?” tanya Wilona, bingung.

“Itu—” Lelaki itu menautkan jari-jemari. “Kalau Ibu berkenan, maukah Ibu mengajari saya memasak?” tanyanya dengan sikap gugup.

Untuk beberapa detik, Wilona bergeming dengan ekspresi sulit dibaca. Matanya menatap lelaki yang jika ditaksir, mungkin beberapa tahun lebih muda darinya.

Tiba-tiba sudut bibir Wilona diangkat. “Siapa namamu?” tanyanya.

Dengan mata membola kaget, lelaki itu menjawab, “B-bisma, Bu.”

Wilona mengangguk. “Oke. Ke sini, Bisma. Aku akan mengajarimu trik rahasia agar masakan terasa lebih enak.”

Bisma terkejut, meski jawaban itu adalah yang ia harapkan. Berpikir jika kesempatan tak datang dua kali, ia bergegas mendekat ke arah perapian.

“Perhatikan baik-baik.” Wilona mulai meracik bahan dan bumbu masakan seraya menjelaskan secara mendetail apa saja yang perlu diperhatikan.

Di seberang meja, Bisma menyimak dengan raut wajah serius. Garis di keningnya bahkan sesekali terlihat saat ia merasa tidak begitu paham dengan penjelasan Wilona.

Meski begitu, ia tetap mengamati dengan baik. Seperti seorang siswa yang menyimak penjelasan gurunya.

“Apa kamu sudah paham sekarang?” tanya Wilona sambil mengaduk daging yang sudah selesai dibumbui.

Bisma mengangguk dengan antusias. “Paham, Bu,” ucapnya. “Pantesan bos lebih suka masakan Ibu. Ternyata ada bumbu rahasia.”

Mendengarnya, membuat senyum di bibir Wilona mengembang. Selanjutnya, ia mengambil piring kecil dari rak dan menyendok beberapa potong daging.

Setelah piring terisi, ia menyodorkannya ke hadapan Bisma. “Mau coba?”

Kedua mata Bisma membulat. “T-tidak usah, Bu,” ucapnya menolak sambil mengangkat dua tangan.

“Kamu harus coba buat bandingin sama masakan kamu,” ujar Wilona. “Kalo kamu bisa nemuin bedanya, pasti lebih gampang buat masak ke depannya.”

Bisma masih terlihat ragu beberapa saat. Dari ekspresinya, terlintas raut kecemasan dan rasa penasaran di saat yang sama.

“Ayo, coba aja.” Wilona mengangkat alis, memaksa Bisma untuk mencoba masakannya.

Akhirnya setelah berdebat dengan batinnya sendiri, lelaki itu menjulurkan tangan. Berencana menerima piring kecil dari Wilona.

Melihat hal itu, Wilona tersenyum. Mendadak ia berpikir jika orang-orang di rumah itu tidak menyeramkan seperti bayangan.

Namun saat piring belum sempat berpindah tangan, tiba-tiba ….

PRANG!

Seseorang sudah lebih dulu menamparnya. Membuat beberapa potong daging berserakan di lantai bersama dengan pecahan beling.

Wilona tersentak kaget, begitu juga dengan Bisma yang langsung beringsut mundur saat tahu siapa yang melempar piring itu.

Di depannya, Arshaka sudah berdiri dengan sudut mata naik. Dadanya naik-turun saat menatap Bisma. Kedua tangan mengepal kuat-kuat, kemudian ….

DHUAK!

Satu pukulan keras mendarat di pipi Bisma. Membuatnya terlempar ke samping, lengannya menyentuh lantai dengan kasar.

Tak cukup, Arshaka bergegas meraih kerah baju Bisma. Matanya mendelik, napasnya memburu.

“Siapa kamu berani-beraninya menyentuh milikku?” ucap Arshaka dengan tatapan murka.

Bisma tersentak. Semakin ia diam, semakin keras cengkeraman di kerah bajunya.

BUK! Arshaka kembali menghadiahkan pukulan di pipi kiri Bisma.

“Apa peraturan di sini masih kurang jelas, hah?”

BUK! Kali ini pipi kanan Bisma yang mendapat bagian dari kepalan tangan Arshaka.

Kedua mata Arshaka menatap Bisma dengan dingin. Giginya berkertak, ekspresinya penuh murka.

Bisma hanya ingin mencicipi masakan Wilona, apa yang membuat Arshaka sampai kebakaran jenggot seperti itu?

Sayangnya pria itu belum selesai. Dua atau tiga detik berikutnya, tangannya kembali diangkat hendak memukul. Akan tetapi, Pras tiba-tiba mendekatinya.

“Jangan kelewatan, Bos. Bu Wilona ada di sini,” bisik Pras.

Arshaka mendadak tersadar. Ekor matanya melirik ke arah perapian.

Di sana, Wilona sudah berdiri dengan mata melebar. Tubuh wanita itu terlihat membeku, meski kakinya bergetar hebat.

Melihat orang dipukuli di depannya, siapa yang tidak akan ikut merasa takut?

Setelah menahan napas beberapa saat, Arshaka akhirnya melepaskan cengkraman dari kerah Bisma. Kemudian bangkit dan membenarkan jas yang sedikit kusut.

“Pagi ini aku tidak makan di rumah,” ucapnya dengan nada dingin.

Tak menunggu tanggapan dari Wilona, Arshaka bergegas melangkah pergi dari sana. Beberapa anak buah langsung mengekor di belakang, termasuk Pras.

Sedangkan sisanya membantu Bisma untuk bangun. Wajah lelaki itu sudah babak belur.

Wilona mematung di tempat. Untuk beberapa alasan, ia merasa dirinyalah alasan Arshaka sangat marah hingga memukuli Bisma dengan brutal.

Saat itu juga, penilaiannya tentang orang-orang di sana tidak begitu menyeramkan, langsung ditarik kembali.

Sebab baru saja di depan matanya, Wilona melihat adegan mengerikan untuk pertama kali dalam hidupnya.

***

Di depan rumah makan yang di depannya terpasang tanda disita, seorang pria berdiri sambil terus menempelkan telepon genggam di telinga. Ia sedang berusaha menghubungi seseorang dari tadi.

Ketika beberapa kali panggilan tidak diangkat, ponsel diturunkan dari telinga. Kemudian, tangannya meremas benda pipih itu dengan kuat.

“Berani-beraninya kamu kabur membawa anak kita, Wilona!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status