Share

Om Datang untuk Makan Malam?

"Om Arshaka datang kesini untuk makan malam?"

Namun sebelum itu terjawab, Wilona sudah menarik lengan sang anak lebih dulu. “Mendekat ke mama, Arjuna.”

Arjuna langsung menurut. Sementara di hadapan mereka, Arshaka menatap dengan mata ragu, seolah tengah mengingat siapa anak yang menyapanya dengan akrab barusan.

Saat pria itu masih mencoba menebak, Wilona sudah lebih dulu menyela. Ia bertanya, “Di mana kamu bertemu dengan pria ini, Arjuna?”

“Maksud Mama Om Arshaka?” Arjuna menoleh. Melihat sang ibu mengangguk, anak kecil itu melanjutkan, “Mama ingat om-om yang sedih hari itu di taman? Yang aku tolong itu~”

Sang ibu tampak berpikir. 

Arjuna kemudian melanjutkan, “Itu Om Arshaka, Ma. Dan Mama bilang aku boleh mengundangnya makan malam. Tapi aku tidak tahu kalau Om datang sekarang.”

Mengingat hal tersebut, Wilona membeku. Ia ingat anaknya menceritakan tentang lelaki yang menangis di taman beberapa waktu lalu dan benar Wilona mengatakan untuk mengundang pria itu ke rumah.

Namun … ternyata itu adalah si rentenir!? Apakah masuk akal?

Sepertinya bukan hanya Wilona saja yang ingat, sebab di detik berikutnya Arshaka juga terlihat menganga dengan alis terangkat. 

“Ah,” gumam pria itu. “Kau bocah waktu itu.”

Dahi Arjuna mengerut mendengarnya. “Namaku Arjuna, Om. Bukan bocah itu,” ucapnya sedikit cemberut.

Arshaka mengangguk. “Arjuna,” ucapnya. “Jadi, dia mamamu?”

“Em! Ini mamaku yang Om bilang masakannya sangat enak!” Arjuna tampak riang. “Om datang kesini untuk makan malam bersama kami, kan?”

Sesaat Arshaka tak langsung menjawab. Ia beralih menatap wanita yang terlihat mendelik seolah-olah berkata ‘jangan macam-macam’ padanya.

Arshaka tersenyum miring. Seakan menantang, pria itu tersenyum dan kembali menatap putra Wilona dan berkata, “Benar. Om datang ke sini untuk makan malam.”

Saat itu juga, bibir Wilona menganga.. 

“T-tunggu—”

“Yay! Om Arshaka akan makan malam di sini!” Tak menunggu persetujuan sang ibu, Arjuna langsung berlari masuk kegirangan.

Sementara masih di tempat yang sama, Arshaka mendekati Wilona. 

Pria itu berbisik, “Anggap saja aku sedang berbaik hati. Jadi masaklah yang enak dan aku akan mempertimbangkan potongan untuk bunga hutangmu.” Ia tersenyum, lalu bergegas menyusul bocah yang sudah lebih dulu masuk. “Hei, Bocah! Apa yang akan kita makan malam ini?”

Wilona terdiam menatap udara dengan linglung. Adakah kesialan yang lebih parah dari memberi makan rentenir yang hampir mengambil rumah mereka?

Hanya dalam waktu kurang dari satu hari, dunia berasa terbalik bagi Wilona.

Kemudian setelah perapian mulai padam, di sinilah mereka sekarang. Saling berhadapan di depan meja makan yang sudah penuh dengan beberapa hidangan.

“Mama malam ini masak banyak banget,” ucap Arjuna yang terlihat sangat ingin menyantap ayam goreng di depannya.

Wilona tersenyum dan mengangguk. “Cuci tanganmu lebih dulu.”

“Oke, Ma.” Arjuna turun dari kursi dan bergegas ke belakang untuk mencuci tangan.

Sedangkan di hadapan Arshaka, ekspresi Wilona mendadak berubah. Ia menatap tajam dan kesal.

“Aku memasak semua ini tidak gratis. Jadi pegang ucapanmu dan potong bunga utang pria keparat itu,” ujar wanita itu dengan tegas.

Alis Arshaka terangkat. Pandangannya mengedar pada hidangan yang terlihat sangat lezat. Barulah setelah beberapa saat ia beralih memandang Wilona seraya mengangguk. “Sudah kubilang akan aku pertimbangkan jika rasanya enak.”

“Ck!” Bola mata Wilona berputar, seolah-olah perkataan Arshaka tidak ada yang bisa dipegang.

Namun saat wanita itu baru mau membalas ucapan Arshaka, Arjuna sudah lebih dulu datang setelah selesai mencuci tangan.

“Sekarang boleh aku makan?” tanya anak itu dengan polos.

Lagi-lagi raut wajah judes Wilona seketika berubah. Ia menatap sang anak dengan lembut. 

“Makan, Sayang. Makan yang banyak, habiskan kalau bisa. Om Arshaka bisa mengalah. Iya, kan?” Ia sengaja menekan kata terakhir sembari mendelik ke arah Arshaka.

“Tidak boleh begitu, Ma.” Sayangnya Arjuna tak bisa diajak bekerja sama. “Kata Mama kita harus bersikap baik ke tamu. Mama lupa, ya?”

Mata Wilona melebar. “Mama pernah bilang begitu?” ucapnya mengelak.

Arjuna langsung mengiyakan, “Emm! Jadi, aku akan memberikan makanan yang banyak ke Om Arshaka.” Lalu ia mengambil ayam goreng dan meletakkan ke atas piring pria di depannya.

Sontak bibir Wilona menganga mendengar ucapan anaknya. Ia tidak percaya akan langsung diulti seperti ini.

Sementara di hadapan mereka, hidung Arshaka melebar, berusaha keras agar tidak tertawa. Melihat sikap kekanak-kanakkan Wilona cukup menyenangkan ternyata.

“Buat Om,” ucap Arjuna.

“Terima kasih, Bocah.” Arshaka menerima dengan senang ayam pemberian anak itu. Di detik berikutnya ia kembali menatap Wilona. Dengan senyum mengejek, ia berkata, “Kau tidak mau makan?”

Terlanjur kesal, Wilona enggan menjawab. Ia langsung mengambil nasi dan lauk tanpa peduli dengan perkataan pria di sana.

Tak lama setelah itu, mereka akhirnya mengawali makan malam dengan tenang.

Aroma sedap mengepul memenuhi udara. Potongan ayam berbalut kecap terlihat begitu menarik, mie goreng dengan irisan bawang di atasnya juga menggugah selera. Jangan lupakan padatnya isian sup begitu mereka mengaduknya.

Benar-benar membuat Arshaka menelan ludah, tak sabar ingin menyantap semua hidangan yang ada.

Dengan jakun yang sudah naik-turun, satu suapan pertama akhirnya masuk ke dalam mulut pria itu. Hanya butuh waktu satu detik untuk membuat bibirnya berhenti mengunyah seketika. “Wah! Apa ini?” Mata Arshaka terbelalak.

Dahi Wilona mengerut. Akan tetapi, sebenarnya di dalam hati ia sangat ingin mendengar komentar Arshaka tentang masakannya secara langsung.

“Wah, aku tidak percaya.” Masih dengan ekspresi tak percaya, Arshaka kembali berucap, “apa yang kamu masukkan ke dalam sup ini?”

Kalimat barusan berhasil membuat alis Wilona menyatu. Sedangkan di samping wanita itu, Arjuna langsung mengorek sup miliknya, mencari sesuatu.

“Ini enak sekali!” ucap Arshaka setelahnya, “sudah sangat lama lidahku tidak merasa terpuaskan seperti sekarang.”

Arjuna menoleh. “Apa itu berarti Om suka dengan masakan mamaku?”

Tanpa ragu Arshaka mengangguk. “Tentu saja. Om sangat menyukainya. Kamu sangat beruntung bisa makan seperti ini setiap hari, Bocah.”

“Hihi ….” Arjuna terkekeh kecil. “Aku juga menyukainya. Masakan mama adalah yang paling enak di dunia.”

“Em, em. Kamu benar.”

Mendengar percakapan putranya dan Arshaka, wajah Wilona mendadak terasa panas. Itu adalah respon terbaik yang pernah ia dengar tentang masakannya. Tanpa sadar, bibirnya melengkung ke atas. Tetapi di detik selanjutnya kembali ditarik turun, ia tidak boleh tersenyum.

“Ekhem.” Wilona sedikit salah tingkah. “Kalian makan saja, jangan banyak komentar.” Padahal dalam hati, wanita ini bersorak kegirangan.

Terlanjur disihir oleh rasa masakan Wilona, Arshaka langsung menurut, makan malam berakhir dengan tenang.

Ketika hampir semua hidangan hanya menyisakan piring kotor, bulan semakin menaiki langit.

“Ah, aku kenyang sekali malam ini,” ujar Arshaka seraya mengelus perutnya yang membuncit.

Wilona hanya menatap dengan wajah datar. Ia sedang sibuk membereskan sisa piring kotor, tapi pria itu justru bersantai sambil berpuas diri.

“Oh, benar.” Arshaka tiba-tiba teringat sesuatu. Tak lama ia kembali berkata, “Masakanmu aku approved! Jadi sesuai perjanjian, aku akan memotong bunga hutang kalian.”

Itu adalah kalimat yang Wilona tunggu-tunggu. Benar, ia harus memanfaatkan semua kesempatan.

“Berapa yang akan kamu potong?”

Arshaka terlihat berpikir sejenak. “Mmm … bagaimana kalau 20% dari sisa bunga setiap kali aku makan.”

“Hanya 20%?” Wilona mendelik tak terima.

“Loh, apa kamu tahu berapa sisa bunga hutang mantan suamimu? 20% itu banyak. Aku sudah sangat berbaik hati padamu.”

Sesaat Wilona terdiam menimbang. Namun setelah dipikir-pikir, 20% itu lumayan daripada tidak sama sekali.

Akhirnya dengan setengah hati ia mengangguk setuju. “Baiklah. Ingat untuk memotongnya setiap kali kamu makan.”

Deal!”

Kemudian, kesepakatan besar kembali terjalin.

Arshaka berjalan ke arah pintu ditemani oleh Arjuna. Seperti sudah paham, bocah itu mendongak seraya melebarkan pintu.

“Kapan-kapan mampir untuk makan malam lagi, Om,” ucap Arjuna.

Anggukan diberikan. “Siap. Bilang ke mamamu untuk masak daging yang kayak waktu itu,” bisik Arshaka, takut Wilona mendengar.

Seperti teman, Arjuna langsung setuju. Ia juga mendekatkan bibir ke telinga Arshaka untuk berbisik, “Aku akan meminta mama memasak yang lebih enak lain kali.”

Puas dengan jawaban anak itu, Arshaka mengacungkan dua jempol. “Kalau begitu om pergi dulu.”

“Dadah, Om Arshaka. Hati-hati di jalan.”

Sementara di belakang pencucian, Wilona berkali-kali menghela. Entah karena gerabah kotor yang lebih banyak dari biasanya, atau karena bahan makanan di dalam kulkas kosong sudah habis hanya untuk satu kali makan.

Tetapi yang jelas, ia masih syok dengan kejadian tadi siang. Fakta bahwa mantan suaminya meninggalkan hutang yang sangat besar tidak bisa diterima begitu saja.

“Awas kalau aku ketemu dengan pria brengsek itu,” ucapnya seraya meremas spons dengan geram.

Lalu sekarang, ia juga harus berurusan dengan rentenir seperti Arshaka untuk melunasi hutang. Memasak untuk pria itu? Mau tidak mau harus dilakukan.

Yah, nasib kadang berlaku tidak adil.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status