Share

Nikahi Mamaku, Om!
Nikahi Mamaku, Om!
Penulis: Jamilah

Terjerat Utang Mantan Suami

 "Tunggu! Kalian pikir apa yang kalian lakukan di rumahku?" pekik Wilona sembari berusaha menghalang-halangi empat pria yang terus sibuk mengambil barang-barang di rumahnya.

"Kami hanya melakukan pekerjaan. Jadi tolong menyingkirlah sebelum Anda terluka."

"Tidak!" Wilona masih berusaha menghalangi. Kedua tangan merentang, kaki bergerak sesuai dengan perpindahan pria di hadapannya. "Kau pikir bisa mengambil barang-barang di sini? Semuanya milikku! Aku yang membelinya."

Salah seorang pria di sana menghela napas kesal, merasakan kesabarannya hampir habis karena ulah Wilona. Pria itu kemudian menunjukkan selembar kertas pada Wilona. “Baca ini.”

“Apa ini?” Wilona mengernyit, tapi ia mengambil kertas itu dan melihat tulisan di sana sepintas. Lalu, dengan nada marah, ia kembali menatap pria di hadapannya. “Kalian mencoba menipuku ya? Tidak bisa!”

"Mohon periksa dengan saksama, lalu Anda akan mengerti."

Wilona kembali menekuri kertas di tangan, membaca kertas yang dibubuhi tanda tangan lengkap dan disertai materai itu selama beberapa saat.

Seketika, kedua mata wanita itu terbelalak, padahal ia baru membaca setengahnya. 

"Apa maksudnya ini? Aku tidak pernah menandatangani perjanjian ini!”  ucap Wilona. “Kalian pergi dari rumahku sekarang."

Ia tidak melihat nama yang bertanda tangan di bawah.

Sementara itu, pria di depan Wilona masih mencoba menahan kesabaran, meskipun matanya sudah mendelik dengan urat leher terlihat.

"Suami Anda berhutang pada kami dan menjadikan rumah ini sebagai jaminan.” Pada akhirnya, ia menjelaskan. Wanita di hadapannya ini benar-benar menyusahkan! “Lalu sekarang sudah tiga kali melewatkan pembayaran. Bukankah sudah jelas kami harus menyita rumah ini?"

Mendengar itu, mata lebar Wilona semakin membesar. 

“Suami?” beonya. Wilona kembali membaca surat perjanjian di tangannya. Betapa terkejutnya ia saat mendapati nama mantan suaminya di sana.

Wilona mendongak. "Dia bukan lagi suamiku!” katanya. “Aku tidak ada urusan lagi dengannya dan aku tidak akan membiarkan kalian bertindak seenaknya di rumahku!"

Pria di hadapan Wilona menarik napas dalam. Tidak menjawab, justru memberikan instruksi pada yang lain untuk terus bergerak.

Tak terima, Wilona kembali mencegah. "Berhenti! Siapa bosnya di sini? Sudah kubilang ini tidak ada hubungannya denganku! Lelaki itu yang berutang, kenapa rumahku yang kalian rampok?"

Malang sekali, ucapan dan teriakan wanita itu sama sekali tidak dipedulikan. Dengan cepat, satu persatu barang mulai dikeluarkan. Sofa, televisi, bahkan vas kecil di sudut ruangan satu persatu mulai berpindah tangan.

"Aku bilang berhenti!"

Wilona menarik kursi kecil yang biasa diduduki oleh putranya. Dengan sekuat tenaga mencegah kursi agar tidak dikeluarkan. Namun sayang, tenaganya tidak sebanding dengan pria yang dengan mudah menarik kursi beserta Wilona.

"Berhenti atau aku akan—ah!"

Tiba-tiba seorang pria lain muncul di ambang pintu. Rupanya tanpa sengaja Wilona menabrak dada bidang kekar pria itu.

"Kenapa kalian lama sekali? Bukankah aku sudah menyuruh membawa semuanya?" ucap pria yang baru datang, sama sekali tidak peduli dengan wanita yang ditabraknya.  Penampilannya tampak gagah dan mengintimidasi. Sepertinya ia adalah bos dari para lelaki yang sedang mengobrak-abrik rumah Wilona.

Sementara itu, melihat bosnya datang, pria yang tadi memimpin segera mendekat. Menunduk sopan sembari melapor, "Kami sedang mengeluarkan semuanya, Bos."

"Bagus. Kalau bisa hari ini rumah ini akan dibongkar."

Mendengar itu, kedua mata Wilona semakin membulat. 

"Kamu bosnya?" tanya Wilona seraya menatap pria yang baru saja datang itu. Wajahnya mendongak, berusaha memberikan tatapan tajam pada pria di hadapan. "Bagus. Kalau begitu aku akan menyelesaikan urusan ini sekarang."

Seolah baru sadar dengan keberadaan Wilona, pria yang baru tiba segera menoleh. 

Tatapannya seperti bertanya, “Apa lagi sekarang?”

"Bilang pada anak buahmu untuk segera mengembalikan barang-barang milikku ke tempatnya. Atau aku akan melaporkan kalian ke polisi!"

Bukannya takut mendengar ancaman, pria gagah di sana justru tersenyum meremehkan. Dagunya yang terangkat dan memberikan kesan angkuh akhirnya diturunkan agar ia bisa menatap Wilona yang jauh lebih pendek.

Namun, hal itu entah kenapa malah terlihat semakin menyebalkan.

"Atas tuduhan apa kamu akan melaporkanku? Perjanjian antara aku dan suamimu sah.” Pria itu tersenyum miring. “Kecuali jika kamu bersedia membayar lunas hutangnya. Dengan demikian,  aku tidak akan menyentuh apa pun di sini."

Dada Wilona naik turun. Ia merasa semakin marah. 

Mantan suami keparat! Bisa-bisanya ia menjadikan rumah Wilona sebagai jaminan.

Namun, Wilona tidak punya waktu untuk sekadar mengumpat. Ia harus segera memilih. Tidak mungkin ia membiarkan dirinya dan putra kesayangannya diusir ke jalanan.

"Berapa yang harus aku bayar?" Akhirnya Wilona menyerah. Ia memilih mempertahankan rumah walau harus membayar hutang yang tidak pernah ia lakukan.

Mendengar pertanyaan penuh percaya diri dari Wilona, satu alis pria itu diangkat. "Kamu yakin? Baiklah. Lihat ini, karena suamimu—"

"Dia bukan lagi suamiku!"

"Astaga. Wanita yang merepotkan," gumam pria itu. Namun, ia masih mencoba menahan diri. "Baiklah. Karena mantan suamimu sudah terlambat membayar sebanyak tiga kali, maka aku juga harus menghitung bunga. Jadi setelah ditotal, dalam sebulan kamu harus membayar sebanyak Rp12.255.000,-."

Wilona mengambil kertas berisi detail utang mantan suaminya. Kepercayaan diri yang tadi masih tinggi kini perlahan tenggelam seperti didorong ke dasar laut. Ia tidak percaya dengan nominal yang sangat banyak.

"Kenapa bunganya besar sekali? Kalian rentenir?" tanya Wilona dengan mata mendelik.

Dengan ekspresi datar, pria di hadapannya mengangguk. "Memang. Dan apa yang aku lakukan memang sudah menjadi kesepakatan di awal."

Tak bisa lagi membantah, Wilona hanya bisa terdiam beberapa saat. Ia bimbang, tak mungkin ia sanggup membayar sebanyak itu setiap bulan. 

Kalaupun bisa, dapat dipastikan mereka akan makan dan minum udara untuk ke depannya.

"Tidak bisa?” Pria itu bertanya dengan nada meremehkan. Kemudian, pada anak buahnya, ia menambahkan, “Bawa semuanya keluar!"

"Tunggu!" Tanpa sadar, tangan Wilona meraih ujung jas yang dikenakan pria di hadapannya. Dengan suara bergetar, wanita ini akhirnya melanjutkan. "A-aku akan membayarnya."

"Ha? Kamu bilang apa?"

Wilona mengepalkan tangannya. "Aku bilang aku akan membayarnya! Apa sekarang telingamu ikut bermasalah?"

Bukannya marah, pria di sana justru terkekeh. "Yakin?" Ia tidak percaya, tapi saat melihat keyakinan di mata Wilona, akhirnya ia memutuskan untuk mengalah.

Helaan napas keluar sebelum akhirnya berujar, "Baiklah. Kali ini aku akan berbaik hati. Tapi jika bulan depan kau tidak bisa membayar, aku tidak akan lagi berkompromi. Mengerti?"

Wilona tak menjawab, diamnya sudah dianggap menjadi persetujuan meski dengan hati yang tidak terima.

Setelahnya, pria itu menyuruh anak buahnya mengembalikan barang-barang ke dalam rumah. Ia juga menyerahkan sebuah kartu nama pada Wilona.

"Ini kartu namaku. Kamu bisa menghubungiku saat uangnya sudah ada, atau jika kamu ingin berubah pikiran," ucap pria itu dengan wajah menyebalkan.

Tak lama setelah mengatakan itu, pria di hadapan Wilona berbalik. "Sudah cukup untuk hari ini,” katanya. “Mari kita pulang dan kembali lagi bulan depan."

Namun, saat ia baru melangkah satu langkah, tiba-tiba kakinya ditabrak sesuatu.

"Maafkan aku." Seorang bocah laki-laki membungkuk, meminta maaf dengan sopan.

Bos rentenir itu mengernyit, tampak seperti mengenali bocah itu. "Kamu?" gumamnya.

Anak berusia enam tahun itu mendongak. Sepasang mata polosnya membulat saat melihat si bos.

“Om Arshaka!” pekiknya senang, “sedang apa Om di sini? Apa Om datang untuk makan malam?”

Tidak hanya si bos rentenir yang terkejut, melainkan juga anak buahnya. 

Apalagi Wilona.

Om? Makan malam? Kepala Wilona tiba-tiba berputar. 

Sejak kapan putranya kenal dengan rentenir seperti mereka? Lalu, ada apa dengan kedekatan yang ia lihat barusan!?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status