Share

Pria itu gila? 18+

“Aku masih mempertanyakan alasanmu," ucapku ketika sesi sarapan bersama pagi itu.

Setelah dikejutkan dengan apa yang aku lihat di layar Ms. Wordspikiranku mulai kacau diserbu berbagai macam hipotesis yang gila. Apakah dia menggunakanku demi kepentingan imajinasinya? Apakah dia benar-benar menuliskan tentang proses bagaimana dia akan membunuhku pada akhirnya? Apakah Mr. Regan adalah pria gila?Kupikir aku berhak mengajukan pertanyaan. Aku harus mengkonfirmasi bahwa aku hanya memikirkan hal konyol.

Namun, sekian lama jeda waktu yang ada, tidak ada jawaban sepatahpun barangkali keluar dari bibir yang tadi malam menjamahku habis-habisan itu. Yang menciumku sangat menggebu, yang menyentuh setiap inci kulitku sampai merah-merah seperti habis disengat lebah.

Aku menyentuh leherku yang masih nyeri di beberapa titik, lantas menyalahkan diri karena tak dapat mengumpat sebab aku tak memiliki nyali yang cukup untuk mengajukan pertanyaan kedua. Entah pemikiran absurd darimana, tapi aku takut dicabik-cabik oleh tatapannya. 

Kini aku menatapnya yang sedang menyantap menu sarapan pagi ini. Mr. Regan selalu suka French Toast dengan balutan stroberi. 

Bibi Claire, pelayan di rumah ini sudah menyingkirkan pinggiran roti tawarnya terlebih dahulu sebelum disajikan pada Mr. Regan, guna menyesuaikan dengan selera pria itu. Lantas setelah menyiapkan sarapan, Bibi Claire akan meninggalkan kami berdua dalam kebisuan di ruang makan besar dengan meja makan yang di tengah-tengahnya terdapat vas bunga lavender ungu. 

Meski berbicara hanya sepatah dua patah kata dengan sikap Mr. Regan yang terkesan dingin, namun setidaknya, Mr. Regan membiarkan aku sarapan dengannya setiap pagi. Itu sudah cukup, sungguh aku bahkan mengira dia tak membiarkanku dekat-dekat dengannya. 

Saat ini dia masih saja membiarkan pertanyaanku menggantung di udara. Membuatku dapat lebih jelas mendengar suara angsa dan ringkihan kuda dari kandang tak jauh dari sini. 

Lantas sebelum aku tenggelam dalam kekesalan semakin jauh, dia akhirnya menjawab pertanyaanku sepuluh menit yang lalu itu. 

"Karena kau adalah wanita pilihanku," jawabnya. 

"Walaupun kau tidak mencintaiku?" tanyaku lagi. Tak dapat berkedip memandangnya dan mengawasi tiap geraknya. Segala hal tentangnya membuatku berhati-hati meskipun kami sudah melewati malam pertama yang panas malam itu.

Tapi sungguh, aku seperti melewati gerbang surga namun berakhir di neraka ketika melihat apa yang terjadi. 

Mr. Regan memotong roti tawarnya yang tinggal seperempat itu, sambil menjawab pertanyaanku. 

"Apa itu masalah buatmu? Kenapa kau terus menerus mempermasalahkan hal ini?" 

"Kau kira menikah itu main-main?" sinisku. "Atau kau menikahiku hanya untuk kepentingan dirimu sendiri? "

"Misalnya?" Dia meletakkan sendok dan garpu lalu bersedekap memandangku, sedangkan ia masih mengunyah sedikit-sedikit. 

"Kau memanfaatkanku demi kepentingan novelmu. Aku membacanya di laptopmu kemarin, kau meletakkan setiap hal yang kita lakukan, kau..." 

Kalimatku tertahan kala melihat perubahan ekspresinya. Dia meletakkan kedua jemarinya di atas meja, saling mengait. "Kau melihatnya? Kau membacanya?" tanyanya tajam. 

Suasana menjadi kian membeku. Ada aura mengerikan yang terpancar dari sorot matanya dan hal itu membuatku seketika terserang takut. 

"K-kau membiarkan laptopmu menyala, j-jadi---"

Dia menggebrak meja dengan tangan kanannya, membuatku tersentak. "Apa aku pernah mengizinkanmu untuk membacanya?!"

Aku terdiam.

Lalu kudengar dia berkata lagi dengan nada yang terdengar marah. "Apa yang kau inginkan? Bercerai denganku?"

Aku menjilat bibir bawahku lalu menyingsingkan anak rambut ke belakang telinga. Membetulkan posisi duduk agar tegap dan anggun, lalu membalas ucapannya dengan sangat hati-hati, "ayahku tidak akan menganggapku sebagai puterinya lagi jika aku mengecewakanmu. Hanya saja, sejak hari pernikahan kita, aku banyak bertanya-tanya," ucapku sembari memberi jeda untuk melihatnya yang memperhatikanku begitu serius.

Kemudian aku melanjutkan, "Kita bertemu dua bulan lalu malam itu di jalanan Fleet Street. Kala itu kita hanyalah dua orang asing. Aku tengah mabuk, lalu secara tak sengaja kau menemukanku dan berbaik hati mengantarkan aku pulang. Lalu dua hari kemudian, kau datang untuk bertemu dengan ayahku lantas kalian berteman baik selama beberapa waktu. Lalu ... kau melunasi utang keluargaku yang sangat banyak dan meminta imbalan agar kau bisa menikahiku. Alasanmu adalah bahwa kau ingin mengakhiri masa lajangmu dan aku adalah orang yang tepat untuk kau nikahi. Ayah tak bisa menolak, jadi dia menekanku lalu ... aku bersedia menerimanya."

"Lalu apa yang ingin kau jelaskan padaku sebenarnya?" tanyanya. 

"Aku ingin mengatakan bahwa, setelah memikirkan ini semua, aku merasa beberapa hal tampak tak masuk akal."

"Jika begitu, kau ingin mengakhiri pernikahan ini?"

Aku menggeleng."Tidak, bukan begitu." 

Entah kenapa rasanya sulit sekali menjelaskan padanya dengan kalimat yang sesuai supaya dia paham. Aku sungguh kesulitan karena aku tak terlalu mampu merangkai kalimat dengan baik. 

Tetapi aku tetap melanjutkan. "Kau tak mengenal baik diriku, kau tak tahu wanita seperti apa aku ini, demikian diriku. Meskipun aku tahu bahwa kau adalah penulis terkenal, tapi tetap saja aku tak mengenalimu dengan baik. Dan kau tahu, setelah memikirkan semua ini, aku semakin merasa aku hidup di dalam cerita yang kau buat. Di dalam n-novelmu itu. Aku tahu ini konyol, tapi apapun bisa terjadi. Aku bukannya sedang berkhayal, aku berada di dunia nyata dan kenyataannya adalah aku menikah dengan pria sepertimu, Mr. Regan."

Seusai mengatakan hal yang panjang lebar seperti itu, aku menanti reaksinya dan firasatku langsung tak enak. "Cukup aneh ketika kau datang lagi ke rumahku waktu itu hanya untuk mengatakan bahwa kau ingin menikahiku. Maaf, aku hanya ingin semua yang kita lakukan menjadi jelas dan aku berhenti bertanya-tanya mengapa kau menikahi wanita yang baru kau kenali dan yang tak kau cintai."

Suasananya terasa lebih mencekam dibandingkan yang tadi. Mr. Regan bersedekap dengan tatapan seperti ingin mengulitiku. Bagaimanapun memang, kuanggap kami menikah adalah bagian dari takdir. 

Aku adalah wanita yang tak percaya dengan adanya kebetulan di dunia ini. Daripada menghitung-hitung berapa kemungkinan yang bisa terjadi atas pertemuan kami, aku lebih mempercayai bahwa Tuhan inginkan diriku melakukan sesuatu untuk pertemuanku dengan pria ini. 

Hanya saja, apa? 

Apa yang Tuhan ingin tunjukkan padaku? 

Bahwa dia adalah pria yang sulit membedakan mana dunia nyata dan imajinasi? Jika demikian, apa mungkin bahwa pria ini mungkin saja telah gila? 

Tetapi, aku harap aku salah. 

Dia mengambil napas panjang sampai dadanya naik lalu menghelanya pelan-pelan seraya berucap, "Apa aku tampak seperti orang yang suka bermain-main? Jika segitu tak terimanya kau atas keputusanku menikahimu, aku bisa memulangkanmu ke rumah orang tuamu. Kau selalu rewel bertanya hanya karena kau punya hak untuk bertanya, tetapi kau harus tahu tempatmu itu dimana," ucapnya tajam. 

Hatiku tertohok kian dalam. Namun dia masih belum selesai. 

"Aku sudah menjawab pertanyaanmu berulangkali. Ayahmu memberikanmu padaku karena aku hanya inginkan dirimu kali pertama kita bertemu. Apa kau pernah mendengar tentang seekor kumbang bertemu bunga? Anggaplah kita adalah dua perumpamaan itu. Aku tertarik pada bungaku, apa itu salah? jadi berhentilah bertanya, Nona Mayra . Mengerti? semuanya sudah jelas bagiku. Jangan mempersulitnya dengan memikirkan apa yang tidak penting."

Kata-katanya kali ini membuat jantungku berdebar.

Aku dengan pelan mengangguk. "Aku mengerti," lirihku. 

"Dan..." 

Dia masih belum selesai. 

"Kau membaca bab terbaruku?" 

Aku pun gelagapan. "Aku tidak sengaja. Maafkan aku."

"Seberapa banyak yang kau tahu?"

"Aku hanya sekedar melihatnya, sungguh," bohongku. Aku membaca dari bab pertama hingga pada bagian kami yang bercinta. 

Setelah mendengar ucapanku, Mr. Regan melihat arlojinya. Sementara aku melirik pada jam dinding berkepala rusa yang ada di sebelah lukisan Van Gogh-menunjukkan pukul sepuluh dan aku ingat di jam segini, biasanya Mr. Regan akan berjalan-jalan di taman sebelum berada di dalam kamarnya seharian. 

Namun dia berdiam lagi dengan masih bersedekap tangan menatapku. Lantas meraih gelas berisi air minum dan minum tanpa melepaskan atensinya dariku, seolah ia tak dapat mengalihkan diri dan membiarkanku duduk dengan tenang. Sementara aku menanti apa yang akan dia lakukan setelah ucapanku tadi itu. 

Hatiku semakin terlarut pada perasaan tak enak. Dia beranjak dari duduknya lalu menghampiriku. Menarikku untuk berdiri walau aku tentunya kebingungan. 

Ikut denganku, katanya. Dia menarikku yang masih bingung. 

Aku melihat pelayan bernama Adriane memandangku cemas, pun aku sempat melihat Bibi Claire dari pintu dapur. Ada sekitar lima orang pelayan di rumah ini, namun aku hanya sering melihat Bibi Claire, Adriane dan juga Lena. Supir berusia empat puluhan bernama Pak Mark, juga pak Jonathan si penjaga gerbang. Dua lagi, aku sempat lihat ketika awal-awal datang kemari. Namun, aku tidak melihat mereka lagi. 

Kami melewati dapur dan berbelok menyusuri lorong. Sampai kemudian aku melihat  sebuah ruangan berpintu yang  terbuat dari kayu kokoh berwarna cokelat. Mr. Regan menarikku ke sana.

Dia membawaku masuk sehingga aku dapat melihat isi ruangan yang berupa barang-barang tak terpakai yang ada di sudut-sudut. Bau ruangan ini sangat apak akan barang-barang yang sudah lama. Aku terkejut karena Mr. Regan menutup pintunya membuatku spontan berbalik. Tak sempat bertanya dia langsung menarikku ke samping perapian. Aku melihat sebuah pakaian wanita yang telah kotor tertimpa debu di lantai. 

Apa yang akan kau lakukan? tanyaku takut. Dia mengikatku dan aneh saat aku tak menolak dan hanya melihat apa yang dia lakukan. Aku hanya belum mengerti sampai dia menyuruhku berbalik menempel pada dinding yang dingin. Dia meraih sesuatu dari sebuah kotak kayu. Aku mencoba melihat apa yang dia lakukan, namun, tubuhku semakin ditekannya ke dinding. 

Lalu sebuah cambukan membuat tubuhku tersentak, betisku terasa panas dan aku spontan ingin berbalik walau dia masih tetap menekan tubuhku. 

Sakit rintihku ketika dia mengulanginya lagi. Berkali-kali tanpa mengatakan apapun. Hanya suara cambukan yang mengenai kulitku yang terasa sangat perih. 

Aku masih terkejut tentang apa yang terjadi. Serta  aku masih tak mengerti mengapa dia melakukan ini padaku dan mengapa aku harus mengalami hal ini. Selagi dia terus menerus melayangkan pukulan melalui cambuk yang dia gunakan, aku hanya menangis tanpa perlawanan. 

Sampai kemudian aku terjatuh ke lantai dengan tungkai lemah dan sakit. Aku memandangnya nanar dan takut. 

Dia mencampakkan cambuknya dan berjongkok. Sekali lagi, aku benar-benar akan melakukan hal yang lebih daripada ini, katanya. Aku tidak akan membiarkankan siapapun berani melihat hasil karyaku tanpa sepengetahuanku. Karena kau sudah lancang, maka ini adalah hukumanmu. 

Aku merintih namun berkata, Bu-bukankah aku adalah istrimu? Aku hanya tidak sengaja melihatnya. 

Kau masih tetap orang asing bagiku. 

Ucapannya begitu membuatku tertohok. Dia berdiri. Masih memandangku. Tetap di sini sampai kau merenungi kesalahanmu, katanya. Lalu, dia pun pergi begitu saja. 

Aku berdiri melihatnya beranjak membuka pintu dan keluar. Ia menguncinya dari luar dan aku mendekati pintu. Mendengarkan langkahnya yang menjauh. 

Aku menangis lagi. 

***

Aku termenung dalam beberapa waktu, lalu tertidur lagi. Kuluruskan kakiku ketika duduk dan memeriksa keadaan betisku yang penuh dengan luka cambukan. 

Seandainya ayahku tahu apa yang aku alami, apakah dia akan marah dan mengizinkanku untuk pergi dari sini?

Hari sudah sore ketika kulihat keadaan di luar melalui pentilasi. Aku yang barusan bangun dari tidur pun pelan-pelan mencoba mengintip keluar, dan melihat seseorang datang mendekat. 

Aku spontan saja mundur dan menanti siapa yang kini berdiri di depan pintu. Menduga bahwa itu adalah Mr. Regan yang membukakan pintu, tapi ternyata bukan. 

Yang muncul adalah sosok lain. Seorang pemuda asing yang membuatku bertanya-tanya. 

“Siapa kau?” tanyaku. 

Dia masuk ke dalam. Tatapannya tajam namun berikutnya ia tersenyum.

Astaga, apa yang dilakukannya padamu? mengapa dia mengurungmu di sini? tanyanya.

Aku mengerutkan dahi. Dia seperti memahami bagaimana kebingunganku. Maka dari itu dia tersenyum makin lebar. Senyum yang manis. Dia adalah sosok pria tampan dan aku terpana melihatnya. 

"Aku Lucas," dia menghela. Meneliti keadaanku, "Astaga Mrs. Regan. Sejak kapan kau di sini? "

"Sejak pagi," jawabku lirih. 

Aku tersentak ketika ia mengulurkan tangannya menyentuh pipiku, membersihkan debu karena aku tadi sempat tertidur di lantai. "Kenapa dia memperlakukan wanita seperti ini? kemana hati nuraninya? "

"Kenapa kau di sini?" tanyaku setelah dia menarik tangannya lagi. 

"Aku? aku sedang---"

“Lucas!”

Tiba-tiba suara Bibi Claire menginterupsi ucapannya. Kami sama menoleh pada sosok Bibi Claire yang muncul di pintu.

"Ibu, hai!"

Bibi Claire membeliak menatapku. Dia masuk dan meraih tubuhku dan membersihkan tubuhku yang kotor.

"Astaga Mrs. Regan, dia melakukannya juga kepada Anda?!"Bibi Claire tampak sangat khawatir.  "Kapan dia akan berhenti melakukan ini?" kesahnya. 

Aku mengerutkan dahi.

Ucapannya secara tak langsung memberitahuku bahwa apa yang dilakukan Mr. Regan mestinya sudah kerap kali terjadi. Lalu kini aku lah yang mengalaminya. 

Bibi Claire melihat Lucas lagi.

Tunggu, apakah tadi Lucas ini memanggilnya ibu?

Apakah Bibi Claire  aku melihat keduanya bergantian. "Apakah ini putera bibi?"

"Ya, ini puteraku. Aku sudah sering membicarakanmu kepadanya." Bibi Claire tersenyum. Begitu  pula Lucas. Dia seperti pemuda yang sangat santai, ceria dan membawa aura yang bagus. 

"Salam kenal, Nyonya Mayra  yang cantik."

“Regan, ralat ibunya."

"Oh, ya, Mrs. Regan. Hehe."

"Kapan kau datang?" tanya Bibi Claire. 

"Barusan saja. Terus aku penasaran. Tadi, Adriane bilang bahwa Mrs. Regan sedang dihukum oleh Mr. Regan. Sebenarnya aku juga mau menemui Mr. Regan. "

"Jangan mengganggunya," peringat Bibi Claire. 

Lucas mencebik. "Apa dia sungguhan orang?" protes Lucas. Dia tampak kesal. Lucas melihatku. "Mrs. Regan sangat sial menikahi pria seperti dia. Kupikir dia tidak akan menikahi wanita manapun. Tapi sepertinya dia benar-benar serius ingin balas dendam."

"Jaga bicaramu, Lucas." Bibi Claire menatap Lucas tajam sampai puteranya tampak takut. "Tunggu ibu di mobil."

"Apa ibu sudah bilang padanya kalau mau pergi?" tanya Lucas. 

"Sudah," jawab Bibi Claire. "Ibu izin selama beberapa hari. Sekarang pergi dan jangan buat kegaduhan lagi. Dia akan sangat marah jika melihatmu. Ibu mau mengurus Mrs. Regan dulu."

Lucas mencebik.  

"Terima kasih sudah menolongku," ucapku pada Lucas. "Dan bibi, aku tidak apa-apa kok kalau sendirian. Bibi bisa langsung pergi jika memang harus pergi sekarang."

"Tapi sudah tugas saya," protesnya. 

"Tidak mengapa," balasku. 

Bibi Claire menghela napas. Dia memegang pundakku, "Saya akan bicara pada Lena, biar dia yang akan mengurus Anda selama beberapa hari ini. Tidak apa-apa, kan?"

"Tidak kok." aku tersenyum semanis mungkin. 

Lalu kemudian, Bibi Claire menyuruh Lucas 

keluar dan menunggu di mobil, sedangkan aku diantar 

hingga ke  kamar

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status