Share

My Fierce Secretary
My Fierce Secretary
Penulis: R_Quella

BAB SATU~First impressions

Helaian rambut cokelat tua wanita berparas cantik itu berayun, seiring langkah kaki yang terbalut high heels mahal di kedua kaki jenjangnya berdecit dengan lantai marmer pusat perbelanjaan ternama kota New York City—bersamaan dengan kedua tangannya menenteng beberapa paper bag dalam berbagai ukuran yang berbeda.

Namanya Alessia Mikhayla. Wanita berperawakan tegas dengan alisnya yang tebal, hidung mancung juga bibir kecil merah mudanya. Cantik nan memesona. Setidaknya, begitulah tanggapan orang-orang tentang dirinya.

Alessia merupakan anggota secret agen rekrutan departemen Central Intelligence Agency (CIA). Tidak ada yang mengetahui profesinya, termasuk keluarganya. Alessia menutup identitas sebagai pasukan grup GK yang tak lain adalah Girls Knight sebagai keamanan privasi.

Girls Knight sendiri beranggotakan empat wanita cantik termasuk Alessia—penembak jitu, setidaknya itu julukan dari rekan tim-nya. Dan tiga di antaranya ada; Arabella Alison—si pintar menggunakan benda-benda tajam, lalu ada Keira Sashenka—si pemanah handal, dan yang terkahir ada Velove Agneiszka—jagoan andalan Girls Knight. Selain mereka tergabung menjadi satu anggota, mereka juga menjalin persahabatan. Bahkan sejak kecil. Bisa dikatakan ... Mereka adalah ksatria wanita dalam organisasi yang menjunjung tinggi nilai solidaritas.

Bola mata biru Alessia menelisir—sibuk memilah beberapa tas yang terpajang cantik dalam estalase hingga pilihannya jatuh pada sebuah tas merah metalik merek Chanel terbaru. Setelah mendapatkan pilihannya, Alessia bergerak menuju kasir kemudian membayar dan sepasang high heels itu kembali berjalan anggun meninggalkan toko kemudian berhenti ketika sampai di lobby pusat perbelanjaan.

Ara is calling...

"Fuck you, Ale! Aku sudah menunggumu hampir limabelas menit! Jika kau masih lama, cari taksi saja!"

Suara Arabella terdengar marah. Tanpa sapaan dan basa-basi seperti biasanya. Alessia sedikit menjauhkan ponselnya sebelum menarik bibir, menahan kedutan di ke dua sudut bibir yang pada akhirnya tetap menampilkan senyum. "Calm down, Babe. Limabelas menit, apanya yang lama?" kekehnya tanpa rasa bersalah.

Cebikan Arabella terdengar di ujung sambungan. Alessia yakin, perempuan itu pasti tengah menyiapkan serentetan umpatan untuknya begitu dia sampai. "Kau jelas tahu aku benci menunggu!" gerutunya.

"Alright." senyum Alessia mengembang. "Look, arah jam enam." ucap Alessia memberi instruksi. Ia mengerling begitu Arabella menoleh sambil memelotot tajam kearahnya. Sayangnya, Alessia sudah kebal dan dia tidak terpengaruh sama sekali dengan apa yang coba Arabella perlihatkan padanya.

Tatapan jijik Arabella tampak sangat kentara begitu Alessia mendekat. Dari kejauhan Alessia tahu Arabella kesal tetapi sekali pun begitu Alessia tetap tidak menaruh simpati. Benar-benar pertemanan yang luar biasa.

"Wajahmu membuatku takut," suara Alessia terdengar begitu pintu samping kemudi terbuka, ia mengulas senyum manis sembari meletakkan belanjaannya pada kursi belakang tanpa mengalihkan Arabella yang bergegas meninggalkan pelataran.

"Setan cilik. Senyummu mengatakan sebaliknya, sialan!"

See....

Tawa rendah Alessia mengudara mendengar balasan Arabella, membenarkan kalimatnya. Senyap. Sejenak keheningan menyelimuti mereka. Alessia sendiri tidak peduli dengan memilih melempar pandangan ke luar jendela. Hiruk-pikuk lalu lintas sejenak mengambil alih perhatiannya.

Sudah berlalu lama... Batinnya menggumam.

"Kapan kau akan berhenti melakukan kebiasaan burukmu itu, Ale?" Alessia memperhatikan Arabella yang sedang mengamati belanjaannya di kursi belakang melalui kaca spion. "Kau harus mengingat kalau sekarang ini kau hidup sendirian."

"Masih ada kalian," sergah Alessia tidak peduli.

"Pertanyaannya, sampai kapan?" teguran itu terdengar serius sekali pun pandangan Arabella masih terfokus pada jalanan kota. "Kau jelas tahu arah semua ini."

Sesaat, Alessia merasakan dadanya menyempit. Benar. Mau sampai kapan? Pertanyaan itu terus terulang, menumpuk dan berakhir tidak menemukan jawaban seperti yang sudah-sudah. Alessia tidak tahu dengan pasti tapi saat ini, setidaknya untuk saat ini biarkan dia melewati jalan yang sudah ia pilih. "Jangan ingatkan aku tentang itu, Ara. Kau jelas mengerti diriku, bukan?" jawab Alessia berusaha santai. Tampak terlihat sekali dia menghindari topik ini.

Arabella melirik Alessia malas. Bergerak lambat ketika berhenti di lampu merah. Kali ini Arabella benar-benar memusatkan perhatiannya pada Alessia. "Pada kenyataannya kau memang perlu diingatkan mengenai hal itu, Ale. Listen, kau harus belajar hemat atau kau akan menjadi miskin dalam waktu dekat jika terus melakukan kebiasaan burukmu itu." ucap Arabella serius.

Lantas, seperti biasanya. Alessia hanya memutar bola matanya untuk menanggapi segala jenis komentar teman-temannya. Sekilas dia terlihat tidak peduli padahal sebanarnya ia juga sedikit khawatir tentang apa yang Arabella katakan.

"Kau punya saran?"

Jemari Arabella meraih kertas kecil di dashboard mobilnya lalu mengulurkannya pada Alessia sembari kembali mengalihkan atensi ke depan ketika lampu berubah hijau.

Kartu nama.

Alessia menerimanya.

Albyazka Stevano.

Sebelah alis Alessia terangkat. Stevano? Jika tidak salah mengingat, Stevano International merupakan perusahaan property terbesar yang sudah berhasil mendirikan banyak perusahaan anak cabang dengan perkembangan sama pesatnya di tiap negara. Bisa dibilang, Stevano International merupakan perusahaan inti yang sudah merambat dalam pasar internasional terbesar saat ini.

"Kudengar saat ini perusahaan mereka sedang mencari sekertaris. Gajinya lumayan besar dan tentunya kau tidak harus kembali hanya untuk mengemis uang belanjaan." Arabella menjelaskan sirat dengan cibiran pada akhir kalimatnya.

Wajah Alessia tertekuk, tidak terima. Kembali melihat kartu nama di tanganya sebelum memasukkannya ke dalam tas. "Akan kupikirkan," Alessia menghela napas panjang sambil memejamkan matanya. "Lagipula, kembali hanya untuk uang bukanlah tipeku."

"Aku bahkan tidak yakin mengingat kebiasaanmu." cibir Arabella terang-terangan. Membuat Alessia mendengus namun, juga tidak memungkirinya.

Alessia sadar diri kalau kebiasaan belanja dalam hidupnya sudah mendarah daging. Besar dengan lingkungan serba berkecukupan membentuk pola hidup tidak sehat yang bersarang pada dirinya. Belanja, belanja dan belanja. Hanya itu kegiatan harian Alessia jika tidak sedang dalam tugas.

Well, setidaknya itu dulu. Hampir satu tahun belakangan ini Alessia beberapa kali menghemat meski tidak bisa dikatakan berhasil karena selalu gagal di hari ke-tiganya. Jadi, untuk apa pun itu Alessia sama sekali tidak berniat mengoreksi.

Biarlah ... Karena itu memang kenyataan.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk mereka sampai di sebuah cafetaria tempat perkumpulan Girls Knight biasanya. Alessia membuka pintu mobil seraya bersenandung kecil, tampak percaya diri dan mulai melangkah masuk. Binar matanya sangat kentara seakan mengatakan bahwa ia memang tengah merasa senang.

"Well, biar kutebak, kau pasti habis menguras isi dompetmu. Right?" Keira mencibir ketika Alessia baru saja sampai di meja mereka. Binar keceriaan dari raut wajah Alessia sangat mudah di tebak. Begitu responsif.

Alessia merupakan sosok moody-an. Mudah merasa senang dan sedih di saat bersamaan.

Alessia mengendik acuh seraya menarik kursi di sebelah Velove yang tampak biasa saja. Memang di antara mereka berempat, Velove Agnieszka memang lebih pengertian hingga mengetahui segala hal berkaitan mengenai mereka. Bisa di katakan ... Hal semacam ini sudah biasa. Sangat biasa.

"Jika bukan sahabatku, aku tidak akan sudi menungguinya." dengus Arabella mengambil duduk di samping kiri Keira.

Alessia tertawa riang. "Sekali-kali kau juga harus tahu rasanya menunggu, Ara."

"Aku hampir bosan melakukannya dulu."

"Yeah, Jangan ungkit. Kita bicara saat ini. Artinya sekarang, bukan dulu."

"Terserah."

"Bodohnya, dia tidak pernah menyadarinya. Di sakiti berkali-kali tapi masih memilih bertahan. Satu kata untuknya...." sahut Keira yang langsung disambut Alessia dan Velove bersamaan.

"I.d.i.o.t." ucap mereka serentak.

"Sialan! Jangan ungkit lagi. Membuatku mual saja!" kesal Arabella diiringi tawa geli dari mereka bertiga.

"Kau harus tahu sebodoh apa dirimu dua tahun lalu, Ara. Kolot dan keras kepala. Sangat memuakkan." cibir Alessia masih dengan kekehan yang terpantri di wajahnya.

Arabella tidak menanggapi. Ia hanya mendengus. Merasa jengkel dengan bahasan mereka yang menurutnya sangat kekanakan. Demi Tuhan .. Masing-masing dari mereka jelas sangat tahu mengenai aib masing-masing. Pembicaraan semacam ini sangat tidak berguna.

"Ada lagi...." Velove memberi jeda, menarik perhatian mereka hingga memusatkan atensi padanya sepenuhnya. "Ada seorang yang lebih keras kepala dengan menuruti hobinya di saat keuangannya berada di ambang kemiskinan. Childish."

Velove nyaris terjungkal begitu kursi yang di dudukinya menggeser sebab terjangan kaki Alessia. Tawa riuh seketika memenuhi meja, terdengar sangat menyebalkan tapi sayangnya, hal seperti ini selalu terulang. Menjahili, memaki, bertengkar hingga tetap saling support. Bukankah memang seperti ini fungsi seorang teman? Saling mengisi bukan saling menjatuhkan.

Ke-empat perempuan hebat ini selalu melakukan hal main-main hanya untuk sekedar bersenang-senang tanpa berniat menyakiti.

Beruntungnya, mereka masih bisa dengan baik mengontrol nada suara hingga tidak terdengar yang lain.

Alessia mengacungkan jari tengahnya sambil berkata. "Fuck you, Vee!" katanya pelan namun, penuh penekanan.

Sesaat meja mereka menjadi pusat perhatian ketika lagi-lagi tawa riuh memenuhi meja. Selain dari paras cantik mereka yang sudah mencuri perhatian, tawa lepas mereka mampu membuat kaum Adam sekitar terpana, lain hal dengan para wanita yang menatap mereka seolah merasa sangat terganggu. Mereka mengabaikannya—memilih tidak peduli sembari melanjutkan ejekan satu sama lain.

Sementara itu, di pelataran cafetaria sepasang kekasih terlihat tengah saling melempar argumen. Tidak peduli orang-orang yang berlalu-lalang, kedua orang dewasa itu masih saja saling berdebat.

"Kau tidak mengerti bahasaku? Aku tidak tertarik denganmu." kata sang pria dengan suara tegas.

Yeah, sedikit koreksi. Mereka bukan sepasang kekasih.

Wanita pirang itu menggeleng pelan—menolak percaya. "Kau selalu begini, menolak semua wanita yang berusaha mendekatimu." ucapnya mengambil asumsi.

"Terserah apa katamu, aku tidak peduli. Yang perlu kukatakan adalah ... Menjauhlah dariku. Ingat ini dalam kepala cantikmu, Aku sama sekali tidak memiliki perasaan padamu. Bahkan, melirikmu saja aku enggan. Sampai di sini kuharap kau bisa mengerti."

Sakit. Mengapa rasanya masih begitu menyakitkan?

"Kau egois, Alby! Kau memaksaku untuk mengertimu tapi, kau? Kau bahkan sama sekali tidak peduli tentangku!"

Benar. Dia Albyazka Stevano. Pria tampan dengan sejuta pesona itu selalu memiliki cara menghancurkan perasaan para wanita yang mengaguminya. Alby tidak pernah benar-benar merasa tertarik pada seorang wanita. Menurutnya, memiliki wanita di hidupnya hanya akan menghambat kebebasannya.

Nyaris semua wanita yang selalu mengejarnya, terlihat seperti benalu bagi Alby. Mudah di dapatkan sekaligus membuatnya mudah bosan. Dan tentunya Alby tidak menyukai waktu berharganya terbuang sia-sia karena seorang wanita. Dia tidak akan membiarkan itu terjadi pada dirinya seperti apa yang sahabatnya—Axelle Wynne alami.

"Kenapa aku harus?"

Sesaat, keduanya sama-sama terdiam. Wanita pirang itu kehilangan kata-kata lalu, kemudian ia berusaha tegar, bersusah payah menyusun pertanyaan-pertanyaan yang mungkin saja terjadi. "Apa kau memiliki seseorang di hatimu?"

"Bukan urusanmu."

"Aku perlu tahu! Kau tiba-tiba memecatku hanya karena aku menyatakan perasaanku. Selama ini ... Hanya ada aku. Lalu, kenapa? Jika itu karena seseorang aku sudah pasti tida—"

"Ya. Aku memiliki seseorang dalam hatiku dan, tentunya itu bukan kau. Tidak ada alasan lain." sela Alby yang tidak membiarkan mantan sekertarisnya itu menyelesaikan ucapannya.

"Bohong!" sergahnya.

"Kau yang menolak memercayainya."

"Bagaimana bisa? Aku bahkan tidak pernah melihat wanita lain di sisimu selain Elena."

"Benar. Aku memang sengaja menyembunyikannya dari publik karena aku tidak suka milikku di lihat orang lain."

Wanita pirang itu terkekeh, antara kecewa dan tidak percaya. Keduanya mendominasi. "Kau berbohong lagi...." lirihnya.

"Aku, tidak. Wanitaku terlalu berharga hanya untuk di pamerkan pada publik. Dia milikku, lalu apa urusannya dengan publik mengenai itu?"

Kedua tangan wanita itu mengepal di antara tubuhnya. Malu sekaligus terluka. Ia tidak pernah membayangkan jika dirinya akan ditolak seperti ini. Setelah meyakinkan dirinya untuk mengakui perasaan yang ia simpan hampir lima tahun lamanya, ini ... Adalah hal terakhir yang ada dalam bayangannya selama ini. Dan Alby berhasil menjatuhkannya—menghancurkannya tanpa sempat memberinya kesempatan untuk memulai.

"Kenapa bukan aku?" wanita pirang itu mengusap sudut matanya yang berair, terdengar putus asa. Lalu, senyumnya muncul, tampak sekali di paksakan. "Well, jika memang benar. Kenalkan dia padaku." pintanya.

Tepat pada saat yang bersamaan Alessia berjalan melewati mereka, tidak peduli dengan pertikaian kedua orang di sana dan sejujurnya Alessia tidak pernah menyangka ciuman pertamanya hilang begitu saja ketika lengannya tiba-tiba di tarik mendekat. Alessia terkesiap, tidak percaya dengan apa yang terjadi padanya begitu embut dan hangat bibir pria gila yang menarik lengannya kini menyapu bibirnya.

Sialan! Apa yang terjadi di sini?

Lidah Alessia kelu, bahkan Alessia memgumpati dirinya sendiri yang mendadak lemah hanya dengan sebuah ciuman tidak berdasar.

"Sudah kukatakan sebentar lagi. Kenapa kau tidak sabaran, Darling?" ucap Alby lembut sembari melingkarkan lengannya pada pinggang Alessia. Menyadarkan perempuan itu dari keterkejutannya.

"Bedebah! Apa yang kau bicarakan, huh?!"

Kedua lesung pipi Alby terbentuk begitu bibirnya tertarik, membentuk senyuman manis lengkap dengan tatapan penuh cinta di sana. "Tak apa. Kau tidak perlu berakting lagi."

Mual seakan mendera Alessia mendengar nada manis yang keluar dari bibir pria di depannya. Senyum tanpa dosa, tatapan tanpa rasa bersalah bahkan tidak ada permintaan maaf. Wajah Alessia memerah padam, bersiap menyumpah serapahi pria gila itu tapi Alby lebih dulu menghentikanya dengan kembali memberi ciuman singkat di bibir. "Dia perlu tahu sosok wanitaku. Jadi, kenapa aku tidak memberinya kesempatan 'kan?"

"Kau ... Dasar gila! Lepaskan aku, Bedebah!"

Suara isakan sontak membuat Alessia mengalihkan atensi pada wanita pirang yang sedari tadi memperhatikan mereka nyaris tanpa kedip. Tatapannya rapuh, antara putus asa, kecewa dan malu. Tergambar jelas di wajahnya.

Ah, sekarang Alessia tahu. Pria gila yang tengah memeluknya ini sudah pasti menolak wanita itu dan menjadikannya sebagai tameng. Hebat sekali.

Benar-benar sialan!

Tanpa mengatakan apa-apa wanita pirang itu bergegas pergi. Ia berlari kecil menuju sebuah mobil audy yang terparkir tidak jauh dari mereka.

Tepat begitu Alby menoleh, satu tamparan mendarat sempurna di pipinya. Alby baru hendak membuka bibir untuk protes ketika Alessia lebih dulu kembali menamparnya.

Dia Alessia Mikhayla. Siapa pun tidak boleh sembarang menyentuhnya apalagi pria asing.

"Asshole!" umpat Alessia berjalan melewatinya.

Alby berkedip dua kali.

Dia baru saja ditampar? Dua kali? Oleh seorang wanita?

Tidak bisa dipercaya.

***

Seri ke-2 Girls Knight series | Arabella Alison & Keenan Maxfield 

Judul : Lovely BASTARD / bisa temui dengan cara klik profil penulis R_Quella 

*Kisah seorang player yang bertemu dengan lelaki Casanova di tengah keterpurukannya akibat pengkhianatan mantan kekasih*

Nama Keenan Maxfield sudah terkenal dengan berita mengenai sepak terjangnya pada dunia malam, bermain dengan banyak wanita hingga di juluki Casanova. Tertarik pada seorang perempuan yang juga terkenal dengan gelar player yang di miliknya, siapa lagi kalau bukan Arabella Alison—seorang secret agent dengan sejuta pesona.

Pertemuan keduanya cukup terbilang unik karena pada awal pertemuan, Ken yang pada saat itu menemukan Ara di kelab dengan kondisi mabuk berat, berniat membawa perempuan itu bermalam sebagai penghangat ranjangnya tapi yang terjadi malah Ken mendapat tamparan dan berakhir merelakan malam panjangnya untuk menenangkan Arabella yang tengah terisak sambil mengoceh tidak jelas. Parahnya lagi, pagi hari ketika Ken terbangun, Arabella sudah pergi meninggalkannya seorang diri dengan hanya di temani selembar cek dan japitan rambut yang dia letakkan di atas meja. 

Satu tahun kemudian, pada acara malam pesta kliennya, Ken kembali bertemu dengan Arabella. Dan ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi membiarkan Arabella pergi meninggalkannya seperti kejadian di Swiss satu tahun yang lalu. Terhitung mulai dari pertemuan kedua mereka, segalanya berubah. Satu malam yang mampu menjungkir balikan keadaan juga perasaan emosional keduanya hingga sampai pada di level tertinggi ingin saling memiliki.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status