Share

BAB ENAM ~ Chaos at the bar

BAB ENAM ~ Chaos at the bar

"Want, me?" 

"You hear me well," 

Senyum nakal Alessia tersungging begitu suara rendah Alby terdengar. Ia bergelayut manja di lengan Alby dengan satu tangannya yang lain mulai menyentuh dada bidangnya yang lebar, mengusapnya dengan lembut dan perlahan. Membelainya dengan gerakan menggoda. 

"Memohonlah...." 

Sebelah alis Alby naik, menatapnya bertanya. "Sorry?"

Alessia terkekeh merdu. Melepaskan lengan Alby darinya dan mulai berjalan menjauh dari kerumunan dengan langkah terseok. Kepalanya berdenyut, pusing memenuhi dirinya. Kemudian Alessia kembali ke kursi yang sempat di tempatinya beberapa saat yang lalu, melipat tangannya ke atas meja lalu menidurkan kepalanya di sana. 

Diam-diam, Alby membuntutinya. Ia duduk di samping Alessia dan berniat meraih perempuan itu lagi hingga Alessia terduduk di atas pangkuannya. 

Alih-alih mengelak, Alessia malah menyandarkan kepalanya pada dada bidang Alby yang kokoh. Kehangatan melingkupinya begitu lengan Alby melingkar sempurna di pinggangnya. Alessia semakin meringsek ke dalam pelukan Alby, mencari-cari tempat ternyaman untuknya tidur. 

Alessia pusing. Kepalanya benar-benar berat. Rasanya, dia hanya ingin pulang lalu tidur. Ke mana perginya teman-temannya yang lain? Alessia tidak peduli lagi begitu merasakan tubuhnya terangkat. 

Siapa yang menggendongnya? Alessia juga tidak peduli lagi apalagi beberapa saat setelah itu dia merasakan lembutnya sprei di bawah kulitnya. 

Kamar, huh? 

Dengan susah payah, Alessia mengangkat wajahnya dan seketika wajah Alby terlihat jelas di depannya, begitu dekat hingga Alessia bisa mencium bau maskulin bercampur parfum mahal yang di pakai pria itu. 

Alby mengumpat pelan begitu satu tamparan mendarat di pipinya. 

Wanita sialan! 

"Berengsek!" wajah marah Alessia tiba-tiba saja berganti dengan seluas senyum. Ia menggeleng pelan. "Harusnya waktu itu aku tidak hanya menghancurkan kaca mobilmu, kau memang perlu tamparan." Alessia menggumam tidak jelas, menggeleng lagi lalu tertawa entah karena apa. 

Lagi-lagi Alby terkejut begitu Alessia meraih wajahnya dan menciumnya dengan keras. Ciuman tergesa itu kembali berakhir dengan cepat seperti tamparan tangan mungil itu beberapa saat lalu. Menggebu hanya untuk beberapa saat. Pandangan Alby terpusat penuh pada bibir merah Alessia yang bengkak, bukti ciuman penuh gairah mereka di lantai dansa. Melihat wajah damai yang terpejam di bawahnya tanpa sadar membuat Alby tersenyum. 

Alessia benar-benar mabuk parah. Mungkin, dalam pikiran perempuan itu dirinya bagaikan nyata dan tiada di saat yang sama. Sama tidak sadarnya seperti ketika dia menampar lalu menciumnya setelahnya. 

Jemari Alby mengusap pipi Alessia lembut, merasakan halus kulit putihnya. "Ale," bisik Alby di samping telinga, meniupnya sejenak lalu kembali membawa bibirnya pada bibir Alessia. 

Hanya sebenar, karena setelah itu Alessia mendorong Alby menjauh. "Pergi," katanya pelan dengan mata yang masih terpejam. "Tinggalkan saja nomor rekeningmu di atas meja. Aku akan membayarmu nanti." 

Apa katanya?! 

"Ah, jangan lupa kunci pintunya." 

Wanita ini... 

Tanpa mengatakan apa-apa, Alby kembali menindih Alessia, menciumnya sekali lagi. Kali ini, Alby tidak membiarkan tangan mungil Alessia menghentikannya, pria itu menguncinya di atas kepala tanpa melepaskan pagutannya. Seketika, Alessia membuka matanya kembali. 

Mata sayu, bibir bengkak dan pipi merahnya adalah perpaduan paling seksi yang pernah Alby lihat. "Kau tidak bisa seenaknya padaku, Darling." 

Tawa geli Alessia mengudara. Ia tersenyum geli begitu berhasil melepaskan tangannya dari cekalan Alby, menyentuh rahang pria itu dengan gerakan menggoda. "I can, who will stop me?" Alessia kemudian menciumnya sekali lagi, hanya kecupan singkat dan ia kembali tersenyum. "Sudah cukup." 

Alby menaikkan alis. "Apa maksudmu?" 

"Kau tidak dengar? Cukup. Artinya berhenti. Aku tidak akan melakukan hal lain selain berciuman." gumam Alessia menjelaskan. "Tinggalkan saja nomor rekeningmu." katanya mengulang perkataannya sekali lagi. 

"Buka matamu, Darling. Kau perlu melihat siapa aku untuk kembali mendiskusikan tentang uang." 

"Tidak perlu repot-repot, aku tidak peduli kau siapa." 

Dan Alby yakin Alessia sudah tidak lagi mengingatnya. Mabuk membuatnya kehilangan kesadaran diri. "Kau bisa menggunakannya untuk orang lain. Tapi tidak padaku." 

Alessia terkekeh pelan. "Tidak terkecuali, Boy. Kalian satu spesies." 

Alby menggeram pelan. "I don't need your consent," lalu, Alby kembali mengunci tangan Alessia di atas kepala. Kembali menciumnya menuntut, lebih dalam dan penuh gairah. 

Alessia berusaha menghindar, namun Alby sama sekali tidak memberikannya kesempatan. Pria itu terus mengukungnya dengan kedua lengan, tidak memberi Alessia ruang untuk menghindarinya. Alessia bahkan bisa merasakan otot-otot keras lengan Alby bergesekan dengan tubuhnya. Membuatnya meremang seketika. 

Sialan! Ini tidak benar. 

Di sisa kesadarannya, tanpa aba-aba Alessia menggigit bibir Alby kuat lalu menghantamkan keningnya ke kening Alby hingga pria itu melepaskannya. 

Alby menatapnya jengkel sambil mengusap pinggiran bibirnya yang berdarah. 

Wanita ini benar-benar, ya! Sadar mau pun tidak sadar dia tetap wanita bar-bar. 

"Kau!" Alby meraih wajah Alessia—tangan kasarnya menyentuh pipinya lembut, membuat Alessia mengeliat tidak nyaman. Nyaris, bibirnya hampir saja menyentuh bibir Alessia tapi perempuan itu lebih dulu memuntahkan isi perutnya pada kemeja Alby. Bahkan, muntahannya juga mengenai gaunnya sendiri. Dengan segala umpatan yang ada, Alby menyumpah serapah. Apalagi begitu tatapannya jatuh pada Alessia yang kembali berbaring—tertidur seperti orang tidak punya dosa. 

Selesai membuka celana beserta kemejanya hingga hanya menyisakan celana bokser ketatnya saja, Alby bergegas mendekati Alessia yang sudah benar-benar tertidur pulas. 

Bagaimana bisa wanita ini tidur setelah membuat kekacauan? 

Alby menarik napas tajam lalu membuangnya perlahan. Mengulanginya beberapa kali sebelum kemudian membantu Alessia bangun, menurunkan resleting gaunnya dan melemparnya asal. Sialan! Dia membutuhkan pelepasan dan wanita ini dengan seenaknya menyiksanya! 

Tatapan Alby terpusat pada Alessia dan seketika ia terpana. Jankunnya naik turun begitu matanya mengikuti leluk tubuh Alessia yang molek berisi. Bra merah menyala lengkap dengan celana dalam yang senada membungkus tubuh bagian Alessia yang berisi. Alby menelanjangi tubuh Alessia dengan matanya—menatapnya lapar. 

Tampilan Alessia benar-benar menipu. Dari luar, Alessia tidak tampak seperti perempuan dewasa tapi jauh di dalamnya tubuh Alessia benar-benar matang. 

Harus berapa kali lagi dia mengumpat untuk semua keindahan ini? Rasanya sangat menyiksa. Dia bisa melihat, bisa juga menyentuhnya tapi Alby tidak akan berani lebih dari itu. Dia tidak mungkin melampiaskan nafsu binatangnya pada perempuan mabuk, parahnya lagi, Alby yang dibuat mabuk kepayang dengan semua yang ada pada diri Alessia. Membuat bagian bawahnya berkedut menggila di bawah sana. 

Helaan napas panjang Alby kembali terdengar. Sebanyak apa pun dia melakukannya, itu sama sekali tidak membantu. Dengan napas berat Alby menidurkan Alessia kembali, memperhatikannya sekali lagi dan kembali mengembuskan napas kemudian menyelimuti Alessia yang hanya mengenakan dalaman. 

"Well, semua wanita harus tahu seberapa gentlenya aku." gumamnya berlalu ke kamar mandi dan tiga puluh menit setelahnya Alby baru kembali. Ia menatap Alessia sebentar lalu ikut berbaring di sampingnya. Sebelum benar-benar tidur, Alby meraih ponsel dan menyempatkan diri mengambil beberapa foto dengan Alessia lalu memeluknya hingga benar-benar terlelap. 

Sementara itu, di ruang tengah apartemen basecamp Girls Knight, Keira berjalan mondar-mandir sambil menggumam tidak jelas, menggigiti ujung kukunya gelisah. Arabella sendiri hanya duduk diam sembari menyilangkan kakinya, menatap serius ponsel yang dia genggam. 

"Ya, Tuhan ... Kau sukses membuat kami khawatir, Ale." desis Arabella menyugar rambut pirangnya ke belakang dengan mata terpejam. Gurat wajahnya terlihat lelah—tentu saja. Mereka baru akan pergi tidur sebelum menyadari bahwa Alessia tidak bersamanya. 

Setelah sibuk meneleponya hingga mencarinya kembali ke kelab, mereka masih tidak dapat menemukan Alessia. 

"Kenapa kau tidak coba melacaknya, Kei?" 

Velove menatap Keira yang seketika berhenti saat menyadari sesuatu. Mereka selalu memakai kalung yang sudah di lengkapi alat pelacak. Dan, mengapa mereka bahkan tidak menyadarinya sedari awal? 

"Kenapa kau tidak mengingatkan sedari awal, Vee! Menyebalkan." Keira menggerutu sembari mulai mengoperasikan ponselnya. Mencoba melacak keberadaan Alessia lewat aplikasi yang dia buat sendiri. 

"Aku juga baru ingat." Velove mendengus. "Lagipula itu tugasmu. Seharusnya kau lebih antipati masalah seperti ini." 

Keira mendelik, menatap Velove sinis. "Kita satu tim. Saling mengingatkan itu sebuah kewajiban. Juga, jangan lupakan bahwa aku masih manusia, lupa termasuk hal wajar." sanggahnya. 

"Dan kau bahkan tidak sadar padahal sudah lewat satu jam lebih." 

"Stop, it! Kita hanya perlu menemukan keberadaannya. Berhentilah bertingkah seperti anak bocah. Childish." sentakan Arabella seketika membuat mereka langsung bungkam. 

Beberapa waktu berlalu. 

Sepuluh detik... 

Limabelas detik... 

"I found it." gumamnya diiringi helaan napas lega. 

***

Gumpalan gelap membawa kesadaran Alessia kembali pada kenyataan. Mimpi buruk. Mengapa tiba-tiba saja Alessia memimpikan bedebah sinting Albyazka menciumnya sepanjang malam? Dari tatapan lapar lengkap dengan umpatan seakan berdegung dan menyatu dalam kepingan gumpalan gelap yang baru saja hilang. Alessia membuka matanya secara perlahan. Dinding putih dan bau maskulin asing seketika menyapa indera penciumannya begitu kesadaran mulai mengambil alih. Kening Alessia mengernyit dalam, Ini bukan kamarnya. 

Di mana ini? 

Alessia memijat pelipisnya begitu pusing kembali mendera. Sepertinya, dia terlalu banyak minum semalam. Terlepas dari itu, Alessia mulai mencoba menginggat kepingan ingatan yang terjadi semalam; Perkumpulan Girls Knight, menari, hingga minum sampai mabuk. Selebihnya Alessia tidak mengingatnya. Alessia mencoba bergerak namun tertahan dengan sesuatu yang terasa berat di perutnya, lengkap dengan lengan kekar yang menjadi bantal Alessia. 

Aneh. 

Alessia mulai merasakan kejanggalan di sini. Apalagi ketika ia merasakan deru napas teratur yang menerpa tengkuk lehernya—membuatnya segera mengangkat wajah dan seketika mata birunya membola dengan bibir terbuka mendapati dirinya tertidur dengan seorang pria.

And wait... 

Pria ini... 

Gumpalan ingatan gelap itu menyentak kesadaran Alessia. Tanpa sadar ia berteriak hingga membuat pria itu terbangun dan terduduk dengan rasa terkejutnya. "Albyazka Stevano?!"

Pusing. Akibat bangun tergesa membuat darahnya seketika mengumpul tidak beraturan. Dengan bingung Alby mengernyit, menatap Alessia kesal. 

Mengabaikan tatapan Alby, Alessia segera merunduk—mengintip dari balik selimut dan kembali memekik menyadari dirinya hanya mengenakan bra dan celana dalam saja.

What?

Bra dan celana dalam?!

Alessia beringsut mundur, menarik selimut guna menutupi tubuhnya sambil memelotot. Mata birunya berkilat marah, menatap Alby dengan tatapan horor. "Bedebah! Apa yang sudah kau lakukan padaku?!"

"Memang apa yang sudah kulakukan?" Alby balas menatap Alessia tajam. "Seharusnya kau tanyakan itu pada dirimu sendiri!"

Sungguh ... Mengingat kejadian semalam hanya membuat Alby mati-matian menahan umpatan. Ah! Alby merasa frustrasi memikirkannya. 

Alessia menelusuri ruangan dengan tatapan menilai. Hendak bicara namun kesulitan menemukan kata-kata yang pas. 

Alby sendiri lebih memilih memijat kepalanya. Demi Tuhan, dia baru bisa benar-benar tidur dalam dua jam terakhir dan perempuan bar-bar ini sudah mengusiknya?! 

"Apa ... Kita...." Alessia menggantungkan kalimatnya. Kembali merapatkan bibir ketika tidak kunjung menemukan kalimat yang pas— bingung bagaimana cara memperjelas semua ini. 

"Bercinta?" 

"Tidur bersama." ralat Alessia cepat. 

Alby mengulas senyum—seringai nakal memenuhi wajah tampannya yang seksi khas bangun tidur. "Kau tidak ingat?" 

Dan Alessia tidak berani menatap pria itu. Ia mengulum bibir, resah dan gelisah merebak dalam dirinya. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu membuatnya panas dingin. Tidak, Ale ... Kau masih menggunakan dalaman. Artinya, kalian tidak melakukan apa pun selain—shit! 

Oke, mari lupakan apa pun itu. 

Mengabaikan semua itu, Alessia kembali menelusuri ruangan. Mata birunya mencari-cari pakaiannya tapi tidak ada di mana pun. "Di mana pakaianku?" 

Sebelah alis Alby naik. "Kau tidak tahu?" 

Menoleh, Alessia memelotot tajam. "Jika aku tahu aku tidak akan bertanya, Bodoh!" sentaknya tidak habis pikir. 

Alby tersenyum. "Kau sama sekali tidak mengingatnya?" seringai jahil masih memenuhi wajahnya begitu jemarinya meraih ujung selimut, berniat menariknya lepas tapi Alessia dengan cepat menendang-nendang kesal sambil berteriak marah padanya. 

Tawa Alby mengudara mendengar itu. Akhirnya, setelah semalaman Alessia berhasil menyiksanya kali ini tidak ada salahnya ia membalas sedikit, kan? Menggoda perempuan itu adalah kesenangan lain yang tiba-tiba saja baru terpikirkan. Teriakan, umpatan serta kata-kata kasar Alessia terdengar lebih menyenangkan dari sekedar beradu argumen dengannya. 

"Padahal, kau benar-benar menggairahkan semalam." bisik Alby membuat Alessia menggeram, menyentak selimut yang di pegang Alby hingga terlepas. 

"Aku tidak peduli!" 

Alby berdiri. Membuat bokser ketat yang di kenakannya terlihat jelas—memperlihatkan tonjolan otot di sepanjang garis pinggangnya. Sontak, Alessia memalingkan wajahnya. Tampak memerah meski objek utamanya bukanlah dirinya. 

"Benarkah? Well, terserah. Tapi kurasa pakaianmu ... Ah, lebih tepatnya pakaian kita sudah tidak layak pakai mengingat bagaimana liarnya dirimu." Alby berkata serius, membuat Alessia mengulum bibir dan berusaha mengingat kembali. Sial! Dia tetap tidak ingat apa-apa. 

"Lupakan apa pun yang terjadi. Semuanya. Tidak terkecuali." 

"Kau pikir bisa semudah itu?" 

Alessia mendelik kesal. "Sudah kukatakan aku tidak peduli, Bedebah! Berhenti membicarakan sesuatu yang bahkan aku saja tidak mengingatnya." teriaknya sembari melempar bantal yang berhasil Alby hindari. 

"Alright ... Lupakan, ya, lupakan saja. Itu pun kalau kau bisa." kemudian Alby memasuki kamar mandi sambil bersiul riang. Menghindari amukan Alessia kalau-kalau wanita itu kembali beraksi. 

Alessia menyugar rambutnya frustrasi, menggeleng tidak habis pikir. 

Sekian dari banyaknya pria di New York mengapa dia harus berakhir dengan Albyazka Stevano? 

Ciuman, belaian—'Tidak-tidak ... Apa pun itu, aku tidak harus mengingatnya.' Alessia bergumam dalam hati. Bergegas turun ketika matanya tidak sengaja melihat paper bag di sudut kamar, tepatnya di atas sofa panjang dekat jendela. 

Alessia mengintipnya. Gaun, sepatu beserta dalaman. Alessia mengangkat satu alis. Dalaman? Memilih tidak peduli ia mulai melucuti pakaian dalamnya yang terasa lengket dan segera menggantinya dengan yang baru.

Selesai bersiap, Alessia meraih kotak sepatu dan menemukan sebuah sticky note yang tersalip di antara sepasang high heels perak di sana. 

'Bukankah aku sangat pengertian, Darling? Kau beruntung menemukan pria sepertiku.' 

Future husband. 

Seketika Alessia meremas kertas itu menjadi bola kecil—melemparkannya tepat mengenai pintu kamar mandi tanpa melepaskan tatapan tajamnya dari pintu, seolah tatapannya dapat menembus pintu. 

Beruntung katanya? Dan apa tadi ... Future husband? Yang benar saja! 

"Kau menjijikkan, Stevano!" teriak Alessia sembari menghentakkan kakinya kesal. Memasang cepat sepatunya dan berlalu pergi meninggalkan Alby yang tertawa keras hingga menggema dalam kamar mandi. 

"Well, mainan baru memang terasa menyenangkan." 

    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status