Share

BAB LIMA ~ I want you! 

BAB LIMA ~ I want you! 

"Dia tidak datang?" terselip nada geli dari suara Alby. Pria itu sudah memperhitungkan dengan baik dan tentu saja kemungkinan semacam ini sudah tidak lagi mengejutkannya. 

Jean mengangkat wajah, melirik jam yang melingkar di tangannya lalu menjawab lugas. "Sepertinya tidak, Sir." 

Alby mengendik acuh. Sangat tahu perempuan keras kepala seperti Alessia Mikhayla bukanlah sesuatu yang akan mudah menuruti perintahnya. Pihak perusahaan sudah menginformasikan padanya bahwa dia sudah bisa mulai bekerja tapi tanggapan perempuan itu di luar nalar. 

Alessia membalas pesan perusahaan, tapi bukan untuk mengucapkan terima kasih, yang ada hanyalah serentetan umpatan yang dia titipkan untuknya. Memang benar-benar sesuatu. Mengingat itu, Alby tidak bisa untuk menahan senyumnya. 

Bagaimana mungkin sebuah umpatan malah membuatnya begitu menarik perhatian Alby? Lucu sekali. 

"Saya akan mengatur perundingan dalam satu jam ke depan. Mohon untuk memilih beberapa yang sudah kami seleksi, Sir." 

Suara Jean melunturkan senyum Alby. Pria itu mengalihkan pandangannya dari berkas di meja, untuk memberi peringatan Jean melalui tatapannya. "Apa katamu?" 

Jean makin menundukkan kepala. "Maafkan kelancangan saya, Sir." 

"I want him. There will be no other election if it is not him." ketegasan Alby membuat Jean seakan takut bernapas. Takut kalau-kalau suara napasnya membuat Alby marah. Tatapan dingin Alby masih terpasang apik di kedua matanya, melekat menyatu dengan wajahnya yang datar. "Kau sudah mendapat yang kuminta?" 

Untungnya, Alby mengalihkan pembicaraan. Meski begitu, rasanya pertanyaan seputar perempuan bernama Alessia Mikhayla masih menjadi pusat perhatian Albyazka. Sejak dua hari kepergian Alessia dari gedung Stevano, nama perempuan itu masih berada dalam urutan teratas dari prioritas Alby—menemukan fakta sekaligus informasi seputar dirinya. 

Jean menggeleng pelan sebagai jawaban. "Saya dan Mr. Hywell beberapa kali berkomunikasi perihal yang sama. Kami masih merundingkan, tapi sampai saat ini belum juga mendapatkannya. He's not an ordinary person." 

See? Jean bahkan sudah menyadarinya. Alessia Mikhayla benar-benar seorang yang sulit di jangkau. Data dirinya hanya berisikan nama, tempat tinggal dan juga sertifikat kelulusannya. Selebihnya kosong. Hanya ada beberapa gambar foto yang berhasil ditemukan dalam akun I*******m temannya.

Sejujurnya, Alby juga belum mendapat jawaban atas rasa ingin tahunya sendiri. Mengapa seorang wanita saat ini menjadi hal menarik baginya? Bertahan-tahun bahkan hampir seumur hidupnya Alby tidak pernah mau tahu dan dia tidak akan peduli mengenai perempuan selain keluarganya, namun saat ini nama Alessia menjadi perempuan pertama yang berhasil mengoyak keingintahuannya. 

Who he really is?

Alby mengetukkan jemarinya ke meja, tatapannya menyala. Penuh ketekad-an nyata yang kontras dengan garis wajah tegasnya. "Dapatkan dia, aku tidak peduli dengan cara apa. Aku hanya ingin dia," nada suara itu mengalun penuh perhitungan, penuh janji di dalamnya. 

"I get it, Sir." jawab Jean patuh sebelum kemudian menunduk sedikit dan beranjak pergi. 

Memang kenapa kalau dia sulit ditemukan? Bukankah ini akan lebih menarik? Persetan dengan omong kosong soal obsesi semata karena yang terpenting saat ini adalah membawa Alessia berada dalam genggamannya. 

Well, dia Stevano. Tidak akan ada sesuatu yang tidak bisa ia dapatkan.

"Akan kupastikan kau datang padaku, Alessia." gumamnya sembari menatap luar jendela. 

***

Dentuman musik mengiringi pembicaraan Girls Knight yang tengah saling menyesap anggur putihnya. Mereka saling bertukar cerita, bahasan yang menarik serta membicarakan perihal kehidupan pribadi masing-masing. Minus Alessia. Perempuan itu sedari tadi hanya diam sembari sesekali menyahut tanpa minat. Terlihat ogah-ogahan.

"Apa yang mengganggumu, Ale? Wajahmu benar-benar jelek," Arabella mencibir, perempuan itu menyenggol lengan Alessia pelan tapi yang dia dapatkan hanya gelengan malas. 

Tawa Keira mengudara. Wajahnya berbinar geli sementara tatapannya penuh ejekan. "Apalagi jika bukan ditolak? Itu karma karena kau terlalu sombong sebelumnya." ejeknya sambil menyesap isi gelasnya nikmat. 

Lain dengan cibiran mau pun ejekan dua temannya, Velove menyahut dengan nada pengertiannya. "Perusahaan bukan hanya dia saja, abaikan mereka." katanya dengan bijak. 

Setidaknya, perkataan Velove meringankan beban Alessia. Setelah pergi dari gedung Stevano waktu itu, nyaris hampir tiga perusahaan tempat ia melamar kerja terus menolaknya. Alasannya bukan main-main: karyawan bermasalah. Itu adalah perbuatan Stevano sialan itu. Dengan dalih memberinya kesan buruk pada perusahaan-perusahaan besar yang lain, Alessia tahu satu tujuan semua ini. Alby ingin dia kembali, menemui pria itu lagi untuk melanggar kedua kali janjinya sendiri.

Menyebalkan. Siapa dia hingga bisa seenaknya padanya?! 

Alih-alih mengutarakan kekesalanya pada yang lain, Alessia memilih membalas ejekan Keira beberapa saat lalu. "Ralat, Aku? Di tolak? Jangan mengada-ada. Yang benar itu aku menolaknya." dengus Alessia mengalihkan pandangan. Seketika, tatapannya terpaku pada lantai dansa. 

'Well, sepertinya aku butuh hiburan.' Alessia menggumam dalam hati. Tampak menimang. 

Kekehan sinis Keira kembali mengalihkan atensi Alessia. "Kau bercanda? Wajahmu tidak menunjukan seperti kau baru saja menolak sebuah perusahaan besar." 

Karena bedebah itu memberiku masalah. Alih-alih mengatakan itu, Alessia menjawab tidak minat. "Aku memang menolaknya, Kei." dengan sekali tegukan Alessia menenggak habis isi gelasnya. Ia mengulas seyum kecut. "Ingat pria bedebah yang pernah kuceritakan?" 

Sontak, pandangan ingin tahu, penasaran, sekaligus wajah mengingat-ingat itu memenuhi mereka. Alessia memang menceritakan kejadian nahasnya ketika di depan Cafetaria kepada Girls Knight, mungkin tepatnya malam setelah Alessia baru saja menolak kerja sama dengan Stevano. 

"Kau bertemu dengannya?" Velove menatapnya lekat, ingin tahu lebih rinci. 

Alessia mengangguk enggan. Kembali menyesap anggurnya kemudian menjawab, "lebih tepatnya dia calon bosku. Pria yang sempat kalian bicarakan saat terakhir kali kita berkumpul disini." 

"Seriously?" 

"Albyazka Stevano?" Keira dan Arabella menyahut berbarengan. 

Alessia mengangguk lagi. Ujung telujukknya memainkan pinggiran gelas. "Dialah orangnya," katanya pelan. 

"Aku bahkan lupa kalau kartu nama yang kurekomendasikan padamu adalah dia. Bukankah ini seperti takdir?" tawa geli memenuhi meja begitu Alessia menunjukkan wajah seolah ingin muntah. "Dia mencuri ciuman darimu, dan kau melamar pekerjaan padanya. Terdengar seperti skenario drama." kekehnya. 

"Lagipula, dia tampan, Ale. Selain itu dia juga kaya dan pastinya mampu memenuhi kebutuhan sosialitamu." imbuh Keira. Membuat Alessia seketika mengangga di tempatnya. Terkejut dengan pemikiran laknat Keira sekaligus tidak percaya dengan reaksi mereka yang tampak setuju dengan usulan gila itu. 

"Takdir? Bullshit!" Alessia mendengus, menenggak habis minumannya. "Meski benar dia kaya, aku tidak akan mau dengan pria arogan sepertinya!" katanya dengan wajah sebal. 

Sebelah alis Keira naik. "Itu sumpah?" 

Tanpa pikir panjang Alessia mengangguk mantap. "Ya," 

"Bagaimana jika kau melanggar sumpahmu?" kali ini Arabella yang bertanya. Tatapan perempuan itu tampak menghinanya, seolah mengatakan dia tidak akan mampu menolak pesona Albyazka. 

Cih, memang sehebat apa pria itu? 

"Tidak akan." jawab Alessia lugas, nada suaranya terdengar santai dan tenang. 

"Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, Ale." perkataan Velove seketika membuat Alessia mendesah lelah. Velove merunduk di samping telinganya. "Berani taruhan?" bisiknya lambat-lambat. 

Keduanya saling menatap begitu Velove menjauhkan wajahnya. Lalu, ia menatap satu persatu temannya kemudian membuat kesepakatan yang mungkin saja akan dia sesali. "Alright. Jika aku melanggar sumpahku, kalian bebas memilih koleksi langkaku." 

Seketika meja mereka riuh. Seorang Alessia si kolektor barang branded langka melelangnya untuk sebuah taruhan? 

"Really?!" pekik Keira dan Arabella bersamaan. 

Alessia mengendikkan bahu. "But, not my hermes birkin." 

"Seriously, Ale? Kau yakin tidak akan berubah pikiran? Karena aku tidak akan mengasihimu." kata Arabella semangat. 

"Sure." 

Dan satu jawaban itu kembali mendapat sorakan antusias dari yang lain. 

Tatapan bertanya Velove masih memenuhi wajahnya, mengamati Alessia lekat-lekat. Alessia seorang yang gemar memburu koleksi langka. Bahkan rela menguras isi kartu-kartunya hanya untuk mengoleksi barang tersebut. Dan sekarang, dia bahkan berniat menjadikannya barang taruhan? 

"Oke, kita lihat sejauh mana kau bisa menghindarinya." Velove menarik senyum kecil, menatap Alessia tertarik. "Tiffany and Co deco two—hand timepiece. Aku akan merampasnya darimu saat waktunya tiba." 

Dengusan tidak minat Alessia membuat yang lain kian melebarkan senyum. "Percaya diri sekali." cibirnya. 

"Kita lihat saja," Keira menyahut dengan percaya diri. "Aku ingin stuart weitzman cinderellamu, Babe. I want it." katanya sambil menyeringai. 

Lalu, seluruh pandangan jatuh pada Arabella. Ia menyentuh dagunya seolah berpikir. "Aku? Umm ... Yang mudah saja. Leiber procious rosemu. Aku sudah mengincarnya sejak lama." tambah Arabella menyunggingkan senyum culas. Seolah benar-benar menantikannya. 

Ugh... "Sialan! Semuanya brand tersohorku! Aku tidak mau!" 

"Kau takut, Ale?" kekeh Keira. 

Alessia mencebik. "Kau bercanda? Mana mungkin!" 

"Oke, Itu artinya kau setuju." 

Alessia menggeram. Tidak bisa mengelak di saat ia sendiri yang menawarkan kesepakatan bodohnya. Alessia mengembuskan napas frustrasi sambil menghabiskan minumannya. "Well ... Jika begitu aku menginginkan kisaran harga yang sama."

"Katakan saja." tukas Arabella santai. 

Senyum culas menghiasi wajahnya. "Lykan hypersport hitam metalik dengan plat namaku." katanya dengan seringai lebar di bibir, seakan sama-sama tengah menantikan. "Ini sepadan," 

"Bagian mana yang sepadan?!" Arabella memekik kesal. "Total tiga barangmu paling-paling hanya bisa dapat lamborghini biasa." 

Alessia menatap mereka tidak mau tahu. Menggelengkan kepalanya seakan dia tidak menerima tawar-menawar. "Kalian yang menantangku, Girls. Come on, kalian bukan orang miskin. Jangan menampilkan wajah seolah kalian tidak mampu." 

"Terlalu mahal, Ale!" protes Arabella. 

Alessia menarik bibir, tersenyum miring. "Kau tidak semiskin itu, Ara. Lagipula, itu harga yang setimpal dengan sosialitaku. Tidak ada tawar menawar. Jika kalian setuju, kita bisa deal saat ini." 

Mereka saling bertukar pandang seolah berdiskusi hanya dengan bahasa mata. Beberapa saat setelahnya Velove mengulurkan tangannya yang langsung di sambut baik oleh Alessia. Manik mata mereka bertemu—saling melempar seringaian sebelum akhirnya menyahut bersamaan. 

"Deal." 

Di lain tempat... 

Sepasang mata tajam tengah menatap mereka dari lantai atas. Ruang khusus di sana lebih di dominasi dinding kaca gelap hingga mereka bisa dengan leluasa melihat keadaan di lantai bawah tanpa harus terlihat dari luar. 

Seringai di bibir pria itu makin menjadi sesaat melihat perempuan yang sedari tadi mencuri perhatiannya mulai menyatu dengan yang lain di lantai dansa—menari mengikuti irama musik sembari meneguk botol minuman yang dia bawa. Sekilas, dia nampak seperti remaja labil yang baru saja putus cinta. 

Lekukan tubuhnya makin terlihat kala gaun merah ketat dengan tali spaghetti yang membungkus tubuhnya terus bergerak naik begitu tariannya menyamakan musik. Menghentak kesana kemari seolah menggodanya. Membuat pria itu tanpa sadar menelan ludah. 

"Siapa dia? Sedari tadi pandanganmu tak lepas darinya." pertanyaan Keenan Maxfield menyadarkan Alby. Pria dengan wajah Casanova yang sangat kentara itu dengan sadar mengerti arti tatapan Alby. Tatapan tertarik.

Well, dia sudah sangat paham dengan tatapan semacam itu. Mudah baginya mengenali setiap arti tatapan seseorang hanya dengan menatap matanya. 

Alih-alih menjawab, Alby malah terkekeh geli sebelum menyebutkan sesuatu. "Kalian pernah bertanya siapa wanita yang mampu membuatku mengambil tindakan, bukan?" Alby memberi jeda, menarik senyum kecil. "Dialah orangnya. Alessia Mikhayla." 

"Jadi, dia wanita yang kau cari?" Logan Hywell tersedak—terlihat sangat tertarik apalagi, setelahnya ia sudah memusatkan pandangannya keluar jendela, menyipitkan mata—memperhatikan Alessia lekat-lekat. "Yang mana?" tanyanya.

"Gaun merah dengan botol minuman di tangannya." Alby menjawab santai. Tatapannya masih terpaku pada Alessia yang sepertinya mulai mabuk di bawah sana. 

"Akhirnya aku bisa memastikan kalau dia benar orang Amerika." Logan bernapas lega. Tersenyum jengkel begitu kembali memperhatikan Alessia di bawah sana. "Aku hampir gila mencari data tentangnya." keluhnya. 

Seakan teringat sesuatu, Alby menoleh kearahnya. "Kau masih belum mendapatkannya?" 

"Kau pikir semudah itu?" Logan mendesah panjang. "Sedikit lagi, aku hanya perlu menembus server keamanannya." 

"Aku memberimu waktu tiga hari." 

"Dua hari saja belum berakhir," Logan berdecak malas, membuat Keenan lantas tertawa. 

"Kau akan kesulitan menghadapi seorang yang sudah terlalu lama sendiri. Kolot. Pikirannya hanya akan tertuju pada satu wanita saja. Sangat kuno." cibirnya menatap Alby penuh ejekan. 

Logan tergelak. "Jangan samakan dia denganmu, Ken." ia menyeringai lebar. "Pria hampir sempurna sepertinya tidak memiliki sikap playboy sepertimu. Iya, kan?" sahutnya dengan senyum geli di wajah. 

Alby sendiri hanya mendengus. Tidak berniat meralat, atau pun menanggapi. Ia lebih memilih menyesap vodkanya nikmat sembari terus menatap Alessia di kejauhan. Tarian sekaligus tawa lepasnya sejenak membuat Alby tanpa sadar menahan napas. Sialan seksi! Alessia dua kali lipat lebih seksi dengan gerakan sensualnya, rambutnya bergoyang mengikuti irama tubuh bahkan, tidak hanya sekali dua kali belahan dadanya nampak jelas ketika dia melompat semangat sesuai musik. 

Alessia Mikhayla benar-benar godaan. 

Limabelas detik. 

Duapuluh detik. 

Suasana makin memanas. Cibiran serta ejekan saling bersahutan yang datangnya masih berasal dari teman-teman laknatnya. Sayangnya, Alby sama sekali tidak peduli. Terserah. Ada yang lebih menarik perhatiannya ketimbang meladeni ledekan mereka. 

Alby hanya ingin dia. Perempuan yang sanggup membuatnya merasa tertarik untuk pertama kali. 

"Kau menyukainya atau hanya sekedar penasaran dengannya?" 

Sontak, pertanyaan yang dilontarkan Axelle Wynne mampu membungkam suasana yang tadinya penuh ejekan seketika hening. Pria dingin yang sedari tadi hanya berperan sebagai pendengar baik itu menatap Alby datar. Penuh keseriusan. 

Alby menoleh ke samping di mana Axelle tengah menatapnya lekat-lekat. Menyukai? Kata itu terlalu baru hanya untuk sebuah rasa ketertarikan. Alby kembali beralih pada Alessia, menatapnya dengan mencari jawaban pertanyaan Axelle barusan. 

Menyukainya? tidak mungkin. Alby bergumam dalam hati. Menggeleng pelan sembari menyesap minumannya nikmat. 

Atau hanya penasaran? Alby kembali menggumamkan perkataan Axelle dalam diam. 

Alby tidak tahu. Hanya saja ... Setelah pertemuan mereka, Alby dapat merasakan sesuatu yang berbeda. Alby belum memahaminya. Lebih tepatnya tidak memahami perasaannya dengan benar karena perasaan semacam itu belum pernah ia rasakan. Dan, untuk pertama kalinya hanya Alessia perempuan yang mampu membuatnya merasa demikian. 

Kendati begitu, Alby rasa semua ini bukanlah sesuatu yang spesial. 

"Well, kurasa hanya penasaran." jawab Alby sekian lama. Membuat Keenan mengangkat satu alisnya namun dia tidak mangatakan apa-apa. 

"Kurasa?" ulang Axelle menatap Alby mencemoh. 

"Jangan menatapku demikian. Dia tidak seistimewa itu." protes Alby membuat mereka kembali terkekeh geli. 

"Axe tidak berkata dia istimewa, Al. Atau, sebenarnya kau sudah menempatkannya dalam daftar orang istimewamu?" sahut Logan menyeringai —menatapnya dengan tatapan mengejek. 

"Dia tidak seberharga itu," 

"Tapi kenyataannya kau penasaran tentangnya." cibir Keenan membuat Alby mendengus—berdiri dari duduknya sesaat matanya tidak sengaja melihat beberapa pria mulai bergerak mendekati kerumunan Alessia dan temannya yang sudah mabuk. 

"It is none of your business," 

Setelahnya Alby melangkah keluar ruangan. Berjalan penuh kharisma menuju lantai bawah. Matanya bergerak menelusuri lantai dansa, mencari Alessia yang sedari tadi tidak lepas dari jangkauan matanya—membuatnya terus mencari tahu kebenaran yang sama sekali tidak ia pahami. 

Alby melangkah mendekat setelah melihat Alessia berusaha menyingkirkan tangan-tangan nakal yang berusaha merayunya. Geraman rendah Alby menyatu bersamaan dengan irama musik, dan secepat kilat meraih Alessia lalu mendekapnya posesif—membuat pria-pria itu menyingkir dengan sendirinya. 

"Menyingkir! Jangan sembarang menyentuhku!" Alessia mengerang sembari berusaha menyentak lengan Alby. Sayangnya, pelukan Alby padanya terlalu kuat hingga akhirnya membuat Alessia mengangkat wajah, menatapnya dengan mata menyipit. 

"Who are you?" 

Alby menggeleng pelan. Ternyata Alessia sudah sangat mabuk hingga tidak mengenalinya. Ah, Alby melupakan sesuatu. Jika Alessia masih sadar, sudah pasti perempuan dipelukannya ini sudah memilih melayangkan tangannya atau paling tidak, memberinya tendangan. Seperti yang sudah-sudah. 

"Kau tidak ingat?" 

Alessia menggeleng, mengangkat sebelah tangan membingkai wajah Alby—mulai menyentuh setiap inci wajahnya dengan gerakan lambat. "Hidungmu sangat runcing." komentar Alessia, mulai bergerak turun lalu, berhenti tepat pada bibir merah tipis miliknya dan membelainya lembut. "Apa rasanya manis?" 

Alby menahan senyum. "Kau ingin mencobanya?" tawar Alby kemudian memangut bibir Alessia tanpa persetujuan. Membelai, melumat, bahkan sesekali memberi gigitan kecil di sana—merayunya hingga tanpa sadar Alessia mengerang dan menerima Alby sepenuhnya. 

Senyum kemenangan menghiasi wajah Alby, lidahnya makin melingsek masuk lebih dalam, ia tidak menyia-nyiakan waktu begitu lidahnya menemukan lidah Alessia dan mereka saling membelit, bertukar saliva hingga rasanya, Alby tidak puas hanya dengan satu ciuman saja. 

Alessia melepaskan diri ketika merasakan udara dalam paru-parunya menipis. Napasnya tersenggal. Alessia menarik napas seraya menyetabilakan desiran aneh dalam dirinya. Ciuman panas yang mengairahkan hingga membuatnya terengah. 

"Bagaimana rasanya?"

Alby menatap mata sayu Alessia, mencari-cari kebenaran di sana. Sayangnya, jawaban Alessia setelahnya mampu membuat Alby terpengarah. "Tidak buruk." 

Tidak buruk katanya? 

Well, Kalimat itu sedikit menyentil egonya. 

Kemudian Alby kembali mencium Alessia lama, lembut, penuh penekanan dan gairah yang mulai mengebu di tengah kerumunan. Manis. Teramat manis hingga membuat Alby hampir kehilangan kontrol diri. Alby menempelkan kening mereka sambil menatap Alessia lama, matanya menggelap—penuh gairah. 

"Aku menginginkanmu," 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status