Share

Misteri di Rumah Mertua
Misteri di Rumah Mertua
Author: Pena_yuni

Bab 1 Mengikuti suami

"Mas, aku ikut ke rumah Ibu, ya?"

"Jangan, Tsa! Sudah, kamu diam di rumah, biar aku yang pergi ke sana."

"Tapi, aku juga mau tahu keadaan Ibu," cetusku lagi. Pasalnya, tadi Mas Rendra mendapatkan kabar jika Ibu sedang sakit, dan sekarang suamiku akan pergi ke Jakarta.

Namun, seperti biasa dia melarangku ikut. Dia akan pergi seorang diri, tanpa membawaku ke rumah ibunya.

Mas Rendra berdiri dengan tegak seraya melihatku lekat. Dia menghentikan aktivitasnya yang tengah mengemasi dompet dan ponsel ke dalam tas kecil miliknya.

"Ikut ke rumah Ibu, ya?" pintaku lagi membalas tatapan matanya. "Ibu juga pasti seneng, kok kalau aku datang menjenguknya."

Mas Rendra mengembuskan napas kasar. Dia memegang kedua pundakku dengan tidak mengalihkan pandangan.

"Tsa, aku bukan tidak ingin membawamu. Tapi—"

"Keadaan rumah Ibu yang kumuh, kotor dan bau?" Aku memotong ucapan Mas Rendra yang kuhafal di luar kepala. "Aku tidak masalah dengan itu, Mas. Justru dengan adanya aku, aku bisa bantu beresin rumah Ibu sampai bersih dan rapi," lanjutku membujuknya.

Mas Rendra menggelengkan kepala. Sebelah tangannya mengusap wajah, lalu dia berjalan pelan ke arah jendela kaca kamar kami.

Aku mengikutinya. Kutatap wajahnya yang terlihat resah dan gelisah.

'Ada apa sebenarnya denganmu, Mas?' hatiku berbisik.

Dia seperti tertekan setiap kali aku meminta ikut pergi ke rumah ibu mertua. Ini bukan kali pertama dia menolakku. Sudah sering. Bahkan setelah satu tahun menikah, aku belum satu kalipun dibawanya berkunjung ke rumah Ibu.

"Apa yang kamu sembunyikan dariku, Mas?" tanyaku kemudian. Dan itu sukses membuat wajah Mas Rendra berubah pias.

"Tidak ada. Tidak ada yang aku sembunyikan darimu, Tsania. Sudahlah, jangan banyak tanya dan bicara lagi. Aku harus pergi, dan kamu tetap di rumah."

"Mas—"

"Jangan membantah!" Mas Rendra mengacungkan jari telunjuknya di depan wajahku. "Aku suamimu, maka turuti kata-kataku. Tetep di rumah. Haram hukumnya seorang istri keluar rumah tanpa izin dari suaminya."

Setelah mengatakan itu, Mas Rendra langsung keluar dari kamar, meninggalkan aku yang membeku melihat punggungnya yang berlalu dengan cepat.

Suara deru mobil di depan rumah membuat netraku langsung menoleh ke samping. Dari jendela kaca, aku bisa melihat jika suamiku benar-benar pergi. Ke rumah Ibu, katanya.

Namun, hatiku dihantui rasa curiga akan sikap dia yang semakin ke sini, semakin aneh.

Masa, sih seorang suami melarang istrinya pergi ke rumah orang tuanya, jika tidak ada yang disembunyikan?

"Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan, Mas?" Aku berucap dengan tatapan kosong ke depan sana.

Lima belas menit setelah kepergian Mas Rendra, aku mencoba untuk mendamaikan perasaan curiga pada suamiku. Namun, semakin kuingat, semakin besar ingin tahuku tentang rumah ibu mertua beserta semua cerita di dalamnya.

Mungkinkah Mas Rendra memiliki simpanan di rumah Ibu?

Kuhirup udara agar sesak di dada menghilang bersamaan dengan dia yang baru saja pergi. Satu gelas air minum pun sudah masuk ke dalam perut, membasahi tenggorokan yang tercekat membayangkan sesuatu yang menyakitkan. Hingga akhirnya, dering ponsel mengalihkan pandangan dari gelas bening, ke benda pipih yang tergeletak di meja.

"Halo," ucapku tanpa salam.

"Tsa, kamu di mana?" Sabrina, temanku bertanya dengan nada yang tak biasa. Seperti buru-buru dan terdengar panik.

"Di rumah." Aku menjawab singkat.

"Suamimu ke mana?"

Aku mengerutkan kening mendengar pertanyaan yang menurutku tidak penting untuk dia tanyakan.

"Ngapain kamu nanya Mas Rendra?"

"Jawab saja, Tsa. Suamimu ada di rumah?"

"Enggak. Dia baru saja pergi ke Jakarta. Ke rumah Ibu."

"Dia sedang di toko peralatan bayi!" tukas Sabrina.

Aku diam, mencerna kata-kata temanku yang terdengar ambigu. Siapa yang di toko perlengkapan bayi?

Suamiku kah?

"Na, kamu barusan bilang apa? Siapa yang di toko perlengkapan bayi?" Aku menegakkan tubuh, menajamkan pendengaran agar tidak salah menangkap ucapan Sabrina.

"Rendra. Suamimu masuk ke dalam toko perlengkapan bayi. Dia membeli perlengkapan bayi banyak banget, Tsa. Dari mulai popok sampai kain jarik, terus banyak lagi yang lainnya. Sekarang aku lagi ngikutin dia."

"Di toko mana?" tanyaku semakin penasaran.

"Raya Babyshop. Pokoknya sekarang kamu datang ke sini, buktikan jika kata-kataku memang benar. Sepertinya dugaanku selama ini tentang dia memang benar adanya. Suamimu, punya istri di Jakarta."

Otakku sudah tidak bisa lagi berpikir dengan jernih. Rasa curiga semakin menjadi setelah mendengar penuturan Sabrina.

Bukan hanya omong kosong, Sabrina pun mengirimkan foto Mas Rendra yang memang sedang berbelanja perlengkapan bayi.

Tanpa berpikir panjang lagi. Aku pun pergi dari rumah menuju tempat yang dimaksud Sabrina, menggunakan ojek. Karena aku hanya punya satu mobil, dan itu dipakai Mas Rendra.

"Tsania!"

Aku mencari sumber suara yang memanggil saat kaki ini hendak masuk ke dalam toko yang Sabrina maksud. Temanku itu menarik tanganku, membawanya masuk ke mobil yang tak lain miliknya.

"Apa, sih, Na? Aku mau nemuin Mas Rendra di dalam sana."

"Jangan! Mendingan kita tunggu di sini saja, dan ikuti ke mana dia pergi. Dengan begitu, kamu akan tahu, untuk siapa perlengkapan bayi yang Rendra beli," tutur Sabrina.

Tidak berapa lama aku dan Sabrina menunggu, sosok pria berhidung bangir keluar dari dalam toko seraya membawa banyak belanjaan.

Aku meraba dada yang berdenyut nyeri. Mataku tak lepas dari laki-laki yang satu tahun lalu mengucapkan janji suci, memintaku dengan langsung kepada Papa.

Inikah wajah aslinya? Dia seorang pengkhianat?

"Tega kamu, Mas. Katanya akan ke rumah Ibu, tapi ternyata kamu—" Aku tidak mampu melanjutkan kata-kataku, dan hanya air mata yang keluar sebagai ungkapan perasaan yang teramat sakit ini.

Aku dibohongi. Aku dikhianati oleh dia yang aku cintai.

"Tenang, Tsa. Simpan air matamu. Kita belum tahu yang sebenarnya. Mungkin saja perlengkapan bayi itu untuk saudaranya di Jakarta," ujar Sabrina. Dia melajukan mobil, mengikuti kendaraan Mas Rendra.

"Saudaranya yang mana? Dia tidak punya saudara. Dia anak tunggal, Na."

Sabrina tidak bicara lagi. Dia fokus mengikuti mobil Mas Rendra yang sekarang sudah keluar dari Bandung, lalu masuk Kota Jakarta.

Pikiranku semakin berkecamuk, membayangkan hal buruk, yang akan terjadi dalam rumah tanggaku setelah ini.

Mungkinkah, jika pengkhianatan Mas Rendra diketahui Ibu, dan wanita itu tinggal di rumah mertuaku?

"Pantas saja kamu selalu dilarang ikut ke rumah ibunya, Tsa. Jangan-jangan ... selingkuhannya ada di sana," celetuk Sabrina semakin membuat dadaku bergejolak.

Beberapa jam perjalanan, mobil Mas Rendra belok ke arah pemukiman warga, dan berhenti di depan salah satu rumah. Mataku membulat, rasanya tak percaya saat wanita paruh baya keluar menyambut kedatangan suamiku dengan senyum yang mengembang sempurna.

"Jadi ini rumah Ibu?" ucapku dengan tidak mengalihkan pandangan.

"Astaga, Tsa .... Ini rumah mertuamu ...?"

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status