Share

Bab 6 Menu yang Sama

Aku terperanjat, mulutku menganga dengan mata mengarah pada wajah

Sabrina yang kebingungan.

"Ada apa, sih, Tsa?" tanya temanku itu.

"Apa yang dilakukan Mas Rendra hingga aku bisa tidur selama itu?"

"Rendra? Kenapa lagi dengan dia?" Sabrina kembali bertanya.

Aku pun mengatakan semua yang sempat aku rencanakan. Niatku untuk ikut ke pabrik teh, harus gagal karena dibuat tidur oleh suamiku sendiri.

Iya, aku sangat yakin jika Mas Rendra lah yang sudah membuatku tidur dari pagi hingga malam hari.

Kalau bukan dia, siapa lagi? Tidak ada orang lain di sini.

"Jangan-jangan ... dia emang sengaja memasukkan obat tidur ke minumanmu pagi tadi, Tsa. Gak mungkin, kan kamu tidur kayak orang koma kayak tadi?"

Aku diam, membenarkan ucapan Sabrina.

Benar-benar keterlaluan Mas Rendra. Dia nekad membuatku tidak sadar demi bisa pergi ke rumah Ibu tanpa ketahuan olehku.

Tanganku terkepal kuat meremas seprai. Dada pun naik turun menahan amarah yang tidak terlampiaskan.

"Sabar, Tsa. Aku tahu kamu kecewa dan marah dengan tindakan Rendra. Aku akan bantu kamu, kok. Jangan sungkan minta tolong, ya?"

Aku mengangguk lemah tanpa melihat lawan bicara. Pikiranku penuh oleh keburukan Mas Rendra yang tidak pernah kusangkakan sejahat itu.

"Sekarang kamu maunya gimana? Kita pergi ke Jakarta, atau menunggu Rendra kembali?" Sabrina kembali bicara.

"Tidak untuk sekarang, Na. Ini sudah malam, palingan sebentar lagi Mas Rendra juga pulang."

"Kalau gitu, aku pulang juga, ya? Enggak enak kalau saat suamimu tiba, aku masih di sini. Nanti dia malah semakin hati-hati, karena tahu jika istrinya merencanakan sesuatu denganku," tutur Sabrina.

"Iya, Na. Makasih sudah datang dan membangunkanku, ya? Kalau kamu gak datang, entahlah aku akan bangun lagi atau tidak."

Sabrina mengembuskan napas kasar seraya menepuk-nepuk pundakku. Setelahnya, dia pun pamit pulang dan aku mengantarnya sampai di depan pintu.

Lampu di seluruh ruangan aku nyalakan, jendela dan gorden aku tutup karena malam sudah datang.

Saat hendak kembali ke kamar, deru mobil membuatku membalikkan badan. Aku sangat yakin, jika yang datang adalah Mas Rendra, suami pembohong dan pecundang itu.

Astaga, aku jadi semakin benci pada pasangan halalku sendiri.

"Sayang, sedang apa?"

Aku memalingkan wajah, enggan melihat sandiwaranya.

"Kamu dari mana?" tanyaku. Niat hati ingin ke kamar, aku urungkan dan pergi ke dapur.

Kutuangkan air ke dalam gelas, lalu meminumnya hingga tandas.

Sayangnya, air dingin tadi tidak sama sekali menyejukkan hati. Apalagi saat tahu Mas Rendra mengikuti dan duduk di kursi yang ada di sebelahku.

"Kamu kenapa, Tsa? Marah lagi sama aku?" tanyanya kemudian.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku, malah balik bertanya."

Mas Rendra menarik napas panjang, lalu menggulung kemejanya hingga ke siku. Gelas yang tadi jadi tempat minumku, kini dia ambil alih dan melakukan hal yang sama seperti yang tadi aku lakukan.

"Aku dari pabrik, Tsa. Kamu pasti marah karen aku meninggalkan kamu di sini, kan? Tadi kamunya tidur saat aku keluar dari toilet."

"Benarkah?" ujarku pura-pura terkejut. "Lama banget berarti kamu di toilet, ya? Sampai aku ketiduran."

Mas Rendra melirikku dengan mata yang sedikit melebar. Namun, dia begitu lihai menyembunyikan kegugupan dengan senyuman.

"Bukan aku yang lama, tapi tubuhmu yang kelelahan. Mungkin karena semalam kamu enggak tidur, jadinya pagi-pagi ngantuk. Gak apa-apa, masih ada hari esok buat pergi ke pabrik."

Pandai sekali dia beralibi. Membodohiku seakan-akan aku ini anak kecil yang tidak bisa berpikir jauh menebak kebohongannya.

"Iya, sepertinya memang begitu," kataku datar tanpa ekspresi.

Aku membiarkan Mas Rendra yang berlalu. Katanya mau membersihkan diri setelah bekerja tadi.

Bekerja mengeloni wanita lain? Menjijikkan. Aku mual membayangkan itu.

Untuk mengalihkan pikiran dari bayang-bayang pengkhianatan Mas Rendra, aku memutuskan untuk memasak. Membuat makanan alakadarnya yang aku inginkan.

Meskipun sebenarnya tidak berselera makan, tapi perutku harus diisi makanan. Aku butuh tenaga untuk berpikir bagaimana membongkar kebusukan Mas Rendra.

"Sayang, kamu cuma masak ayam goreng?" tanya Mas Rendra yang kembali menghampiri.

"He'em," jawabku bergumam tanpa melihat dia yang sudah mandi. Wangi sabunnya yang dulu membuatku candu, kini malah sebaliknya.

Aku sama sekali tidak tertarik, walau hanya sekadar melirik.

"Padahal aku maunya menu yang lain, Tsa. Tadi di sana juga makannya ayam goreng."

Mas Raffi langsung bungkam saat mataku menyorotnya tajam. Jakunnya naik turun, tanda dia menelan ludah dengan sangat kasar. Gugup.

"Makan di mana kamu?" tanyaku dingin, dengan dada yang bergemuruh.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
pecundang dan pengkhianat amani surat berhargamu lin
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status