Share

Misteri Kontrasepsi di Kamar Putriku
Misteri Kontrasepsi di Kamar Putriku
Author: Azalea

CD dan Kontrasepsi

“Bunda, kakak sakit. Ayo bawa kakak ke dokter.”

Keningku berkerut mendengar penuturan Maura, “Sakit? Sakit apa, kakak tidak bilang apa-apa pada Bunda.”

“Sakit gatal, Bunda. Lehernya merah-merah, jalannya juga seperti penguin.”

Deg!

“Adek kapan lihatnya?”

“Kemarin.”

Kemarin aku memang tidak ada di rumah, aku lembur untuk menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk. Berharap saat anak-anak libur sekolah aku bisa membawa mereka jalan-jalan. Aku sebenarnya tidak pernah khawatir meninggalkan kedua putriku di rumah karena ada Bi Asih yang menemani.

Tapi apa yang kudengar ini membuat dada terasa sesak. Pikiranku langsung menuju pada hal negatif, sebagai orang tua jelas aku sangat takut.

Anak kecil seperti Maura juga tidak akan mungkin mengada-ada. Dia memang selalu menceritakan apa yang dilihat dan didengarnya.

“Sini, duduk dulu.” Aku menarik Maura untuk duduk di pangkuanku.

“Tapi adek mau main, Bun.”

“Iya, sebentar. Bunda tanya, adek kalau malam tidur sama kakak?”

“Oh iya, adek lupa kasih tahu. Kemarin adek tidur di kamar kakak tapi bangunnya di kamar Bunda. Kata kakak adek tidur sambil berjalan, memang ada orang tidur sambil berjalan, Bun?”

Tanganku mengepal. Ini pasti ada yang salah, aku harus mencari tahu. Dari dulu aku sangat menjaga anakku agar tidak sampai terpengaruh pergaulan buruk dari luar.

“Adek main dulu, Bunda mau mandi.”

Maura turun dari pangkuanku dan kembali melanjutkan acara bermainnya.

Kutinggalkan dia sendiri. Langkahku bergerak menuju kamar Melody, untuk memeriksa apakah akan ada yang terlihat mencurigakan di sana.

Baru saja masuk ke dalam kamar, mataku menyipit melihat sesuatu yang mengintip dari bawah ranjang Melody.

Menggunakan kaki, kutarik keluar benda itu. Hatiku mencelos melihat celana dalam laki-laki di bawah ranjang putriku. Dengan perasaan yang campur aduk aku melihat lebih dekat benda keramat entah milik siapa itu. Kusingkap sprei yang menjuntai ke bawah, rasanya dada ini semakin memanas melihat alat kontrasepsi yang hanya dibuka saja tapi dalamnya masih utuh.

Benakku sudah dipenuhi pikiran buruk apalagi melihat jika celana dalam ini bukan baru tapi bekas pakai, meskipun baru kenapa bisa ada di kamar putriku.

Aku jijik bahkan merasa ingin muntah saat mencium bau tidak sedap saat meneliti lebih dekat. Aku bukan anak kemarin sore yang tidak tahu bau cairan itu, aku seorang wanita yang pernah menikah.

Di rumah ini tidak ada laki-laki, hanya ada aku dan kedua putriku juga Bi Asih. Aku dan suamiku sudah lama berpisah.

Apa yang kulihat dan apa yang kudengar dari Maura semakin memperkuat dugaan jika putriku sudah melakukan hal diluar batas.

Sayup-sayup kudengar suaranya mengucap salam, dia baru pulang sekolah.

“Mel, Melody!” Kupanggil putri sulungku itu.

Terdengar derap langkah kaki mendekat, “Apa, Bun?”

Aku berdiri, mengarahkan telunjuk pada benda yang masih di posisinya, “Itu punya siapa? Kenapa ada di kamar kamu.”

“Ih, jijik. Punya siapa itu, Bun?” Dia malah balik bertanya dengan ekspresi jijik melihat benda yang membuat perasaanku tidak karuan.

Kuperhatikan dengan lekat mimik wajahnya, menelisik apakah ada kebohongan di sana.

“Harusnya Bunda yang bertanya, Mel!”

Dia mengedikkan bahunya, “Mana aku tahu, Bun.”

Aku menatap curiga padanya, “Kamu tidak membawa lelaki ke sini ‘kan?”

“Apa sih, Bun. Bunda tahu sendiri aku di rumah tidak pernah sendiri, ada Bi Asih dan Maura. Coba tanya Bi Asih pernah tidak aku bawa laki-laki ke sini, teman-temanku yang perempuan saja tidak pernah berani main karena Bunda galak.” Dia mencebik, melipat tangan di dada.

Melody, dia masih duduk di kelas dua sekolah menengah atas. Sedangkan Maura, adiknya itu baru saja berusia enam tahun.

“Terus ini punya siapa?”

“Mana aku tahu, Bun. Tanya Bi Asih, siapa tahu Bi Asih bawa pacarnya,” celetuk Melody.

“Kalau pun iya, kenapa harus di kamar kamu. Bi Asih punya kamarnya sendiri.”

“Sudah deh, Bun. Kenapa malah aku dituduh yang tidak-tidak sih, aku capek ini baru pulang sekolah. Makin tidak betah aku lama-lama tinggal di sini!”

Percuma jika terus bertanya kalau Melody tidak ingin jujur, aku pun berharap apa yang dikatakannya benar. Aku tidak sanggup jika memang kecurigaanku benar adanya. Tapi harus kucaritahu juga kenapa bisa benda ini ada di kamar Melody. Dan soal perkataan Maura tadi.

Tapi aku sama sekali tidak melihat bercak merah yang disebutkan oleh Maura di leher Melody, apa mungkin dia menutupinya.

Melody selalu mengancam akan pergi ke tempat ayahnya, jadi aku pun tidak ingin mendesak jika belum ada bukti yang akan menyudutkannya.

“Bunda keluar dulu, aku mau mandi habis itu istirahat,” ujarnya.

Aku pun mengalah, keluar dari kamar Melody.

Pintu langsung dikuncinya dari dalam. Tidak biasanya Melody seperti ini.

Saat makan malam, terpaksa aku harus memberikan obat tidur secara diam-diam pada minuman Melody. Aku sama sekali tidak bisa menunggu sampai besok untuk mencari tahu.

Setelah memastikan Melody tertidur, aku masuk menggunakan kunci cadangan.

Maafkan Bunda yang lancang, Nak. Tapi ini demi kebaikanmu juga, Bunda tidak ingin kamu sampai terjerumus pada pergaulan tidak baik.

Kuraih tangan Melody untuk membuka akses ponselnya. Hal pertama yang kucari adalah aplikasi pesan berlogo gagang telepon.

Percakapan paling atas langsung kubuka.

Mataku terbelalak, tangan langsung gemetar saat melihat foto -foto Melody yang memamerkan tubuhnya tanpa sehelai benang pun. Air mata berjatuhan tanpa bisa kutahan.

[Beruntungnya aku memilikimu. Kamu bikin aku selalu on, Baby. Minggu depan aku akan mampir ke rumahmu lagi.]

Dadaku seperti dihantam palu godam apalagi saat menggulir layar ke atas dan mendapati foto lelaki yang saat ini mengisi hatiku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status