Kancing kemeja yang dikenakan Melody sudah terbuka. Tanda merah di dadanya membuat kepalaku langsung mendidih.
Tidak hanya Nino dan Melody yang ada di ruangan ini, tapi ada tiga orang lainnya, satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.Di meja terlihat botol-botol wine yang sebagian sudah kosong.“Sayang, karena kebetulan ada di sini. Sekalian kuperkenalkan pada teman-temanku.”Tanganku mengepal di kedua sisi tubuh, berbalik menatap Nino.“Mereka teman-temanmu?” tanyaku dengan dada bergemuruh.“Iya. Sebelum menemuimu aku bertemu dengan mereka karena kamu bilang mau berlibur bersama dengan anak-anakmu, aku tidak mau ganggu. Tapi ternyata kita berlibur di tempat yang sama.”“Siapa gadis itu?” Tanganku mengarah pada Melody.“Dia temanku juga? Jangan berpikir macam-macam, sayang. Aku di sini tidak sendiri.”“Apa yang terjadi padanya sampai terkapar begitu?”“Dia meminum wine satu gelas dengan sekali teguk jadi langsung tepar. Tapi aku tidak minum, sungguh. Aku sudah berjanji padamu.”Nino beralih pada temannya menyuruh mereka untuk pergi, “Sekalian bawa Melly pergi juga.”Melly?“Melly? Namanya gadis itu Melly?”Nino mengangguk.“Bro, boleh dong cicip dikit cewekmu!”“Jangan sentuh putriku!” teriakku dengan mata memanas dan tubuh gemetar. Mengarahkan telunjuk pada lelaki yang akan membawa Melody.“Di-dia ... putrimu?” Nino terlihat kaget, “jangan bercanda!”Selama ini dia memang tidak pernah tahu seperti apa rupa kedua putriku. Bahkan aku tidak memberitahu alamat rumah karena tidak ingin dia nekat datang untuk mendekati kedua putriku meski niatnya untuk merebut hati mereka agar bisa mengizinkanku menikah.“Sayang ....” Melody mengigau, dia bangkit dengan susah payah aku langsung menghampirinya tapi dia malah mendorongku.“Minggir, Bunda!” Dia masih mengenaliku.“Melody!”Melody berjalan sempoyongan dan hampir ambruk tapi Nino dengan cepat meraih tubuhnya. Dia tersenyum pada Nino, tangannya bahkan mengelus pipi Nino.“Sayang, kenapa Bundaku ada di sini?”Hatiku mencelos mendengar itu. Apa selama ini dugaanku tidak salah? Melody dan Nino ada main di belakangku?Aku selalu berpikir positif karena tidak ingin merusak segalanya. Tapi semuanya kini terbuka di depan mataku sendiri.“Sayang, jangan salah paham. Dia sedang mabuk jadi hanya meracau saja.” Wajah Nino tampak memucat, “dia mengira aku in-”Plak!Satu tamparan kulayangkan di pipinya.“Bangs*t! Selama ini kamu bermain di belakangku dengan putriku!”Aku menarik tangan Melody agar terlepas dari Nino.“Jangan seperti ini, Sayang. Aku tidak tahu dia putrimu. Sungguh.”“Hubungan kita cukup sampai di sini, jangan pernah muncul di hadapanku dan putriku lagi.” Tangisku yang mencoba dibendung pecah seketika.Semua impianku hancur seketika, cintaku, putriku dan masa depannya.“Bunda, lepas!” Melody dari tadi meronta tapi aku memaksanya, menyeret keluar dari kamar itu.Nino masih mengikutiku mencoba untuk menjelaskan tapi saat ini tidak ada satu kata pun yang bisa masuk ke dalam telingaku. Telinga ini rasanya berdengung.“Pak, boleh minta tolong bawa putri saya ke kamarnya.” Aku meminta tolong pada kedua orang security yang kebetulan lewat.Aku tidak bisa membawanya seorang diri apalagi Melody terus berontak dan berteriak.“Baik, Bu.”“Sayang.” Nino mencoba meraih tanganku.Dengan kasar langsung kuhempaskan, “Anggap kita tidak saling mengenal.”“Kamu tidak bisa seperti ini, setidaknya dengarkan dulu penjelasanku.”Aku tidak memperdulikan Nino dan menyusul dua orang security tadi yang membawa Melody ke kamar, mereka sudah keluar lagi. Dengan cepat mengunci pintu setelah Melody sudah dibaringkan, tidak ingin melihat Nino.Tubuhku luruh ke lantai dengan tangis yang tidak berhenti.Semuanya sudah hancur. Percintaanku kembali gagal dan yang membuatku sangat terpukul aku gagal menjaga putriku, aku gagal menjadi seorang ibu.“Bunda, Bunda kenapa?”Aku tak sanggup bicara, lidah ini rasanya kelu.“Bunda.” Maura malah ikut menangis.Saat ini aku tidak bisa pura-pura kuat setelah semuanya hancur tak bersisa. Kenapa takdir sejahat ini padaku sampai memberikan cobaan yang bahkan rasanya tak mampu kuhadapi.Kenapa harus putriku, Nino? Kenapa? Diantara banyak gadis di luaran sana kenapa harus Melody.Bunda akan merelakan apapun untukmu, tapi tidak dengan cara seperti ini. Andai mereka menjalin kasih terang-terangan, aku lebih rela melepas Nino demi kebahagiaan Melody daripada harus melihat mereka main di belakang dan menghancurkan segalanya.Bunda lebih bisa menghadapi kamu yang keras kepala daripada seperti ini. Bunda hancur melihatmu menghancurkan masa depanmu sendiri.Ya Allah, sakit sekali rasanya. Aku tidak kuat. Hancurnya berkali lipat dengan rasa yang tak terlukiskan.Bersambung ....“Bunda, kepalaku sakit.” Suara Melody terdengar lirih, meringis sambil memegangi kepalanya.Aku beranjak meninggalkan sofa, memberikan air pada Melody. Semarah-marahnya aku, tidak mungkin membiarkannya sendirian dalam keadaan seperti ini.“Pengen muntah,” rengeknya.Kupapah dia menuju kamar mandi.Tadi malam saja Melody dua kali muntah, sampai aku meminta pihak hotel menghubungi dokter. Terlalu banyak mengonsumsi minuman keras, penjelasan dari dokter. Melody memiliki kondisi lambung yang tidak sehat, diberikan wine tentu saja tubuhnya akan beraksi seperti ini. Aku sempat takut, berpikir jika dia hamil ternyata hanya karena efek minum wine.“Perut aku sakit, Bun.”“Badan aku lemas.”“Kepala pusing.”Berulang-ulang dia mengucapkan itu, tanpa membicarakan apa yang terjadi tadi malam aku lebih fokus merawatnya. Melody harus pulih dulu baru akan kutanya soal kebenaran hubungannya dan juga Nino.Sepertinya dia juga tidak menyadari bagaimana bisa kembali ke kamar ini. Dalam kondisi sakit man
Aku menggeleng, “Melody tidak hamil, Bu. Saat dokter memeriksa saja mengatakan Melody mual dan muntah bukan karena hamil.”Ibu menghela nafas panjang, mengeluarkan testpack dengan dua garis dan juga sebuah amplop putih. Ditaruhnya kedua benda itu di meja.“Buka,” titah Ibu.Aku mendongak, “Bu-”“Buka, Serra!”Dengan tangan gemetar aku mengambil amplop itu dan membukanya. Lututku lemas, tubuh ini luruh ke lantai saat membaca hasil yang menegaskan jika memang saat ini Melody tengah berbadan dua.“Bu, ini pasti tidak benar. Melody selalu berada di rumah, dia-”“Kemarin saat kamu tidak di rumah, diam-diam dia datang menemui Ibu dan minta diantar ke rumah sakit, Ibu pikir dia sakit tapi ternyata ....” Bibir Ibu tampak bergetar dengan mata yang berkaca-kaca.Kepalaku terasa berdenyut hebat mendengar kabar yang tidak diharapkan ini.Penderitaanku masih berlanjut, kenapa ini harus terjadi? Kenapa harus ujian seperti ini yang aku hadapi?Air mata kembali mengalir dengan derasnya. Dengan sisa t
“Jangan gila kamu.” Aku menepis tangannya dengan keras hingga serpihan itu jatuh ke karpet, “untuk apa mati sedangkan dia yang menghancurkanmu bisa hidup bahagia! Jangan konyol, pakai dengan baik otak cerdasmu itu!”Tangis Melody pecah, “aku tidak mau ditinggalkan dia, Bun. Aku juga tidak mau dia dimiliki orang lain, dia hanya milikku.”Tanpa kata, aku mengambil ponsel Melody dari tangan Mas Tian. Diam-diam membuka aplikasi pesan namun tidak ada riwayat chat selain grup-grup. Apa Melody sudah menghapusnya?Menghubungi Nino dari ponselku, karena tidak bisa dengan nomor dari ponsel Melody. Terpaksa aku membuka blokiran nomor Nino. Melody saja mengatakan jika Nino yang menghamilinya bukan Edwin.Kutarik nafas dalam-dalam saat menunggu panggilan tersambung.“Sayang, akhirnya kamu menghubungiku. Aku khawatir, aku minta maaf. Aku bisa menjelaskan semuanya. Kamu salah paham.”Hatiku kembali perih padahal hanya suaranya yang kudengar. De
“Jangan pernah bicara apa pun pada Melody soal hubungan kita!” Kuhempaskan tangannya lalu menghampiri Melody yang dibawa Mas Tian ke kamar.Kalau sampai Nino tetap kuekeh, maka akan sulit. Melody tidak ingin melepaskan dan Nino tidak ingin menikahi.Tapi apa yang tadi diucapkannya memenuhi benakku. Tidak, aku tidak akan termakan omongannya. Orang yang bersalah pasti tidak akan mengakui kesalahannya, hanya orang pengecut yang melakukan hal itu.“Laki-laki itu harus menikahi Melody sekarang juga!” ujar Mas Tian lalu keluar dari kamar setelah membaringkan Melody.“Susul dia, jangan sampai mereka ribut. Biar Melody, ibu dan Asih yang urus.”“Tapi, Bu-”“Pergi, Ra. Tidak enak kalau sampai didengar tetangga, nantinya semakin banyak orang yang tahu!”Ibu benar. Dampaknya akan sangat buruk kalau sampai ada orang luar yang tahu soal masalah ini. Aku mengikuti Mas Tian keluar dari kamar.“Mas! Jangan memakai kekerasan lagi!” Aku mencegah Mas Tian yang akan menghajar Nino lagi.Meski sebenarnya
“Mas Tian.” Mataku terbelalak melihat Mas Tian berdiri di sana.Nino masih betah di posisinya seolah tidak peduli pada orang lain.“Biarkan dia tahu kalau aku ini calon suamimu, sayang,” ujar Nino dengan santainya.Tubuh Nino ditarik dari belakang.Bugh!Aku meringis melihat Mas Tian kembali melayangkan kepalan tangannya mengenai wajah Nino.“Kau ingin menikah dengan Serra tapi meniduri anaknya? Bangs*t!”Nino menyeka sudut bibirnya yang kini dua-duanya mengeluarkan darah, dia mundur beberapa langkah.Bugh!Dengan cepat tangannya melayangkan bogem mentah membuat Mas Tian terjatuh bahkan keluar darah dari hidungnya. Bisa kupastikan itu sangat keras, lebih keras daripada saat Mas Tian menghajar Nino tadi.“Cukup!” Aku menahan Nino yang menarik kerah baju Mas Tian. Melepaskan paksa tangan lelaki itu.“Dari tadi aku diam, tapi aku tidak suka seperti ini,” geram Nino.“Kau memang pantas, bahkan aku belum puas memukulimu!” teriak Mas Tian.“Hentikan! Jangan seperti anak kecil. Pertengkaran
“Kau pelakunya ‘kan?” Nino mencengkeram pundak Edwin.Edwin langsung mengangkat tangannya, “Wah, aku mana mungkin berani menyentuh Melody. Dia ‘kan cinta mati padamu, Bang. Aku tidak akan berani menyentuh milikmu.”Mataku membulat mendengar itu. Apa benar yang dikatakan Edwin kalau Melody sangat mencintai Nino?“Jangan sembarangan bicara kau itu! Apa yang kau katakan membuat semuanya semakin rumit!”“Abang tidak mau tanggung jawab?”Semua mata langsung tertuju pada sosok Melody yang berjalan mendekat dengan berderai air mata.“Untuk apa? Bukan aku yang menghamilimu.” Nino tetap teguh dengan apa yang diakuinya.Melody menggeleng, “Abang menganggap aku wanita murahan yang bisa ditinggalkan begitu saja setelah apa yang sudah kita lakukan?”“Memang apa sih yang sudah aku lakukan padamu? Bertemu saja baru dua kali tapi lagakmu seperti kita punya hubungan!”“Mel, bicara yang sebenarnya. Tidak usah takut, katakan siapa laki-laki itu?” Aku menghampiri Melody yang kini tangisnya sudah pecah.“
“Edwin kabur, Bu.”“Apa?” Ibu juga tampak kaget.“Tadi Mas Tian menelponku, dia berpikir tesnya sudah selesai.” Rasanya lemas sekali lututku.Apa yang dilakukan Edwin malah mempertegas jika dirinya memang ada hubungannya atau mungkin dia yang membuat Melody hamil makanya tidak berani untuk melakukan tes DNA.“Biarkan saja, Bun. Toh ayah bayiku itu Bang Nino bukan Edwin.”Ini yang membuat kepalaku seperti ingin pecah, Melody malah terus bicara dan mengatakan Nino pelakunya sedangkan di sini gelagat Edwin yang mencurigakan. Nino bahkan terlihat santai dan tidak merasa diintimidasi“Bunda tidak akan percaya pada siapapun, Bunda hanya akan percaya pada hasil tes yang dilakukan barusan. Kalau memang Edwin kabur berarti dia pelakunya.”“Bukan Edwin, Bun!” Melody berdecak sambil mengentakkan kakinya kesal.“Kenapa kamu malah membela Edwin? Sikapnya itu sangat mencurigakan.”“Sudah, Bun!” Nino mengelus pundakku
“Dok, apa hasil tes Edwin memang cocok?” Aku juga harus melihat hasilnya.Dokter membuka amplop yang kedua dan membacanya, seperti tadi memperlihatkan kertas itu pada kami.“Hasil tesnya cocok.”“Tidak mungkin!” Melody malah menjerit histeris, “Ed, ini tidak benar ‘kan? Kamu bilang-”“Kita bicara di rumah saja.” Aku membawa Melody keluar dari ruangan dokter.Tidak mungkin membicarakan hal pribadi di rumah sakit apalagi dengan reaksi Melody seperti ini. Ada yang masih mengganjal dalam hatiku meski tidak bisa dipungkiri kalau memang aku merasa lega karena bukan Nino yang melakukannya.Soal hubunganku dan Nino masih bisa dibicarakan di waktu yang lain karena untuk sekarang yang terpenting adalah urusan Melody selesai.Di belakang mobilku, mobil Nino mengikuti, Edwin juga di sana.“Bunda. Hasil tesnya pasti salah, mungkin keliru.”“Mel. Tolong jangan membuat Bunda semakin pusing. Apa kamu tadi tidak mendeng