Share

Chapter 3

"Seminggu besok gue nginep di rumah lo, ya?"

"Ngapain?"

"Belajar lah. Besok Senin kan udah ujian akhir, gue gak mau kalah dari lo."

Beberapa kendaraan berlalu-lalang di depan mereka. Jalanan juga ramai oleh orang-orang yang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Banyak anak kecil berlarian di toko mainan seberang jalan. Wajar saja, hari terus mendekati musim liburan sehingga pasti banyak yang melengkapi kebutuhan masing-masing.

Keenan dan Arga masih menunggu bus jemputan datang. Sekarang sudah pukul 3.00 pm, tetapi bus tak kunjung datang. Mereka sudah menunggu sekitar lima belas menit di halte sambil memerhatikan kesibukan kota.

"Gue ajak Finn juga, ya?" tanya Arga lagi.

"Ajak aja. Rumah gue selalu terbuka buat pengungsi kaya kalian," jawab Keenan lalu terkekeh kecil.

"Dasar lo. Btw, Finn belum pernah ke rumah lo ya?"

"Belum. Dia sibuk terus sama YOS."

“Hm gue jamin seratus persen habis Finn tau rumah lo, dia jadi sering main.”

“Kok gitu?”

“Yaelah jangan sok polos, Keen. Rumah lo tu udah kaya mall. Semua ada di sana. Lagian siapa juga yang gak betah.”

“Ish dasar lo. Jadi lo manfaatin gue doank?”

“Eh enggaklah. Kita simbiosis mutualisme, Bro!” jawab Arga sembari merangkul Keenan. Sementara orang yang dirangkulnya hanya memutar bola matanya.

Semburat cahaya langit ungu kemerahan menghias pemandangan kota. Lampu jalanan mulai dihidupkan. Pejalan kaki mulai berkurang karena sore hampir habis. Mereka pasti pulang ke rumahnya masing-masing untuk berkumpul dengan keluarga. Keenan masih berada di dalam bus yang hendak mengantarnya pulang, sementara Arga sudah turun di pemberhentian sebelumnya. Katanya besok sore ia akan ke rumah Keenan karena mulai besok lusa ujian akhir dimulai.

Setiba di rumah, Keenan langsung membenamkan dirinya di ranjang empuknya. Hari ini sangat melelahkan baginya karena beberapa kejadian menimpanya. Kejadian tadi pagi ketika ia harus berlarian menuju kelas karena bel berbunyi berbarengan dengan turunnya dari bus, kemudian kejadian tadi siang di koridor saat ia tidak sengaja menabrak guru yang membawa tumpukan buku hingga berserakan di lantai. Akibatnya ia disuruh membantu membawa tumpukan buku itu ke perpustakaan di lantai tiga menaiki tangga. Dilanjut dengan kejadian saat Keenan berjalan dari halte menuju rumahnya, ia harus ketiban sial lagi karena hoodie yang ia pakai menjadi kotor terkena cipratan lumpur dari mobil yang melaju kencang. Sungguh, hari ini memang hari sial baginya.

Pikiran Keenan melayang kemana-mana. Mulai dari project yang menjadi tanggungjawabnya hingga pikiran abstrak tentang imajinasi-imajinasinya yang ia buat. Lama kelamaan matanya mulai berat dan ia tak kuasa menahan rasa kantuknya.

Nada dering ponsel berbunyi menampakkan nama seseorang. Menyadari hal itu, Keenan membuka matanya yang masih berat dan beranjak ke nakas untuk mengambil ponselnya. Arga. Begitu nama yang tertera di layar.

"Apa sih, Ga? baru aja pisah udah telepon aja," ucap Keenan yang masih mengantuk karena baru saja bangun tidur. Suaranya masih serak.

“Gue di depan rumah lo.”

"Ngapain? Kan lo nginepnya masih besok."

“Udah buruan sini. Lo pasti baru bangun kan? Dari tadi gue telpon gak dijawab.”

"Hmm ... jam berapa emang sekarang?"

“Sepuluh.”

"Ha?! Gue tidur lama banget donk." Keenan melihat jam yang tertera di ponselnya. Benar saja, ternyata sudah menunjukkan pukul 10.09 pm. Tandanya Keenan sudah tidur sekitar lima jam.

"Lo masuk aja dulu. Ntar gue suruh bibi bukain pintu," lanjut Keenan.

“Okay.”

Dengan rasa kantuk yang masih menyelimuti dirinya, Keenan beranjak ke wastafel untuk sekadar membasuh wajah. Bajunya juga belum ganti sejak pulang sekolah tadi. Ia lalu mengganti bajunya dan menyisir rambut supaya tidak terlihat berantakan. ”Nah, gini kan udah ganteng,” batin Keenan seraya tersenyum tipis. Tangannya masih sibuk menata rambut.

Di ruang tamu, sudah ada Arga yang duduk di sofa. Ralat, bukan duduk, tapi Arga tiduran. Kakinya ia selonjorkan dan dengan santainya ia memakan camilan yang telah dihidangkan di meja tamu. Arga sudah sering main ke rumah Keenan jadi ia tidak merasa canggung dengan rumah ini. Ditambah orang tua Keenan juga sedang tidak di rumah jadi ia bisa bersikap lebih santai.

"Lo ngapain?" Suara Keenan membuat Arga menolehkan kepalanya ke arah sumber suara.

"Bosen, orang di rumah gue lagi pada pergi."

Mendengar jawaban itu, Keenan langsung membalikkan badannya. Ia kira ada urusan penting atau ada sesuatu yang perlu dibicarakan. Kalau hanya karena Arga bosan, ia rasa itu sama sekali tidak penting.

"Eh lo mau kemana?" cegah Arga saat Keenan sudah mau meninggalkannya.

"Ke kamar lah, gue kira ada apaan."

"Tunggu-tunggu woy!!! Ngafe aja yuk," ajak Arga sembari mengubah posisinya menjadi duduk.

"Gak ah," jawabnya ketus.

Arga tidak pantang menyerah. Ia terus membujuk Keenan supaya mau diajak keluar. Dengan berbagai iming-iming dan perjanjian, akhirnya Keenan menyetujuinya. Lantas, mereka berdua menuju kafe yang terletak di pusat kota.

Pemandangan malam hari memang selalu memanjakan mata. Lampu-lampu gedung yang bersinar, jalanan yang ramai dengan kendaraan, orang-orang yang berlalu-lalang di pinggir jalan, ditambah bentuk bulan yang nyaris sempurna. Arga fokus menyetir sambil ikut bernyanyi bersama musik di radio yang ia putar.

Tidak sampai sepuluh menit, ia sudah memarkirkan mobilnya di sebuah kafe. Dari dinding kaca, beberapa anak muda terlihat sedang berkumpul bersama teman-temannya di dalam kafe. Ada yang bermain UNO, bridge, dan sekadar mengobrol santai sambil menyeduh minuman hangat.

Hiruk-pikuk alunan musik bercampur obrolan menyambut mereka ketika menginjakkan kakinya di area kafe. Keenan memesankan minuman, sedangkan Arga mencari tempat duduk.

"Hazelnut latte sama mochaccino satu," ujar Keenan kepada seorang barista.

"Atas nama siapa, Kak?"

"Yang hazelnut atas nama Keenan yang satunya Arga."

"Baik kak, mohon ditunggu dulu."

Beberapa saat kemudian, minuman yang dipesan sudah dihidangkan di atas nampan. Keenan menuju meja sambil membawa nampan sebagai alas dua gelas minuman. Arga telah menunggu sambil memainkan ponsel miliknya. Matanya melirik sedikit untuk memastikan yang datang adalah Keenan. "Thank you, bro!” ucapnya setelah Keenan menaruh kedua minuman tersebut. Sesuai kesepakatan sebelum berangkat, Arga mengambil dompetnya dan mengganti uang Keenan. Kali ini Arga yang traktir.

“Loh, nama gue kok jadi Arya?” tanya Arga setelah menyadari nama di gelasnya bukan Arga, melainkan Arya.

“Mana gue tau hahaha.” Keenan sendiri pun juga baru menyadarinya.

“Ish lo sengaja pasti.”

"Bodo amat. Udahlah gak usah lebay cuma persoalan nama. Hm btw gue mau tanya sama lo."

"Tanya apaan?"

"Lo udah mikirin tentang omongan Finn kemarin, belum?"

"Yang pasangan prom night?"

Keenan mengangguk. List nama dan foto siswi Silverleaf yang akan dibawa Finn hari ini terpaksa dibatalkan karena ia lagi-lagi sibuk mengurusi YOS.

"Belum sih. Besok kita bahas aja di rumah lo waktu nginep. Gue juga udah ngingetin Finn buat bawa daftar cewek itu."

"Oohh ..." Keenan kembali menyeruput sedikit minumannya.

“Ah tapi lo mau berangkat, Keen? Gue sebenernya ogah.”

“Entah. Tapi kan kita juga udah kasih syarat ke Finn. Kalau dia bisa jalanin keduanya ya otomatis kita ikut. Makanya gue tanya sama lo.”

“Iya sih lo juga bener.”

Beberapa saat kemudian mereka berdua hanya sibuk memainkan ponselnya masing-masing. Belum ada obrolan lagi.

"Lo bahas apa gitu daripada diem doank. Lagian lo kan yang ngajak ke sini," kata Keenan.

"Apa ya? Gue juga bingung. Tiap hari ketemu lo dan semua udah gue ceritain."

"Oh ada yang belum lo ceritain! Gue inget."

"Apaan?"

"Itu, cerita lo dulu waktu nembak si —"

"Jangan sebut namanya! Udah lah Keen, gue gak mau bahas itu." Arga mendengus kesal. Kalau diingat-ingat lagi, itu kejadian yang paling memalukan sepanjang hidupnya. Ia merasa trauma saat menyatakan cintanya di depan umum. Arga tidak pernah menceritakan kejadian memalukan itu kepada siapapun termasuk Keenan dan Finn. Namun, berita itu sudah menyebar sangat cepat sehingga Keenan dan Finn mendengarnya dari orang lain walau tidak secara detail.

Mendengar balasan itu, Keenan hanya tertawa. Ia senang menggoda temannya. Perbincangan mereka mengalir begitu saja. Walaupun tadi mereka kehabisan topik, tetapi akhirnya mereka bercerita mengenai masa depan dan impian masing-masing. Arga sempat bercerita bahwa impiannya yang paling dekat ingin masuk ke jurusan arsitektur. Namun, orang tuanya menyuruhnya masuk ke kedokteran seperti Ibunya. Bagaimanapun juga itu masih membuat Arga merasa pusing. Di satu sisi ia menyukai hal-hal yang berbau seni dan menghitung, tetapi tidak dengan orang tuanya. Memang, selama ini Arga juga tidak memiliki masalah dengan pelajaran Biologi, tetapi ia rasa Biologi bukan pelajaran favortinya.

Seorang gadis menabrak Keenan saat ia baru keluar dari toilet. Tadi ia izin ke toilet di sela-sela oborlannya dengan Arga. Gadis ber-hoodie pink dengan rambut ponytail itu langsung menundukkan pandangan.

"Maaf," ucapnya seraya berusaha menyingkir dari pandangan Keenan. Wajahnya tidak terlalu jelas karena ia menunduk. Ditambah lagi ia hanya memiliki tinggi sebahu Keenan.

"Lo gapapa kan?" tanya Keenan sebelum gadis itu pergi. Sepengelihatannya, setelah tabrakan kecil tadi, ia melihat gadis itu mengelus-elus dahinya.

"Iya gapapa." Hanya jawaban singkat yang terucap dari mulutnya, kemudian gadis itu pergi begitu saja.

Keenan hanya mengedikkan bahu lalu kembali ke mejanya.

"Lo kenapa? " tanya Arga setelah Keenan kembali ke kursinya.

"Engga kok, cuma ada orang nabrak gue terus langsung pergi gitu aja."

"Modus ya lo pasti?!"

"Enak aja. Dia yang nabrak masa gue yang modus."

"Cewek?"

Keenan mengangguk. Namun, sebenarnya itu bukan masalah baginya. Toh juga cuma tabrakan biasa tanpa menimbulkan korban atau luka yang serius. Keenan memilih melupakan itu semua.

Perbincangan mereka berdua terus berlanjut hingga larut malam. Arga seringkali melontarkan kisah-kisahnya semasa kecil saat ia bertingkah konyol. Kalau dibayangkan, Arga sering geli dengan perilakunya dahulu. Keenan lebih sering menyimak cerita Arga dan sesekali menimpali dengan kisah miliknya.

Hari sudah berganti. Jam telah menunjukkan pukul dua belas lebih. Keenan dan Arga memutuskan untuk pulang karena hari sudah larut malam.

Namun, tanpa disadari, ternyata ada yang mengamati Keenan secara diam-diam di kafe. Sejak kedatangan Keenan dan Arga, orang itu sudah memerhatikan Keenan. Seperti ada hal yang mengganjal dalam dirinya. ”Apakah dia?” batin orang itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status