"Kuliah sih iya tinggi, S2, tapi nganggur juga," Sabrina memutar bola matanya kesal mendengar ucapan salah satu tetangganya yang tengah berkumpul di salah satu teras rumah Apalagi kalau bukan bergunjing?
Jika norma dan etika tidak ada di dunia ini, mungkin sekantung plastik berisi sayuran dan bumbu dapur yang ia tenteng sudah terlempar ke kerumunan tetangganya itu.
Sabrina menghela nafas. Ia menendang kerikil jalanan. Apa yang salah dengan tidak bekerja? Aku tuh nggak santai-santai aja kok! Aku cari kerja juga! Nggak tahu kan mereka sudah berapa amplop cokelat yang habis untuk paket dokumen lamaran kerjaku? Nggak tahu kan mereka sudah berapa lowongan perusahaan yang aku daftar? Nggak tahu 'kan mereka betapa percaya dirinya aku daftar ke perusahaan yang bahkan belum buka lowongan kerja?
Sabrina beringsut. Kadang ingin rasanya ia pindah saja dari rumah ini. Lingkungan sekitar sungguh toxic. Persaingan dimana-mana. Kekurangan selalu dicari. Seperti saat ini, Sabrina menjadi satu-satunya perempuan muda dilingkungan rumahnya yang memiliki gelar Magister. Ya! Sabrina menghabiskan waktunya untuk mendapatkan gelar S2 di bidang manajemen. Akibatnya, menonjolnya pendidikan Sabrina membuat beberapa ibu-ibu yang anaknya kalah saing mengorek kekurangannya agar anak mereka tidak terlihat kalah.
Sesampainya dirumah, Sabrina melempar plastik belanjaannya ke atas meja dapur. Bunda yang tengah mengupas bawang tahu kenapa putri sulungnya itu tampak kesal sepulang dari warung.
"Bu Fenti lagi?" Tebak Bunda saat melihat putrinya kembali ke rumah dengan wajah kusut.
Sabrina mendengus kesal. "Ibu itu kalau nggak menggunjing nggak hidup kayanya ya, Bun," sebalnya. “Semakin hari, dia semakin berani menggunjing di depanku, Bun. Aku ‘tuh salah apa, sih sama dia? Perasaan aku nggak pernah berbuat salah sama keluarga dia,” sebalnya.
"Bu Fenti memang begitu. Kamu 'kan tahu sendiri anaknya perempuan juga. Jadi kaya bersaing sama kamu," hibur Bunda.
"Ya tapi untuk apa lho membahas soal aku sama tetangga-tetangga lain? Dia mau cari kubu? Mau cari tetangga yang pemikirannya dangkal kayak dia? Apa keuntungannya buat dia dengan menggunjing seperti itu? Bunda tahu nggak sih, kalau yang dia gunjingin nggak cuma perkara aku S2? Dia juga membahas perkara aku belum kerja. Belum lagi topik panas seputar aku belum nikah, Bunda! Kenapa sih di sini umur dua puluh sembilan belum nikah jadi masalah? Kan biaya nikahku juga bukan dia yang nanggung?!" Sabrina mencak-mencak.
Bunda tertawa melihat kemarahan putri sulungnya itu. "Namanya juga tetangga, Sayang. Pasti ada yang suka sama kita, ada juga yang nggak suka. Kalau soal pekerjaan, Bunda percaya kamu sudah berusaha untuk mencari. Bunda saksi mata kamu ngirim banyak sekali Curriculum Vitae ke semua lowongan pekerjaan. Kalau soal menikah, itu pilihan kamu. Tapi, menurut Bunda, ada baiknya kamu tanyain ke Dewa kapan mau nikahin kamu. Kalian pacaran sudah lama lho. Umur Dewa juga sudah masuk usia matang, kamu juga. Bunda kadang heran juga apa yang kalian cari lagi, kok menunda nikah," ujar Bunda.
Sabrina menghela nafas. Dewa adalah kekasihnya. Sudah enam tahun mereka menjalin kasih. Tapi sepertinya, pernikahan belum menjadi prioritas mereka berdua. Dewa masih fokus pada perusahaan startupnya di bidang pengembangan game online. Sedangkan Sabrina, seperti diketahui, dia berusaha mendapatkan pekerjaan agar Bu Fenti, tetangga julidnya itu bisa berhenti menggunjingi dirinya. Dia lelah setiap kali bertemu Bu Fenti, Bu Fenti selalu membahas topik yang sama, pengangguran dan melajang di usia dua puluh sembilan tahun.
Pernah suatu kali, Sabrina mendengar Bu Fenti menyindirnya yang baru diantar pulang dari menonton film di bioskop oleh Dewa. Saat itu, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Menurut Sabrina, tidak masalah ia pulang di waktu itu karena Bunda dan Ayah pun mengetahuinya. Berbeda dengan penilaian Bu Fenti. Ia menganggap Sabrina ‘nakal’ karena pulang larut malam. Ia sempat mendengar samar mulut jahat Bu Fenti berucap,"pacaran sampai malam. Lama-lama sampai pagi, tuh. Nikah aja halal, yang dicari yang haram,"
Jika mengingat ucapan Bu Fenti, Sabrina sangat kesal. Dipikir-pikir, untuk apa dia berbicara seperti itu sementara Lola, anak perempuan semata wayangnya juga melalukan hal yang sama. Bahkan Lola sering pulang di waktu lewat tengah malam! Dulu, pada saat Sabrina tengah bergadang hingga larut mengerjakan tesisnya, dari jendela kamarnya, Sabrina sering memergoki Lola berjingkat masuk ke dalam rumah.
Tidak jauh berbeda dengan Bunda yang terkesan santai dan tidak mengambil pusing dengan tingkah menyebalkan Bu Fenti, Dewa pun hanya tertawa saat Sabrina mengadu. Dewa! Ini bukan hal yang lucu untuk ditertawakan! Kita sedang menghadapi ibu-ibu Toxic menyebalkan!
"Sayang, Bunda nggak maksa kamu buat nikah kalau kamu memang belum mau,” ujar Bunda sambil mengelus rambut Sabrina. “Cuma ya itu.. Resikonya akan ada Bu Fenti lain yang mungkin akan ikut bersuara karena kamu sendiri tahu seperti apa lingkungan kita. Bunda cuma berpesan, baik-baik sama Dewa, jangan macam-macam biar Bu Fenti nggak semakin gencar cari-cari kesalahanmu," pesan Bunda.
Sabrina cemberut. Harusnya Bu Fenti yang memperbaiki diri agar tidak suka ikut campur dalam urusan orang lain! Kenapa malah aku yang harus jaga sikap?!
"Terus gimana soal kerjaan? Udah ada panggilan interview?" Bunda mengalihkan pembicaraan mereka sambil melirik setumpuk amplop cokelat perjuangan Sabrina merayu perusahaan agar mau menerimanya bergabung sebagai bagian dari mereka.
Sabrina menggeleng. "Nggak ada. Nggak punya jalur ordal sih," ia senewen.
"Ordal?" Bunda mengeryitkan dahinya mendengar istilang Ordal. "Apa itu Ordal?"
"Orang dalam!" Ketus Sabrina.
Bunda tertawa terbahak-bahak mendengar kepanjangan dari Ordal. Ya memang tidak bisa dipungkiri. Dalam dunia kerja, kekuatan orang dalam alias orang yang bekerja diperusahaan yang diituju, tidak bisa diremehkan. Besar kemungkinan apabila orang dalam tersebut merekomendasikan pelamar kerja --Bahkan jika orang dalam tersebut mempunyai posisi yang cukup strategis diperusahaan—pelamar kerja memiliki peluang diterima lebih besar dibanding pelamar yang tidak memiliki kenalan orang dalam. Tentu saja tidak semua perusahaan seperti itu. Tetap ada perusahaan yang merekrut karyawannya secara adil tanpa mempertimbangkan rekomendasi orang dalam.
"Bukan masalah orang dalam sayang," Bunda menyentil dahi Sabrina tidak setuju. "Ini masalah rejeki. Rejeki, jodoh, maut, itu semua ditentukan sama Tuhan. Rejeki kamu bukan di perusahaan-perusahaan itu, jadi kamu jangan kecewa. Mau kamu punya kekuatan seribu orang dalam pun kalau rejekimu bukan disitu, nggak akan diterima juga," Bunda menasehati Sabrina dengan lembut.
"Tapi Bunda, nanti Bu Fenti-" Sabrina menyela.
"Nggak usah kamu pikirin pendapat Bu Fenti. Kamu ‘kan anak Bunda, bukan anak Bu Fenti. Bunda tidak pernah menuntut kamu untuk cepat mendapatkan pekerjaan karena prinsip Bunda itu tadi, rejeki, maut, jodoh ditentukan oleh Tuhan. Bunda cuma bisa berdoa supaya kamu cepat dikasih rejeki dan juga..berjodoh sama Dewa secepatnya ya," tandas Bunda. "Kamu berusaha sebisa kamu, sesuai kapasitas kamu, lalu serahkan sama Tuhan," Bunda menepuk puncak kepala Sabrina lembut lalu kembali melanjutkan kegiatannya untuk menyiapkan sarapan.
Pagi itu, jalanan Ibu kota ramai lalu lalang kendaraan dan pekerja kantoran yang berangkat untuk mengais rejeki. Sebuah mobil sedan hitam masuk ke halaman lobi gedung perkantoran. Seorang pria berusia tiga puluh tahun turun dari bangku penumpang. Ia mengenakan setelan jas hitam dengan kemaja biru donker sebagai dalamannya. Di tangan kanannya, tertenteng sebuah tas laptop sementara di tangan kirinya, tergenggam ponsel keluaran terbaru yang terus berdering menuntut jawaban. Kehadiran pria itu membuat para karyawan yang semula duduk santai di lobi, berbincang dengan sesame karyawan lain, mendadak gugup. Mereka bergegas berdiri, berpura-pura sibuk dan menghindarinya. Pria dengan rambut yang tertata rapi itu sepertinya sangat ditakuti oleh para karyawan. Postur tubuhnya tinggi tegak, ekspresi wajahnya tegas dengan rahang kaku dan hidung mancung. Alisnya tebal, bersorot mata tajam dengan bulu mata yang lentik. Seperti itulah sosok Reyhan Malik Narendra, Direkt
Sabrina menggulirkan scroll wheel mousenya. Ia mengecek timeline salah satu media sosial biru berlogo ‘in’ miliknya. Ia menyisir informasi lowongan kerja yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Beberapa lowongan sudah ia coba masuki. Namun, tidak sedikit yang menolak karena latar belakang pendidikan pasca sarjana yang ia sandang. Mereka takut, gaji yang mereka tawarkan tidak pantas dengan gelar yang disandangnya. Mereka hanya tidak tahu, berapapun gaji yang ditawarkan, Sabrina tidak keberatan. Sebab, tujuan Sabrina saat ini hanya mendapatkan pekerjaan demi membuktikan diri pada Bu Fenti, tetangga julidnya. Suara click mouse terdengar menggema di ruang makan. Laptopnya sudah menyala sejak pagi tadi. Sembari menyisir lowongan kerja, mulut Sabrina mengunyah makan siangnya. Bunda membuat menu udang saus tiram kesukannya. "Turun kakinya!" Suara keras Bunda mengagetkan Sabrina. Ia hampir saja terse
“Sebenernya, kita mau kemana sih?” pukul setengah tujuh malam, Dewa sudah berada di rumah Sabrina. Tadi Siang, Sabrina memintanya untuk menemui seorang teman malam ini. “Mau ketemu Lia, sahabat aku waktu pendidikan pasca sarjana. Tunggu sebentar, ya!” Jawab Sabrina. Ia berlari kecil kembali ke kamarnya. Ia belum selesai bersiap. Bedaknya belum tercampur sempurna dengan bubuk putih tebal di beberapa sisi. Alisnya baru tergambar separuh dan rambutnya masih tergelung berantakan. “Kamu jangan lama-lama dandannya! Bisa tua disini aku nungguin kamu dandan!” Dewa dongkol tiap kali menunggu Sabrina berdadan. Lama! Aku mungkin bisa menyelamatkan dunia bersama ‘Avenger’ sembari menunggu Sabrina selesai berdadan, terutama saat mengukir alis dan eyelinernya! “Lebay kali, ah!” Sabrina menyahut dari kamar. Dari jendela kamarnya, ia melihat Bu Fenti di teras rumah memperhatikan
Sabrina meremas jemarinya gugup. Setelah sekian lama menjadi jobseeker, akhirnya ia harus menghadapi satu tes yang menjadi momok menakutkan bagi para pencari kerja, Interview. “Mau kemana?” tanya Bu Fenti saat melihat Sabrina mengeluarkan sepeda motornya. Ibu itu kepo sekali, sih?! “Rapi banget? Tumben?” komentarnya lagi setelah merasa diacuhkan oleh Sabrina. Bu Fenti penasaran karena hari ini penampilan Sabrina terbilang berbeda. Biasanya, Sabrina selalu mengenakan daster jika hendak ke warung atau mengenakan celana jeans dengan kemeja jika hendak pergi main. Duh Bu Fenti sampai hafal style yang sering kugunakan! Berbeda kali ini, Sabrina mengenakan blazer berwarna hitam dengan dalaman blouse berwarna cream serta dasi pita berwarna senada.. “Mau interview
Sabrina bersenandung ria pagi itu. Ini adalah hari pertamanya bekerja. Ia sangat berterima kasih pada Ibu Irene karena telah mempercayakan kemampuannya dalam menggantikan posisi Lia, menjadi sekretaris bos killer Barilga Group. Sabrina saat itu sedang mengeluarkan sepeda motornya saat mendengar suara Bu Fenti dari depan rumah. “Mau kemana?” Bu Fenti memandang Sabrina kepo. Di tangannya tertenteng beberapa bungkus sayuran dan daging basah. Sabrina tebak Bu Fenti baru kembali dari warung. “Habis beli apa, Bu?” Sabrina balik bertanya mencoba ramah pada tetangganya itu. “Nggak penting saya dari mana. Kamu mau kemana?” Bu Fenti mendengus. Ia berpendirian teguh, ingin tahu kemana Sabrina pergi sepagi ini. “Mau kerja,” jawab Sabrina kemudian. “Ha? Kerja? Yang bener aja. Ngaco,” Bu Fenti tertawa terbahak-bahak
Mereka berdua akhirnya sampai di lantai sebelas. Tidak ingin berlama-lama menghadapi wanita cerewet sok kenal seperti Sabrina, pria itu bergegas keluar dari lift dan hilang di tikungan lorong. Tinggallah Sabrina sendiri yang celingukan mencari keberadaan Lia. Ia tidak tahu pasti dimana ruangan Lia berada karena terakhir Lia menemuinya disini. “Lho?” terdengar celetukkan dari belakang Sabrina. Sabrina pun menoleh. Rupanya pria di lift tadi yang memilih untuk keluar agar Sabrina bisa masuk. “M-Mas yang tadi, ya?” sapa Sabrina. “Maaf tadi Saya lancang banget duluan naik lift. Padahal Mas sudah nunggu lama dibawah sana,” Sabrina meringis malu. Pria itu tertawa. “Santai aja, Mbak!” “Sabrina, Mas. Panggil Saya Sabrina saja,” Sabrina memperkenalkan dirinya. “Oh, aku Awang. Kamu nggak perlu manggil aku Mas.
“Kok kamu sudah pulang?” Bunda terkejut tatkala melihat putrinya sudah kembali dari rumah. Padahal, jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. “Katanya kerja?” Bunda memandang Sabrina bingung. Oh Bunda jangan memandangku bingung! Aku juga bingung, Bunda! Sabrina menggeleng tidak mengerti. “Bunda, bos aku..gila,” Sabrina membelalak ke arah Bunda. “Bunda, sini,” Sabrina menarik Bunda yang baru saja akan menyetrika pakaian yang sudah kering untuk duduk di sampingnya. Bunda harus mendengarkan Sabrina bercerita tentang kegilaan yang baru saja ia alami di kantor. “Bunda pernah nggak ketemu orang gila, tapi orang gila ini itu pegang sebuah perusahaan?” Sabrina menatap Bundanya. Alis Bunda mengerut. Ia mengerti situasi ini. Sabrina pasti menghadapi sebuah masalah di kantornya. “Ada apa, sih?” Bunda
Sabrina turun dari sepeda motornya senja itu. Ia baru saja pulang dari kantor. Ia puas dan sengaja memperlambat sepeda motornya saat Bu Fenti memandangnya sebal dari teras rumah. Ia menang! “Lewat ya Bu,” ucap Sabrina sambil membungkukan badannya. Ia sedang tidak bersikap sopan, ia hanya sedang membuat Bu Fenti ‘panas’ akan kemenangannya kini. Bu Fenti mendengus kesal. Ia kemudian masuk ke dalam rumah. Ia tertawa puas. “Kenapa?” tiba-tiba Bunda muncul dari ruang tengah, heran melihat Sabrina yang tertawa sendirian. Melihat Bunda, Sabrina langsung menarik Bunda lalu mengajaknya duduk. “Aku mau cerita, Bun!” pekik Sabrina antusias. Apalagi kalau bukan menceritakan kemenangan dirinya membuat Bu Fenti kesal. “Tentang apa? Kerjaan kamu?” alis Bunda mengerut. “Bu Fenti!” bantah Sabrina. &n