Share

Chapter 5. Job Interview

     Sabrina meremas jemarinya gugup. Setelah sekian lama menjadi jobseeker, akhirnya ia harus menghadapi satu tes yang menjadi momok menakutkan bagi para pencari kerja, Interview.

     “Mau kemana?” tanya Bu Fenti saat melihat Sabrina mengeluarkan sepeda motornya. Ibu itu kepo sekali, sih?!

     “Rapi banget? Tumben?” komentarnya lagi setelah merasa diacuhkan oleh Sabrina.

     Bu Fenti penasaran karena hari ini penampilan Sabrina terbilang berbeda. Biasanya, Sabrina selalu mengenakan daster jika hendak ke warung atau mengenakan celana jeans dengan kemeja jika hendak pergi main. Duh Bu Fenti sampai hafal style yang sering kugunakan!

     Berbeda kali ini, Sabrina mengenakan blazer berwarna hitam dengan dalaman blouse berwarna cream serta dasi pita berwarna senada..

     “Mau interview kerja, Bu,” Sabrina berusaha menjawab seramah dan sesopan mungkin walaupun sebenarnya ia merasa gondok akan kekepoan yang Bu Fenti tunjukkan.

     “Oh iya? Masa? Bohong, ah,” jawaban Bu Fenti membuat Sabrina membelalak. “Pasti mau main. Nggak usah malu, Mbak, pakai pura-pura mau interview kerja,” Bu Fenti mencemooh. “Sampai segitunya…”

     “Haha, ngapain bohong atuh, Bu. Ini beneran, saya mau interview kerja,” Sabrina terkekeh. Ingin kuselotip mulutnya!

     “Ya sudah kalau malu mengakui. Hati-hati mainnya, jangan pulang malam-malam,” ujarnya sambil melambai masuk ke dalam rumah. Bu Fenti menutup pintu dengan keras.

     ”What the- Hah! Ada masalah apa sih Ibu itu?!” Sabrina mendengus kasar. Bu Fenti memang seperti itu, ‘kan? Respon apalagi yang bisa kuharapkan dari tetangga julid seperti dia?

     Sabrina menaiki sepeda motor maticnya dan melesat menuju Barilga Group, perusahaan dimana Lia bekerja -dan akan resign tidak lama lagi-. Pagi ini, Lia meminta Sabrina untuk datang ke kantornya. Katanya, bosnya akan menginterview Sabrina secara langsung. Dengan menenteng amplop cokelat berisi berkas lamaran kerja, Sabrina masuk ke dalam sebuah gedung perkantoran yang menjulang tinggi. Begitu ia masuk ke dalam gedung, Security langsung menyapanya.

     “Ada yang bisa dibantu, Bu?” tanya Security itu dengan ramah.

     “Oh, iya! Mau cari Bu Lia, sekretaris Barilga Group,” jawab Sabrina

     Security itu mengantar Sabrina menuju meja resepsionis dan mewakilinya mencari Lia.

     “Selamat pagi, Bu. Saya Erika, resepsionis Barilga Group. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Erika, si Resepsionis dengan ramah.

     “Mau cari Bu Lia, Mbak. Ada perlu,” jawab Sabrina.

     “Oh, Ibu Lia. Baik Ibu, mohon ditunggu sebentar, ya,” Erika mengangkat gagang telepon dan menghubungi seseorang. “Bu Sabrina, silahkan naik lift ke lantai sebelas. Bu Lia menunggu disana,” kata Erika.

     “Lantai sebelas, ya?” Sabrina meyakinkan kembali. Ia berada di tempat asing dan harus menuju lantai sebelas sendirian?!

     Mau tidak mau Sabrina pergi sendiri menuju lantai sebelas tanpa ada yang menemani. Lia jahat banget nggak mau jemput aku! Sabrina mengomel dalam hati. Sabrina menenangkan dirinya yang sedang gugup. Ini pertama kalinya Sabrina melamar kerja. Rasa gugup membuat hal sepele mengusiknya. Mungkin saja Lia sedang sibuk di sana mengurusi bos yang katanya bawel.

     Ting! Pintu lift akhirnya berhenti di lantai dasar setelah Sabrina menunggu cukup lama.

     “Iya, saya segera kesana,” dari dalam lift, keluar seorang pria mengenakan jas kerja. Ia tengah menerima panggilan telepon sambil menenteng tas laptop.

     “Heh?!” Sabrina memekik saat melihat sosok pria yang keluar dari lift. Ia mengenali pria itu sebagai mantannya saat masih di bangku SMA.

     Pria itu menoleh ke arah Sabrina dengan ekspresi heran. Pria itu tidak mengenali Sabrina. Ia lalu mengendikkan bahunya dan melesat pergi sambil terus berbicara melalui ponselnya.

     Sabrina tercengang. Ia merasa yakin mengenal sosok pria itu. Wajahnya sangat mirip dengan mantan kekasihnya dulu saat masih duduk di bangku SMA.

     “Aku lupa ya siapa namanya itu,” Sabrina berusaha mengingat nama pria yang pernah menjadi mantannya itu. Hubungan mereka sangat kilat, hanya satu bulan saja. “Tapi masa, sih? Nggak mungkin itu dia, deh. Eh tapi mungkin juga, sih. ‘Kan habis putus nggak pernah tahu kabarnya lagi,” Sabrina bergumam sepanjang lift naik menuju lantai yang dituju. Gumamannya tidak ia sadari mengganggu pengguna lift yang lain.

     Ting! Lift akhirnya terbuka di lantai sebelas. Sabrina melihat sebuah ruangan yang sangat luas dengan banyak meja dan partisi untuk memisahkan satu sama lain. Suara bising karyawan berbicara, mesin fotokopi, hingga ponsel yang terus berdering memenuhi seluruh ruangan. Ia tebak ini hari yang sibuk. Mata Sabrina melirik ke beberapa meja kosong yang bersih dari berkas. Ucapan Lia benar adanya, jumlah karyawan yang resign lumayan banyak. Kurang lebih ada sepuluh meja kosong disana.

     “Sabrina!” Lia keluar dari sebuah ruangan khusus yang terpisah. Dia berlari menghampirinya.

     “Bos aku baru aja pergi. Tapi bukan salah kamu, kok! Emang dia begitu suka datang pergi semau dia. Kayak Kang Ghosting!” kesal Lia. Bagaimana ia tidak kesal, Bosnya memaksa Lia membawa kandidat penggantinya hari ini untuk diinterview. Lalu, tanpa rasa bersalah Bosnya meninggalkannya begitu saja.

     “Yah, terus gimana dong? Aku udah rapi gini,” Sabrina cemberut. Lia pun tidak enak hati dibuatnya.

     “Yaudah deh, aku pulang,” kata Sabrina lesu. Padahal, tinggal selangkah lagi ia akan mendapatkan pekerjaan dan bisa menutup mulut Bu Fenti yang jahat itu. Setidaknya ia sudah bekerja ketimbang Lola, putrinya itu.

     Belum Sabrina berbalik arah untuk pulang, ponsel Lia berbunyi. “Eh, sebentar Sab! Bos aku nelpon!” tahannya.

     Lia mengangkat teleponnya. “Ya, Pak?” jawab takut takut.

     “Hari ini penggantimu datang, ‘kan? Suruh Irene dari bagian HRD untuk interview,” perintah Reyhan dengan nada bicara sengak seperti biasanya.

     “T-tapi interview usernya gimana, Pak?”

     “Kamu nih kebanyakan nanya tahu nggak?! Udah bagus Saya mikirin urusan kamu mau resign. Nggak usah kebanyakan protes! Jalani saja apa yang Saya suruh!” makinya dari seberang telepon.

     Suara keras Reyhan, bosnya terdengar oleh Sabrina. Padahal, speakernya dalam mode off. Sudah terbayang di benak Sabrina setertekan apa Lia selama bekerja padanya.

     “I-iya, Pak-!” Reyhan langsung menutup teleponnya tanpa menunggu Lia menyelesaikan kalimatnya.

     Lia memandang Sabrina setelah itu. Pandangannya penuh alasan kuat ia memutuskan untuk resign. Dibanding Sabrina yang bermental baja –terlatih menghadapi Bu Fenti–, Lia tidak bisa menghadapi bos yang seperti itu. Tekad Sabrina untuk menggantikan Lia semakin kuat. Ia kini tertantang menghadapi calon bos galaknya.

     “Aku siap, Li! Aku pasti diterima!” Sabrina mengepalkan tangannya. Lia tersenyum lebar kemudian menarik Sabrina menuju ruang HRD untuk bertemu Irene, interviewernya.

~☕Milk and Coffe☕~

     Sabrina memandang ke puncak gedung perkantoran dihadapannya. Sunggingan senyum menghias wajahnya. Matanya berbinar. Beban di pundaknya luruh seketika. Setelah perjuangannya mencari pekerjaan, Barilga Group akan menjadi ‘sawah’ pertamanya. Ia diterima oleh Irene, perwakilan Bosnya, untuk bekerja di sini setelah mengikuti serangkaian tes yang berkaitan dengan job desknya sebagai calon sekretaris baru Reyhan. Selanjutnya, selama seminggu kedepan, Lia akan melatihnya melakukan semua jobdesk dengan baik agar bosnya puas.

     Dewa -Congratulation, honey! Ayo romantic dinner nanti malam!- 11.35

     Sabrina tertawa melihat pesan yang dikirim oleh Dewa usai ia mengabari kabar gembira ini. Sabrina sangat berterima kasih pada Tuhan karena diberkahi rahmat yang besar hari ini. Setelah banyak amplop cokelat yang ia kirim, ratusan email lamaran kerja yang ia kirim, ratusan walk in interview, serta puluhan penolakan, akhirnya ia mendapatkan sebuah pekerjaan. Bunda benar, rejeki tidak akan tertukar. Pekerjaan seperti sebuah jodoh di tangan Tuhan. Bu Fenti! Aku kerja!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status