Sabrina menggulirkan scroll wheel mousenya. Ia mengecek timeline salah satu media sosial biru berlogo ‘in’ miliknya. Ia menyisir informasi lowongan kerja yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Beberapa lowongan sudah ia coba masuki. Namun, tidak sedikit yang menolak karena latar belakang pendidikan pasca sarjana yang ia sandang. Mereka takut, gaji yang mereka tawarkan tidak pantas dengan gelar yang disandangnya. Mereka hanya tidak tahu, berapapun gaji yang ditawarkan, Sabrina tidak keberatan. Sebab, tujuan Sabrina saat ini hanya mendapatkan pekerjaan demi membuktikan diri pada Bu Fenti, tetangga julidnya.
Suara click mouse terdengar menggema di ruang makan. Laptopnya sudah menyala sejak pagi tadi. Sembari menyisir lowongan kerja, mulut Sabrina mengunyah makan siangnya. Bunda membuat menu udang saus tiram kesukannya.
"Turun kakinya!" Suara keras Bunda mengagetkan Sabrina. Ia hampir saja tersedak karena kaget. "Anak perempuan kok makan kakinya naik di atas kursi, sih? Dikira warteg kali!" Omel Bunda. Ia menarik kaki Sabrina agar turun dari atas kursi.
Sabrina meringis. Sebagai seorang perempuan, Sabrina kerap bersikap tidak pada kodratnya. Makan dengan mulut mengecap, sambil bicara, kaki di atas meja, dan makan berantakan menjauhkannya dari standar keanggunan seorang wanita.
"Anak perempuan kok kakinya nggak sopan," omel Bunda.
"Kalo anak laki-laki, boleh?" Sabrina menggoda.
"Ish ngelawan mulu!" Bunda mendesis kesal.
Sabrina tertawa. Ia dan Bundanya memang seperti Tom and Jerry. Kadang mereka akur dalam bekerja sama, tapi tidak jarang pula mereka berdebat akan pendapat mereka masing-masing yang dirasa paling benar. Sabrina kecil mungkin begitu penurut dan tidak banyak mendebat. Namun kini, diusia yang semakin dewasa dengan lingkungan luas, Sabrina mulai memiliki pendapatnya sendiri. Tak ayal, Bunda merasa kesal karena merasa putrinya itu mulai berani membantah.
“Makannya diselesaikan dulu baru lanjut cari kerja,” tegur Bunda. Ia geleng-geleng kepala melihat multitasking yang Sabrina lakukan. Beberapa butir nasi dan saus tiram jatuh ke keyboard laptopnya.
“Nggak bisa, Bun. Ketinggalan informasi sedikitpun bisa menutup peluang kerja,” Sabrina berkilah.
Bunda mendekati Sabrina dan ikut melihat apa yang sedang putri sulungnya lakukan. Ada banyak tab di bagian atas menu pencarian. Semua tab tidak jauh-jauh dari istilah job. Beberapa BUMN yang tidak membuka lowongan kerja pun disatroni oleh Sabrina.
Bunda tersenyum kecil. Diam-diam ia kagum pada putrinya ini. Walaupun Bunda tidak pernah mengakui secara gamblang, bagi Bunda, Sabrina adalah putri yang membanggakan. Sejak masih di bangku sekolah, ia sangat berprestasi. Piala kejuaraan selalu ia bawa pulang. Bahkan saat di bangku kuliah, ia sempat menjadi asisten dosen dan lulus dengan gelar cumlaude. Tidak sampai disitu, Sabrina langsung melanjutkan pendidikan pasca sarjana dan lulus dalam waktu singkat. Sebenarnya Sabrina bukan tipikal orang yang senang mengeluh. Hanya saja, Bu Fenti terlalu sering mengganggunya.
“Jangan terlalu dipikirin, nanti kamu sakit,” pesan Bunda.
Sabrina mengangguk dengan tetap fokus pada per-selancaran-nya mengunjungi website-website lowongan kerja.
Saat tengah menulis body email untuk lamaran kerja yang ia kirimkan, ponsel Sabrina yang tergeletak di kamarnya berdering. Ia menunda aktivitasnya dan bergegas menerima panggilan ponselnya.
“Lia?” Alis Sabrina mengerut. Lia adalah sahabatnya di tahun pertama program pasca Sarjana.
"Halo! Apa kabar, Li?" sapa Sabrina saat mengangkat teleponnya. Ia heran, tumben sekali Lia menelponnya di jam kerja seperti ini.
"Good! Kamu gimana?" Balas Lia dengan suara riang.
"As you know lah. Pusing nyari kerja," jawab Sabrina sambil terkekeh menutupi rasa sedihnya.
Lia terkekeh dari seberang sana. Sabrina dan Lia berteman cukup baik. Dalam sekali perkenalan, mereka langsung merasa cocok satu sama lain. Mereka juga sering mengerjakan tugas bersama, saling bertukar cerita, dan juga pergi untuk sekedar hangout bersama. Tapi kebersamaan mereka tidak berlangsung lama. Di tahun kedua, Lia tidak melanjutkan kuliahnya karena terkenda masalah finansial dan memutuskan untuk bekerja. Walaupun begitu, mereka tetap sering bertukar kabar.
“Lagi jam istirahat ya?” tebak Sabrina. Latar belakang suara Lia sangat ramai oleh obrolan-obrolan lain seperti sebuah kantin.
Lia mengiyakan. “Iya, nih. Ganggu kamu ya?” Lia merasa tidak enak.
“Nggak lah! Santai aja, kali, Li!” bantah Sabrina cepat. “Ada apa, nih? Tumben banget nelpon? Mau ngirimin makanan? Waduh makasih banget. Seblak seporsi juga boleh, aku suka, tuh. Oh iya, sama teh Boba sekalian!” cerocos Sabrina memecah gelak tawa mereka berdua.
Lia memprotes keras dari seberang telepon. “Hahahaha, dasar otak kamu isinya makanan aja, ya!” tawanya.
“Ada waktu ga nanti malam? aku mau cerita sama kamu. Pusing banget gila soal kerjaan,” tanya Lia sedikit mengadu.
“Orang-orang ‘tuh kenapa, sih? Sudah punya kerjaan, ngeluh. Nggak punya kerjaan kaya aku, pusing. Manusia emang suka mengherankan,” komentar Sabrina heran.
“Ah kamu. Orang kerja itu nggak kayak di ftv yang kerjaannya mulus-mulus aja. Aslinya ‘tuh kadang nggak seenak itu, tau! Belum lagi kalau punya bos yang nyebelinnya bikin naik darah!” protes Lia keras. “Sudah ah, nanti malam kita nongkrong ya! Aku mau banyak cerita dan minta saran juga sama kamu! Mau ya?” pinta Lia penuh harap.
“Aku? Nggak salah tuh kamu minta saran ke pengangguran kaya aku? Kamu lagi ngejek aku apa gimana, nih?” Sabrina berceloteh.
“Ih, sudah kamu dengerin dulu cerita aku nanti malam, baru komentar, deh! Sekarang aku pusing kalo harus banget dengerin cerewetnya kamu!” ketus Lia sebal.
Sabrina tertawa. “Hahaha, oke oke. Nanti malam jam tujuh ya? Aku boleh bawa Dewa, ‘kan?” Sabrina menawar. “Anti aku naik motor sendirian dijalan,” tambahnya.
Lia berdecak. “Terus aku jadi obat nyamuk, gitu?”
“Makanya cari pacar, jadi nggak jadi obat nyamuk!” ejek Sabrina.
“Maunya cari suami, nggak mau cari pacar!” Lia berkilah.
“Idih, gayanya!” Sabrina mengejek.
Lia menertawakan nasibnya yang menjomblo cukup lama. Ia terlalu fokus pada pendidikan dan pekerjaannya hingga tidak sempat berkenalan dengan pria manapun. Padahal beberapa teman kuliahnya dulu ada yang berusaha berkenalan dengannya. Namun semua ditolak olehnya mentah-mentah. Saat itu, mencari pacar bukan prioritas Lia, ditambah krisis keuangan keluarga yang melanda membuat Lia harus memutar otak membantu Ayahnya mencari uang untuk bertahan hidup.
“Nanti kamu bakalan dapat undangan nikah aku tanpa tahu kapan aku punya pacar, awas ya!” Canda Lia.
“Huu, ditunggu!” Sahut Sabrina.
“Lia! Kamu dipanggil Pak Reyhan!” Samar terdengar teriakan dari seberang telepon. “Eh, Sab, sudah dulu, ya! Aku harus ketemu boss nyebelin aku. See you dear,” Lia menutup teleponnya cepat.
Sabrina meletakkan ponselnya lalu kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. Ia tersenyum. Sudah lama sekali ia tidak bertemu Lia walaupun kerap bertegur sapa melalui media sosial. Ia teringat momen-momen kocaknya saat masih bersama. Dirinya yang cerewet dan tanpa basa-basi serta Lia yang begitu fokus dan tidak enakkan hati. Benar-benar duo penyeimbang dunia!
“Sebenernya, kita mau kemana sih?” pukul setengah tujuh malam, Dewa sudah berada di rumah Sabrina. Tadi Siang, Sabrina memintanya untuk menemui seorang teman malam ini. “Mau ketemu Lia, sahabat aku waktu pendidikan pasca sarjana. Tunggu sebentar, ya!” Jawab Sabrina. Ia berlari kecil kembali ke kamarnya. Ia belum selesai bersiap. Bedaknya belum tercampur sempurna dengan bubuk putih tebal di beberapa sisi. Alisnya baru tergambar separuh dan rambutnya masih tergelung berantakan. “Kamu jangan lama-lama dandannya! Bisa tua disini aku nungguin kamu dandan!” Dewa dongkol tiap kali menunggu Sabrina berdadan. Lama! Aku mungkin bisa menyelamatkan dunia bersama ‘Avenger’ sembari menunggu Sabrina selesai berdadan, terutama saat mengukir alis dan eyelinernya! “Lebay kali, ah!” Sabrina menyahut dari kamar. Dari jendela kamarnya, ia melihat Bu Fenti di teras rumah memperhatikan
Sabrina meremas jemarinya gugup. Setelah sekian lama menjadi jobseeker, akhirnya ia harus menghadapi satu tes yang menjadi momok menakutkan bagi para pencari kerja, Interview. “Mau kemana?” tanya Bu Fenti saat melihat Sabrina mengeluarkan sepeda motornya. Ibu itu kepo sekali, sih?! “Rapi banget? Tumben?” komentarnya lagi setelah merasa diacuhkan oleh Sabrina. Bu Fenti penasaran karena hari ini penampilan Sabrina terbilang berbeda. Biasanya, Sabrina selalu mengenakan daster jika hendak ke warung atau mengenakan celana jeans dengan kemeja jika hendak pergi main. Duh Bu Fenti sampai hafal style yang sering kugunakan! Berbeda kali ini, Sabrina mengenakan blazer berwarna hitam dengan dalaman blouse berwarna cream serta dasi pita berwarna senada.. “Mau interview
Sabrina bersenandung ria pagi itu. Ini adalah hari pertamanya bekerja. Ia sangat berterima kasih pada Ibu Irene karena telah mempercayakan kemampuannya dalam menggantikan posisi Lia, menjadi sekretaris bos killer Barilga Group. Sabrina saat itu sedang mengeluarkan sepeda motornya saat mendengar suara Bu Fenti dari depan rumah. “Mau kemana?” Bu Fenti memandang Sabrina kepo. Di tangannya tertenteng beberapa bungkus sayuran dan daging basah. Sabrina tebak Bu Fenti baru kembali dari warung. “Habis beli apa, Bu?” Sabrina balik bertanya mencoba ramah pada tetangganya itu. “Nggak penting saya dari mana. Kamu mau kemana?” Bu Fenti mendengus. Ia berpendirian teguh, ingin tahu kemana Sabrina pergi sepagi ini. “Mau kerja,” jawab Sabrina kemudian. “Ha? Kerja? Yang bener aja. Ngaco,” Bu Fenti tertawa terbahak-bahak
Mereka berdua akhirnya sampai di lantai sebelas. Tidak ingin berlama-lama menghadapi wanita cerewet sok kenal seperti Sabrina, pria itu bergegas keluar dari lift dan hilang di tikungan lorong. Tinggallah Sabrina sendiri yang celingukan mencari keberadaan Lia. Ia tidak tahu pasti dimana ruangan Lia berada karena terakhir Lia menemuinya disini. “Lho?” terdengar celetukkan dari belakang Sabrina. Sabrina pun menoleh. Rupanya pria di lift tadi yang memilih untuk keluar agar Sabrina bisa masuk. “M-Mas yang tadi, ya?” sapa Sabrina. “Maaf tadi Saya lancang banget duluan naik lift. Padahal Mas sudah nunggu lama dibawah sana,” Sabrina meringis malu. Pria itu tertawa. “Santai aja, Mbak!” “Sabrina, Mas. Panggil Saya Sabrina saja,” Sabrina memperkenalkan dirinya. “Oh, aku Awang. Kamu nggak perlu manggil aku Mas.
“Kok kamu sudah pulang?” Bunda terkejut tatkala melihat putrinya sudah kembali dari rumah. Padahal, jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. “Katanya kerja?” Bunda memandang Sabrina bingung. Oh Bunda jangan memandangku bingung! Aku juga bingung, Bunda! Sabrina menggeleng tidak mengerti. “Bunda, bos aku..gila,” Sabrina membelalak ke arah Bunda. “Bunda, sini,” Sabrina menarik Bunda yang baru saja akan menyetrika pakaian yang sudah kering untuk duduk di sampingnya. Bunda harus mendengarkan Sabrina bercerita tentang kegilaan yang baru saja ia alami di kantor. “Bunda pernah nggak ketemu orang gila, tapi orang gila ini itu pegang sebuah perusahaan?” Sabrina menatap Bundanya. Alis Bunda mengerut. Ia mengerti situasi ini. Sabrina pasti menghadapi sebuah masalah di kantornya. “Ada apa, sih?” Bunda
Sabrina turun dari sepeda motornya senja itu. Ia baru saja pulang dari kantor. Ia puas dan sengaja memperlambat sepeda motornya saat Bu Fenti memandangnya sebal dari teras rumah. Ia menang! “Lewat ya Bu,” ucap Sabrina sambil membungkukan badannya. Ia sedang tidak bersikap sopan, ia hanya sedang membuat Bu Fenti ‘panas’ akan kemenangannya kini. Bu Fenti mendengus kesal. Ia kemudian masuk ke dalam rumah. Ia tertawa puas. “Kenapa?” tiba-tiba Bunda muncul dari ruang tengah, heran melihat Sabrina yang tertawa sendirian. Melihat Bunda, Sabrina langsung menarik Bunda lalu mengajaknya duduk. “Aku mau cerita, Bun!” pekik Sabrina antusias. Apalagi kalau bukan menceritakan kemenangan dirinya membuat Bu Fenti kesal. “Tentang apa? Kerjaan kamu?” alis Bunda mengerut. “Bu Fenti!” bantah Sabrina. &n
Pagi itu menjadi hari yang sangat sibuk bagi Sabrina. Rapat Evaluasi Bulanan dan Rapat Direksi diagendakan berurutan. Entah apa yang ada di pikiran Reyhan merubah jadwal rapat berurutan seperti itu. Padahal semestinya, Rapat Direksi diadakan pada akhir bulan, seminggu setelah Rapat Evaluasi Bulanan. Mungkin bagi Reyhan, rapat kapanpun tidak masalah. Tapi tidak bagi Sabrina. Dia adalah sekretaris dan ia harus mengumpulkan semua berkas evaluasi bulanan dan berkas-berkas penting lainnya yang akan dibahas pada rapat nanti. Meja kerja Sabrina berantakan. Lembaran kertas memenuhi seluruh permukaan meja tidak menyisakan space sedikitpun. Sabrina juga tidak sempat duduk karena ia harus terus berdiri, bergerak menyusun seluruh berkas menjadi satu. Tidak hanya mengumpulkan berkas. Ia juga harus membuat beberapa laporan yang referensinya bersumber dari berbagai macam departemen terkait. “Belum selesai?” suara
Berkali-kali Sabrina mengusap layar ponselnya. Pesan sayangnya untuk Dewa sejak semalam belum terbalas. Dewa juga tidak tampak online pada status bar sosial chatnya. Sebagai orang wanita yang dianugerahi lebih banyak perasaan ketimbang logika, seringkali membuat Sabrina gusar. Bukan apa-apa, ia hanya terlalu perasa. Ia mudah merasa jika orang disekitarnya sedikit berbeda dari biasanya. Sama seperti yang sedang ia rasakan soal kekasihnya ini. Sejak ia diterima kerja, kurang lebih dua minggu berlalu Dewa terasa dingin padanya. Obrolan seru tentang keseharian mereka tiba-tiba berhenti seketika. Dewa menolak membicarakan kesehariannya pada bisnis startup rintisannya. Padahal sebelumnya, Dewa sangat antusias hingga ia akan bercerita tanpa perlu Sabrina tanya. Namun kini, semua berbeda. Sabrina, tidak tahu alasannya. Night, love you babe Begitu bentuk pes