Share

Chapter 3. Job Seeker

     Sabrina menggulirkan scroll wheel mousenya. Ia mengecek timeline salah satu media sosial biru berlogo ‘in’ miliknya. Ia menyisir informasi lowongan kerja yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Beberapa lowongan sudah ia coba masuki. Namun, tidak sedikit yang menolak karena latar belakang pendidikan pasca sarjana yang ia sandang. Mereka takut, gaji yang mereka tawarkan tidak pantas dengan gelar yang disandangnya. Mereka hanya tidak tahu, berapapun gaji yang ditawarkan, Sabrina tidak keberatan. Sebab, tujuan Sabrina saat ini hanya mendapatkan pekerjaan demi membuktikan diri pada Bu Fenti, tetangga julidnya.

     Suara click mouse terdengar menggema di ruang makan. Laptopnya sudah menyala sejak pagi tadi. Sembari menyisir lowongan kerja, mulut Sabrina mengunyah makan siangnya. Bunda membuat menu udang saus tiram kesukannya.

"Turun kakinya!" Suara keras Bunda mengagetkan Sabrina. Ia hampir saja tersedak karena kaget. "Anak perempuan kok makan kakinya naik di atas kursi, sih? Dikira warteg kali!" Omel Bunda. Ia menarik kaki Sabrina agar turun dari atas kursi.

     Sabrina meringis. Sebagai seorang perempuan, Sabrina kerap bersikap tidak pada kodratnya. Makan dengan mulut mengecap, sambil bicara, kaki di atas meja, dan makan berantakan menjauhkannya dari standar keanggunan seorang wanita.

     "Anak perempuan kok kakinya nggak sopan," omel Bunda.

     "Kalo anak laki-laki, boleh?" Sabrina menggoda.

     "Ish ngelawan mulu!" Bunda mendesis kesal.

     Sabrina tertawa. Ia dan Bundanya memang seperti Tom and Jerry. Kadang mereka akur dalam  bekerja sama, tapi tidak jarang pula mereka berdebat akan pendapat mereka masing-masing yang dirasa paling benar. Sabrina kecil mungkin begitu penurut dan tidak banyak mendebat. Namun kini, diusia yang semakin dewasa dengan lingkungan luas, Sabrina mulai memiliki pendapatnya sendiri. Tak ayal, Bunda merasa kesal karena merasa putrinya itu mulai berani membantah.

     “Makannya diselesaikan dulu baru lanjut cari kerja,” tegur Bunda. Ia geleng-geleng kepala melihat multitasking yang Sabrina lakukan. Beberapa butir nasi dan saus tiram jatuh ke keyboard laptopnya.

     “Nggak bisa, Bun. Ketinggalan informasi sedikitpun bisa menutup peluang kerja,” Sabrina berkilah.

     Bunda mendekati Sabrina dan ikut melihat apa yang sedang putri sulungnya lakukan. Ada banyak tab di bagian atas menu pencarian. Semua tab tidak jauh-jauh dari istilah job. Beberapa BUMN yang tidak membuka lowongan kerja pun disatroni oleh Sabrina.

     Bunda tersenyum kecil. Diam-diam ia kagum pada putrinya ini. Walaupun Bunda tidak pernah mengakui secara gamblang, bagi Bunda, Sabrina adalah putri yang membanggakan. Sejak masih di bangku sekolah, ia sangat berprestasi. Piala kejuaraan selalu ia bawa pulang. Bahkan saat di bangku kuliah, ia sempat menjadi asisten dosen dan lulus dengan gelar cumlaude. Tidak sampai disitu, Sabrina langsung melanjutkan pendidikan pasca sarjana dan lulus dalam waktu singkat. Sebenarnya Sabrina bukan tipikal orang yang senang mengeluh. Hanya saja, Bu Fenti terlalu sering mengganggunya.

     “Jangan terlalu dipikirin, nanti kamu sakit,” pesan Bunda.

     Sabrina mengangguk dengan tetap fokus pada per-selancaran-nya mengunjungi website-website lowongan kerja.

     Saat tengah menulis body email untuk lamaran kerja yang ia kirimkan, ponsel Sabrina yang tergeletak di kamarnya berdering. Ia menunda aktivitasnya dan bergegas menerima panggilan ponselnya.

     “Lia?” Alis Sabrina mengerut. Lia adalah sahabatnya di tahun pertama program pasca Sarjana.

     "Halo! Apa kabar, Li?" sapa Sabrina saat mengangkat teleponnya. Ia heran, tumben sekali Lia menelponnya di jam kerja seperti ini.

     "Good! Kamu gimana?" Balas Lia dengan suara riang.

     "As you know lah. Pusing nyari kerja," jawab Sabrina sambil terkekeh menutupi rasa sedihnya.

     Lia terkekeh dari seberang sana. Sabrina dan Lia berteman cukup baik. Dalam sekali perkenalan, mereka langsung merasa cocok satu sama lain. Mereka juga sering mengerjakan tugas bersama, saling bertukar cerita, dan juga pergi untuk sekedar hangout bersama. Tapi kebersamaan mereka tidak berlangsung lama. Di tahun kedua, Lia tidak melanjutkan kuliahnya karena terkenda masalah finansial dan memutuskan untuk bekerja. Walaupun begitu, mereka tetap sering bertukar kabar.

     “Lagi jam istirahat ya?” tebak Sabrina. Latar belakang suara Lia sangat ramai oleh obrolan-obrolan lain seperti sebuah kantin.

     Lia mengiyakan. “Iya, nih. Ganggu kamu ya?” Lia merasa tidak enak.

     “Nggak lah! Santai aja, kali, Li!” bantah Sabrina cepat. “Ada apa, nih? Tumben banget nelpon? Mau ngirimin makanan? Waduh makasih banget. Seblak seporsi juga boleh, aku suka, tuh. Oh iya, sama teh Boba sekalian!” cerocos Sabrina memecah gelak tawa mereka berdua.

     Lia memprotes keras dari seberang telepon. “Hahahaha, dasar otak kamu isinya makanan aja, ya!” tawanya.

     “Ada waktu ga nanti malam? aku mau cerita sama kamu. Pusing banget gila soal kerjaan,” tanya Lia sedikit mengadu.  

     “Orang-orang ‘tuh kenapa, sih? Sudah punya kerjaan, ngeluh. Nggak punya kerjaan kaya aku, pusing. Manusia emang suka mengherankan,” komentar Sabrina heran.  

     “Ah kamu. Orang kerja itu nggak kayak di ftv yang kerjaannya mulus-mulus aja. Aslinya ‘tuh kadang nggak seenak itu, tau! Belum lagi kalau punya bos yang nyebelinnya bikin naik darah!” protes Lia keras. “Sudah ah, nanti malam kita nongkrong ya! Aku mau banyak cerita dan minta saran juga sama kamu! Mau ya?” pinta Lia penuh harap.

     “Aku? Nggak salah tuh kamu minta saran ke pengangguran kaya aku? Kamu lagi ngejek aku apa gimana, nih?” Sabrina berceloteh.

     “Ih, sudah kamu dengerin dulu cerita aku nanti malam, baru komentar, deh! Sekarang aku pusing kalo harus banget dengerin cerewetnya kamu!” ketus Lia sebal.

     Sabrina tertawa. “Hahaha, oke oke. Nanti malam jam tujuh ya? Aku boleh bawa Dewa, ‘kan?” Sabrina menawar. “Anti aku naik motor sendirian dijalan,” tambahnya.

     Lia berdecak. “Terus aku jadi obat nyamuk, gitu?”

     “Makanya cari pacar, jadi nggak jadi obat nyamuk!” ejek Sabrina.

     “Maunya cari suami, nggak mau cari pacar!” Lia berkilah.

     “Idih, gayanya!” Sabrina mengejek.

     Lia menertawakan nasibnya yang menjomblo cukup lama. Ia terlalu fokus pada pendidikan dan pekerjaannya hingga tidak sempat berkenalan dengan pria manapun. Padahal beberapa teman kuliahnya dulu ada yang berusaha berkenalan dengannya. Namun semua ditolak olehnya mentah-mentah. Saat itu, mencari pacar bukan prioritas Lia, ditambah krisis keuangan keluarga yang melanda membuat Lia harus memutar otak membantu Ayahnya mencari uang untuk bertahan hidup.

     “Nanti kamu bakalan dapat undangan nikah aku tanpa tahu kapan aku punya pacar, awas ya!” Canda Lia.

     “Huu, ditunggu!” Sahut Sabrina.

     “Lia! Kamu dipanggil Pak Reyhan!” Samar terdengar teriakan dari seberang telepon. “Eh, Sab, sudah dulu, ya! Aku harus ketemu boss nyebelin aku. See you dear,” Lia menutup teleponnya cepat.

     Sabrina meletakkan ponselnya lalu kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. Ia tersenyum. Sudah lama sekali ia tidak bertemu Lia walaupun kerap bertegur sapa melalui media sosial. Ia teringat momen-momen kocaknya saat masih bersama. Dirinya yang cerewet dan tanpa basa-basi serta Lia yang begitu fokus dan tidak enakkan hati. Benar-benar duo penyeimbang dunia!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status