“Calista, kenapa kau pelit sekali. Ayo beri tahu aku, siapa yang memberimu gelang itu.” Jessica bertolak pinggang, memaksa Calista untuk bicara padanya. Dia tidak bisa tenang di kamarnya. Dia penasaran pada teman baru Calista.Calista mengembuskan napas panjang. “Kak, nanti saat aku dewasa, kau juga pasti akan tahu. Aku bukan tidak mau cerita. Tapi—”“Calista, menunggu kita dewasa itu lama. Ayo beri tahu aku. Aku janji tidak akan membocorkan pada Daddy dan Mommy.” Jessica terus mendesak Calista untuk cerita padanya.Calista nampak berpikir sejenak. Gadis kecil cantik itu tidak langsung menjawab apa yang Jessica katakan padanya. Dia masih ragu, karena takut kakak sepupunya itu akan membocorkan rahasianya.Akan tetapi, jika Calista menyimpan sendiri rahasianya, dan tak memberi tahu Jessica, maka pasti kakak sepupunya itu akan terus mendatangi kamarnya, menanyakan siapa yang memberikan gelang padanya. Sungguh, ini menyebalkan. Calista pun kesal sendiri. Lihat saja, sekarang bibir Calista
Casandra melakukan gerakan perlahan pada jemari-jemarinya guna melatih kemampuan tangannya. Terakhir, dokter mengatakan pada Casandra untuk sering menggerak-gerakan jemari serta menggenggam sesuatu benda kecil.Kondisi tangan Casandra bisa dikatakan sudah pulih delapan puluh persen. Meski belum pulih sepenuhnya, tapi Casandra sudah sangat amat bersyukur. Setidaknya, Casandra sudah bisa menggendong anaknya, meskipun tak bisa terlalu lama. Dulu, saat Calista masih bayi, sempat Casandra kesulitan menggendong Calista di kala tubuh putrinya semakin gemuk. Akan tetapi, Casandra tidak menyerah. Dia selalu berusaha untuk sembuh.Memang, Casandra sempat putus asa tapi untungnya dia memiliki support system yang luar biasa yaitu suami tercintanya. Entah, bagaimana hidup Casandra jika tak mendapatkan dukungan dari sang suami tercinta.Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Casandra duduk di taman seraya melihat keindahan bunga-bunga di taman mansion-nya yang begitu indah. Casandra selalu meminta
Casandra turun dari mobil masuk ke dalam supermarket bersama dengan dua orang pelayan. Kondisi supermarket terbilang tak terlalu ramai, karena memang posisinya ini bukanlah weekend atau hari libur. Setibanya di dalam supermarket, Casandra berjalan-jalan menuju ke tempat buah-buahan. Dua pelayan dengan sigap mengikuti ke mana pun langkah Casandra. Selain mereka harus berbelanja memenuhi dapur, mereka juga wajib menjaga istri dari bos mereka. Jika terjadi sesuatu hal buruk pada Casandra, maka sudah pasti dua pelayan tersebut sudah tidak tahu lagi bagaimana nasibnya.Berbagai aneka buah, daging segar, ayam, ikan, dan makanan ringan dipilih oleh Casandra. Makanan ringan sehat paling banyak karena Calista dan Jessica sering sekali mengemil di malam hari. Well, itu yang membuat tubuh Calista dan Jessica padat berisi—namun sangat menggemaskan.“Nyonya, apa Anda ingin membeli daging angsa?” tanya sang pelayan pada Casandra.“Hm, tidak usah. Itu saja. Nanti kalau ada yang kurang, pesan via on
Napas Gio sedikit memburu mendengar jeritan Casandra. Pria itu berdiri di luar ruang bersalin. Bingung, takut, cemas, dan khawatir melebur menjadi satu. Gio tak menemani Casandra di ruang bersalin, karena bagaimanapun yang wajib menemani Casandra adalah Michael, bukan dirinya.Tak dipungkiri mengantar Casandra ke rumah sakit dalam kondisi Casandra kontraksi membuat perasaan Gio campur aduk. Benaknya memikirkan—mungkin jika dirinya yang menikah dengan Casandra, maka hari ini akan menjadi hari di mana dirinya bukan hanya sekedar khawatir tapi juga sangat amat bahagia. Suara pintu ruang rawat terbuka. Dokter berdiri di ambang pintu. Refleks, Gio segera melangkah cepat menghampiri sang dokter.“Bagaimana keadaan Casandra? Kenapa dia terus berteriak kesakitan?” seru Gio bertanya dengan nada panik.“Tuan, kepala bayi sudah terlihat. Nyonya Yates bisa melahirkan sekarang. Apa Anda tidak ingin masuk menemani istri Anda?” balas sang dokter—yang seketika itu juga membuat Gio terdiam sebentar.
Bern, Swiss. Pemandangan alam yang menakjubkan sudah tidak lagi asing untuk Casandra setiap kali mengunjungi Swiss. Sebuah negara yang kaya akan pemandangan alam—menjadi salah satu tempat favorite Casandra.Calista dan Jessica sampai berlari-lari menelusuri pinggir sungai Aar yang ada di Bern. Tentu, mereka tidak berenang. Mereka hanyalah berjalan-jalan ditemani oleh para pengasuh dan pengawal mereka. Sedangkan Maximilian yang masih bayi—tengah terlelap di stroller-nya.Casandra tersenyum melihat Calista dan Jessica begitu menikmati bermain di pinggir sungai Aar. Suara tawa Calista dan Jessica bahkan terdengar di telinganya. Itu adalah pemandangan yang paling menyejukkan.Casandra duduk di kursi bersama dengan Michael. Mereka sama-sama melihat pemandangan indah di hadapan mereka. Bukan hanya pemandangan alam dari kota Bern saja yang menakjubkan, tapi kebersamaan mereka yang sangatlah indah.Casandra tak pernah mengira kalau Michael mencari waktu untuk bisa quality time. Sungguh, Casa
“Venue sudah.”“Gaun pengantin sudah.”“Kalung berlian sudah.”“Mahkota sudah.”“Sovenir sudah.”Casandra tersenyum di kala persiapan pesta pernikahannya sudah siap sempurna. Raut wajah gadis itu memancarkan jelas kebahagiaan yang tak terkira. Pernikahan impian yang sudah dia nanti-nantikan akan sebentar lagi menjadi kenyataan.“Nona Casandra?” Jean—asisten Casandra—melangkah menghampiri Casandra.Casandra menatap Jean, dengan tatapan tatapan riang. “Apa Gio sudah datang?”Jean menggaruk tengkuk lehernya tak gatal. “M-maaf, Nona. Tadi Tuan Gio menelepon, beliau mengatakan kalau hari ini beliau tidak bisa datang. Beliau ada meeting penting di Cordoba.”Casandra mendesah panjang. “Jadi maksudmu, hari ini Gio terbang ke Cordoba?”Jean menganggukan kepalanya. “Benar, Nona. Tuan Gio hari ini melakukan penerbangan ke Cordoba.”“Kenapa dia tidak bilang sendiri padaku?”“Tadi Tuan Gio mengatakan ponsel Anda tidak aktif. Itu kenapa dia menelepon saya.”Casandra berdecak kesal, lalu dia mengamb
Byurrr“Ah!” Napas Casandra hampir putus di kala ada air tersiram di wajahnya. Mata gadis itu terbuka dengan terpaksa seraya menyeka wajahnya. Sinar matahari begitu terik mengenai wajahnya, menandakan pagi telah menyapa.Saat kesadaran Casandra sudah pulih, tatapan gadis itu menatap ayahnya yang berdiri sambil memegang baskom. What the fuck! Casandra mengumpat dalam hati. Ayahnya mengguyurnya.“Dad? Have you lost your mind?!” seru Casandra dengan nada sedikit tinggi. “Kenapa kau menyiramku!”Devan menatap tajam putrinya itu. “Kau yang sudah kehilangan akal sehatmu. Kau mabuk, sampai Jean kelimpungan mencarimu. Sekarang kau bangun terlambat, apa kau lupa hari ini kau memegang posisi tertinggi di perusahaan kita? Kalau media melihat kelakuanmu, mereka pasti akan menjadikanmu pemberitaan utama, Casandra!” teriaknya dengan keras.Devan Stewart belum pernah semurka ini pada putrinya. Mendengar putri tunggalnya mabuk berat, sampai tergeletak di toilet, membuat Devan murka. Terlebih hari ini
Michael duduk di kursi kebesarannya, seraya mengetuk-ngetuk meja kerjanya dengan jemari kokohnya. Sepasang iris mata biru Michael menajam menatap lurus ke depan, dengan jutaan hal ada di dalam benaknya.Seringai tipis di wajah Michael terlukis. Tampak kepuasan di wajahnya muncul seakan dia telah memiliki sesuatu rencana. Sebuah rencana terpendam yang sejak lama pria itu ingin jalankan.Suara ketukan pintu terdengar. Refleks, Michael mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu, dan langsung meminta orang yang mengetuk pintu untuk masuk ke dalam ruang kerjanya.“Tuan Michael,” sapa Erlan—asisten Michael—melangkah mendekat pada Michael.Michael menatap dingin asistennya itu. “Ada apa, Erlan?”Erlan terdiam sebentar, dengan raut wajah serius. “Tuan, rencana yang Anda inginkan sudah berjalan.”Sudut bibir Michael terangkat, membentuk seringai kejam. Iris mata birunya menujukkan jelas kepuasan seperti menang dalam permainan. “Good, mulai besok aku bisa bersenang-senang.”Lalu, tatapan Mi