Share

Mertua Benalu Di Rumahku
Mertua Benalu Di Rumahku
Author: Tinta Hitam88

Kedatangan Mertua

Bab 1

"Mas, kok rumah berantakan gini, sih?" keluhku pada Mas Dito yang sedang memainkan gawainya di teras rumah.

Baru turun dari mobil, aku sudah menginjak mainan Kania–putri pertamaku bersama Mas Dito. Mainan Kania berserakan di mana-mana, begitu juga dengan daun pohon mangga dan pohon rambutan yang ada di depan rumah. Memang tadi pagi aku pergi kerja setelah Subuh, karena harus menjemput klien yang baru datang dari luar kota. Akan tetapi ada Bik Minah yang akan datang pagi dan pulang waktu sore yang akan mengurus rumah.

"Mas!" Aku kembali memanggil Mas Dito yang dari tadi tidak menjawab pertanyaanku dan sepertinya dia juga tidak menyadari kehadiranku.

"Eh, Sayang. Kamu sudah pulang?" jawabnya kaget. Kemudian aku mengambil tangannya yang diulurkan untuk aku salami.

"Iya, dari tadi. Kamu aja yang sibuk main hp," jawabku kesal.

"Nanggung, Sayang. Aku lagi main game tadi," jawabnya sambil nyengir kuda.

"Kania mana?" tanyaku pada Mas Dito karena dari tadi aku tidak melihatnya.

"Ada tuh di dalam lagi main sama neneknya," jawab Mas Dito singkat karena sekarang dia kembali lagi main game di ponselnya. Aku yang melihatnya begitu berdecak kesal, karena kesibukan Mas Dito sekarang cuma main game aja terus. Tidak bisakah dia berbuat sesuatu yang lebih bermanfaat.

"Ibuk, kapan datangnya?" tanyaku penasaran. Aku harus menahan amarah, karena ada Ibu mertua yang baru datang.

"Tadi siang." Mas Dito kembali sibuk dengan ponsel miliknya. Dia seperti sudah kecanduan dengan game online, sehingga aku seperti berbicara dengan tembok. Padahal aku sangat jengkel dan jengah melihat sikapnya yang sekarang. Ingin sekali marah dan berteriak mengatakan jika dia masih memiliki tanggung jawab untuk aku dan Kania.

Aku berjalan masuk kedalam rumah, meninggalkan Mas Dito yang sedang asyik dengan dunia gamenya itu.

"Kania makan dulu ya?" ucap Ibunya Mas Dito pada Kania. Ternyata Ibu sedang menyuapi anakku untuk makan nasi, tapi ini sudah sangat sore untuk makan siang.

"Buk," panggilku kemudian menyalami beliau.

"Kamu baru pulang?" tanya Ibu dengan tatapan tidak suka. Aku sebenarnya sedikit tertegun ketika melihat sikap Ibu yang mendadak dingin. Sebenarnya Ibu mertua adalah tipe wanita keras, tapi selama ini aku juga kurang mengetahui bagaimana sifatnya. Karena selama menikah dengan Mas Dito aku tidak pernah tidur di rumahnya.

"Iya, Buk," jawabku singkat sambil membuka blazer yang aku pakai. Aku jengah melihat rumah yang sangat berantakan seperti kapal pecah.

"Kamu tau nggak jam berapa ini?" tanya Ibu lagi dengan nada ketus. Aku mengerutkan kening, karena tidak mengerti kenapa Ibu sampai ketus bicara denganku.

"Jam setengah enam, Bu. Kenapa?" tanyaku sambil melihat jam di pergelangan tanganku. Aku masih saja bingung dengan sikap Ibu yang seperti ini.

"Kamu tau nggak Kania sampai kelaparan. Dia makan siang aja udah jam segini, kamu mau buat cucu Ibu sakit lambung?" bentak Ibu yang membuatku terkejut. Memang dari dulu Ibu tidak suka jika aku bekerja dan meninggalkan rumah juga Kania. Tapi mau bagaimana lagi, aku harus bekerja demi memenuhi kebutuhan kami sehari-hari. 

Dulu aku memang tidak bekerja, tapi semenjak Mas Dito habis kontrak kerja di pabrik dia bekerja. Aku terpaksa harus kembali menerima tawaran pekerjaan dari tempatku bekerja dulu.

"Tapi memang setiap hari begini, Bu. Aku juga udah nyuruh Bik Minah kok buat nyiapin semuanya," jawabku membela diri.

"Taunya nyahut aja kamu ya," sungut Ibu emosi, kemudian berdiri memanggil Mas Dito anaknya.

"Dito, Dito. Kamu kesini dulu," teriak Ibu yang membuat Kania terkejut. Aku langsung mengajak Kania masuk kedalam kamar, dan terpaksa memberinya ponselku untuk menonton film kartun kesayangannya. Karena aku tidak ingin dia mendengar pertengkaran kami. Setelah Kania anteng, aku kembali keluar dimana Ibu dan Mas Dito berada.

"Kenapa sih, Buk. Ribut-ribut?" tanya Mas Dito tanpa melihat ke arah Ibunya yang sedang marah. Mas Dito masih fokus dengan layar ponselnya.

"Kamu masih bisa santai saat melihat keadaan rumah yang seperti ini?" tanya Ibu dengan berkacak pinggang.

"Kenapa dengan rumah kami, Bu? Aku nggak ngerti," jawab Mas Dito dengan wajah melongo.

"Istri kamu kelayapan di luar sana, pergi pagi pulang sore kamu tanya kenapa?" bentak Ibu yang membuatku naik pitam. Kelayapan dia bilang.

"Aku kerja, Bu. Bukan kelayapan," bantahku cepat, enak saja aku dibilang kelayapan.

"Iya, Bu. Rosa kerja, bukan kelayapan," jawab Mas Dito lagi dengan tatapan masih fokus ke game onlinenya itu.

"Kerja ya kerja, tapi jangan abaikan kewajibannya sebagai istri juga seorang Ibu," sanggah Ibu dengan menatap sinis ke arahku.

"Bentar, Bu. Aku mau tanya, kewajiban apa yang Ibu maksud barusan?" tanyaku dengan tatapan nyalang, habis sudah kesabaranku. Pulang kerja tadi padahal aku maunya istirahat dan main sama Kania. Tapi sekarang yang aku dapatkan malah makian dari Ibu mertua.

"Kamu nggak tau kewajiban kamu sebagai istri itu apa. Lihat rumah berantakan, Kania makan siang jam berapa? Ibu datang juga tidak disambut apalagi dikasih makan. Dito juga katanya belum makan dari siang," jelas Ibu dengan nada tinggi.

"Tapi aku kerja, Bu. Aku kerja nyari nafkah. Lagian aku sudah siapin pembantu buat nyelesain semua ini, hari-hari biasanya juga gitu," tampikku geram.

"Sekarang aku tanya, Bik Minah mana?" aku kembali bertanya pada Mas Dito. Tapi tidak ada jawaban sama sekali.

Aku geram dan merampas ponselnya dan melemparkannya ke dinding rumah. 

Prang!

Ponselnya pecah dan terbelah menjadi dua bagian, Mas Dito dan Ibu hanya bisa melongo melihatku berang seperti barusan.

"Gila kamu ya! Itu hpku kenapa kamu banting sampe pecah. Kamu nggak tau aku lagi main game, dan aku hampir menang," teriak Mas Dito sambil memungut ponselnya yang pecah berantakan.

"Makanya kalau orang lagi ngomong kamu dengar, Mas!" balasku kesal.

"Dasar istri durhaka kamu, Rosa. Beraninya kamu membentak suami kamu sendiri. Kamu nggak tau surga kamu ada pada anak saya, Dito!" bentak Ibu.

"Aku cuma ngajarin anak Ibu untuk tau sopan santun," jawabku sambil tersenyum sinis ke arah Ibu.

"Jangan bentak Ibuku, Rosa!" hardik Mas Dito sambil menunjuk wajahku.

"Aku nggak bentak. Yang aku bilang adalah yang sebenarnya terjadi," jawabku. Tidak habis pikir aku dengan sikap Ibu dan anaknya ini, dulu aku berpikir Mas Dito adalah orang yang bertanggung jawab dan baik. Makanya aku mau menikah dengannya, tapi sepertinya aku salah menilainya.

Semenjak aku memilih bekerja dan membantu perekonomian keluarga, dia menjadi malas mencari pekerjaan. Mas Dito selalu mengharapkan uang dariku, dan dia malas mencari pekerjaan dengan alasan menjaga Kania. Sebenarnya tidak mengapa bagiku, karena aku tau susah mencari pekerjaan jika hanya modal ijazah SMA.

"Sekarang aku tanya, mana Bik Minah. Kenapa rumah menjadi berantakan seperti ini?" aku kembali mengulang pertanyaan yang sama.

"Bik Minah udah Ibu pecat." Ibu menjawab sambil melipat tangannya di depan dada.

"Dipecat. Tapi kenapa?" tanyaku penasaran.

"Biar kamu bisa belajar menjadi istri yang sempurna. Setelah beberes rumah, baru kamu bisa pergi kerja, setelah kamu pulang kerja kamu harus kembali melayani suamimu dan juga mengurus Kania dengan benar," jawab Ibu yang semakin membuatku susah untuk bernafas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status