Bab 1
"Mas, kok rumah berantakan gini, sih?" keluhku pada Mas Dito yang sedang memainkan gawainya di teras rumah.
Baru turun dari mobil, aku sudah menginjak mainan Kania–putri pertamaku bersama Mas Dito. Mainan Kania berserakan di mana-mana, begitu juga dengan daun pohon mangga dan pohon rambutan yang ada di depan rumah. Memang tadi pagi aku pergi kerja setelah Subuh, karena harus menjemput klien yang baru datang dari luar kota. Akan tetapi ada Bik Minah yang akan datang pagi dan pulang waktu sore yang akan mengurus rumah.
"Mas!" Aku kembali memanggil Mas Dito yang dari tadi tidak menjawab pertanyaanku dan sepertinya dia juga tidak menyadari kehadiranku.
"Eh, Sayang. Kamu sudah pulang?" jawabnya kaget. Kemudian aku mengambil tangannya yang diulurkan untuk aku salami.
"Iya, dari tadi. Kamu aja yang sibuk main hp," jawabku kesal.
"Nanggung, Sayang. Aku lagi main game tadi," jawabnya sambil nyengir kuda.
"Kania mana?" tanyaku pada Mas Dito karena dari tadi aku tidak melihatnya.
"Ada tuh di dalam lagi main sama neneknya," jawab Mas Dito singkat karena sekarang dia kembali lagi main game di ponselnya. Aku yang melihatnya begitu berdecak kesal, karena kesibukan Mas Dito sekarang cuma main game aja terus. Tidak bisakah dia berbuat sesuatu yang lebih bermanfaat.
"Ibuk, kapan datangnya?" tanyaku penasaran. Aku harus menahan amarah, karena ada Ibu mertua yang baru datang.
"Tadi siang." Mas Dito kembali sibuk dengan ponsel miliknya. Dia seperti sudah kecanduan dengan game online, sehingga aku seperti berbicara dengan tembok. Padahal aku sangat jengkel dan jengah melihat sikapnya yang sekarang. Ingin sekali marah dan berteriak mengatakan jika dia masih memiliki tanggung jawab untuk aku dan Kania.
Aku berjalan masuk kedalam rumah, meninggalkan Mas Dito yang sedang asyik dengan dunia gamenya itu.
"Kania makan dulu ya?" ucap Ibunya Mas Dito pada Kania. Ternyata Ibu sedang menyuapi anakku untuk makan nasi, tapi ini sudah sangat sore untuk makan siang.
"Buk," panggilku kemudian menyalami beliau.
"Kamu baru pulang?" tanya Ibu dengan tatapan tidak suka. Aku sebenarnya sedikit tertegun ketika melihat sikap Ibu yang mendadak dingin. Sebenarnya Ibu mertua adalah tipe wanita keras, tapi selama ini aku juga kurang mengetahui bagaimana sifatnya. Karena selama menikah dengan Mas Dito aku tidak pernah tidur di rumahnya.
"Iya, Buk," jawabku singkat sambil membuka blazer yang aku pakai. Aku jengah melihat rumah yang sangat berantakan seperti kapal pecah.
"Kamu tau nggak jam berapa ini?" tanya Ibu lagi dengan nada ketus. Aku mengerutkan kening, karena tidak mengerti kenapa Ibu sampai ketus bicara denganku.
"Jam setengah enam, Bu. Kenapa?" tanyaku sambil melihat jam di pergelangan tanganku. Aku masih saja bingung dengan sikap Ibu yang seperti ini.
"Kamu tau nggak Kania sampai kelaparan. Dia makan siang aja udah jam segini, kamu mau buat cucu Ibu sakit lambung?" bentak Ibu yang membuatku terkejut. Memang dari dulu Ibu tidak suka jika aku bekerja dan meninggalkan rumah juga Kania. Tapi mau bagaimana lagi, aku harus bekerja demi memenuhi kebutuhan kami sehari-hari.
Dulu aku memang tidak bekerja, tapi semenjak Mas Dito habis kontrak kerja di pabrik dia bekerja. Aku terpaksa harus kembali menerima tawaran pekerjaan dari tempatku bekerja dulu.
"Tapi memang setiap hari begini, Bu. Aku juga udah nyuruh Bik Minah kok buat nyiapin semuanya," jawabku membela diri.
"Taunya nyahut aja kamu ya," sungut Ibu emosi, kemudian berdiri memanggil Mas Dito anaknya.
"Dito, Dito. Kamu kesini dulu," teriak Ibu yang membuat Kania terkejut. Aku langsung mengajak Kania masuk kedalam kamar, dan terpaksa memberinya ponselku untuk menonton film kartun kesayangannya. Karena aku tidak ingin dia mendengar pertengkaran kami. Setelah Kania anteng, aku kembali keluar dimana Ibu dan Mas Dito berada.
"Kenapa sih, Buk. Ribut-ribut?" tanya Mas Dito tanpa melihat ke arah Ibunya yang sedang marah. Mas Dito masih fokus dengan layar ponselnya.
"Kamu masih bisa santai saat melihat keadaan rumah yang seperti ini?" tanya Ibu dengan berkacak pinggang.
"Kenapa dengan rumah kami, Bu? Aku nggak ngerti," jawab Mas Dito dengan wajah melongo.
"Istri kamu kelayapan di luar sana, pergi pagi pulang sore kamu tanya kenapa?" bentak Ibu yang membuatku naik pitam. Kelayapan dia bilang.
"Aku kerja, Bu. Bukan kelayapan," bantahku cepat, enak saja aku dibilang kelayapan.
"Iya, Bu. Rosa kerja, bukan kelayapan," jawab Mas Dito lagi dengan tatapan masih fokus ke game onlinenya itu.
"Kerja ya kerja, tapi jangan abaikan kewajibannya sebagai istri juga seorang Ibu," sanggah Ibu dengan menatap sinis ke arahku.
"Bentar, Bu. Aku mau tanya, kewajiban apa yang Ibu maksud barusan?" tanyaku dengan tatapan nyalang, habis sudah kesabaranku. Pulang kerja tadi padahal aku maunya istirahat dan main sama Kania. Tapi sekarang yang aku dapatkan malah makian dari Ibu mertua.
"Kamu nggak tau kewajiban kamu sebagai istri itu apa. Lihat rumah berantakan, Kania makan siang jam berapa? Ibu datang juga tidak disambut apalagi dikasih makan. Dito juga katanya belum makan dari siang," jelas Ibu dengan nada tinggi.
"Tapi aku kerja, Bu. Aku kerja nyari nafkah. Lagian aku sudah siapin pembantu buat nyelesain semua ini, hari-hari biasanya juga gitu," tampikku geram.
"Sekarang aku tanya, Bik Minah mana?" aku kembali bertanya pada Mas Dito. Tapi tidak ada jawaban sama sekali.
Aku geram dan merampas ponselnya dan melemparkannya ke dinding rumah.
Prang!
Ponselnya pecah dan terbelah menjadi dua bagian, Mas Dito dan Ibu hanya bisa melongo melihatku berang seperti barusan.
"Gila kamu ya! Itu hpku kenapa kamu banting sampe pecah. Kamu nggak tau aku lagi main game, dan aku hampir menang," teriak Mas Dito sambil memungut ponselnya yang pecah berantakan.
"Makanya kalau orang lagi ngomong kamu dengar, Mas!" balasku kesal.
"Dasar istri durhaka kamu, Rosa. Beraninya kamu membentak suami kamu sendiri. Kamu nggak tau surga kamu ada pada anak saya, Dito!" bentak Ibu.
"Aku cuma ngajarin anak Ibu untuk tau sopan santun," jawabku sambil tersenyum sinis ke arah Ibu.
"Jangan bentak Ibuku, Rosa!" hardik Mas Dito sambil menunjuk wajahku.
"Aku nggak bentak. Yang aku bilang adalah yang sebenarnya terjadi," jawabku. Tidak habis pikir aku dengan sikap Ibu dan anaknya ini, dulu aku berpikir Mas Dito adalah orang yang bertanggung jawab dan baik. Makanya aku mau menikah dengannya, tapi sepertinya aku salah menilainya.
Semenjak aku memilih bekerja dan membantu perekonomian keluarga, dia menjadi malas mencari pekerjaan. Mas Dito selalu mengharapkan uang dariku, dan dia malas mencari pekerjaan dengan alasan menjaga Kania. Sebenarnya tidak mengapa bagiku, karena aku tau susah mencari pekerjaan jika hanya modal ijazah SMA.
"Sekarang aku tanya, mana Bik Minah. Kenapa rumah menjadi berantakan seperti ini?" aku kembali mengulang pertanyaan yang sama.
"Bik Minah udah Ibu pecat." Ibu menjawab sambil melipat tangannya di depan dada.
"Dipecat. Tapi kenapa?" tanyaku penasaran.
"Biar kamu bisa belajar menjadi istri yang sempurna. Setelah beberes rumah, baru kamu bisa pergi kerja, setelah kamu pulang kerja kamu harus kembali melayani suamimu dan juga mengurus Kania dengan benar," jawab Ibu yang semakin membuatku susah untuk bernafas.
Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran Ibu saat ini, bagaimana bisa dia ikut campur sejauh ini. Bagaimanapun kami berhak menentukan aturan hidup kami sendiri setelah menikah, apalagi kami sudah tinggal dirumah kami sendiri."Yaudah kalau Ibu sudah memecat Bik Minah nggak papa, mumpung ada Ibu. Bisa gantiin Bik Minah, aku mau istirahat." Setelah mengucapkan itu aku langsung berlalu ke kamar tanpa memperdulikan lagi umpatan demi umpatan yang keluar dari mulut Ibu.Padahal belum sehari Ibu tinggal di sini. Tapi sudah membuat kekacauan yang membuat kepalaku hampir pecah. Inilah sebabnya mengapa aku tidak pernah mau tinggal bersama orangtuanya Mas Dito. Karena sifat kerasnya Ibu. Jangankan aku menantunya, Mas Heri saja kadang-kadang tidak sanggup meladeni maunya Ibu.Brak!Aku menutup pintu dengan kuat, inilah salah satu sebab mengapa aku tidak suka tinggal bersama mertua. Sikap Ibu memang begini dari dulu, dia sangat tegas dan juga kasar. Dia tidak segan-segan untuk memarahiku bahkan
Bab 3Aku hanya bisa mendengus kesal mendengar semua ocehan Ibu yang terus menerus menyudutkan aku. Untung saja Kania sudah tidur, kalau tidak dia akan melihat perlakuan neneknya."Ibu itu nasehatin kamu, jadi jangan menyalahkan orang lain. Kamu itu ya, diajarin taunya menjawab saja!" sungut Ibu kesal. Dia bahkan meminum tandas air di dalam gelas, mungkin mulutnya mulai kering karena terlalu banyak mengoceh."Iya dek, Ibu kan cuma ngajarin kamu. Biar kamu jadi istri yang Solehah dan bisa dengan mudah masuk surga," ucap Mas Dito sok alim."Oke, aku akan melakukan tugasku sebagai istri." Setelah mengatakan itu aku langsung membalikan badan menyusuri tangga agar bisa sampai ke kamar."Mau kemana kamu, Rosa. Saya belum habis bicara. Kamu selalu meninggalkan saya yang sedang menasehati kamu," teriak Ibu saat melihatku pergi tanpa pamit. Aku memilih abai, biarkan saja Ibu terus mengoceh."Kamu cuci dulu ini piring kotor, baru tidur. Dasar menantu malas, piring kotor bukannya langsung dicuci
Bab 4 Pagi.Jam menunjukkan pukul empat pagi. Seperti biasa aku bangun dan menunaikan shalat subuh. Sengaja tidak ku bangunkan Mas Dito, percuma dia tidak akan bangun. Biasanya dulu juga begitu, dia akan tidur jam 4 subuh setelah dia memainkan gamenya.Selalu begitu memang, dan dia akan bangun ketika perutnya keroncongan. Dulu aku pernah menegurnya karena tidak pernah shalat. Tapi dia selalu diam saja dan tidak menanggapi semua ocehanku.Setelah shalat aku langsung ke dapur, memasak dan mencuci piring kotor sisa semalam. Ternyata Ibu semalam tidak mencuci piring bekas dia makan.Aku membuang nafas kasar. Piring yang sudah aku bilas langsung aku atur di rak piring. Kemudian mengambil nasi sisa semalam untuk aku goreng. Kasihan jika nasi ini aku buang, karena masih bagus dan tidak basi. Kemudian aku membuka kulkas untuk mengambil ayam yang sudah aku kukus kemarin. Mengambil beberapa cabe merah, bawang putih dan bawang merah. Tidak lupa tomat dan kemiri juga kunyit. Rencananya aku aka
Bab 5Sebenarnya aku malas membicarakan hal ini pada orang lain, termasuk Devan. Karena bagaimanapun ini aib rumah tangga."Jadi selama ini suami kamu nggak kerja?" tanya Devan terkejut. Aku menggeleng, memberinya jawaban."Berapa lama?" tanyanya penasaran."Selama Kania lahir," jawabku lagi sambil melihat kearah jendela."Empat tahun lebih berarti? Ya ampun, jadi selama ini kamu jadi tulang rusuk sekalian jadi tulang punggung keluarga?" Devan semakin terkejut mendengar penuturanku barusan. Mungkin dia tidak menyangka jika aku mengalami masalah seperti wanita di luar sana.Tidak dapat dipungkiri memang, jika sekarang banyak wanita yang menggantikan posisi suaminya untuk mencari nafkah."Kamu tau, Rosa? Suami kamu sungguh tidak punya harga diri. Karena harga diri seorang laki-laki itu ada di pekerjaannya." Deg!Seperti ada yang mencubit hatiku ketika Devan berkata demikian. Karena selama ini, akulah yang mungkin bersalah. Karena tidak pernah menegur Mas Dito untuk mencari pekerjaan.A
"Rosa. Kamu belum masak jam segini? Saya sudah lapar," teriak Ibu dari lantai satu yang suaranya sampai kedengaran ke kamarku yang berada di lantai dua.Setelah selesai memakai sepatu aku segera turun untuk berangkat kerja. Hari ini terpaksa aku harus berangkat kerja lagi. Karena Devan akan ke luar kota untuk beberapa hari. Jadi aku belum dibolehkan untuk mengambil cuti sampai dia kembali. Bagiku tidak masalah, biar rumah ini diurus oleh Ibu saja. Siapa suruh dia memecat Bik Minah."Kok nanya aku sih, Buk. Kalau lapar ya masak sendiri lah!" balasku sambil turun dari tangga. Terlihat Ibu sedang berkacak pinggang menatapku nyalang."Jangan kurang ajar ya kamu. Ngomong sama mertua kok tidak ada sopan santunnya sama sekali," bentak Ibu lagi yang emosi mendengar jawabanku barusan."Salah sendiri, siapa suruh Ibuk memecat Bik Minah," jawabku dengan santai agar emosi Ibu semakin menjadi. Setelah kejadian Ibu memfitnahku kemarin, aku benar-benar ingin membuat Ibu tidak betah tinggal di sini.
Setelah membangunkan Kania dan mempersiapkan semuanya. Aku menggandeng tangannya dan berjalan keluar. Di tanganku sudah ada tas Kania yang berisi mainan dan bajunya. Aku akan menitipkannya di rumah Ibu dan Ayah. Mereka pasti akan sangat senang jika Kania datang."Kamu mau bawa kemana, Kania?" tanya Mas Dito yang masih duduk di sofa bersama Ibu. Aku sangat heran melihat tingkah Ibu yang sangat malas. Padahal stok makanan di kulkas itu masih sangat banyak. Seharusnya dia bisa berinisiatif sendiri untuk memasak. Apalagi dia melihatku sangat sibuk dan kerepotan dengan kerjaan dan Kania."Aku mau bawa dia ke rumah Ibu dan Ayah. Aku takut kalau dia di sini, dia akan mati kelaparan," jawabku sambil berjalan pelan ke arah pintu luar."Terserah kamu, Rosa. Tapi yang jelas kamu tidak bisa pergi kerja begitu saja. Apalagi kamu tidak meninggalkan uang untuk kami di rumah," sahut Mas Dito lagi lantang. "Dito benar. Kalau kamu mau pergi kerja dan tidak mau memasak. Setidaknya tinggalkan uang biar
"Kita mau kemana, Ma?" tanya Kania saat kami sedang dalam perjalanan. Rencananya aku akan membawa Kania pergi ke rumah Ibu dan Ayah.Biasanya aku akan membawa dia ikut serta ke kantor. Tapi hari ini banyak sekali pekerjaan dan juga ada pertemuan dengan beberapa klien penting. Jadi aku tidak mungkin membawa Kania pergi."Kita mau ke rumah Nenek dan Kakek dong. Kamu senang nggak?" tanyaku balik yang dibalas anggukan kepala oleh Kania. "Senang dong. Nanti aku mau ajak kakek buat mancing ikan," jawab Kania lagi sambil bersorak hore. Di belakang rumah Ibu dan Ayah, memang terdapat kolam ikan kecil. Ayah sengaja membuat kolam itu agar bisa memelihara ikan. Jadi kalau Ayah dan Ibu ingin makan ikan bakar. Mereka bisa langsung mengambilnya di sana. Katanya lebih segar dan enak. Semenjak itulah Kania suka sekali pulang ke sana. Karena dia akan ikut mengambil ikannya."Nanti bilang sama Kakek, sisain ikannya buat mama satu ya," ucapku sambil fokus menyetir. Untung saja ada Nisa yang menangani
Dulu aku menolak untuk dijodohkan dengannya. Untungnya dia tidak marah akan hal itu. Dia malah menghargai keputusanku waktu itu. Aku mengulas senyum saat pandangan kami bertemu."Rupanya saya akan meeting dengan Bu Rosa. Jujur saya sangat terkesan," ucap Al ketika kami berjabat tangan. "Ini karena Pak Devan sedang berada di luar kota. Saya hanya bertugas untuk menggantikan. Mohon kerjasamanya, Pak Al," jawabku sambil membalas senyumnya.**"Aku nggak nyangka bisa ketemu lagi di sini sama kamu," ucap Al ketika kami sedang makan siang di kantin kantor. Setelah rapat selama dua jam tadi, Al tidak langsung pulang. Dia mengajakku untuk makan siang dulu di sini. Dia memintaku untuk menemaninya makan di kantin kantor. Aku mengiyakan, karena aku juga sudah lapar dan ingin makan siang."Iya. Aku juga nggak nyangka bakalan ketemu lagi sama kamu di sini," jawabku sambil merebahkan punggung pada sandaran kursi. Aku sedikit merasa canggung jika hanya makan berdua saja seperti ini. Jika saja dia