Share

Fitnah Ibu

Bab 5

Sebenarnya aku malas membicarakan hal ini pada orang lain, termasuk Devan. Karena bagaimanapun ini aib rumah tangga.

"Jadi selama ini suami kamu nggak kerja?" tanya Devan terkejut. Aku menggeleng, memberinya jawaban.

"Berapa lama?" tanyanya penasaran.

"Selama Kania lahir," jawabku lagi sambil melihat kearah jendela.

"Empat tahun lebih berarti? Ya ampun, jadi selama ini kamu jadi tulang rusuk sekalian jadi tulang punggung keluarga?" Devan semakin terkejut mendengar penuturanku barusan. Mungkin dia tidak menyangka jika aku mengalami masalah seperti wanita di luar sana.

Tidak dapat dipungkiri memang, jika sekarang banyak wanita yang menggantikan posisi suaminya untuk mencari nafkah.

"Kamu tau, Rosa? Suami kamu sungguh tidak punya harga diri. Karena harga diri seorang laki-laki itu ada di pekerjaannya." 

Deg!

Seperti ada yang mencubit hatiku ketika Devan berkata demikian. Karena selama ini, akulah yang mungkin bersalah. Karena tidak pernah menegur Mas Dito untuk mencari pekerjaan.

Aku tidak pernah bertindak tegas agar Mas Dito mau meninggalkan gamenya. Selama ini aku selalu beranggapan jika rumah tangga kami baik-baik saja. Nyatanya, rumah tangga kami sedang di ambang batas.

"Kamu tau sendiri kan sekarang bagaimana suami di luar sana. Setelah istrinya bekerja dan memiliki uang sendiri. Suami abai dengan tanggung jawab. Karena apa? Karena suami berpikir jika tanpa dia kasih uang pun, Istri dan anak-anaknya tidak akan kelaparan. Istrinya kan kerja, memiliki uang sendiri. Jadi untuk apa dia harus repot-repot bekerja lagi."

"Banyak suami yang berpikir jika membeli beras, Pampers dan juga bahan rumah tangga itu tanggung jawab bersama. Kenapa hal itu bisa terjadi? Itu karena si istri tidak pernah menegur atau karena si istri punya uang sendiri. Jadi untuk menghindari pertengkaran atau cek cok. Istri berinisiatif untuk memakai uangnya sendiri," jelas Devan panjang lebar.

Aku hanya bisa terdiam mendengar penuturan Devan yang semuanya benar. Selama ini aku yang menafkahi Lea juga Mas Dito. Makanya Mas Dito malas mencari pekerjaan, karena dia sudah mengharapkan semuanya di pundakku.

"Makanya aku pengen cuti dulu, pura-puranya aku sudah keluar dari pekerjaan ini," jawabku membela diri. Aku tau sekarang mungkin Devan menilaiku sebagai wanita paling bodoh.

"Oke, sekarang kamu bisa mengerjakan semua pekerjaan untuk hari ini. Kemudian kamu bisa pulang dan mulai besok kamu bisa cuti," jawab Devan sambil menyerahkan Lea padaku.

"Terimakasih, Pak," ucapku sambil menunduk.

"Apaan, sih. Jangan panggil Pak," ucap Devan yang membuatku terkekeh.

"Iya," jawabku sambil membuka pintu. Setelah keluar dari ruangan Devan, aku kembali keruangan kerjaku.

**

Tidak terasa, sudah pukul empat sore. Aku sedang siap-siap untuk pulang. Sengaja aku mematikan ponsel, agar tidak terganggu jika sewaktu-waktu Mas Dito menelpon.

Sebelum pulang, aku mengaktifkan kembali ponsel. Terlihat banyak sekali pesan masuk dari nomor Ibu.

[Kami makan siang apa. Dasar Istri tidak becus!]

[Setidaknya tinggalkan sedikit uang untuk kami membeli makanan]

[Kamu sengaja mematikan ponsel agar bisa bebas dari tanggung jawabmu sebagai istri kan!]

[Kamu akan menyesal sudah menyia-nyiakan anak saya yang tampan. Kamu tidak tau banyak wanita di luar sana yang antri ingin jadi istri anak saya!]

Aku tersenyum membaca semua chat dari Ibu mertua tercinta. Dia sangat membanggakan ketampanan anaknya. Tapi dia lupa jika aku tidak bisa kenyang hanya dengan melihat wajah tampan.

Ibu lupa jika cucunya butuh mainan dan makanan, bukan wajah tampan ayahnya.

Aku berdecak kesal, lalu mengambil tas dan kembali menggendong Kania.

Di dalam mobil, Kania tertidur pulas karena tadi siang dia tidak tidur. Aku menatap wajah mungilnya. Dia masih kecil, tapi harus menerima kenyataan jika Ayah dan Ibunya yang selalu bertengkar.

Aku memijat pelipis pelan, baiklah. Mulai besok aku akan berusaha membuat Mas Dito kembali menjadi kepala rumah tangga yang bertanggung jawab. Semoga pernikahan ini masih bisa diselamatkan.

Setelah sampai kerumah aku menggendong kembali Lea yang masih tertidur pulas. Baru saja aku menginjak lantai keramik, kakiku terasa kasar karena banyak sekali debu yang belum di sapu.

Ternyata Ibu tidak mau menyapu rumah dan mengerjakan pekerjaan sisaku tadi. Rumah juga kosong, tidak ada orang. Tapi kenapa pintu depan dibiarkan terbuka lebar.

Segera aku tidurkan Kania di atas tempat tidur. Kemudian aku mengambil sapu untuk membersihkan rumah. Ketika akan mengambil sapu di teras samping. Aku mendengar suara Ibu yang sedang mengobrol dengan beberapa Ibu-ibu tetangga.

"Padahal apa kurangnya Dito anak saya, dia udah tampan, baik juga setia." Itu suara Ibu, aku menghentikan langkahku untuk mengambil sapu.

Ternyata Ibu sedang menggosipkan aku pada tetangga.

"Iya ya, kok bisa begitu Buk Rosa. Kelihatannya saja baik, ternyata zolim sama mertua dan suami," sahut salah satu Ibu-ibu tadi.

Deg!

Dadaku bergemuruh hebat saat mendengar mereka berkata demikian. Tapi aku harus sabar, agar tidak terjadi masalah yang lebih besar.

"Iya, padahal Dito sudah menyuruhnya untuk berhenti bekerja. Biar Dito saja yang menafkahi. Tapi dia menolak mentah-mentah tawaran anak saya. Ya buat apa lagi kalau bukan karena dia malas mengurus rumah dan anak," ucap Ibu dengan suara yang dibuat-buat.

"Padahal saya sudah tua, tapi menantu saya masih saja menyuruh saya untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah," lanjut Ibu lagi.

Ternyata begini kelakuan Ibu dibelakangku selama ini. Pantas saja dulu kedua orang tuaku tidak merestui hubungan kami. Aku menyesal, ya Allah.

"Tapi kan setau kami ada Bik Minah, yang ngerjain semuanya," jawab Ibu-ibu lainnya.

"Udah dipecat sama, Rosa. Karena katanya sudah ada saya, jadi untuk apa membuang-buang uang untuk menggaji orang," sahut Ibu masih dengan suara lemah. Seakan-akan akulah orang yang jahat dirumah ini.

"Astaghfirullah, ternyata Buk Rosa selama ini jahat sama Ibu mertuanya. Sabar ya, Buk," ucap mereka semua.

Rasanya aku sudah tidak bisa lagi menahan semua ini. Aku segera berjalan ke arah mereka yang sedang bergosip ria.

"Tega sekali Ibu menjelekkan Rosa di depan semua orang," ucapku yang membuat semua terkejut, termasuk Ibu.

Dengan wajah takut Ibu mundur beberapa langkah, namun sedetik kemudian dia langsung menangis.

"Ampun, Rosa. Ampun, Ibu tidak mau kamu pukul seperti kemarin," ucap Ibu yang membuatku melotot.

"Maksud Ibu apa?" tanyaku bingung. Padahal aku tau ini semua sandiwara Ibu di depan orang, hanya saja aku tidak bisa mengelak lagi. 

Mereka semua terlanjur mendengar semua pengaruh fitnah keji Ibu.

"Astaghfirullah, Buk Rosa. Kami tidak nyangka kalau ternyata selama ini Buk Rosa sangat jahat sama mertuanya. Sampai dipukul dan dijadikan babu," teriak Buk Asti, tetanggaku.

"Ya Allah, Bu-Ibu. Saya tidak seperti itu," jawabku membela diri.

"Halah, ngaku saja. Lihat aja tuh, Ibu mertuanya sampai gemetar ketakutan begitu," jawab Bu Tuti lagi, kepala geng ghibah komplek.

"Tolong saya, Bu-Ibu. Nanti setelah kalian semua pulang, pasti saya akan dipukuli oleh Rosa," raung Ibu lagi sambil menangis.

Ya Allah, sandiwara apa ini. Aku memegang kepala yang terasa berdenyut hebat. Percuma aku menjelaskan semuanya pada mereka. Tidak akan ada yang mau mendengar penjelasanku. Entah kemana Mas Dito, dia tidak terlihat dari tadi. Padahal biasanya dia akan selalu di rumah.

Aku segera meninggalkan mereka yang menyoraki semua kesalahanku. Masuk ke kamar dan merebahkan diri di atas kasur. Entah apa salahku sehingga Ibu tega menyebarkan fitnah tentangku.

Kuhapus air mata kasar. Baiklah, jika Ibu menginginkan aku bersikap demikian. Akan aku kabulkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status