Share

Menyusun rencana

Bab 3

Aku hanya bisa mendengus kesal mendengar semua ocehan Ibu yang terus menerus menyudutkan aku. Untung saja Kania sudah tidur, kalau tidak dia akan melihat perlakuan neneknya.

"Ibu itu nasehatin kamu, jadi jangan menyalahkan orang lain. Kamu itu ya, diajarin taunya menjawab saja!" sungut Ibu kesal. Dia bahkan meminum tandas air di dalam gelas, mungkin mulutnya mulai kering karena terlalu banyak mengoceh.

"Iya dek, Ibu kan cuma ngajarin kamu. Biar kamu jadi istri yang Solehah dan bisa dengan mudah masuk surga," ucap Mas Dito sok alim.

"Oke, aku akan melakukan tugasku sebagai istri." Setelah mengatakan itu aku langsung membalikan badan menyusuri tangga agar bisa sampai ke kamar.

"Mau kemana kamu, Rosa. Saya belum habis bicara. Kamu selalu meninggalkan saya yang sedang menasehati kamu," teriak Ibu saat melihatku pergi tanpa pamit. Aku memilih abai, biarkan saja Ibu terus mengoceh.

"Kamu cuci dulu ini piring kotor, baru tidur. Dasar menantu malas, piring kotor bukannya langsung dicuci malah ditinggal tidur. Lihat itu kelakuan istri kamu Dito, nyesal Ibu nerima dia jadi menantu."

Ibu terus saja merepet tanpa henti, suaranya yang besar bisa aku dengar sampai kedalam kamar bahkan setelah pintu kamar ditutup. Kebiasaan memang kalau dia ngomong kayak bicara sama orang tuli saja.

"Kalau kamu nggak mau terus diinjak-injak sama istri, kamu harus tegas. Jangan lembek kayak kerupuk disiram air panas. Kamu itu kepala rumah tangga, sudah sepatutnya dia menuruti semua perintah kamu!" 

Aku hanya bisa mengusap air mataku mendengar semua penuturan Ibu pada Mas Dito. Bukannya ini pilihan kamu Rosa. Kenapa kamu menangis. Sudah sepantasnya anak durhaka seperti kamu menuai hasil pilihan kamu sendiri. Batinku menjerit pedih.

Hatiku terus berkecamuk memikirkan semua pembicaraan Ibu hari ini. Andai saja dulu aku menuruti perkataan Ayah dan Ibu agar tidak menikah dengan Mas Dito.

Aku menangis dalam diam, hatiku perih bagai tertusuk pisau tumpul. Berkali-kali aku istighfar agar aku tidak lepas kendali. Tidak mungkin aku mengadu sama Ayah dan Ibu tentang keadaan rumah tanggaku. Aku terlanjur malu dengan semua ini, walaupun sekarang sepertinya Ayah dan Ibu memaksakan diri menerima keberadaan Mas Dito. Tetap saja ada pembatas diantara mereka.

Tok Tok Tok

"Rosa. Buka pintunya, aku mau masuk," aku terkejut karena ketukan pintu yang dilakukan oleh Mas Dito. Aku menghapus air mataku secara kasar, lalu bangun dan membuka pintu kamar untuk Mas Dito.

Dia masuk dengan wajah ditekuk, ternyata Mas Dito lebih mendengarkan perintah Ibunya. Terbukti dia tidak menyapaku ataupun tersenyum. Dia langsung merebahkan diri di atas tempat tidur, dan menarik selimut sampai menutup seluruh badannya.

Aku mendesah perlahan lalu aku melakukan hal yang sama dengan Mas Dito. Hampir saja aku tertidur, gerakan Mas Dito membangunkan ku. Dia membolak-balik badannya, entah dia sengaja atau tidak, tapi aku tidak nyaman dia seperti ini.

"Kalau kamu nggak ngantuk kamu boleh keluar, Mas. Aku terganggu," ucapku tanpa menoleh ke arahnya.

"Belikan aku ponsel baru," ucapnya yang membuatku terpaksa membuka mata. Ternyata dia tidak bisa tidur karena memikirkan ponselnya yang rusak karena aku lempar tadi.

Dia memang terbiasa tidur tengah malam, bisa jadi dia tidak tidur malam hari. Pagi jam 4 atau jam 5 Mas Heri baru tidur. Dia asyik main game online di ponselnya, dan malam ini dia tidak bisa bermain seperti biasanya.

"Aku nggak ada uang, Mas," jawabku singkat. Kemudian mencoba memejamkan mata agar besok aku bisa lebih waras dari sekarang.

"Nggak mungkin, aku tau kok uang kamu banyak. Ya kan?" ucapnya sambil menarik bahuku agar menghadap ke arahnya. Terpaksa aku harus kembali membuka mata ini, rasa kantuk seketika hilang.

"Aku memang nggak ada uang, Mas. Kamu tau sendiri gajiku berapa," seruku dengan suara sedikit tinggi.

"Bohong. Aku pernah lihat buku tabungan kamu," ucapnya menatapku tajam. Selalu begini.

"Kamu kan tau sendiri, Mas. Itu uang untuk biaya pendidikan Kania, lagian aku juga mau buka usaha sendiri. Biar gak terus menerus kerja di tempat orang."

Aku memang berniat untuk membuka butik, atau setidaknya perlengkapan bayi atau anak. Karena aku tidak ingin selamanya bekerja dengan orang lain, bagaimanapun kedepannya aku membutuhkan lebih banyak uang untuk biaya Kania sekolah.

"Dia masih kecil, ambil saja dulu beberapa. Nanti kita bisa tabung lagi untuk dia," ucapnya memelas.

"Kita?" ejekku dengan menaikkan sebelah alis.

Terlihat Mas Dito kikuk tidak tau harus menjawab apa.

"Kita atau aku maksud kamu, Mas?" tanyaku lagi dengan pertanyaan yang sama.

"Kamu kenapa jadi perhitungan banget sekarang sih, itu juga ponselku rusak karena kamu!" bentaknya dengan suara meninggi.

"Besok aku belikan," ucapku sambil membalikkan badan ke arah lain. Ini memang salahku karena sudah melempar ponselnya sampai pecah.

Biarlah aku menggantinya, yang penting tidak terjadi keributan lagi setelah ini.

"Ibu kapan pulang?" tanyaku lagi.

"Nggak tau," jawabnya acuh.

"Kamu kalau mau Ibu cepat pulang, berlakulah seperti yang Ibu harapkan. Jadi Ibu bisa meninggalkan rumah ini dengan rasa aman, tanpa memikirkan nasibku yang seperti laki-laki tanpa istri."

Deg!

"Oke, mulai besok aku akan melakukan tugasku sebagai istri." Setelah mengatakan itu aku langsung menyelimuti seluruh tubuhku dengan selimut. Aku harus istirahat yang cukup, agar besok lebih kuat menghadapi kenyataan hidup.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status