Share

Bab 0002

Di dalam mobil Sangga, Dania menumpahkan semua rasa sakitnya dalam tangis. Sangga hanya bisa diam, seolah memberi kesempatan kepada Dania untuk melepaskan semua beban.

“Menangislah!” Sangga mengangsurkan sapu tangan kepada Dania.

Bukannya menerima, Dania justru menatap curiga ke arah Sangga. Banyak film yang mempertontonkan bagaimana seseorang hilang kesadaran setelah dibekap dengan sapu tangan yang diberi obat bius. Tentu Dania tidak akan melakukan hal konyol dengan membius dirinya sendiri.

“Terima kasih,” tolak Dania dengan halus, akhirnya air mata diseka dengan punggung tangan. “Om Sangga mengikutiku?” tanya Dania penuh curiga kepada orang yang telah menyelamatkan dirinya.

Bukan bermaksud tidak sopan, tetapi sejak kecil Dania diajarkan untuk selalu berhati-hati dengan orang yang baru dia kenal.

“Tidak,” jawab Sangga dengan suara tegas, tetapi senyum tetap tersungging di bibirnya. “ Aku hanya ingin memastikan kamu selamat sampai rumah.” Sangga kembali memasukkan sapu tangan ke dalam sakunya.

Mendengar kata rumah yang baru saja diucapkan oleh Sangga membuat Dania justru semakin bersedih dan kembali meneteskan air matanya. Rumah yang selama ini menjadi tempatnya berlindung, tempatnya merasakan kasih sayang sebuah keluarga ternyata menyimpan sebuah rahasia yang sangat menyesakkan. Dania merasa tidak ada lagi rumah yang bisa menjadi tujuannya untuk kembali.

Sangga yakin, bukan sakit akibat tabrak lari yang membuat Dania menangis, tetapi ada masalah lain yang sepertinya berhubungan dengan keluarganya. Dugaan itu karena Dania yang belum lama memasuki rumah, tiba-tiba keluar sambil menangis.

“Sepertinya masalahmu sangat berat? Kalau berkenan, kau bisa cerita padaku.”

Dania terdiam, tidak mudah baginya untuk percaya pada orang lain. Bukan hanya pada orang yang baru dia kenal, kepada orang-orang terdekatnya pun kini Dania tidak bisa percaya begitu saja.

“Percayalah padaku! Aku akan membantumu.” Sangga berusaha untuk meyakinkan Dania.

“Bisa minta tolong?” Dania memberanikan diri bertanya. Tatapan mata Sangga, Dania artikan sebagai sebuah persetujuan. “Tolong antar saya ke rumah teman saya!” Hanya Chiara satu-satunya orang masih dia percaya.

Sangga mengernyitkan dahinya dengan tatapan mata yang tertuju pada Dania

“Bagaimana dengan keluargamu? Tentu mereka akan sangat mengkhawatirkan dirimu jika kamu tidak pulang.”

Dania mengalihkan pandangannya keluar sambil menghembuskan napas secara kasar. Tidak ada lagi keluarga, mereka hanya orang-orang yang memiliki niat jahat kepadanya.

“Aku tahu mereka hanya keluarga angkat, tetapi mereka yang telah merawatmu selama ini.”

“Om Sangga tahu itu?” Dania terkejut mendengar ucapan Sangga, ditatapnya dengan saksama wajah pria yang duduk di sampingnya seolah menanti sebuah jawaban.

“Sudah aku katakan kalau aku adalah teman mamamu,” tegas Sangga, meyakinkan Dania.

“Kalau Om Sangga adalah teman baik mama, apa Om Sangga kenal dengan Singgih Sugandhi?”

Hanya sosok yang bernama Singgih Sugandhi yang Dania harapkan untuk bisa mengetahui tentang wasiat dan warisan keluarganya. Selain itu, Dania berharap dari sosok tersebut bisa mengetahui seberapa dekat hubungan sang mama dengan pria yang telah menyelamatkannya.

“Tentu. Dia adalah teman baik papamu, setahuku dia seorang pengacara,” jawab Sangga sambil membalas tatapan mata Dania.

“Pengacara?” Meski tidak mendapat jawaban, tetapi Dania tahu apa yang harus dia lakukan saat ini. “Bisa mengantarku menemuinya?” tanya Dania sekali lagi.

“Bisa … tapi sepertinya tidak sekarang. Singgih bukan pengacara sembarang, kita harus membuat janji terlebih dahulu. Aku rasa kau butuh istirahat, wajahmu sekarang terlihat sangat pucat.”

Dania kembali memalingkan wajahnya untuk menutupi rasa kecewa. Memang benar apa yang diucapkan oleh Sangga, luka akibat tabrak lari kini menyisakan nyeri disekujur tubuhnya.

“Sekarang aku antar kau pulang. Sewaktu-waktu kau siap, aku akan mengantarmu menemui Pak Singgih.”

Dania hanya bisa mengangguk pasrah. Merasa telah mendapat persetujuan, Sangga menyalakan mesin mobilnya, lalu melaju menuju ke rumah Ari yang selama ini menjadi tempat tingga Dania.

Hanya ucapan terima kasih yang menjadi balasan Dania untuk semua bantuan yang telah Sangga beri. Bahkan Dania tidak mengijinkan Sangga untuk menemui keluarga Ari.

Dengan langkah yang tertatih Dania memasuki rumahnya. Ina yang pertama melihat Dania langsung menyambut kedangannya dan membimbingnya duduk di sofa.

“Dania! Apa yang terjadi padamu, Sayang?” Ina terlihat cemas dengan keadaan Dania. Memang seperhatian itu Ina kepada Dania selama ini.

Tidak butuh waktu yang lama,Ari dan Reisa sudah berada di ruang keluarga. Layaknya pelakon professional, ketiganya berakting dengan sempurna. Seandainya Dania tidak mendengar apa yang telah mereka rencanakan, sudah pasti Dania anak percaya dengan segala perhatian yang keluarga Ari berikan saat ini.

“Kau tidak apa-apa?” Kini Reisa sudah duduk di sampingnya, memeriksa keadaan Dania dengan saksama.

“Aku baik-baik saja,” jawab Dania sekenanya.

Dania sadar, paman beserta anak dan istrinya sedang bersandiwara. Mereka tidak benar-benar mengkhawatirkan keadaannnya saat ini. Ketiganya hanya ingin memastikan aseet berharga mereka masih tetap terjaga.

“Apa yang terjadi padamu, Dania?” Ganti Ari yang melontarkan pertanyaan. “Kenapa sampai seperti ini?”

“Tabrak lari.”

Dania meneteskan air matanya, tidak sanggup lagi berkata-kata. Rasa sakit akibat tabrak lari terasa berlipat ganda saat mengingat rencana jahat orang-orang terdekatnya.

“Apa yang sakit, Sayang?”

Ingin rasanya Dania menjawab jika hatinya yang sakit atas pertanyaan yang Ina lontarkan, tetapi hanya air mata yang yang menjadi jawabnya.

“Tante obati, ya?” sambung Ina menunjukkan kepeduliannya.

“Tidak perlu, Tante!” tolak Dania dengan lembut. “Tadi Dania sudah mendapat perawatan di rumah sakit, untung ada orang baik yang menolong Dania. Sekarang Dania hanya ingin istirahat.” Ada rasa jengah di hati Dania kala menghadapi sandiwara keluarga sang paman dan itu membuatnya tidak ingin berlama-lama berinteraksi dengan mereka.

“Baiklah kalau begitu,” sahut Ina sambil megusap rambut Dania. “Reisa! Antar Dania ke kamarnya!”

Sebenarnya Dania ingin menolaknya, tetapi karena dia belum memiliki rencana apapun untuk menghadapi keluarga pamanya, akhirnya Dania menerima perlakuan mereka agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Dania sudah berada di kamarnya, dan langsung merebahkan tubuhnya tanpa menghiraukan Reisa yang sedang meletakkan tasnya di atas meja belajarnya.

“Istirahatlah!” Tidak seperti biasanya, kali ini ucapan Reisa terdengar ketus dan sinis.

“Hm ….” Gumam Dania yang enggan untuk berbincang lebih lama lagi dengan Reisa, tetapi tiba-tiba Dania mengarahkan pandangannya tertuju kepada Reisa yang sedang memegang handle pintu. “CCTV yang merekam kejadian tabrak lari tadi sudah diamankan pihak polisi. Semoga pelakunya segera ditangkap.”

Reisa menghentikan langkah dan membalikkan tubuhnya. Sejenak dua saudara sepupu itu saling beradu pandang. Suara datar Dania terdengar seperti sebuah ancaman bagi Reisa. Tidak bisa dipungkiri jika saat ini hati Reisa sedang berkecamuk. Ada rasa takut jika Dania mengetahui pelaku tabrak lari adalah dirinya dan Dion. Selain itu ada rasa kesal karena harus menyaksikan kemesraan Dania dan Dion lebih lama lagi.

“Kau akan membawa masalah ini ke jalur hukum?” Penuh kehati-hatian Reisa melontarkan pertanyaan. Tentu dia dan Dion harus menyiapkan rencana untuk menghadapi segala kemungkinan buruk yang terjadi atas kecerobohan yang telah mereka lakukan.

“Tentu, ini bukan masalah dendam, tetapi pelajaran agar mereka berhati-hati, karena apa yang mereka lakukan sangat membahayakan orang lain.”

“Apa kau punya uang untuk mengurus ini semua?”

“Apa untuk membuat laporan tindak kejahatan harus mengeluarkan uang?” tanya balik Dania yang terlihat puas saat menyaksikan ketakutan di wajah Reisa.

“Kalau sekedar membuat laporan tentu tidak membutuhkan uang, tapi jika kasus ini terus berlanjut, tentu kau akan membutuhkan seorang pengacara. Dan … pengacara itu tidak gratis.”

Dania menganggukkan kepala membenarkan ucapan Reisa. Tidak ingin membuat Reisa puas karena merasa unggul darinya, Dania pun mencoba untuk tetap melepaskan terror agar sepupunya tidak tenang hidupnya.

“Setidaknya aku mengetahui siapa orang yang telah berbuat jahat padaku, sehingga aku harus berhati-hati menghadapinya.” Dania menatap tajam ke arah Reisa seolah ingin menunjukkan jika dia tidak akan mundur dan akan membuat perhitungan dengan orang yang telah berbuat jahat kepadanya.

***

Dalam remang malam, Sangga duduk termenung mengamati selembar foto lawas. Foto sepasang remaja mengenakan seragam putih abu-abu yang sedang tertawa lebar. Setelah puas melihatnya, Sangga memasukkannya kembali ke dalam dompet. Sangga berganti meraih ponselnya, sejenak terdiam saat ingat akan sesuatu.

Sangga mendaratkan telapak tangannya ke dahi sambil melontarkan pertanyaan pada dirinya sendiri. “Bagaimana dia akan menghubungiku?”

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Enjel Enjel
ceritanya sangat bagus
goodnovel comment avatar
Sri Sudaryati
Dania sabarlah semuanya pasti ada jalan keluarnya.Ikuti saja sandiwara mereka.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status