Share

Bab 0004

“Aku belum menikah,” jawab Sangga dengan datar.

Dania dan Singgih terkejut dengan jawaban dari Sangga. Pria yang terlihat tampan dan juga sudah mapan itu ternyata belum menikah di usianya yang sudah tidak muda lagi.

“Seingatku kau sepantaran dengan Rania. Bukankah waktu itu kalian wisuda bersama?” tanya Singgih sambil mengingat masa lalu. “Anak Rania sekarang sudah sebesar ini, sedangkan kamu ….” Singgih tidak melanjutkan kalimatnya, justru menatap penuh curiga ke arah Sangga.

“Saya rasa tidak ada yang salah,” sahut Sangga diikuti dengan hembusan napas kasar. “Anggap saja belum ketemu jodoh.”

Sangga tampak tidak nyaman dengan obrolan yang menyinggung statusnya yang masih lajang. Bukan hanya tatapan curiga, tetapi juga tatapan kasihan terasa seperti merendahkan harga dirinya.

“Dania! Sepertinya kau harus fokus dengan tujuanmu menemui Pak Singgih.” Bukan hanya bermaksud untuk mengingatkan Dania akan tujuannya, tetapi Sangga juga berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Ya, Om!” Dania tampak gugup saat tatap mata mereka bertemu untuk beberapa saat. Ada rasa yang tidak dia pahami saat mengetahui pria tampan di sampingnya ternyata masih lajang.

Tidak ingin membuang waktu lagi, Dania pun langsung mengungkapkan maksud dan tujuannya menemui Singgih. Gadis yatim piatu itu mulai bertanya tentang masa lalu kedua orang tuanya hingga penyebab kematian mereka, dan tentu tidak lupa tentang wasiat dan warisan peninggalan mereka.

Singgih menundukkan kepalanya, beberapa kali pengacara itu terlihat sedang menghela napas dalam-dalam seolah ingin menenang dirinya. Dilepasnya kacamata, lalu gerakan jarinya terlihat sedang menyeka air mata. Ingatannya kembali pada kecelakaan tragis yang merenggut nyawa Ardian Hirawan, sahabatnya beserta istri calon anak kedua mereka.

“Sepertinya papamu sudah memiliki firasat sebelumnya, sehingga dia beberapa kali menghubungiku untuk membicarakan wasiat.”

“Jika memang sudah memiliki firasat, mengapa papa tidak mencoba untuk mencegahnya?” tanya Dania dengan mata yang berkaca-kaca.

Masih lekat dalam ingatan Dania, saat itu usianya masih tujuh tahun. Hari itu di awali dengan begitu bahagia saat dia mengetahui akan memiliki seorang adik. Kedua orang tuanya berencana untuk memeriksakan kandungan setelah mengantarnya sekolah, tetapi semua hanyalah rencana, karena Tuhan menakdirkan berbeda. Sesaat setelah meninggalkan sekolah, bahkan tangan Dania pun masih melambai sebagai tanda perpisahan, sebuah truk yang remnya blong menghantam mobil yang tumpangi kedua orang tuanya hingga ringsek. Tepat di depan mata, keluarganya direnggut oleh takdir.

Melihat Dania menangis membuat Sangga langsung mendekatkan kursinya dan meraih tangan Dania. Dia sandarkan kepala gadis piatu itu di dadanya yang lapang. Seperti halnya Dania, Sangga pun sangat bersedih dan merasa kehilangan saat mendengar kabar kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tua Dania.

Menunggu Dania kembali tenang, Singgih mengambil berkas-berkas yang berhubungan dengan wasiat dan warisan untuk Dania. Setelah gadis itu tenang, Singgih menyodorkan berkas dan memberi kesempatan untuk Dania membacanya sendiri.

Suasana hening tercipta saat Dania dengan saksama membaca surat wasiat dari sang ayah. Sangga dan Singgih hanya diam sambil memperhatikan Dania, kedua pria dewasa itu memberi kesempatan kepada Dania untuk memahami kata demi kata yang tertulis di sana.

“Jadi sampai saat ini, semua asset yang dikuasai Om Ari masih atas nama papa dan mama?” tanya Dania sambil menyodorkan kembali berkas itu kepada Singgih. “Termasuk rumah yang kami tempati?”

“Ya,” jawab singkat Singgih.

Dania baru mengetahui jika selama ini dia hidup dari harta peninggalan kedua orang tuanya bukan dari belas kasihan Ari dan keluarganya. Bisa dibilang justru keluarga sang pamanlah yang menumpang hidup darinya.

“Mengapa saya harus menikah dahulu untuk bisa mengambil alih semua aset milik papa?”

“Saat kau menikah, itu artinya kau sudah dewasa. Kau sudah bisa memilih dan memilah mana yang baik untukmu,” ucap Singgih sambil menatap mata Dania seolah menuntut pemahaman yang sama. “Selain itu, tentu saja papamu berharap kau akan menemukan suami yang akan mampu menjadi pelindung bagimu.”

Dania mengangguk pelan sebagai tanda dia memahami tujuan sang papa mencantumkan syarat tersebut. Hampir saja Dania salah pilih. Dion yang selama terlihat sempurna sebagai seorang kekasih ternyata hanya mengincar hartanya saja.

Meskipun Dania sudah membacanya, tetapi Singgih tetap memberikan penjelasan secara detail hingga langkah-langkah yang harus ditempuh Dania untuk bisa mendapatkan harta warisan tersebut. Satu syarat yang belum dipenuhi Dania untuk bisa mendapatkannya, yaitu sampai saat ini Dania belum memiliki suami yang akan mendampinginya saat pengalihan asset.

“Kau ingin segera mengambil warisanmu? Kau sudah ada rencana untuk menikah?” cecar Singgih dengan tatapan mata yang menuntut jawaban segera.

“Belum, saya belum kepikiran untuk menikah,” jawab Dania lirih menahan perih di hatinya. Jika sebelumnya Dania berharap Dion akan segera melamarnya dan mereka menikah setelah dirinya diwisuda, tetapi setelah mendengar rencana Dion dan Reisa, Dania hanya ingin segera mengakhiri hubungan dengan kekasihnya itu. “Saya ingin berkarir dulu, mencari pengalaman.”

“Apa karena belum ada calon?” tanya Singgih yang langsung mendapat gelengan kepala dari Dania.

Sama sekali Dania tidak bermaksud berbohong kepada Singgih. Setelah mengetahui kebohongan Dion, Dania merasa hubungan mereka sudah berakhir.

“Kalau belum ada, Om punya kenalan … calon pengacara handal, tapi sekarang masih magang.”

“Biarkan Dania menentukan hidupnya sendiri!” sergah Sangga dengan suara tegas. Sangga yang sedari tadi hanya diam akhirnya mengeluarkan suaranya saat menyaksikan Dania yang terlihat tidak nyaman dengan sikap Singgih.

“Maaf.” Singgih menyadari kesalahannya, terlalu dini untuk membicarakan masalah yang sangat pribadi pada saat pertemuan pertama mereka.

Dania hanya mengangguk pelan dan tidak ingin memperpanjang pembicaraan tentang calon suami untuk dirinya. Memang benar jika Dania ingin segera mengakhiri hubungannya dengan Dion, tetapi dia belum ada rencana untuk segera mencari penggantinya. Dania ingin menata hatinya terlebih dahulu sebelum memulai hubungan baru.

Setelah pembicaraan dengan Singgih berakhir, Sangga langsung mengantar Dania pulang. Tiba di depan rumah, Dania tampak enggan untuk turun dari mobil. Gadis yatim piatu itu merasa rumah di hadapannya bukanlah rumah untuknya kembali.

“Kita sudah sampai.” Sangga mengingatkan Dania yang sedari tadi hanya diam.

Dania mengalihkan pandangannya ke arah Sangga yang duduk di sampingnya. Setelah seharian bersama, Dania merasa nyaman berada di dekat pria yang usianya sepantaran dengan mendiang ibunya. Seandainya mereka sudah lama saling mengenal, mungkin tanpa sungkan Dania akan ikut dengan Sangga.

“Kau ingin aku mengantarmu masuk?” Sangga menyisihkan rambut yang menutupi bekas luka di dahi Dania. Dia ingin memastikan luka itu segera sembuh dan tidak meninggalkan bekas yang bisa membuat Dania kurang percaya diri.

“Tidak, sampai di sini saja. Maaf, karena merepotkan Om Sangga terus.”

“Tidak apa-apa,” sahut Sangga dengan senyum di bibirnya. “Jangan sungkan untuk menghubungiku jika kau butuh bantuan, aku akan berusaha untuk membantumu.”

Dania mengangguk kecil, lalu mendekat ke Sangga dan melabuhkan ciuman singkat di pipi pria itu.

“Terima kasih,” ucap Dania sesaat sebelum keluar dari mobil Sangga.

Sesaat Sangga terdiam tanpa mampu mengidentifikasi rasa yang bergejolak dalam hatinya. Meskipun masih melajang di usianya menjelang setengah abad, tetapi Sangga tetaplah pria normal yang akan merasakan desiran kala bersentuhan dengan wanita. Tetapi hatinya berusaha untuk menepis itu semua.

“Dia lebih pantas menjadi anakmu,” gumam Sangga dengan tatapan mata tertuju pada Dania yang mulai hilang di balik pintu gerbang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status