Share

Menikah Denganku
Menikah Denganku
Author: Lavender

1

Di buka dengan emosi yang menggunung. William Anderson adalah pria berhati dingin dengan tatapan mata setajam elang yang siap menerkam mangsanya. Hari ini semua model yang mendaftar di agensinya William diskualifikasi. Di mata William tidak ada kriteria yang sesuai dengan maunya. Mereka semua cantik tapi  tidak mempunyai bakat. Mereka hanya menjual tubuh dan wajahnya saja. Untuk itu William memberi banyak tekanan pada timnya yang saat ini mendesah penuh frustrasi di belakang panggung.

“Boleh aku bunuh diri, Al?” Chaz berkata dengan wajah kuyunya.

Wanita yang dipanggil Al hanya tersenyum tipis. Allinson menggerakkan bibirnya agar Chaz menutup  mulutnya. William lewat dengan langkah santainya. Chaz ingin meninju wajahnya yang tampan jika tidak ingat William adalah sahabatnya.

Allinson cepat-cepat mengikuti William memasuki ruangannya. Allinson berikan jadwal baru William yang sudah diperbaruinya. William masih memakai kaca mata bacanya yang bertengger dihidung mancungnya mengecek kinerja Allinson .

“Aku butuh asisten baru.”

Allinson bengong sebentar. Kedua matanya, otaknya mencerna maksud ucapan William.

“Aku ingin kamu lebih fokus menyeleksi para model dan memberikan arahan kepada mereka. Berikan sebagian pekerjaanmu untuk asisten  baru. Aku tidak bias lepas begitu saja dari bantuanmu.”

“Aku masih belum mengerti. Maksudnya kenapa aku harus mempunyai partner dan berbagitugas dengannya. Jika sekadar menyeleksi dan memberi arahan kepada para model aku masih mampu melakukannya.”

Allinson melayangkan protes dan William tahu betul akan hal itu. William menyikapi ketidakterimaan Allinson dengan tenang. Itu wajar karena Allinson sudah bersama William bahkan sebelum perusahaannya berkembang.

“Dan apakah kamu tahu apa yang selalu membuat Chaz marah?” William seruput kopi pahitnya yang mulai mendingin. “Menyeleksi model tidaklah semudah mencocokkan celana dalam. Dan karena aku baru saja turun tangan, aku setuju dengan umpatan tersebut.”

Allinson mendesah pasrah dengan kepala mendongak ke atas. Rasa sakit tiba-tiba menyerangnya. Mendebat Williamtidak akan ada ujungnya. Pria ini jika sudah bertekad badai saja tidak bisa menghalanginya.

“Akan aku carikan.”

Allinson balikkan tubuhnya bersiap pergi dari ruangan William. Namun tertahan dengan perkataan William yang cukup mengejutkan.

“Bagaimana dengan ini? Calla Palmer? Aku rasa dia cukup cekatan.”

“Ah, dia mahasiswa magang ditingkat akhir. Dia satu kampus dengan Lucas.Adam belum memutuskan untuk menerima surat magangnya.” Allinson sedikit ragu untukmenatap wajah William yang tenang namun siap menyemburkan lahar panas. “Lagi pula agensi kita belum pernah menerima pemagang.”

William menganggukkan kepalanya.  Kedua tangannya terlipat, dahinya berkerut menandakan sedang berpikir keras. Lalu bangkit dari kursi kebesarannya dan membelakangi Allinson.

“Tidak asing, ‘kan? Aku melihat pancaran dari kedua matanya yang bening. Apa aku akan menjadi menyedihkan lagi, Al?”

Pertanyaan William tidak bias Allinson jawab. Itu terlalu rancu dan Allinson tidak mau terjebak di dalamnya. Salah-salah nyawa Allinson yang akan melayang.

“Aku akan mencari kandidat lain. Oh, ya, kamu punya jadwal temu dengan klien sore ini. Aku sudah menyiapkan semua bawaan yang kamu butuhkan. Dan untuk reservasi restorannya atas namamu. Aku permisi.”

Allinson secepatnya pergi.

Sepeninggal Allinson, William belum beranjak dari tempatnya berdiri. Pemandangan di luar lebih menarik minatnya. Gedung-gedung pencakar langit yang William yakini disertai desisan angin. Beberapa burung beterbangan dengan bebasnya dan William iri akan hal itu.

“Ini menjadi sia-sia, benar,” gumam William diikuti senyum yang tak terbaca. “Kamu tahu jika hidup adalah pilihan tapi mengakhiri yang belum menjadi takdirmu sangat tidak adil bagiku.”

William menjadi pribadi yang lain saat sendirian. Sisi lemahnya muncul tanpa bias dicegah dan air matanya meleleh begitu saja. Rasanya kenapa William menjadi sangat lemah di saat sendiri?

***

Pada kisah yang belum usai, William pandangi langit malam dari jendela kamar hotel yang disewanya. Menyesap wine sebagai penghangat tubuh, faktanya itu tidak cukup membantu. William tetap kedinginan dan sisi terdalam hatinya tidaklah tersentuh sama sekali.

“Hnggghhh ….”

Erangan dari arah kasurnya terdengar. William tidak tertarik untuk menoleh sama sekali. Mala mini terjadi lagi. William ingin berhenti tapi itu hanya terjadi di dalam hatinya saja. Pikirannya berbanding terbalik.

“Sayang?” panggil wanita itu.

Suara seraknya khas bangun tidur malah terasa risih kala menyapa rungu William. Tiba-tiba sebuah tangan melingkar di perut berotot William dan deru napas menerpa punggung telanjang William.

“Apa aku membuatmu tidak nyaman?” Tanya wanita itu sembari mengusapkan wajahnya di punggung William. “Kamu terlihat menikmati permainan kita beberapa jam yang lalu. Dan sekarang kamu berdiri sendiri tanpa melibatkan aku. Aku kecewa dengan itu.”

William mendengkus mendengarnya. Di teguk hingga tandas winenya lalu membalikkan badannya kasar sehingga tubuh wanita itu tersentak. Kedua mata cokelat madu William menggelap namun ada kejernihan di dalamnya. Bukannya takut, wanita itu malah tersenyum dan melarikan telapak tangannya memegang pipi putih William.

“Kamu tahu aku sangat suka dengan tatapan matamu. Itu membunuhku tapi aku juga merasa diinginkan dalam sekejap. William, kenapa kamu sedingin ini di saat aku bias mengerang penuh kenikmatan?”

“Apa itu menjadi hakmu? Kamu sadar di mana posisimu? Berhenti bersikap seolah-olah kita sangat dekat.” William menatap penuh jijik. “Kamu hanyalah barang yang bias aku pungut lalu aku buang saat aku tidak lagi menginginkan.”

William menyeringai. Melempar keluar wajahnya ke arah luar, William menarik napasnya dalam-dalam. Benaknya bertarung hebat jika kelakuannya ini tidak bias dibenarkan namun hanya ini yang bias menjadi pelariannya.

“Kamu pasti sangat kesepian.” Wanita itu memunguti pakaiannya yang bercecer. “Aku tidak akan menganggap ucapanmu serius. Kita sama-sama membutuhkan dan aku mendapatkan yang aku mau. William, jangan terlalu sering menyiksa dirimu. Aku pergi.”

Sepeninggal wanita itu, William kembali sendiri. Dan rasa sepi kembali membalut hatinya. Ada marah yang ingin William keluarkan tapi semuanya terasa sia-sia. Marah untuk apa? Kecewa pada siapa? Dan apa gunanya?

Dering ponsel terdengar. William meliriknya sebentar lalu kembali menikmati suasana malam yang masih ramai. Suara klakson terdengar, hingar binger malam hamper usai namun sebagian mata belum terpejam.

“Angkat bodoh!”

Sebaris pesan masuk. William tidak menggubrisnya. Ponselnya kembali bordering dan William tidak bergeming.

“Isabel ….” Lirih William memanggil. “Kamu mengawasiku? Apa ini karma yang kamu berikan? Jika ya, boleh aku katakan ini lebih cocok hukuman. Apa seingin itu aku melepaskanmu?”

Sebaris kalimat terangkai dalam benak William: seperti kisah rindu bulan pada matahari, meski dipisahkan semesta dalam jarak yang begitu jauh, namun diujung penantian mereka bias bertemu kala gerhana.

“Isabel, mungkinkah aku bertemu denganmu lagi atau paling tidak kamu menghentikan hukuman ini? Jika kamu ingin tahu, aku tersiksa.”

William tenggak langsung wine dari botolnya. Tidak peduli dengan kepalanya yang mulai pening dan ponselnya yang terus berdering.

                              

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status