Share

4

"Ada apa?" tanya Lucas tanpa berbasa-basi. Tangannya mencengkeram menahan geram di hatinya. Gumpalan amarah itu terbungkus apik sejak langkahan kakinya manaiki undakan tangga di rumah ini.

Rumah?

Seringai di wajahnya Lucas tunjukkan. Kendati demikian, kobaran benci lewat tatapan tajam matanya tak kunjung meredup. Menatap lekat-lekat pria tampan yang nyaris mirip dengan cetakan lainnya tengah tersenyum tipis bersamaan tangan yang bertumpu di atas meja. Menampilkan wajah penuh kepedulian yang justru memuakkan bagi Lucas.

"Bagaimana kuliahmu? Apa tutormu cukup membantu?" Senyum tipisnya belum meredup. Matanya menyipit kala senyum simpul itu menarik kedua sudut bibirnya kekanan dan kekiri.

"Jangan pura-pura peduli!" Langsung tanpa permisi.

Pria itu paham betul tipikal seperti apa adiknya ini. Dan bagaimana cara mengatasinya, pria itu memahami. Sebagian dari dirinya meyakinkan; keluarga ini tak mudah di pecahkan dengan badai sekali pun.

Tapi, kenyataan dan keyakinan sama sekali tak mendukung. Dua hal itu tak berjalan selaras. Tak berlalu beriringan karena faktanya, mereka berjalan di atas bumi yang sama, di pijakan dan tanah yang sama, namun tidak di sebuah atmosfer yang sama. Mereka terpisah.

"Aku peduli," jawabnya kalem, "Kamu tetap adik bagi kami Lucas, kamu—"

"Persetan!" tukasnya. Dadanya bergemuruh mendengar ucapan itu. Sekali lagi, sedetik lagi, jarum kemarahan yang mengobarkan api pada dirinya ingin segera Lucas luapkan. "Apa pedulimu tentang hidupku brengsek?!"

Pria itu bungkam. Tangannya meremas satu sama lain pertanda gugup yang meliputi. Ia terlampau memahami dan hanya diam ini jawabannya.

"Kamu dan dia, bisakah kalian percaya jika aku melihat semuanya. Aku dan dia melihat dengan mata kepala kami. Aku dan dia melihat bagaimana—" Lucas tercekat. Suaranya bergetar padahal mati-matian ia menahannya. Tapi kilas balik kejadian itu menumpaskan setiap sendi kehidupannya bahkan tulang-tulangnya.

"Aku sedang berusaha Lucas. Kami diam bukan berarti tak peduli. Aku dan dia sama pedulinya. Pilihanmu Lucas, kembali atau berhenti."

***

Clara pikir hari pertamanya akan sangat panjang atau paling tidak penuh drama. Faktanya tidak demikian dan itu semua jauh dari apa yang ada dalam bayangannya.

Sore hari saat Mentari belum kembali ke peraduannya, William telah hengkang dari kantor. Sayup-sayup Clara mendengar jika pria berambut cokelat madu bertubuh jangkung itu akan menghadiri rapat di perusahaan lainnya. Hebat! Tidak heran jika agensi ini menjadi serbuan banyak model bahkan melewati tahapan seleksi yang ketat.

“Kamu boleh pulang, Cla.”

Allinson berdiri di belakang tubuh Clara yang baru selesai merapikan fail di atas meja kerja William. Clara menoleh dengan wajah canggung dan seakan mengerti apa yang Clara pikirkan, Allinson berjalan mendekat sambil tersenyum.

“Begitulah pekerjaanmu. Jika William sudah pergi, kamu hanya perlu menyelesaikan bagianmu lalu pulang. Jangan merasa sungkan atau tidak enak. Dan selamat bergabung bersama kami.”

Clara tersenyum dan mengangguk. Tidak banyak interaksi yang Clara suarakan selain bertanya untuk pekerjaan. Kecemasan Clara adalah orang-orang akan menolak sifatnya yang pendiam ini.

Melihat kondisi sekitar yang mulai sepi dan meja sudah rapi kembali, Clara ambil tasnya dan berjalan menuju lift. Clara pasang earphone dan memutar lagunya. Suasana sore yang sunyi dan Mentari yang cantik menjadi pemandangan indah.

***

Clara terengah-engah.

Clara ingin bangun. Clara ingin berlari. Tapi mimpi-mimpi itu benar-benar memenjarakan kedua kakinya untuk bergerak. Clara terhimpit oleh sebuah batu besar dan sekarang pasokan udara di paru-parunya mulai menipis. Tenggorokan Clara tercekat saking keringnya. Suara Clara hilang seperti terhalangi sesuatu.

Erngan halus lolos begitu saja melalui celah bibirnya yang terbuka. Dahinya berkeringat dengan gerakan gelisah semakin memojokkan wajahnya di sandaran sofa.

Mimpi buruk yang setiap malamnya ia dapat berhasil membuatnya terjaga. Hal pertama yang di dapatinya yaitu gelap. Pendar mata terangnya diantara temaram malam ruangan kamarnya adalah kilau bulan yang memancar menembus jendela.

Telinganya berdengung. Clara lelah. Sangat lelah sampai ia tak ingin menghadapi apapun lagi.

Clara benci dengan mimpi-mimpi yang terus menghantuinya. Ia benci melihat kegelapan, atau pun berada di dalamnya. Ia benci berada diruangan yang sempit atau pun sesak. Dadanya akan sakit.

Rintihan menyakitkan yang setiap malamnya Clara alami tak ada satu pun yang mengetahui. Tak ada juga yang mencoba untuk menolongnya. Clara harus bertahan, dan terbangun sendiri untuk membuatnya kembali tersadar.

Itu bukanlah hal mudah.

Itu bagian terberat dari hidupnya karena terkurung oleh kenangan masa lalunya.

Clara butuh bernapas. 'Teman tidur' yang selama ini menghampiri malam-malam panjangnya tak pernah membiarkannya beristirahat dengan tenang dan terus saja mengganggunya.

Clara butuh sandaran. Sekedar pelukan hangat untuk menenangkannya. Namun sayangnya itu pun mustahil untuk Clara dapatkan.

"Mama."

Saat terbangun dari mimpi buruknya, Clara melihat kondisi ruang tamunya yang gelap. Jendela terbuka dengan gorden yang tertiup angin. Cahaya lampu dari luar menerobos masuk. Napas Clara terengah-engah.

Mulut Clara bisu dengan lidah kelu yang tidak bisa mengucapkan sepatah kata. Sekarang lelehan liquid bening keluar dari kedua matanya dan turun ke pipi. Terus turun dan membuat pipi mulus Clara basah. Rasa asinnya tercecap di indera perasanya.

“Berengsek!”

Hanya itu yang bisa Clara keluarkan pertama kali. Teriakan dan tangis Clara kian menjadi di malam sunyi tanpa seorang pun yang mau meminjamkan bahunya.

***

Sepenggal kisah kelam. Kilas balik masa lalu, semuanya tersimpan rapi di memori William. Tersusun apik dalam album kenangan berderu bersama detak jantungnya.

Pagi ini, yang terlihat jelas oleh kedua mata beningnya adalah sinar matahari yang cukup terik menerpa wajah tampannya. Bangun dengan rambut acak-acakan dan badan tegap yang menghadap keluar pemandangan kota Carolina.

Ingatan William berkelebat. Masih sama seperti kemarin, wanita yang menjadi asistennya.

Entah mengapa, William harus mengingatnya—lebih tepatnya mendekatinya. Hatinya berdesir, jantungnya tak beraturan kala menatap wajah datar itu. Wanita itu sama sekali tak tersentuh dan William ingin menyentuhnya. William ingin wanita itu ada dalam rengkuhannya. William ingin terus melihat wajah itu atau senyumnya atau lebih tepatnya pertanyaan begini: apa arti pelariannya selama ini jika untuk melihat nama yang sama. Bukan karena takut. William tidak ingin semua pencapaiannya berakhir sia-sia.

Dan sesapan kopi panas yang menyengat kerongkongannya William nikmati dalam lamunan yang melebur bersama langkahan kaki. Tak perlu menoleh dari mana asalnya. William cukup pintar untuk menebak.

"Selalu kopi." Vokal itu tetap William abaikan. Kedua tangannya memegang koran pagi dengan suguhan berita-berita politik yang membosankan—memuakkan untuk William ketahui. Tapi pebisnis seperti dirinya wajib mengetahui untuk bisa melawan musuh yang datang dari arah mana pun.

"Kafeinnya terlalu tinggi." Celotehannya masih berlanjut. Lalu seperti beberapa detik yang lalu; William tetap diam mengabaikan.

Lelaki itu mengembuskan napasnya gusar. Merasa cukup untuk menyerah dan putus asa. Ia mengerti, relung hati William takkan tersentuh oleh apapun. Sekali pun tangisan berdarah, itu percuma.

"Aku bertemu Austin. Dia memintaku tinggal," ujarnya seraya meneguk segelas air lemon. "Aku merasa tak nyaman jika itu menyangkut kita. Kamu tahu Will, ini sulit. Untukku dan terutama untukmu. Kita bertiga saling menjauh dan pergi ke arah tujuan masing-masing."

William terus bungkam. Satu tangannya mengangkat cangkir kopinya lalu menyesapnya sekali lagi. Memainkan lidahnya merasakan aliran hitam pekat itu menyebar ke dalam mulutnya.

"Kuliahku baik. Dan pembimbingku juga selalu menekanku untuk belajar. Seminggu tiga kali. Aku rasa itu cukup karena dia juga harus magang di salah satu agensi untuk jurnal ilmiahnya. Dia baik kamu tahu, tapi dingin sepertimu."

Lucas ucapkan kalimat terakhirnya mirip bisikan. Namun begitu, hal itu menarik perhatian William hingga mengangkat kepalanya dan menatap pria muda di hadapannya dengan saksama.

Pria ini tetap adiknya, ‘kan? Tetap bagian dari keluarganya yang tidak ingin William akui namun keadaan memaksanya untuk menerima.

Hanya jawaban itu yang terucap dari hati William.

"Maka lanjutkan. Kamu bisa memilih mana yang menurutmu baik dan harus kamu tinggali. Tempatmu bukan di sini, Luc."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status