Share

2

Chaz menjadi orang pertama yang marah-marah. Umpatan demi umpatan meluncur dari mulutnya namun tidak ada respons yang bisa Chaz harapkan. William Anderson tetaplah pria berhati dingin yang ingin Chaz bunuh.

“Boleh aku bunuh diri, Al?”

Oh, tentu saja itu tindakan bodoh. Chaz tidak akan mau menyia-nyiakan hidupnya demi seorang William. Pada akhirnya Chaz tetap memilih jalannya untuk bertahan. Dasar manusia munafik! Sudah dihina hingga titik darah penghabisan namun masih menjadi penjilat sampai akhir.

“Astaga! Aku ingin mati sekarang juga.”

Kali ini dari Ryan. Pria berkemeja biru laut itu datang dengan wajahnya yang memerah. Ryan memendam amarah yangi lebih besar dari Chaz. Allinson dan Chaz hanya saling pandang lalu tertawa terbahak-bahak.

Wajah Ryan gusar. Kedua kakinya berjalan mondar-mandir mirip setrikaan. Ryan kentara frustrasi dan itu bukan pertanda yang baik.

“Dia pikir dia siapa, hah! Mendiskualifikasi semua model yang susah payah kita seleksi dan dia dengan satu kata semuanya selesai. Demi Tuhan aku tidak percaya terjebak di sini. Sial!”

Tangan Chaz bergerak memberi kode untuk Ryan diam. Langkah William semakin dekat. Ryan terengah-engah dengan gumamannya.

“Aku tidak suka di sini. Ini neraka dan aku tersiksa.”

“Maka kamu boleh pergi.”

Punggung Ryan kaku dibuatnya. Suara William bak malaikat maut meniup sangkakala. Saat Ryan membalikkan tubuhnya, ekspresi di wajah William tidak terbaca. Deru napasnya bahkan sangat tenang sehingga Ryan merasa akan dieksekusi detik ini juga.

“Oh, kupikir akan terjadi sesuatu,” ujar Chaz yang menelengkan kepalanya mengikuti ke mana perginya Wiiliam dan Allinson. “Sangat tidak wajar dia pergi begitu saja.”

“Benar, ‘kan? Aku benar dengan firasatku. Kenapa William sangat aneh hari ini? Dia berbeda dari hari biasanya.” Ryan mengusap dagunya dengan santai.

“Jangan lagi seperti itu! Kamu membuat semua orang jadi mangsa.” Chaz memprotes. “Sedikitlah lebih peka saat aku memberimu kode.”

“Aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Ini memang menyebalkan meskipun aku harus menjadi penjilat.”

Chaz tidak peduli. Chaz lebih peduli perutnya. Cacingnya berdemo dan Chaz tersiksa akan hal itu.

***

Sepeninggal Allinson dari ruangan William, Adam masuk tanpa mengetuk pintu lebih dulu. Bukan suatu hal yang aneh bagi William. Adam adalah penanggung jawab dan juga senior yang mengurus segala keperluan bisnis William. Meski sering berkata ketus, dilubuk hatinya yang terdalam William selalu menghormati Adam.

“Apa menurutnya menyeleksi para model semudah mengganti celana dalam? Sial! Itu adalah umpatan Chaz padaku beberapa menit yang lalu. Apa menurutmu ini tidak berlebihan?”

Adam duduk di sofa dengan santainya. Mata sayu Adam menatap punggung lebar William yang begitu fokus menatap pemandangan di luar ruangan.

“Aku butuh model yang benar-benar mampu untuk diajak bekerja bukan sekadar meliukkan tubuhnya dan semuanya dianggap selesai. Aku juga punya standar dalam merekrut seseorang yang akan aku pekerjakan karena uang yang aku keluarkan tidak main-main. Kamu setuju?”

Adam tidak bisa mengelaknya. Sesalah apa pun Tindakan William tidak ada yang bisa menghakiminya. Karena perusahaan ini dibangun dengan susah payah dan penuh perjuangan.

“Jangan terlalu keras pada diri sendiri, Will. Kamu juga butuh hidup yang bisa membuatmu bergairah untuk terus berkarier.” Adam bangun dari duduknya. “Aku dengar kamu butuh asisten baru.”

William hanya mengangguk. Lalu membalikkan tubuhnya dan menatap Adam tajam.

“Palmer, eh, Clara Palmer. Tidak asing, ‘kan?”

“Hanya sebuah nama.” Adam menjawab dengan tenang dan menganggap enteng perkara nama ini. “Aku yakin dia orang yang berbeda dan tidak ada hubungannya dengan kisah kelammu.”

“Sudah saatnya kamu melupakan kisah itu. Begitu, ‘kan yang ingin kamu katakan. Cih!”

Jika Adam bisa berkata jujur, maka setiap untaian kata yang meluncur dari mulutnya terasa amat salah di pendengaran William. William hanya peduli dengan perasaannya tanpa peduli ada sisi sensitif milik Adam yang ikut serta berperan.

“Aku tahu itu bukan hal yang mudah tapi cobalah untuk tidak memukul rata semua nama Palmer. Isabel punya pilihan dan aku yakin semua manusia di muka bumi pun hidup untuk sebuah pilihan. Maka saat memutuskan untuk meninggalkan dunia, mereka benar-benar sudah mempertimbangkan pilihannya.”

William tetap tidak bisa menerimanya. Percuma karena mata hatinya telah buta. Batin William terselimuti amarah dan kebencian. Sebanyak apa pun Adam memberinya nasihat hasilnya akan sia-sia.

“Ah, dia menjadi mahasiswa penerima beasiswa di kampus yang sama dengan Lucas.” Sudah saatnya Adam mainkan kartunya. Harga diri William akan terinjak saat nama Lucas disebutkan. “Austin secara pribadi meminta Clara menjadi tutor Lucas. Bukankah ini baik karena dia wanita yang telah dekat dengan keluargamu?”

“Lucas?” ulang William dengan kedua alis yang menyatu. “Austin memintanya menjadi tutor untuk Lucas? Apa bocah itu sangat bodoh sehingga membutuhkan uluran tangan orang asing?”

“Sayangnya Lucas menjadi sangat tidak terkendali akhir-akhir ini.”

Adam pergi tanpa pamit seperti saat datang ke ruangan William. Sedangkan William ditinggalkan dengan sejuta tanya yang bersarang di benaknya.

***

“Aku bisa memotong lidahmu!”

Lucas mengembuskan kepulan asap dari rokok yang di hisapnya. Giginya bergesekan menandakan sulutan api amarahnya telah terpancing—tanpa peduli jika pria dalam cengkeramannya hampir kehilangan oksigen.

Wajah pria dalam cengkeraman Lucas pucat pasi dan tangannya gemetar. Beberapa pasang mata yang membentuk lingkaran hanya menontonnya tanpa berani untuk menolongnya. Gila saja! Memangnya siapa yang bosan hidup hingga berani menegur aksi seorang Lucas William—kecuali jika kamu teramat frustasi dengan kehidupan kampusmu.

“Katakan sekali lagi sialan!” gertak Lucas seraya menginjak puntung rokoknya di lantai.

“Benar ....” ucapnya terbata karena kesulitan bicara. “Kekasihmu berada di lorong dan bercumbu dengan Max.”

Sial! Lucas segera berlari dan menaiki dua tangga sekaligus. Namun belum sampai kaki rampingnya menginjak di tangga teratas, sebuah tangan menyambar tasnya nyaris membuatnya terjungkal.

Umpatan demi umpatan terlontar. Kepalanya tertarik ke belakang dan tepat si pelaku menyebalkan itu sedang menatapnya tajam. Sorot mata cokelat kelamnya menembus jantung Lucas.

“Jangan mengintimidasiku!” bentak Lucas. Emosinya membumbung tinggi.

“Kau berulah lagi. Kau bosan hidup atau memang sengaja ingin melemparkan diri ke dalam penjara?”

Pertanyaan wanita di depannya mengundang gelak tawa Lucas.

“Memang apa pedulimu? Urus saja urusanmu dan enyah dari hadapanku!”

Wanita itu menggeleng pelan dan tersenyum tipis.

“Sayangnya aku memegang tanggung jawab penuh akan dirimu. Jadi jangan membuang tenagamu untuk wanita murahan yang tidak mau menjadi milikmu.”

“Sial! Jaga ucapanmu. Mulut kotormu tidak pantas mengatai Jennifer seperti itu!”

“Ah, sayang sekali. Wanita itu memang murahan.”

Wanita itu mengibaskan tangannya dan pergi dari hadapan Lucas.

“Clara!” teriak Lucas tanpa peduli keadaan sekitar. “Kembali ke sini atau aku akan menghajarmu!?”

“Jika kamu bisa. Lagi pula gerakanku jauh lebih unggul daripada milikmu.”

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status