**
"Ra, kamu sakit, ya?"
Pagi ini ketika Inara sedang bersiap-siap berangkat bekerja, Ibu Yanti mencegatnya di ambang pintu kamar. Wanita itu menatap Inara lekat-lekat, tampak heran dengan keadaan si gadis yang tidak seperti biasanya.
"Sakit?" Inara mengernyit. "Kayaknya sih iya, Bu. Belakangan aku sering pusing tiba-tiba, kayaknya anemiaku kambuh."
"Jangan capek-capek, Ra. Nanti mampir beli obat penambah darah di apotik dulu sebelum masuk kantor. Jaga kesehatan, karena nggak ada yang bisa kita andalkan selain diri sendiri." Bu Yanti menepuk lembut bahu gadis itu, yang dibalas dengan seulas senyum manis.
Inara merasa bersyukur meski dirinya yatim piatu dan tinggal di panti asuhan sejak kecil, sebab Ibu Yanti selalu siap sedia dengan segala kasih sayangnya. Walau tidak pernah tahu siapa orang tua kandungnya dan bagaimana dirinya berakhir di tempat itu, namun Inara sudah merasa cukup dengan memiliki Ibu Yanti saja.
"Iya, Bu, nanti aku beli. Aku berangkat dulu, ya," ucap Inara sembari meraih tangan sang ibu dan menciumnya sebelum bergegas berangkat.
Hanya saja, mendadak kepalanya kembali terasa pusing begitu tiba di kantor. Perutnya juga tiba-tiba terasa tidak enak. Terpaksa, Inara menyeduh secangkir teh panas. Daripada seharian nanti ia semakin sakit dan tidak bisa melanjutkan bekerja.
"Kamu kenapa? Sakit kah?" tanya kawannya sesama office girl dengan wajah heran saat melihat hal itu, "pagi-pagi udah ngeteh aja. Tumben banget, biasanya nggak pernah begitu."
"Nggak tau. Badanku agak nggak enak. Mungkin masuk angin, agak mual dikit." Inara menjawab dengan mengulas senyum sembari menghirup tehnya.
Entah mengapa mencium aromanya yang wangi–menenangkan perut Inara yang bergejolak tidak menyenangkan. Ia memejamkan mata, menikmati minuman hangat yang mengalir membasahi kerongkongan. Rasanya nyaman sekali.
"Mual? Kamu kayak ibu hamil aja deh, Ra. Atau jangan-jangan hamil beneran, tuh?" canda sang teman lalu meninggalkannya dengan tawa pelan.
Deg!Mendengar itu, Inara menelan saliva yang mendadak terasa pahit. Temannya tadi mengucapkan dengan nada bercanda, namun benak Inara menangkap candaan itu dengan rasa ngeri yang hebat.
Dengan tangan gemetar, ia meraih ponsel dari dalam tas kecilnya untuk memeriksa kalender.Jika minggu ini adalah minggu ke-4 sejak Inara bekerja di sini, maka sudah sekitar 6 minggu berlalu sejak kejadian naas itu. Gadis itu meletakkan gelas tehnya sebab khawatir benda itu akan jatuh. Tangannya benar-benar gemetar.
"Ini nggak mungkin." Gadis itu menggeleng keras dengan mata yang sudah bersaput kabut. Ia menarik napas dalam, mencoba meredakan gemuruh yang mendadak menguasai hati. Ini masih pagi, dan masih ada sepanjang hari yang harus ia habiskan di sini. Maka gadis itu hanya bisa meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya baik-baik saja.
Sayangnya, kekhawatiran itu tak kunjung usai, bahkan setelah gadis itu selesai bekerja. Maka, meski dengan menahan rasa malu dan takut, ia akhirnya memutuskan pergi ke apotek terdekat untuk membeli test-pack. Inara tidak akan merasa tenang sebelum ia membuktikan sendiri bahwa semua ini tidaklah benar. Ya, ia yakin ini hanya masuk angin dan bukan hamil.
Kemudian pada pagi harinya, sekitar pukul setengah lima Inara mengendap-endap keluar dari kamar. Ia memastikan tak seorang pun sudah bangun. Bahkan, Ibu Yanti.Ia bergegas memasuki kamar mandi dan menyebut segala doa yang bisa ia ingat sebelum menggunakan benda yang seumur hidup baru kali ini ia lihat bentuk aslinya itu. Ya, test-pack itu. Masih Inara pegang dalam hati keyakinan bahwa ia tidak hamil. Ia hanya akan memastikan semua ini."Aku harus lakuin ini," ucap gadis itu menguatkan diri. "Aku harus lihat sendiri gimana hasilnya sebelum terlambat. Dan kalau memang terjadi, aku bisa cari jalan keluarnya sesegera mungkin. Ya Tuhan, nggak. Nggak akan terjadi apa-apa, aku yakin."Masih berdiri dengan gamang di dalam kamar mandi yang dingin, diremasnya kaus pada bagian perut. Nah, bagaimanapun ia meyakinkan diri, namun tetap saja. Sungguh, tak terbayangkan bagaimana ia menjalani hidupnya pada hari-hari ke depan jika perbuatan Gavin itu menyebabkan sesuatu benar-benar tumbuh di dalam sana.
Hening sesaat sementara Inara menunggu sesuatu terjadi dengan benda di tangannya. Demi Tuhan, detak jantungnya seperti bertalu-talu. Setelah beberapa detik menunggu dalam ketegangan, Inara mengangkat benda persegi panjang kecil itu pelan-pelan. Hanya demi menemukan alat tersebut menunjukkan dua garis–positif.
Kedua tangan gadis itu gemetar hebat. "Nggak, ini nggak benar. Pasti alatnya udah rusak. Aku harus coba lagi!”
Dengan disertai air mata yang mulai berlinangan, Inara mencoba tiga test-pack lain yang sudah ia beli. Dan naas, beberapa benda itu kesemuanya menunjukkan hasil yang sama. Dua garis. Benar, semuanya positif.
Tubuh mungil itu merosot, luruh menuruni dinding dan lunglai di atas lantai kamar mandi. Inara tak lagi mampu menahan tangis. Isaknya bergema, memenuhi kamar mandi pada pagi hari yang dingin itu. "Kenapa ini terjadi sama aku? Apa salahku? Kenapa harus aku yang menanggung semua ini?"
Hancur sudah dua puluh satu tahun yang setengah mati ia perjuangkan. Redam semua harapan dan cita-cita untuk memperbaiki hidup. Inara sama sekali tidak tahu, bagaimana ia melanjutkan hari-hari kedepan sesudah ini.
"Inara? Inara, apa kamu di dalam? Kamu nggak apa-apa, Nak? Kamu baik-baik aja, kan? Inara, buka pintunya, ini Ibu!" Suara Ibu Yanti terdengar di luar kamar mandi seiring dengan ketukan keras pada daun pintu.
Tak ada lagi kekuatan yang dimiliki gadis itu. Maka, ia merangkak menuju pintu dan menarik selot kuncinya hingga terbuka. Membuat Ibu Yanti menjerit tertahan sebab menyaksikannya lunglai di atas lantai.
"Inara! Kamu kenapa? Astaga, ini pasti karena anemia yang kata kamu kemarin, ya?"
"Ibu ...."
"Ayo berdiri, kita masuk ke dalam! Nanti kamu bisa masuk angin! Ayo, nak! Kamu pegang ap–"
Kedua mata Ibu Yanti terbelalak penuh setelah melihat benda kecil yang berserakan di sekitar Inara. Wanita itu perlahan melangkah masuk dan memungut beberapa test-pack yang berjatuhan. Kedua matanya kembali melebar dengan ngeri. Ia menutup mulut, mencegah dirinya sendiri berteriak.
"I-Inara?" Ibu Yanti berusaha tenang sementara memungut beberapa test-pack itu. Wanita itu tahu, bukan saatnya mencecar Inara dengan banyak pertanyaan di sini. Tidak di tempat ini. "Kita beresin ini dulu, lalu masuk sebelum ada orang lain yang lihat, dan sebelum adik-adikmu bangun. Ayo, kita masuk, Nak."
Selama beberapa saat, dua perempuan itu hanya saling berangkulan dalam tangis setelah kembali berada di dalam kamar. Ibu Yanti tak bisa membendung rasa kasihan atas cobaan hidup yang Inara dapatkan.
"Kamu ingat orangnya, Nak? Kamu ingat orang yang melakukan ini sama kamu?" Wanita separuh baya itu mencoba bertanya. Dan hal itu membuat Inara justru kian tergugu.
"Kita cari orangnya, Nak!"
"Bu-buat apa, Bu?" tanya gadis itu di sela tangisnya.
"Minta pertanggungjawaban dari dia! Kamu nggak bisa diam aja, ini nggak adil. Minta dia buat tanggung jawab atas perbuatannya, Ra."
Inara sontak menggeleng. Meminta pertanggungjawaban kepada Gavin? Apakah itu mungkin? Mengingat bagaimana lelaki itu bersikap, Inara yakin pria itu tidak ingat bahwa dirinya sudah melakukan kejahatan sebesar itu. Dan lagi dengan posisi serta status sosial yang lelaki itu sandang? Sekali lagi, Inara menggeleng putus asa.
"Orang seperti dia nggak mungkin sudi tanggung jawab."
"Jadi kamu tahu siapa orangnya?" Ibu Yanti tampak terbelalak. Ia cengkeram erat kedua bahu kecil yang masih bergetar sebab si empunya tak berhenti menangis. "Inara, bilang sama Ibu siapa orangnya! Ibu yang akan bikin perhitungan sama dia! Bilang sama Ibu, di mana dia tinggal!"
Bagaimana Inara bisa mengatakan bahwa orang yang telah menanamkan benih ke dalam rahimnya adalah Gavin Devano Sanjaya? Pimpinan di tempatnya bekerja sekaligus putra keluarga pemilik kerajaan bisnis di negeri ini?
Maka, Inara hanya bisa memejamkan mata sementara mencoba menenangkan dirinya sendiri, hingga sebuah ide terlintas di kepalanya. "Ibu, antar aku cari dokter aja, Bu."
"Dokter?" ujar Ibu Yanti, bingung.
"Antar aku cari dokter buat aborsi janin ini."
"Inara!”
"Dia belum besar, jadi masih bisa dicegah buat tumbuh. Aku tau orang yang ngelakuin ini nggak mungkin sudi tanggung jawab. Ibu, aku nggak bisa memikirkan jalan lain. Aku nggak mau hamil!"
Wanita paruh baya di hadapan Inara menggeleng–tampak tak setuju. "Memangnya siapa orangnya, Ra? Siapa orangnya sampai kamu seyakin itu dia nggak mau tanggung jawab?"
"A-atasanku di kantor. Bos besar pemimpin perusahaan," lirih Inara pelan. Rasanya, percuma juga bila menyembunyikan ini dari wanita yang telah ia anggap ibu kandungnya itu.
"Ya Tuhan!"
"Aku sama sekali nggak tahu, Bu. Aku nggak tahu kalau ternyata dia adalah pimpinan tempat aku bekerja. Aku baru tahu dia orangnya setelah dua minggu berada di sana. A-aku–"
"Inara, minta pertanggungjawaban sama dia!" desak Ibu Yanti. Wanita itu menatap lurus kedua netra Inara yang bersimbah air mata. “Ibu akan bantu.”
Gadis itu kembali menggeleng keras diiringi air mata yang berlinangan. Teringat kembali bagaimana arogannya Gavin saat itu. Mustahil meminta hal sebesar ini kepadanya. Inara yakin, pria itu hanya akan menganggapnya lelucon.
Lebih daripada itu, Inara tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya jika harus menghabiskan sisa hidup dengan manusia seperti itu. "Dia jahat, Bu! Aku nggak mau mengandung anak dari laki-laki seperti dia!"***
**"Usianya baru empat minggu. Memang belum terlambat untuk memutuskan sekarang, tapi sekali lagi, saya nggak mendukung hal tersebut. Bagaimanapun, dia nggak bisa disalahkan dan kemudian harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan kamu."Kata-kata dokter itu terus terngiang-ngiang dalam benak Inara. Berputar dalam kepala dan menggores rasa kemanusiaannya dengan tajam. Kemarin, Ibu Yanti memang menemaninya ke dokter kandungan seperti yang dirinya minta. Namun, Inara belum jadi menggugurkan janinnya saat itu juga, karena bujukan wanita itu. "Semua terserah kamu, Nak. Kamu yang menjalani semua ini. Walau jika memang harus berpendapat, Ibu jelas memilih jangan. Benar kata dokter, bayi ini nggak berdosa. Dia tetap anugerah dari Tuhan, walaupun kamu mendapatkannya dengan cara yang tidak benar."Ah, tapi untuk apa pula dipikirkan lebih lanjut? Untuk siapa ia berkeberatan? Anak itu hanya akan menjadi aib jika suatu saat harus lahir. Bahkan sampai matahari terbit dari barat pun, Inar
** "Ada apa denganmu? Kamu sakit?" Ibu kepala pengelola panti asuhan bertanya dengan wajah heran, pada malam harinya ketika mereka semua sedang makan malam bersama. Inara sontak menggeleng gugup. Nyaris saja ia tersedak. "Ng-nggak, Bu. Saya nggak sakit, kok. Saya sehat." "Tapi, kamu kelihatan pucat sekali.” Perempuan yang berusia sebaya dengan Ibu Yanti itu menatap Inara dengan seksama–membuat yang bersangkutan gugup luar biasa. Sungguh, Inara merasa seperti ditelanjangi hanya dengan tatapan penuh telisik seperti itu. “Sudah periksa ke dokter? Serius, kamu kelihatan lagi nggak sehat.” "Saya baik-baik aja, Bu,” balas Inara cepat, “Mungkin, ini hanya kecapekan, karena saya bekerja sekarang." "Ah, begitu?" Wanita itu masih pula menatap penuh telisik, sementara Inara mengangguk kecil. "Kamu harus jaga kesehatan, Inara. Karena kamu adalah kakak yang paling tua di panti asuhan ini dan bertanggung jawab membantu adik-adikmu. Kalau bukan kamu, siapa lagi? Mereka semua masih kecil." Ibu
[Lima tahun kemudian]“Siapkan saja mobilnya. Nanti saja di jalan, baru aku pikirkan aku mau ke mana.” Gavin Devano Sanjaya berdiri dari atas kursinya setelah mematikan ponsel. Ia menyimpan benda pipih itu di dalam saku, mengancingkan blazer seraya melangkah menuju pintu. Belum sampai ia menyentuh handle, seseorang dari balik ruangan sudah mendorong pintunya hingga terbuka. “Gavin!” Tanpa sadar lelaki itu mendesis tidak sabar. Ia memandang acuh kepada perempuan cantik yang baru saja muncul dan mencegat langkahnya. “Gavin, kamu mau ke mana? Aku bawakan makan siang.” “Aku ditunggu driver di bawah, maaf Jes.” “Tap– Gavin!” Lelaki rupawan itu mengayun langkah cepat menuju pintu lift di ujung ruangan. Dalam hati membatin dengan jengkel, harus ke kolong langit sebelah mana lagi ia pergi agar perempuan bernama Jessica itu tidak terus mengekorinya. Sebelum Jessica sempat menyusul hingga ke basement, Gavin segera memasuki mobil yang sudah siap menunggu. “Kita jalan ke mana, Pak?” tany
** Inara masih berdiri di tempatnya. tak bergerak sedikitpun, seakan kedua kakinya tertancap ke dalam lantai tempat ia berpijak saat ini. Kedua bola matanya yang bergetar memandang lurus kepada entitas tampan yang juga sedang memandang dirinya itu, hanya saja bedanya, manusia rupawan itu memandang dengan wajah seperti berusaha mengingat sesuatu. Tidak salah lagi. Itu Gavin Devano Sanjaya, mantan atasannya, CEO SR Corp yang namanya tersohor ke seantero negeri. Inara merasa pembuluh darahnya mendadak menyempit. Apa yang dilakukan lelaki itu di sini? “Mama? Mama!” Tarikan kecil pada ujung blusnya membuat Inara kembali tersadar. “Mama, kok malah diam?” “Aylin, kamu dari mana saja? Kenapa sudah keluar rumah pagi-pagi begini?” Inara mengalihkan perhatian kepada putri kecilnya untuk menetralkan degup jantung yang menggila. “Aylin main. Cuma main, kok.” Gadis cilik yang ternyata bernama Aylin itu membalas pandangan dengan takut-takut. “Ja-jadi, apa boleh Omnya duduk? Kasihan, Mama. Be
Gavin tercenung di depan meja kerjanya. Awangnya berkelana, teringat pada seraut wajah yang nyatanya timbul tenggelam dalam ingatannya. Ia tidak sepenuhnya melupakan raut itu.'Gadis itu? Office girl yang waktu itu?' Lelaki itu lantas meraih ponsel dan mendial satu nomor. Setelah menunggu beberapa saat, suara yang familiar terdengar dari seberang. “Halo?” “Aldo, ke kantor gue sekarang. Gue butuh informasi.” “Kenapa nggak langsung tanya aja ada apa?” “Sekarang.” Gavin matikan ponselnya, kemudian menyandarkan punggung pada kursi kerja. Kembali berpikir-pikir kemungkinan yang paling tidak mungkin. Sepuluh menit kemudian, Aldo membuka pintu ruangannya tanpa mengetuk dulu. “Ada apaan?” tanya pria itu, masih menyisakan raut kesal pada wajahnya. “Al, lo inget nggak sama perempuan panggilan yang lo cariin buat gue, kira-kira empat atau lima tahun yang lalu?” Aldo sontak ternganga. Gavin menyuruhnya datang segera saat jam-jam sibuk, hanya untuk menanyakan pertanyaan yang tidak masuk
**Hari masih sangat pagi dan matahari belum lagi terbit saat Inara membangunkan Aylin. Dengan wajah yang cemas, perempuan itu mengemasi barang-barang penting yang ia perlukan.“Mau ke mana?” tanya sang putri kecil dengan kerutan halus di dahi.“Pergi sebentar, Nak.” Inara tersenyum, mengusap rambut gadis cilik itu. Berusaha tetap tenang meski dalam hati rasanya ingin segera pergi meninggalkan tempat yang ia rasa tak lagi aman. “Aylin mandi sendiri, ya. Mama akan siapkan baju-baju kamu.”“Kita mau pergi ke mana, Mama?”Entahlah, batin Inara gusar. Semuanya begitu mendadak sehingga ia tak punya banyak waktu untuk memutuskan akan pergi ke mana. Asal segera menyingkir dari tempat ini dulu saja, nanti sisanya akan ia pikirkan belakangan.“Nanti Mama kasih tahu kalau sudah di jalan, ya. Cepat ke kamar mandi, nanti kita ketinggalan kereta.”Aylin anak yang penurut. Meski ia punya banyak pertanyaan, ia memilih melaksanakan dulu apa yang dikatakan ibunya ; pergi ke kamar mandi dan membersihka
**“Apa maksudmu akan membawakan seorang pewaris?” Jessica Freya bertanya dengan nada penuh tuntutan setelah Riani Sanjaya meninggalkannya berdua saja dengan Gavin di dalam ruangan pribadinya.Lelaki itu melirik sekilas dari balik layar laptop. Hanya sekilas, sebelum Gavin mengembalikan atensi kepada layar datar di depan wajahnya.“Apa kata-kataku kurang jelas? Aku akan membawa pulang pewarisku, jadi kita tidak perlu menikah.”“Kamu nggak punya, Vin. Jangan mengada-ada. Aku adalah satu-satunya yang dipilih keluargamu untuk melahirkan pewaris itu.”“Tapi aku sendiri tidak pernah memilihmu, Jessica. Sorry.”Kerutan halus menghiasi kening Jessica. Perempuan high class itu berdecak dengan kedua hasta terlipat di dada. Setengahnya tak habis pikir, kurang apalagi dirinya sehingga Gavin sama sekali tidak tertarik? Sudah lima tahun ia berjuang untuk merebut hati lelaki tampan itu, namun sedikitpun Gavin tak pernah memberikan kesempatan untuknya mendekat. Sebatu itu hati Gavin.“Nggak mungki
**Kedua bola mata Inara sontak melebar setelah mendengar itu. Ia yang awalnya sangat ketakutan dengan keberadaan Gavin di sana, mendadak kehilangan rasa dan justru berganti menjadi emosi."Siapa yang bilang dia putri anda, Tuan Direktur yang terhormat?" ujarnya dengan suara dingin yang sarat kebencian. "Saya sama sekali belum lupa dengan apa yang anda lakukan kepada saya, lima tahun yang lalu.""Jadi benar, kan? Perempuan yang menuntut pertanggung jawaban dariku lima tahun yang lalu adalah dirimu?"Rahang Inara mengeras. Emosi kian menggelegak di dalam dadanya kala menangkap senyum penuh kemenangan dalam wajah rupawan lelaki di hadapannya."Dia putriku.""Sama sekali bukan! Anda bahkan tidak ingat pernah menanamkan benih ke dalam rahim saya!""Kita buktikan dengan tes DNA. Jika gadis kecil itu memang bukan putriku, maka aku tidak akan pernah mengusikmu lagi. Akan aku berikan kompensasi atas segala kerugian yang kau derita."Kedua jemari Inara mengepal dengan kuat. Rasa tidak terima i