**
"Ada apa denganmu? Kamu sakit?" Ibu kepala pengelola panti asuhan bertanya dengan wajah heran, pada malam harinya ketika mereka semua sedang makan malam bersama.
Inara sontak menggeleng gugup. Nyaris saja ia tersedak. "Ng-nggak, Bu. Saya nggak sakit, kok. Saya sehat."
"Tapi, kamu kelihatan pucat sekali.” Perempuan yang berusia sebaya dengan Ibu Yanti itu menatap Inara dengan seksama–membuat yang bersangkutan gugup luar biasa. Sungguh, Inara merasa seperti ditelanjangi hanya dengan tatapan penuh telisik seperti itu. “Sudah periksa ke dokter? Serius, kamu kelihatan lagi nggak sehat.”
"Saya baik-baik aja, Bu,” balas Inara cepat, “Mungkin, ini hanya kecapekan, karena saya bekerja sekarang."
"Ah, begitu?" Wanita itu masih pula menatap penuh telisik, sementara Inara mengangguk kecil. "Kamu harus jaga kesehatan, Inara. Karena kamu adalah kakak yang paling tua di panti asuhan ini dan bertanggung jawab membantu adik-adikmu. Kalau bukan kamu, siapa lagi? Mereka semua masih kecil."
Ibu pengelola mengedarkan pandangan kepada sejumlah anak-anak yang duduk tenang mengelilingi meja makan. Wanita itu berdehem singkat, lalu menyunggingkan senyum di bibirnya yang bergincu tebal. Ia terlihat seperti tokoh antagonis dalam drama, meski sesungguhnya orangnya cukup baik. Hanya kadang agak terlalu tegas dan banyak permintaan saja.
"Sebagai kakak tertua, kamu juga harus bisa kasih contoh baik buat mereka. Panti asuhan ini terkenal dengan anak-anaknya yang berperilaku baik,” tambah wanita itu.
Hati Inara mencelos mendengar kata-kata yang entah mengapa kini terdengar seperti sebuah sindiran halus. Ia meraih gelas berisi air putih dan meneguk isinya sedikit. Dadanya terasa agak sesak karenanya.
"Jangan sampai satu kelakuan buruk merusak nama baik panti asuhan. Bukannya saya jahat, tapi saya bener-bener nggak akan toleransi dengan siapapun yang secara sengaja melanggar peraturan.” Wanita itu berujar lagi seraya mengedarkan pandang kembali kepada anak-anak yang masih makan dengan tenang. Tentu saja sebagian dari mereka tidak paham apa artinya, sebab masih terlalu kecil.
Inara menelan saliva dengan pahit. Ia mengerling kepada Ibu Yanti, yang ternyata juga sedang meliriknya. Sedang bertukar pesan secara nonverbal. Wanita baik hati itu kemudian melayangkan seulas senyum tipis untuk menentramkan hati Inara.
‘Segera. Aku harus segera cari cara buat menggagalkan kehamilan ini. Demi Tuhan, aku nggak mau mengandung, apalagi dari laki-laki seperti Gavin!’ batin gadis itu, menguatkan diri.
Hari masih begitu pagi saat Inara menyeret tubuh lemasnya menuju kamar mandi. Ia membungkuk di atas wastafel, sementara rasa mual yang hebat mendorong semua isi perutnya ke atas dan berakhir membuatnya muntah-muntah.
“Inara!” Seruan pelan Ibu Yanti tidak membuat gadis itu menoleh. Ia masih berdiri di depan wastafel, menuntaskan rasa mual yang belakangan kerap mengganggunya setiap bangun tidur. “Inara, kamu nggak apa-apa?”
“Bu, perutku nggak enak. Rasanya mual banget.”
Wanita separuh baya itu memandang dengan trenyuh. Ia memijat pelan tengkuk si gadis dan membiarkannya kembali membungkuk di depan wastafel.
“Habis ini Ibu bikinkan teh panas. Kalau masih mual, jangan masuk kerja dulu, ya.”
Inara menegakkan tubuh setelah selesai, mengusap air mata yang jatuh menuruni pipinya.
“Nggak apa-apa, Nak. Ini normal, kok,” hibur Bu Yanti, sementara membawanya keluar dari kamar mandi. “Orang hamil muda semuanya begini. Ibu dulu juga begini. Nanti kalau udah empat bulan ke atas, nggak akan mual lagi.”
“Inara!”
Gadis itu baru akan mengatakan jika ia tidak akan mempertahankan kehamilannya –apalagi sampai empat bulan, sebelum suara seruan keras membuatnya dan Ibu Yanti terlonjak kaget.
“Apa-apaan ini? Kamu hamil?” Ibu Pengelola panti berdiri tak jauh darinya dengan kedua mata terbelalak. “Baru semalam saya bilang, kamu harus kasih contoh yang baik karena kamu kakak tertua, dan pagi ini kamu menunjukkan contohnya?”
Tubuh Inara seperti membatu. Ia sama sekali tidak tahu bahwa Ibu Pengelola masih berada di sini.
“B-Bu, saya nggak–”
“Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, kamu muntah-muntah. Saya juga dengar semua percakapan kalian. Masih mau mengelak?”
Gadis itu hanya bisa menunduk akhirnya. Ia berusaha menahan isak tangis, sementara Bu Yanti mencoba membantu menjelaskan semuanya.
Tapi apa yang Inara dapatkan?
“Saya sudah bilang semalam, nggak akan kasih toleransi sama siapapun yang melanggar peraturan. Bisa kamu bayangkan bagaimana pandangan orang, dan bagaimana pengaruh yang kamu sebabkan sama anak-anak lain kalau kamu tetap di sini?’
“Bu ….”
“Maaf Inara, kamu nggak bisa tinggal di sini lagi dengan keadaan kamu yang seperti itu.”
*
Dan berada di sanalah Inara sekarang. Ia mengetuk pelan pintu ruangan Gavin yang terletak di lantai lima. Seluruh tubuhnya gemetar hebat sampai ia merasa akan pingsan. Hingga kemudian saat terdengar suara yang menyuruhnya masuk, ia mendorong terbuka pintu tersebut.
Ia di sana, pria itu. Berdiri di depan dinding kaca seperti patung dewa.
“Ada apa?” tanya pria itu sembari mengernyit heran, sebab tidak merasa memanggil office girl.
“Saya mau bicara sesuatu, Pak.” Inara menelan saliva, membasahi kerongkongannya yang terasa kering. Ia meremas bagian bawah bajunya, berusaha menguatkan diri sendiri.
“Cepat sampaikan, aku sibuk. Sebaiknya kau tidak buang-buang waktuku.”
Inara nyaris menangis. Betapa arogan pria ini. Jika bukan karena begitu membutuhkan, Inara tidak akan pernah berdiri di sini. Gadis itu menarik napas sebelum berujar, “Saya mau minta pertanggung jawaban dari Pak Gavin.”
“Pertanggung jawaban? Apa maksudnya?”
“S-saya hamil … karena anda.”
Jeda hening selama beberapa saat. Sampai kemudian pria di seberang ruangan itu mendengus tertawa. Ia memandang Inara dengan mata menyipit
“Aku bilang jangan buang-buang waktuku.”
“Apakah anda tidak ingat dengan saya sama sekali? Masa depan saya sudah anda hancurkan, Pak Gavin!”
Gadis itu tergugu, tidak lagi bisa menahan isak tangisnya. Ia menekan dadanya yang seperti akan meledak, dan Gavin sendiri masih tertegun di seberang ruangan.
“Aku sama sekali tidak mengenalmu! Bisa-bisanya kau menuduhku seperti itu.”
“A-anda merebut kehormatan saya malam itu!” Inara menggeleng putus asa. Air matanya deras berjatuhan. “Sekarang saya hamil karena anda, Pak!”
“Astaga ….” Gavin mendesis jengkel, “Sebutkan berapa yang kau inginkan. Setelah itu menyingkir dari hadapanku.”
Inara kembali terperangah, merasa seperti ditampar. Serendah itu pria ini memandang dirinya. Ia menggeleng keras. “Anda harus bertanggung jawab menikahi saya, Pak!”
“Jangan bercanda. Kau pikir kau siapa?”
“Pak–”
“Kalaupun pada suatu hari yang lalu aku memang pernah menyewamu, kau pikir aku bisa dibodohi? Tidak mungkin hanya aku saja yang menyewa gadis sepertimu, kan? Astaga, benar. Aku akan memperingatkan bagian personalia agar lebih selektif menerima pegawai sesudah ini.”
Hancur lebur rasanya hati Inara saat mendapat tuduhan seperti itu. Ia tidak masalah jika dihina hanya karena miskin dan yatim piatu, tapi penghinaan yang seperti ini sungguh membuat hatinya remuk redam.
Apalagi yang ditunggunya di sana? Gadis itu perlahan mundur, keluar dari ruangan Gavin dengan air mata berderai-derai.
Rasanya, tidak ada gunanya lagi pergi ke rumah sakit dan mengaborsi janinnya secara legal.
Toh, Ibu Kepala panti sudah mengetahui semuanya.
Pun Gavin, yang nyatanya menolak mentah-mentah dan kini memandang Inara sebagai perempuan penjaja tubuh. Tidak ada lagi yang bisa diperbaiki. Segalanya sudah berakhir.
Inara berdiri di depan pembatas jalan. Nun di bawah sana, sungai mengalir deras dengan airnya yang berjeram-jeram. Ia diam dengan pandangan kosong. Untuk siapa lagi ia bertahan? Hidupnya tidak berharga bagi siapapun.
Gadis itu melangkah maju, memanjat tembok pembatas dan berdiri linglung di atasnya. Ia siap melompat dalam satu tarikan napas.
“Inara! Ya Tuhan!”
Satu kaki itu sudah mengayun, ketika kemudian tubuh kecilnya ditarik paksa hingga jatuh terjerembab.
“Inara, sadar!” Ibu Yanti mencengkeram kedua bahu gadis itu dan mengguncangnya pelan.. “Apa yang kamu lakukan? Sadar, Nak!”
“Ibu … kenapa nggak biarkan aku mati saja?” Kedua manik hitam yang tadi terlihat kosong, kini terlihat mengerjap. Air mata luruh perlahan dari dalamnya.
“Ini bukan salah kamu dan bayi dalam perutmu! Nggak seharusnya kamu menebusnya dengan mengakhiri hidup, Inara!”
“Ibu ….”
“Inara, Ibu mohon, Nak. Biarkan dia hidup! Pergilah yang jauh, tapi tetaplah hidup. Tetaplah hidup, kalian berdua!”
Lama Ibu Yanti membujuk Inara, hingga akhirnya keduanya pulang.
Wanita itu pun membawa Inara masuk ke kamarnya di panti, kemudian menutup pintunya rapat-rapat.
Ibu Yanti langsung meraih Inara ke dalam pelukannya. Ditepuk-tepuknya bahu gadis itu dengan lembut. “Ibu tahu perasaanmu, Nak. Tapi, bayi dalam perutmu sama sekali tidak tahu apa-apa."
“Tapi dia hanya akan menjadi aib, Bu. Lagi pula, Ibu Kepala sudah mengusirku. Aku harus membesarkan dia di mana?” balas Inara cepat.
Ibu Yanti memandang wajah gadis manis itu lekat dan mengusap air mata Inara. “Ibu punya adik perempuan yang tinggal sendirian di kota tempat asal Ibu. Dia akan sangat senang menerima kamu di sana. Besarkan anakmu di sana, mulailah hidup yang baru dan lupakan semua yang terjadi di sini.”
“Ibu, tapi aku ….”
“Percayalah, suatu saat nanti di masa depan, kamu akan sangat bersyukur karena memilikinya. Berjanjilah kepada Ibu, besarkan anakmu dengan baik. Ibu akan jaga baik-baik rahasia ini.”
Tangis Inara tak lagi bisa ditahan. Gadis itu kembali melemparkan tubuhnya ke dalam pelukan Ibu Yanti. Tergugu di sana, menangisi nasib yang semena-mena memperlakukan dirinya.
“Janji, Inara?”
“A-aku janji ….” Kata-kata itu terucap akhirnya.
Sesuai ucapan Ibu Yanti, Inara pun pindah dan mulai menjalani kehamilannya.
Delapan bulan kemudian, Inara bertaruh nyawa melahirkan bayinya.
Satu jam lebih berjibaku dengan keadaan, di ujung tarikan napasnya yang terakhir, bidan yang menolong berseru dengan suara takjub.
“Bayinya perempuan, Ibu. Sehat, sempurna, dan sangat-sangat cantik!”
Ketika Inara memandang pada wajah mungil kemerahan yang setengah tersenyum itu, ia tahu keputusannya mempertahankan bayi dalam kandungannya adalah pilihan yang tepat.
"Terima kasih...."
[Lima tahun kemudian]“Siapkan saja mobilnya. Nanti saja di jalan, baru aku pikirkan aku mau ke mana.” Gavin Devano Sanjaya berdiri dari atas kursinya setelah mematikan ponsel. Ia menyimpan benda pipih itu di dalam saku, mengancingkan blazer seraya melangkah menuju pintu. Belum sampai ia menyentuh handle, seseorang dari balik ruangan sudah mendorong pintunya hingga terbuka. “Gavin!” Tanpa sadar lelaki itu mendesis tidak sabar. Ia memandang acuh kepada perempuan cantik yang baru saja muncul dan mencegat langkahnya. “Gavin, kamu mau ke mana? Aku bawakan makan siang.” “Aku ditunggu driver di bawah, maaf Jes.” “Tap– Gavin!” Lelaki rupawan itu mengayun langkah cepat menuju pintu lift di ujung ruangan. Dalam hati membatin dengan jengkel, harus ke kolong langit sebelah mana lagi ia pergi agar perempuan bernama Jessica itu tidak terus mengekorinya. Sebelum Jessica sempat menyusul hingga ke basement, Gavin segera memasuki mobil yang sudah siap menunggu. “Kita jalan ke mana, Pak?” tany
** Inara masih berdiri di tempatnya. tak bergerak sedikitpun, seakan kedua kakinya tertancap ke dalam lantai tempat ia berpijak saat ini. Kedua bola matanya yang bergetar memandang lurus kepada entitas tampan yang juga sedang memandang dirinya itu, hanya saja bedanya, manusia rupawan itu memandang dengan wajah seperti berusaha mengingat sesuatu. Tidak salah lagi. Itu Gavin Devano Sanjaya, mantan atasannya, CEO SR Corp yang namanya tersohor ke seantero negeri. Inara merasa pembuluh darahnya mendadak menyempit. Apa yang dilakukan lelaki itu di sini? “Mama? Mama!” Tarikan kecil pada ujung blusnya membuat Inara kembali tersadar. “Mama, kok malah diam?” “Aylin, kamu dari mana saja? Kenapa sudah keluar rumah pagi-pagi begini?” Inara mengalihkan perhatian kepada putri kecilnya untuk menetralkan degup jantung yang menggila. “Aylin main. Cuma main, kok.” Gadis cilik yang ternyata bernama Aylin itu membalas pandangan dengan takut-takut. “Ja-jadi, apa boleh Omnya duduk? Kasihan, Mama. Be
Gavin tercenung di depan meja kerjanya. Awangnya berkelana, teringat pada seraut wajah yang nyatanya timbul tenggelam dalam ingatannya. Ia tidak sepenuhnya melupakan raut itu.'Gadis itu? Office girl yang waktu itu?' Lelaki itu lantas meraih ponsel dan mendial satu nomor. Setelah menunggu beberapa saat, suara yang familiar terdengar dari seberang. “Halo?” “Aldo, ke kantor gue sekarang. Gue butuh informasi.” “Kenapa nggak langsung tanya aja ada apa?” “Sekarang.” Gavin matikan ponselnya, kemudian menyandarkan punggung pada kursi kerja. Kembali berpikir-pikir kemungkinan yang paling tidak mungkin. Sepuluh menit kemudian, Aldo membuka pintu ruangannya tanpa mengetuk dulu. “Ada apaan?” tanya pria itu, masih menyisakan raut kesal pada wajahnya. “Al, lo inget nggak sama perempuan panggilan yang lo cariin buat gue, kira-kira empat atau lima tahun yang lalu?” Aldo sontak ternganga. Gavin menyuruhnya datang segera saat jam-jam sibuk, hanya untuk menanyakan pertanyaan yang tidak masuk
**Hari masih sangat pagi dan matahari belum lagi terbit saat Inara membangunkan Aylin. Dengan wajah yang cemas, perempuan itu mengemasi barang-barang penting yang ia perlukan.“Mau ke mana?” tanya sang putri kecil dengan kerutan halus di dahi.“Pergi sebentar, Nak.” Inara tersenyum, mengusap rambut gadis cilik itu. Berusaha tetap tenang meski dalam hati rasanya ingin segera pergi meninggalkan tempat yang ia rasa tak lagi aman. “Aylin mandi sendiri, ya. Mama akan siapkan baju-baju kamu.”“Kita mau pergi ke mana, Mama?”Entahlah, batin Inara gusar. Semuanya begitu mendadak sehingga ia tak punya banyak waktu untuk memutuskan akan pergi ke mana. Asal segera menyingkir dari tempat ini dulu saja, nanti sisanya akan ia pikirkan belakangan.“Nanti Mama kasih tahu kalau sudah di jalan, ya. Cepat ke kamar mandi, nanti kita ketinggalan kereta.”Aylin anak yang penurut. Meski ia punya banyak pertanyaan, ia memilih melaksanakan dulu apa yang dikatakan ibunya ; pergi ke kamar mandi dan membersihka
**“Apa maksudmu akan membawakan seorang pewaris?” Jessica Freya bertanya dengan nada penuh tuntutan setelah Riani Sanjaya meninggalkannya berdua saja dengan Gavin di dalam ruangan pribadinya.Lelaki itu melirik sekilas dari balik layar laptop. Hanya sekilas, sebelum Gavin mengembalikan atensi kepada layar datar di depan wajahnya.“Apa kata-kataku kurang jelas? Aku akan membawa pulang pewarisku, jadi kita tidak perlu menikah.”“Kamu nggak punya, Vin. Jangan mengada-ada. Aku adalah satu-satunya yang dipilih keluargamu untuk melahirkan pewaris itu.”“Tapi aku sendiri tidak pernah memilihmu, Jessica. Sorry.”Kerutan halus menghiasi kening Jessica. Perempuan high class itu berdecak dengan kedua hasta terlipat di dada. Setengahnya tak habis pikir, kurang apalagi dirinya sehingga Gavin sama sekali tidak tertarik? Sudah lima tahun ia berjuang untuk merebut hati lelaki tampan itu, namun sedikitpun Gavin tak pernah memberikan kesempatan untuknya mendekat. Sebatu itu hati Gavin.“Nggak mungki
**Kedua bola mata Inara sontak melebar setelah mendengar itu. Ia yang awalnya sangat ketakutan dengan keberadaan Gavin di sana, mendadak kehilangan rasa dan justru berganti menjadi emosi."Siapa yang bilang dia putri anda, Tuan Direktur yang terhormat?" ujarnya dengan suara dingin yang sarat kebencian. "Saya sama sekali belum lupa dengan apa yang anda lakukan kepada saya, lima tahun yang lalu.""Jadi benar, kan? Perempuan yang menuntut pertanggung jawaban dariku lima tahun yang lalu adalah dirimu?"Rahang Inara mengeras. Emosi kian menggelegak di dalam dadanya kala menangkap senyum penuh kemenangan dalam wajah rupawan lelaki di hadapannya."Dia putriku.""Sama sekali bukan! Anda bahkan tidak ingat pernah menanamkan benih ke dalam rahim saya!""Kita buktikan dengan tes DNA. Jika gadis kecil itu memang bukan putriku, maka aku tidak akan pernah mengusikmu lagi. Akan aku berikan kompensasi atas segala kerugian yang kau derita."Kedua jemari Inara mengepal dengan kuat. Rasa tidak terima i
**“Mama, sakit ….”Inara sungguh tidak mampu menahan isak tangis. Ia menggenggam erat tangan sang putri yang berlumuran darah. Air matanya berjatuhan menetesi tubuh gadis kecilnya yang terkulai lemah.“Sabar sebentar, Sayang. Sebentar lagi kita sampai.”Mobil itu berbelok ke pelataran rumah sakit pertama yang berhasil ditemukan. Berhenti di depan gate UGD, yang mana Inara segera membopong tubuh putrinya ke dalam ruangan. Beberapa perawat yang sudah terlatih, menyambut dengan cekatan dan segera memberikan pertolongan pada gadis cilik itu.“Tolong putri saya. Dia kecelakaan, jatuh terbentur ….”“Ibu tenang dulu, tenang. Kami akan menangani segera. Permisi dulu sebentar.” Seorang perawat perempuan melepaskan tautan jemari Inara dengan Aylin.“Mama ….”Isak tangis perempuan itu tak lagi terbendung saat pegangan tangannya dengan sang putri terlepas. Ia mundur, menyaksikan tubuh mungil tak berdaya itu berusaha bertahan hidup.“Ya Tuhan, putriku ….”“Maaf, kami hanya bisa mengantar sampai d
**Inara berdiri berhadapan dengan sang CEO, menggigit bibir dengan seluruh tubuh gemetar, dari ujung kepala sampai kaki. Air mata masih berjatuhan dari kedua netranya yang sudah sangat bengkak.Berantakan, pucat pasi, dan tersedu sedan dengan kedua mata nyaris tidak bisa terbuka. Sesungguhnya Gavin merasa kasihan, tapi ia masih ingin melihat sejauh apa perempuan ini bertahan dengan ego dan keras kepalanya?“Kenapa anda seperti ini?” tuntut Inara kemudian. Ia mengangkat wajah, memandang Gavin dengan penuh kebencian. “Apa yang anda inginkan dari kami? Kami tidak punya apa-apa lagi. Anda sudah memiliki segalanya, Tuan Direktur. Jika anda menginginkan seorang putri, maka anda bisa menikah dan mendapatkannya dari perempuan lain. Jangan saya, dan jangan putri saya!”“Sudah kukatakan, aku hanya perlu membuktikannya. Jika ternyata dia bukan putriku, aku sudah berjanji untuk tidak mengusikmu lagi.”Tepat pada saat itu, seorang perawat perempuan masuk. Mengalihkan perhatian dua yang lain di da