Share

8. Gadis Cilik

[Lima tahun kemudian]

“Siapkan saja mobilnya. Nanti saja di jalan, baru aku pikirkan aku mau ke mana.”

Gavin Devano Sanjaya berdiri dari atas kursinya setelah mematikan ponsel. Ia menyimpan benda pipih itu di dalam saku, mengancingkan blazer seraya melangkah menuju pintu. Belum sampai ia menyentuh handle, seseorang dari balik ruangan sudah mendorong pintunya hingga terbuka.

“Gavin!”

Tanpa sadar lelaki itu mendesis tidak sabar. Ia memandang acuh kepada perempuan cantik yang baru saja muncul dan mencegat langkahnya.

“Gavin, kamu mau ke mana? Aku bawakan makan siang.”

“Aku ditunggu driver di bawah, maaf Jes.”

“Tap– Gavin!”

Lelaki rupawan itu mengayun langkah cepat menuju pintu lift di ujung ruangan. Dalam hati membatin dengan jengkel, harus ke kolong langit sebelah mana lagi ia pergi agar perempuan bernama Jessica itu tidak terus mengekorinya.

Sebelum Jessica sempat menyusul hingga ke basement, Gavin segera memasuki mobil yang sudah siap menunggu.

“Kita jalan ke mana, Pak?” tanya si driver yang siap siaga di sekitar sana.

“Ke mana sajalah. Yang jauh sekalian biar Mama nggak terus-terusan suruh perempuan itu mendatangiku. Aku punya tiga hari bebas, projek terakhir sudah selesai.”

Untungnya, supir pribadi Gavin sudah cukup terlatih dengan kelakuan Tuan Mudanya saat sedang badmood seperti ini. Maka kemudian, mobil sudah meluncur dengan mulus, meninggalkan gedung lima lantai milik SR Corporation, menuju daerah perbatasan kota yang sepi.

“Nggak masalah kalau kita keluar kota, Pak?”

“Terserah.”

Mobil kembali meluncur dengan mulus, sementara lelaki itu memejamkan mata, menikmati waktu istirahatnya.

Hingga entah berapa jam kemudian. Saat ia terbangun, matahari sudah menggantung di ujung barat kaki langit.

“Pantai?” Gavin bergumam seraya mengangkat alis dan memandang sekitar. Pemandangan pesisir pantai yang bersepuh cahaya jingga membuatnya agak kaget, meski tak urung juga terpesona.

“Bapak bilang butuh tempat yang tenang, kan?” ujar supir pribadinya seraya mengulum senyum. “Saya sudah sewa satu resort untuk anda. Silakan istirahat dulu. Saya ada di dekat-dekat sini kalau anda perlu sesuatu.”

Gavin hanya mengangkat bahu. Ia memasuki bangunan dua lantai yang estetik, berhadapan langsung dengan lepas pantai –untuk membersihkan diri dan beristirahat. Benar, tujuannya meninggalkan kantor adalah beristirahat, selain menghindari kejaran perempuan bernama Jessica tadi.

Pada malam harinya, ia keluar untuk berjalan-jalan di sekitar resort. Tempat itu cukup ramai. Gavin harus menghindari tatapan nakal sarat penasaran dari beberapa pasang mata milik para perempuan yang kebetulan berada di sana.

“Oh, jatuh!”

Atensi pria itu sepenuhnya tersita saat suara gemerincing keras terdengar dari dekatnya. Ia menoleh dan mendapati seorang gadis kecil sedang memunguti kerang-kerang yang berserakan di sekitarnya. Tak ada siapapun yang peduli, jadi Gavin mendekat.

“Butuh bantuan?” sapanya pelan.

Bocah kecil yang berusia sekitar empat atau lima tahun itu mendongak. Menampakkan sepasang manik hazel yang cemerlang. Matanya cantik sekali, bulat dan lentik. Membuat Gavin terpana sesaat.

Gadis cilik itu menatap Gavin lekat-lekat, dan entah bagaimana, membuat pria itu seperti teringat kepada sesuatu yang sudah lama ia lupakan.

Oh Tuhan, Ya Tuhan. Bukankah gadis kecil ini agak mirip dengan … dirinya?

Si bocah kemudian meneruskan memunguti kerang-kerangnya, membuat Gavin tersadar dari keterpanaannya.

“Om bantu, ya?” ujar Gavin. Tanpa menunggu jawaban, ia turut memunguti kulit kerang itu sambil sesekali mengerling wajah manis si gadis cilik yang hanya mengangguk-angguk.

“Nah, hati-hati membawanya, ya.”

“Terimakasih, Om. Om mau satu?” Si gadis cilik mengulurkan sebuah kulit kerang putih, yang diterima Gavin dengan tawa ringan.

“Itu yang paling besar. Sebenarnya sayang kalau dikasih orang. Tapi itu untuk ucapan terimakasih, jadi nggak apa-apa. Terimakasih, Om.”

Pria yang kini berusia tiga puluh enam tahun itu kembali terpana. Ia belum sempat mengucapkan apapun sampai si bocah berlari-lari meninggalkannya.

Perlahan, Gavin mengulum senyum kecil. “Dia cantik dan menggemaskan. Aku akan mencarinya lagi besok pagi. Siapa tahu masih ada di sekitar sini.”

Esok harinya, pria rupawan itu menepati kata-katanya sendiri. Masih cukup pagi saat ia kembali berjalan-jalan di sekitar resort. Berharap berjumpa lagi dengan gadis cilik yang semalam. Gavin tidak terlalu suka anak-anak, namun entah mengapa kali ini ia merasa sangat tertarik dengan bocah kulit kerang yang semalam itu.

Kebetulan semata kah jika ia menemukan anak-anak yang berparas mirip dengan dirinya?

“Bodoh sekali. Memangnya apa lagi namanya kalau bukan kebetulan, kan?”

“Halo, Om?”

Nah, pucuk dicinta ulam pun tiba. Gavin sudah hampir kembali ke resort saat suara lucu itu kembali menyapa telinganya.

“Hai ….”

“Mau beli gelang?”

“Gelang?”

Benar, itu gadis cilik bermata indah yang sedang pria itu tunggu sedari tadi. Ia sedang mengulurkan nampan kecil berisi untaian kulit-kulit kerang yang dijalin menjadi gelang tangan.

Gavin berjongkok untuk mensejajarkan tinggi badannya dengan gadis cilik tersebut.

“Ini aku buat sendiri. Harganya murah,” cetus si bocah dengan bersemangat.

“Ah, siapa yang menyuruhmu berjualan? Ibumu?”

Gavin memandang si bocah penuh telisik. Bukankah ia masih terlalu kecil untuk berjualan? Orang tua macam apa yang mengharuskan anak mereka bekerja pada usia sedini ini?

Namun, jawaban si gadis cilik selanjutnya membuat Gavin terkesima.

“Mama melarang aku jualan, tapi aku suka. Aku pakai uangnya buat belikan hadiah ulang tahun untuk Mama nanti. Om, jangan bilang-bilang sama Mama kalau aku masih jual-jual gelang, ya? Nanti aku dimarahi. Hehe ….”

Oh Tuhan. Siapa orangnya yang tidak jatuh hati dengan makhluk Tuhan yang seperti ini? Gavin merasa hatinya meleleh hanya dengan mendengar celoteh riang bocah kerang di hadapannya.

“Baiklah, baiklah. Sinikan, Om beli semua gelangnya.”

“Whoa!”

“Iya, sini berikan. Sesudah ini, menurut apa kata mamamu. Jangan jualan lagi.”

Gavin sungguh tidak bisa menahan senyum saat melihat bocah itu mengucapkan terimakasih sambil melonjak-lonjak kesenangan. Menerima beberapa lembar uang, sementara menuang seluruh gelang-kerangnya ke dalam kantong plastik dan menjejalkannya ke tangan yang lebih tua.

“Om mau main ke rumahku? Mamaku pintar masak, ayo main ke rumahku!”

“Ah? Di mana rumahnya?’

Gavin tak sempat mengelak saat bocah manis itu menarik-narik tangannya. Ia terpaksa mengikuti berjalan menyusuri pesisir pantai yang sudah ramai meski hari masih pagi.

Sementara itu, pada sebuah rumah pantai yang berdiri tak jauh dari pesisir, seorang perempuan sedang sibuk berada di dapur restoran kecil yang berada di bagian depan rumah tersebut.

“Mama! Mama, di depan ada Om!”

Ia nyaris terlonjak saat seruan nyaring tiba-tiba memenuhi dapurnya.

“Jangan teriak-teriak, Aylin. Nggak sopan, Nak.”

“Mama, ada Om. Aylin boleh bawakan minum, nggak?”

“Om?” Perempuan itu menengok. Mendapati sang putri kecil yang tersenyum lebar memamerkan deretan giginya yang rapi. “Maksudnya ada pelanggan, ya? Biar Mama saja, Nak.”

Langkahnya mengayun cepat ke bagian depan restoran kecilnya. Rasa hati senang, sebab pagi-pagi sudah mendapatkan pelanggan.

“Selamat pagi, selamat datang,” sapanya dengan manis pada seorang pria yang kemudian membalikkan tubuh dan memandang lurus ke arahnya.

Inara Kanina, mendadak mematung. Pandangannya terkunci pada sosok di depan sana, yang juga sedang menatap lurus ke arahnya.

Di hadapannya, ada Gavin Devano Sanjaya. Manusia yang paling tidak ia harapkan untuk bertemu lagi.

"A--anda?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status