Gavin tercenung di depan meja kerjanya. Awangnya berkelana, teringat pada seraut wajah yang nyatanya timbul tenggelam dalam ingatannya. Ia tidak sepenuhnya melupakan raut itu.
'Gadis itu? Office girl yang waktu itu?'
Lelaki itu lantas meraih ponsel dan mendial satu nomor. Setelah menunggu beberapa saat, suara yang familiar terdengar dari seberang.
“Halo?”
“Aldo, ke kantor gue sekarang. Gue butuh informasi.”
“Kenapa nggak langsung tanya aja ada apa?”
“Sekarang.”
Gavin matikan ponselnya, kemudian menyandarkan punggung pada kursi kerja. Kembali berpikir-pikir kemungkinan yang paling tidak mungkin.
Sepuluh menit kemudian, Aldo membuka pintu ruangannya tanpa mengetuk dulu.
“Ada apaan?” tanya pria itu, masih menyisakan raut kesal pada wajahnya.
“Al, lo inget nggak sama perempuan panggilan yang lo cariin buat gue, kira-kira empat atau lima tahun yang lalu?”
Aldo sontak ternganga. Gavin menyuruhnya datang segera saat jam-jam sibuk, hanya untuk menanyakan pertanyaan yang tidak masuk akal seperti ini? Bahkan tanpa basa-basi terlebih dulu?
“Vin, gue juga punya kesibukan. Bisa-bisanya lo suruh gue dateng hanya buat nanyain masalah ini?”
“Jawab aja!”
“Ya nggak inget, lah! Lima tahun yang lalu itu berapa banyak perempuan yang udah gue sewa, Gavin!”
“Sial!” Gavin mengerang dan mengacak rambutnya dengan frustasi.
“Apa sih? Kenapa tiba-tiba tanya hal yang nggak jelas begini?” protes Aldo, tak habis pikir.
Gavin berdecak kesal. “Gue nggak mau tau, pokoknya lo cari tau siapa orangnya yang malam itu tidur sama gue. Waktu itu gue lagi mabuk, jadi nggak begitu ingat sama wajahnya, dan apa aja yang gue lakuin sama dia.”
“Astaga, Gavin, lo ini kesurupan apa gimana, sih?”
“Gue kasih waktu sampai besok. Sekarang menyingkir dari hadapan gue!”
Aldo melontarkan berbagai sumpah serapah sebelum meninggalkan ruangan besar yang sejuk itu. Menyisakan Gavin sendirian yang masih bergelut dengan pemikirannya sendiri.
Tentang gadis kecil yang ia temui di tepi pantai, yang demi apapun sangat mirip dengan dirinya, kemudian ibu si gadis kecil yang –Gavin yakin– adalah office girl yang menuntut pertanggungjawaban kepadanya lima tahun yang lalu.
Gavin harus menelusuri benang merah di antara kejadian-kejadian ini.
Suara ponsel yang berdering kemudian, membuyarkan lamunan Gavin. Pria itu meraih benda pipih yang tadi ia lemparkan ke sembarang arah setelah menelepon Aldo.
Kali ini panggilan datang dari nomor asistennya.
“Halo?”
“Pak, saya sudah dapat beberapa informasi yang anda inginkan. Nama pemilik rumah sekaligus restoran itu adalah Maulina. Berusia awal lima puluhan. Tinggal bersama seorang perempuan berusia dua puluh enam tahun yang bernama Inara Kanina, dan putri tunggal Inara yang berusia lima tahun, Aylin Rosetta. Inara adalah single parent dan bukan anak Maulina. Dia besar di panti asuhan kota.”
Gavin menyeringai di balik ponsel yang menempel di telinganya. Mencari sekedar informasi seperti ini, tentu saja bagi pria itu sama mudahnya dengan membalikkan telapak tangan.
“Selidiki tentang si Inara itu. Semua hal yang berkaitan dengannya,” perintahnya kemudian.
“Baik, Pak. Saya akan hubungi lagi sesegera mungkin.”
Gavin meletakkan ponsel di atas meja, sesudahnya. Ia menghela napas dengan pandangan menerawang langit-langit ruangan.
“Hanya tinggal menunggu informasi dari Aldo. Kalau dugaanku tidak keliru, dan perempuan office girl yang waktu itu memang tidak hanya membual tentang kehamilan yang dia ributkan, maka besar kemungkinan gadis kecil di pantai itu berhubungan darah denganku. Dia anakku?”
Dua kata yang terakhir itu terdengar menggelikan. Gavin belum pernah berpikir sejauh memiliki anak, namun desakan dari ibunya yang akhir-akhir ini semakin gencar, sungguh membuatnya muak.
“Kalau aku bisa membuktikan semuanya, maka aku tidak perlu menikah dengan Jessica untuk mendapatkan pewaris yang sah. Perempuan bernama Inara itu tidak akan keberatan menukar anaknya dengan beberapa miliar rupiah, kan?”
Hari sudah cukup malam saat suara bel pintu apartemen berdentang. Aldo muncul di baliknya ketika Gavin membukakan pintu.
“Sebaiknya lo bawa sesuatu yang berharga kalo berani datang ke sini,” kata Gavin dengan nada datar, sementara Aldo berdecih. Pria itu melemparkan tubuhnya ke atas sofa tanpa menunggu dipersilahkan. Kemudian menarik keluar ponselnya.
“Gimana?” tagih Gavin.
“Gue nggak yakin, jujur aja waktu itu gue juga nggak terlalu ingat. Gue cuma ingat dapat tawaran dari salah satu orang kepercayaan. Dia bilang itu barang baru.” Aldo menyerahkan ponselnya, sementara Gavin menerima dengan raut wajah keberatan –Aldo menyebut barang baru dengan ringan sekali, padahal yang sedang ia bicarakan adalah manusia.
Gavin melihat dengan seksama foto dalam layar ponsel itu. Kedua alisnya sontak terpaut.
Dugaannya tepat. Foto dalam ponsel itu adalah Inara Kanina.
“Lo bener-bener yakin ini orangnya, kan?”
“Vin, gue cari informasi seharian sampai kerjaan kantor terbengkalai!”
Gavin mengangguk dengan puas. Semua potongan informasi terhubung dengan sempurna.
“Sekarang gue tanya, ngapain lo cari-cari informasi tentang perempuan sewaan lima tahun yang lalu, yang bahkan entah dia masih hidup apa enggak?”
Pertanyaan itu membuat Gavin melayangkan pandangan tajamnya.
“Dia masih hidup. Gue baru aja ketemu dia beberapa minggu yang lalu, makanya gue minta informasi dari lo buat mastiin kebenarannya.”
“Kebenaran apalagi, hah?”
“Dia mengandung dan melahirkan anak gue, Al.”
“Ha?”
“Besok pagi-pagi, gue akan balik ke tempat itu. Gue harus pastikan sekali lagi dengan tes DNA. Kalau terbukti anak kecil itu memang anak kandung gue, gue akan bawa dia pulang. Dengan begitu, gue nggak perlu menikah sama Jessica, karena sudah punya pewaris yang sah.”
Aldo benar-benar kehabisan kata-kata. Ia hanya terpaku dengan mata terbelalak, tidak paham sama sekali dengan lelucon yang temannya itu sampaikan.
“Anak? Pewaris yang sah?”
*
Maulina mengendap-endap di antara para wisatawan yang mengunjungi pantai. Ia menatap awas kepada mobil SUV hitam yang terparkir tak jauh dari sana. Pasalnya, beberapa hari belakangan ini wanita itu agak terlalu sering melihat mobil itu di dekat restorannya. Para penumpangnya tampak tertutup dan mencurigakan. Lina sangat khawatir para pria itu memiliki rencana jahat.
“Namanya Inara Kanina?”
Jantung Lina mencelos saat ia mendengar sepotong nama dalam percakapan lirih para pria penumpang SUV.
“Ya, laporkan segera kepada bos. Nama anaknya Aylin Rosetta. Informasi ini sedang ditunggu, jadi sebaiknya dilaporkan sesegera mungkin. Bos ingin ada tindakan segera.”
Sepenggal percakapan itu cukup menjadi bukti bahwa keselamatan Inara sedang terancam. Maka, wanita itu segera berlari pulang untuk menemui Inara.
“Kemasi barangmu segera, agar kalau sewaktu-waktu kamu harus pergi, kamu sudah siap,” sengal Lina sesampainya di rumah. Ia menemui Inara di dapur.
“Kenapa aku harus pergi, Bu?” Yang lebih muda bertanya dengan kerutan halus di dahi.
“Ibu mencuri dengar dari sekelompok orang yang bawa mobil bagus. Beberapa hari ini mereka berkeliaran di sekitar pantai. Mereka menyebut nama kamu dan Aylin, katanya akan melaporkan informasi ini ke orang yang mereka sebut bos. Ibu nggak ngerti Inara, tapi sepertinya ini hal yang serius.”
Inara tertegun sesaat, berusaha mencerna kata-kata wanita yang sudah ia anggap ibu sendiri ini. Detik berikutnya, pemahaman itu sekonyong-konyong menghantam kepalanya dengan telak.
“I-Ibu nggak salah dengar, kan?”
“Nggak Ra, Ibu dengar dengan jelas sekali. Ibu takut mereka bermaksud jahat.”
Gavin Devano Sanjaya. Nama itu terlintas begitu saja dalam benak Inara. Siapa lagi yang mungkin melakukan ini, kan? Apalagi, Gavin sudah sempat melihatnya ketika datang tempo hari. Ternyata Inara salah besar jika berpikir Gavin tidak mengingat dirinya dan pergi begitu saja.
“Aku harus bawa Aylin pergi, Bu.”
“Inara, Ibu nggak tahu apa-apa. Memangnya siapa mereka? Kenapa Aylin harus dilibatkan?”
Perempuan muda itu menelan saliva dengan pahit. “Ingat lelaki yang datang pagi-pagi ke sini? Yang Ibu katakan seperti orang kaya? Besar kemungkinan, itu adalah orang yang mencariku dan Aylin.”
“Tapi kenapa, Ra? Memangnya kamu mengenal dia?”
“Dia ….” Inara mengernyit menahan nyeri yang tiba-tiba memenuhi dadanya. “Adalah ayah biologis Aylin, Bu. Orang yang sudah menghancurkan masa depanku.”
“Ya Tuhan ….” Lina terkesiap, “Inara ….”
“Aku harus pergi dari sini sebelum orang itu datang lagi, Bu.”
**Hari masih sangat pagi dan matahari belum lagi terbit saat Inara membangunkan Aylin. Dengan wajah yang cemas, perempuan itu mengemasi barang-barang penting yang ia perlukan.“Mau ke mana?” tanya sang putri kecil dengan kerutan halus di dahi.“Pergi sebentar, Nak.” Inara tersenyum, mengusap rambut gadis cilik itu. Berusaha tetap tenang meski dalam hati rasanya ingin segera pergi meninggalkan tempat yang ia rasa tak lagi aman. “Aylin mandi sendiri, ya. Mama akan siapkan baju-baju kamu.”“Kita mau pergi ke mana, Mama?”Entahlah, batin Inara gusar. Semuanya begitu mendadak sehingga ia tak punya banyak waktu untuk memutuskan akan pergi ke mana. Asal segera menyingkir dari tempat ini dulu saja, nanti sisanya akan ia pikirkan belakangan.“Nanti Mama kasih tahu kalau sudah di jalan, ya. Cepat ke kamar mandi, nanti kita ketinggalan kereta.”Aylin anak yang penurut. Meski ia punya banyak pertanyaan, ia memilih melaksanakan dulu apa yang dikatakan ibunya ; pergi ke kamar mandi dan membersihka
**“Apa maksudmu akan membawakan seorang pewaris?” Jessica Freya bertanya dengan nada penuh tuntutan setelah Riani Sanjaya meninggalkannya berdua saja dengan Gavin di dalam ruangan pribadinya.Lelaki itu melirik sekilas dari balik layar laptop. Hanya sekilas, sebelum Gavin mengembalikan atensi kepada layar datar di depan wajahnya.“Apa kata-kataku kurang jelas? Aku akan membawa pulang pewarisku, jadi kita tidak perlu menikah.”“Kamu nggak punya, Vin. Jangan mengada-ada. Aku adalah satu-satunya yang dipilih keluargamu untuk melahirkan pewaris itu.”“Tapi aku sendiri tidak pernah memilihmu, Jessica. Sorry.”Kerutan halus menghiasi kening Jessica. Perempuan high class itu berdecak dengan kedua hasta terlipat di dada. Setengahnya tak habis pikir, kurang apalagi dirinya sehingga Gavin sama sekali tidak tertarik? Sudah lima tahun ia berjuang untuk merebut hati lelaki tampan itu, namun sedikitpun Gavin tak pernah memberikan kesempatan untuknya mendekat. Sebatu itu hati Gavin.“Nggak mungki
**Kedua bola mata Inara sontak melebar setelah mendengar itu. Ia yang awalnya sangat ketakutan dengan keberadaan Gavin di sana, mendadak kehilangan rasa dan justru berganti menjadi emosi."Siapa yang bilang dia putri anda, Tuan Direktur yang terhormat?" ujarnya dengan suara dingin yang sarat kebencian. "Saya sama sekali belum lupa dengan apa yang anda lakukan kepada saya, lima tahun yang lalu.""Jadi benar, kan? Perempuan yang menuntut pertanggung jawaban dariku lima tahun yang lalu adalah dirimu?"Rahang Inara mengeras. Emosi kian menggelegak di dalam dadanya kala menangkap senyum penuh kemenangan dalam wajah rupawan lelaki di hadapannya."Dia putriku.""Sama sekali bukan! Anda bahkan tidak ingat pernah menanamkan benih ke dalam rahim saya!""Kita buktikan dengan tes DNA. Jika gadis kecil itu memang bukan putriku, maka aku tidak akan pernah mengusikmu lagi. Akan aku berikan kompensasi atas segala kerugian yang kau derita."Kedua jemari Inara mengepal dengan kuat. Rasa tidak terima i
**“Mama, sakit ….”Inara sungguh tidak mampu menahan isak tangis. Ia menggenggam erat tangan sang putri yang berlumuran darah. Air matanya berjatuhan menetesi tubuh gadis kecilnya yang terkulai lemah.“Sabar sebentar, Sayang. Sebentar lagi kita sampai.”Mobil itu berbelok ke pelataran rumah sakit pertama yang berhasil ditemukan. Berhenti di depan gate UGD, yang mana Inara segera membopong tubuh putrinya ke dalam ruangan. Beberapa perawat yang sudah terlatih, menyambut dengan cekatan dan segera memberikan pertolongan pada gadis cilik itu.“Tolong putri saya. Dia kecelakaan, jatuh terbentur ….”“Ibu tenang dulu, tenang. Kami akan menangani segera. Permisi dulu sebentar.” Seorang perawat perempuan melepaskan tautan jemari Inara dengan Aylin.“Mama ….”Isak tangis perempuan itu tak lagi terbendung saat pegangan tangannya dengan sang putri terlepas. Ia mundur, menyaksikan tubuh mungil tak berdaya itu berusaha bertahan hidup.“Ya Tuhan, putriku ….”“Maaf, kami hanya bisa mengantar sampai d
**Inara berdiri berhadapan dengan sang CEO, menggigit bibir dengan seluruh tubuh gemetar, dari ujung kepala sampai kaki. Air mata masih berjatuhan dari kedua netranya yang sudah sangat bengkak.Berantakan, pucat pasi, dan tersedu sedan dengan kedua mata nyaris tidak bisa terbuka. Sesungguhnya Gavin merasa kasihan, tapi ia masih ingin melihat sejauh apa perempuan ini bertahan dengan ego dan keras kepalanya?“Kenapa anda seperti ini?” tuntut Inara kemudian. Ia mengangkat wajah, memandang Gavin dengan penuh kebencian. “Apa yang anda inginkan dari kami? Kami tidak punya apa-apa lagi. Anda sudah memiliki segalanya, Tuan Direktur. Jika anda menginginkan seorang putri, maka anda bisa menikah dan mendapatkannya dari perempuan lain. Jangan saya, dan jangan putri saya!”“Sudah kukatakan, aku hanya perlu membuktikannya. Jika ternyata dia bukan putriku, aku sudah berjanji untuk tidak mengusikmu lagi.”Tepat pada saat itu, seorang perawat perempuan masuk. Mengalihkan perhatian dua yang lain di da
**Selama berhari-hari berikutnya, Aylin dihujani dengan berbagai hadiah mahal dan pelayanan bak putri raja oleh Gavin Devano Sanjaya. Tak lain adalah karena hasil tes DNA yang sudah keluar dan membuktikan bahwa gadis kecil itu benar-benar putri sang Direktur.Nah, Inara sama sekali tidak terkejut. Apa memangnya yang ia harapkan? Ia benar-benar masih perawan sampai ketika Gavin menjamahnya. Dan sesudahnya, ia juga tidak pernah mengenal lelaki manapun. Bahkan tanpa tes pun sebenarnya semua orang juga percaya jikalau Gavin mengakui Aylin begitu saja. Paras keduanya benar-benar mirip satu sama lain.“Nona, anda tidak perlu melakukan itu. Biarkan saja,” tegur salah seorang maid atau pelayan –yang Gavin bawa ke rumah sakit khusus untuk membantu merawat Aylin– saat melihat Inara melipat baju-baju ganti sang putri.“Ah, nggak apa-apa,” kilah Inara sembari tersenyum canggung. “Saya bosan nggak melakukan apa-apa. Lagi pula kan Aylin hari ini mungkin sudah boleh keluar, jadi saya bereskan baran
**“Saya bukan pencuri, Nona ….”“Jadi, siapa kau? Nggak mungkin Gavin memiliki kenalan perempuan lusuh sepertimu. Lihat saja, kau seperti asisten rumah tangga begitu.”Inara menunduk dalam-dalam. Ia sadar betul, jika dibandingkan dengan perempuan di hadapannya yang seperti artis ibu kota itu, penampilannya memang terlihat sangat kontras.“Nah, nggak bisa jawab kan, kau? Memang dasar pencuri! Pergi dari sana sekarang juga, atau aku beneran telepon polisi! Pergi!”Jessica meraih baju Inara dan menyeretnya paksa ke arah pintu. Membuat perempuan itu berseru panik, sebab sang putri berbuat hal yang sama.“Lepasin mamaku, orang jahat! Lepasin mamaku!” Aylin menarik Inara dari arah yang berlawanan.“Diam, kamu! Bocah ingusan!”“Orang jahat!”“Jessica, apa-apaan ini? Lepaskan dia, Jessica!”Cengkeraman kuat Jessica mendadak lepas saat vokal baritone itu keras berseru dari ambang pintu. Gadis itu menoleh, dengan wajah agak shock, ia mencoba klarifikasi.“Orang ini sedang ada di dapur apart ka
**“Siapa perempuan itu? Sialan!”Jessica Freya memukuli setir mobilnya bertubi-tubi, melampiaskan rasa kesal yang sudah meluap sejak ia meninggalkan apartemen Gavin. “Baru kali ini Gavin bawa pulang perempuan, tapi kenapa bentukannya kayak gembel begitu? Sudah begitu, aku pula yang disalahkan! Apa maunya itu orang sebenarnya?”Puas mengomel dan marah-marah kepada setir mobilnya, perempuan cantik itu lantas meraih ponsel yang tergeletak di atas dashboard. Mendial sebaris nomor kemudian.Butuh beberapa kali dengung nada sambung sampai panggilannya diterima.“Aldo!” seru Jessica, bahkan tanpa salam pembukaan atau sesuatu. “Siapa perempuan yang ada di apart Gavin?”“Hah?”“Hah-hah, aku tanya siapa perempuan yang ada di apart Gavin, jangan seperti orang bodoh begitu, kamu!”“Kenapa kamu tanya aku, bukan Gavin sendiri? Kamu pikir aku ibunya?” jawab lelaki bernama Aldo di seberang sana, tak kalah sarkas. Sendirinya juga kaget tiba-tiba dituntut seperti itu tanpa aba-aba apapun.“Biasanya k