“Nisa! Kamu pikir hidup di rumah ini serba gratis?” Ibu Atik berteriak kencang saat sang menantu tak kunjung datang.
Wanita dengan rambut memutih itu lalu mengambil keranjang berisi baju kotor miliknya. Ia tak tahan melihat keranjang itu masih berisi dan Anisa malah santai-santai.
“Bu, ada apa berteriak. Aku sedang merapikan bekas masak, sebentar lagi Mas Wisnu pulang,” bantah Anisa.
“Kamu kerja aja lelet, masak dari tadi belum kelar juga, bagaimana sih kamu? Cepat masukan ini ke mesin cuci, sudah bagus anak saya mau menikah dengan gadis kampung seperti kamu,” cerca Bu Atik.
Anisa hanya bisa beristighfar di hati. Demi kebaikan bersama pun akhirnya ia hanya diam dan tak melawan apa yang di katakan sang mertua.
Dengan kasar Bu Atik menendang keranjang baju itu hingga berantakan. Anisa pun menunduk memungut baju yang kini berserakan di lantai. Ia tak tahu bagaimana bisa ibu mertuanya begitu membencinya.
Bu Atik kembali ke ruang TV, ia duduk sembari minum teh dengan cemilan kue brownis yang baru saja di belinya di toko kue. Sesekali ia meneteskan air mata karena drama rumah tangga itu sangat sedih.
Sementara, Anisa berkutat di dapur dengan cucian segunungnya. Sesekali ia menyeka keringat yang menetes di kening.
“Di rumah Bapak pun aku tak di perlakukan seperti ini, kenapa di rumah yang harusnya nyaman aku harus seperti ini?” Anisa bergumam sendiri.
***
Baru saja menyelesaikan cucian, sang suami pun sudah pulang. Ia gegas ke kamar mandi dan membersihkan diri. Ia takut saat sang suami melihatnya masih dalam keadaan tak enak di pandang.
Untung saja sang suami, masih berbincang dengan ibunya hingga bisa membuat Anisa gegas merapikan diri. Setelah itu ia menghampiri sang suami yang masih menemani ibunya.
“Mas,” sapa Anisa.
Sang suami menarik napas panjang, lalu memberikan tasnya untuk di simpan.
“Nu, bilang sama istri kamu itu, jangan lelet. Harus gesit, masa masak saja berjam-jam mencucinya. Bilangin juga kalau bayar air mahal,” oceh sang ibu.
Anisa merasa kesal karena mendengar hal itu. Lagi pula ada dirinya di tempat itu, tapi terabaikan.
“Aku lapar, makan temani aku makan, Nis,” ajak sang suami. Wisnu tidak mau terjadi pertengkaran antara sang istri dan ibunya.
Anisa menurut, ia menemani sang suami makan. Sesekali Wisnu berbincang tentang pekerjaannya di kantor.
Namun, Anisa tak menceritakan bagaimana lelahnya dia di jadikan pembantu oleh ibu mertua. Ia ingin baik-baik saja, sama seperti yang Wisnu pikirkan.
“Apa Ibu membuat kamu lelah?” tanya Wisnu.
“Aku enggak mengerti, aku sudah melakukan apa pun yang ibu kamu katakan. Tapi, tetap saja aku di matanya selalu salah. Aku ini menantu, Mas, bukan pembantunya.” Anisa menahan bening bulir di pipi. Ia merasa lega sudah menceritakan semua pada sang suami.
“Kamu sabar saja, nanti juga ibu berubah.” Wisnu mencoba menangkannya.
“Sampai kapan, Mas? Aku lelah seperti itu,” ujar Anisa.
Wisnu hanya bergeming, sampai kapan pun ia paham jika sang ibu tidak akan berbaik hati selama Anisa belum memiliki anak. Apalagi sang ibu sangat menginginkan keturunan. Wisnu tak melanjutkan pembicaraan dan kembali makan.
***
“Cuh, kamu mau bikin darah tinggi mama semakin tinggi, masak kok asin,” oceh Bu Atik.
Wanita itu semakin kesal dengan Anisa, sedangkan Anisa masih menunduk walau hatinya sudah gondok bercampur kesal. Bu Atik tak hentinya mengomeli Anisa yang sama sekali tak bersalah. Bahkan perabotan rumah pun turut di komplen.
“Kalau Ibu enggak mau makan, ya sudah. Tapi jangan terus menerus memarahi aku. Aku punya batas kesabaran!”
“E—eh kamu pintar bantah Ibu, ya. Mau Ibu usir kamu dari rumah ini?” Bu Atik kembali mengoceh, ia sangat kesal dengan Anisa.
“Sudah, Bu. Sudah, Nis. Aku pusing melihat kalian bertengkar,” ujar Wisnu.
Anisa memilih meninggalkan dapur dan mengurung diri di kamarnya. Tidak lama Wisnu datang dan membuatnya tenang. Namun, rasa sakit di dada pun masih sangat kental, apalagi dengan jelas sang ibu sudah menyentil dirinya.
“Kamu mengerti sikap Ibu?”
“Mas, sebelum Ibu tinggal bersama kita, semuanya baik-baik saja. Bukannya aku durhaka tak mau di tumpangi, tapi sikap ibu bikin aku sakit hati, Mas.” Anisa kembali menegaskan kalau dirinya begitu sakit hati.
Wisnu serba salah mengambil keputusan, apalagi ia tak bisa mengusir ibunya saat ini karena tak ada yang mau mengurusnya lagi. Tidak mungkin ibu ikut dengan adiknya karena sudah pasti akan menolak ibu.
Wisnu tak membahasa masalah ibunya lagi. Ia pun melangkah ke luar dengan wajah kusut karena dilema dengan permasalahan di rumahnya. Pertengkaran ibu dan istrinya. Belum lagi pertanyaan tentang anak yang selalu ibunya bahas.
Sementara, Anisa terduduk di pinggir tempat tidur. Ia merasa tak kuat menghadapi ibu mertuanya yang bersikap seperti itu. Hatinya menangis, hanya karena dia miskin dan ibu mertuanya mempermalukan dirinya. Entah, ia akan bertahan sampai kapan.
“Nisa!”
Nisa mengelap sisa air mata, ia gegas menghampiri suara yang bergema kencang itu. Bu Atik sudah bertolak pinggang, Anisa kembali kesal. Kenapa hanya piring kotor saja dia tidak mau membersihkan. Kenapa harus berteriak memanggilnya terus.
“Bersihkan piring itu, kamu pikir saya pembantu harus mengerjakan semuanya? Dasar menantu miskin tak tahu diri. Sudah bisa tinggal enak, malah mau sok jadi nyonya.” Mulut pedas ibu mertuanya kembali menorehkan luka.
Anisa mencengkeram ujung baju, ia merasa sudah tak kuat lagi. Apalagi selalu menyakiti hatinya.
“Ibu bersihkan sendiri, aku lelah. Kalau ibu enggak bisa, panggil saja pembantu untuk bekerja di sini. Apa susahnya,” ujar Anisa.
“Heh, kamu pikir bayar orang enggak mahal?”
“Lalu, ibu pikir tenaga aku gratis? Ak ih juga capek, Bu. Belum kelar satu, ibu sudah berteriak. Anisa, Anisa, Anisa. Bisa enggak sih, enggak narik urat terus. Hati-hati darah tinggi naik dan cepat mati,” ujar Anisa. Ia berlalu dari hadapan ibu mertuanya.
“Heh, Anisa! Kamu doain ibu cepat mati? Dasar menantu enggak tahu sopan santun!” Bu Atik menahan amarah.
Anisa tak sanggup lagi, ia memilih berontak dari sikap ibunya. Sementara, Wisnu pun menghampiri Anisa lagi. Ia mencoba menenangkan sang istri lagi.
“Apalagi, Mas?”
“Ibu itu sebenarnya baik, kamu saja yang nggak bisa mengambil hatinya. Lalu, harusnya kamu mencari tahu keinginan dia. Coba kalau kamu bisa hamil, ibu pasti senang dan sayang sama kamu. Apa kamu enggak kesepian?”
“Aku enggak pernah kesepian karena setiap hari aku sibuk dengan pekerjaan rumah tangga. Lagi pula aku sudah memeriksakan semua dan hasilnya bagus. Stop Mas, jangan bahas masalah anak lagi. Atau kita lakukan saja bayi tabung,” ujar Anisa.
“Stop!”
***
“Kamu pikir proses bayi tabung itu mudah? Sudah mahal, belum tentu berhasil. Kamu mau buat suami kamu bangkrut, hah?” Suara melengking Bu Atik membuat Anisa menunduk.Tidak menyangka ibu mertuanya mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Anisa tak berani menatap Bi Atik yang sudah bertolak pinggang di ambang pintu. Dalam sebuah pernikahan belum terasa sempurna jika belum adanya kehadiran sang buah hati. Apalagi ketika sudah memasuki tahun keenam Anisa dan Wisnu belum juga mendapatkan momongan anak. Belum lagi permintaan sang ibu untuk segera memiliki cucu dalam waktu dekat ini pun membuat Anisa dan Wisnu kerap membahas masalah itu.Anisa menggigit bibir bawah saat Bu Atik dengan lantang menolak usaha terakhir mereka untuk memiliki anak. Apalagi sang suami adalah anak laki-laki yang sangat di harapkan memiliki keturunan.“Ma, kita coba dulu,” ujar Wisnu.“Enggak, bagi mama tidak ada kata mencoba. Ibu beri pilihan, menceraikan Anisa atau menikah dengan wanita lain.”Jantung Anisa te
Malam tiba, Anisa pun kembali mencoba mencari tahu tentang wanita selingkuhan suaminya. Saat Wisnu terlelap tidur, ia mulai kembali membuka whatsApp milik suaminya, dan mulai menjelajahi semua pesan yang ada di sana. Awalnya Anisa tidak melihat sesuatu yang aneh dari aplikasi whatsApp suaminya. Sampai pada akhirnya, dirinya melihat pesan yang disematkan oleh suaminya dan Anisa begitu yakin jika itu bukan nomor whatsApp miliknya karena profil yang terpasang di sana berbeda.Akhirnya, dengan bermodal rasa penasaran, Anisa membuka profil pemilik pesan yang disematkan itu dan betapa terkejutnya Anisa saat melihat profil itu terpasang sebuah foto wanita dengan baju yang kurang bahan. Memang, Anisa akui wajah wanita itu cukup cantik, tetapi masih kalah jauh dengannya. Wanita itu berkulit kuning langsat sedangkan dirinya putih bersih.Setelah puas memandangi foto wanita itu, Anisa mulai membuka pesan yang dikirimkan wanita itu pada suaminya.[ Sayang, kamu ke mana saja, sih? Kenapa gak datan
Bu Atik geram dengan sikap Anisa, tapi mencair saate terdengar ketukan dari pintu arah depan. Ibu Wisnu yang penasaran langsung saja membukakannya dan yang datang ternyata adalah anak perempuannya.Dengan antusias, ibu Wisnu menyambut kedatangan anak perempuan yang sudah menikah dan jarang sekali berkunjung ke rumahnya. Namun, kini dia datang dengan anaknya pula. Dengan gemas ibu Wisnu mencium pipi cucunya. Ibu Wisnu segera mengajak anak perempuannya masuk dan duduk di sofa."Nisa! Tolong buatkan minum! Cucu dan anak Ibu kemari! Cepat!" teriak ibu Wisnu.Anisa yang tidak ingin bertengkar pun segera membuatkan minuman yang diminta mertuanya. Setelahnya, Anisa keluar dari dapur dengan membawa nampan berisi dua gelas minuman untuk iparnya serta anaknya.Seulas senyum Anisa berikan pada iparnya itu. Namun, bukannya membalas dengan senyuman yang sama, iparnya itu justru tertawa mengejek. Anisa hanya diam, tak ingin terlalu menanggapi iparnya itu. Memang, sejak awal dirinya datang ke rumah
Sesampainya di kantor, Wisnu dikejutkan dengan kedatangan Sinta, wanita yang selama ini menjadi selingkuhannya. Dengan segera Wisnu membawa Sinta masuk ke dalam ruangannya. Sinta yang ditarik oleh Wisnu pun dengan segera melepasnya, tetapi ditahan oleh Wisnu.Sampai di ruangan Wisnu, Sinta menghempaskan tangan Wisnu dan menatap Wisnu tajam."Kamu apa-apa sih, Mas?! Sakit tahu gak?!" marah Sinta.Sinta melihat sang kekasih terlihat aneh sejak datang dan cemas. Baru kali ini ia melihat Wisnu begitu tak tenang datang menemuinya."Ck. Gawat, Sin, istriku tahu kalau aku selingkuh dan dia marah." Wisnu berucap dengan nada memelas. Sekaligus frustrasi, berulang kali ia mengacak-acak rambutnya lalu mengusap wajah kasar."Beneran? Bagus dong!" ujar Sinta dengan mata berbinar. Ia sudah lama menunggu saat itu, di mana Anisa tahu dan ia akan menikah dengan Wisnu."Bagus? Kamu bilang bagus? Kamu sadar gak sih amaa yang kamu omongin, Sinta?" Wisnu emosi dengan apa yang di katakan oleh Sinta.Sinta
Anisa tak sengaja menjatuhkan piring ke lantai. Suara keras itu membuat ibu mertuanya datang dan langsung mengomel seperti biasanya. “Aduh, ada saja yang kamu lakukan. Habisin saja semua piring dan barang di rumah ini. Perempuan tak berguna!” Bu Atik terus saja memaki Anisa. Belum selesai mendengar ocehan ibu mertuanya, adik iparnya pun datang menghampiri. Gadis berusia 23 tahun itu ikut memanasi ibunya. “Mas Wisnu dapat perempuan model kaya gini di mana sih, Bu. Bawa piring saja susah. Ih, amit-amit, enggak guna buat apa di pelihara di rumah,” cecar Windy. Sejak tadi Anisa jengkel, semakin iparnya bicara, ia semakin emosi. Tangan itu tak sabar dan menampar wajah Windy. Anak kecil yang bisa melawannya, harusnya Windy bersikap sopan padanya bukan mengejeknya sepeti itu. sungguh kurang didikan dari orang tua pikir Anisa. Bu Atik terkesiap melihat apa yang di lakukan menantunya. Ia ingin membalas dan ingin menampar balik menantunya. Tapi, Anisa sigap menangkis tangan ibu mertuanya. T
Anisa sudah tak tahan dengan segala hinaan. Kini ia pun mencoba membela diri dengan membantah semua ucapan ibu mertua.“Ayo jawab, kalian bingung dengan apa yang saya lakukan. Saya muak, Bu dengan semua hinaan kalian. Terserah, kalian mau mengadakan aku pada Mas Wisnu atau tidak. Aku tidak peduli, mulai sekarang, lakukan apa yang kalian bisa. Kalau kalian lapar, masak sendiri. Kalau tidak pesan saja online. Mulai saat ini, jangan pernah berteriak lagi memanggil namaku!”“Awas saja kamu, kami pasti melaporkan kamu,” oceh Bu Atik.“ Terserah.”Anisa melenggang ke kamar dan meninggalkan Bu Atik dan Windy yang melongok melihat sikap berontak dari menantu yang selama ini mereka perlakukan sebagai pembantu.“Bu, si Nisa punya kekuatan dari mana bisa melawan ibu?” tanya Windy heran.“Ibu juga heran, sejak beberapa hari sih ibu perhatikan, kira-kira kenapa, ya? Coba kamu telepon kakak kamu, tanyakan dan sekalian laporin aja tingkah istrinya itu. Biar tahu rasa si Nisa itu.”Bu Atik menyunggin
“Jangan di kejar, Mas,” cegah Sinta.“Benar, jangan di kejar. Nanti, dia pikir kamu masih cinta sama dia, Nu,” timpal sang ibu.Wisnu hanya bisa bergeming di tempat, ia pun memikirkan akan pergi ke mana Anisa saat ini. Ia tak punya sanak saudara di Jakarta. Akan tetapi, hanya kedua orang tua yang berada di kampung. Lagi pula, Wisnu tak bisa begitu saja membiarkan Nisa pergi, tapi sejak tadi tangan Sinta tak lepas memeganginya.Sinta menggandeng Wisnu duduk di ruang tamu. Bu Atik menyambut kedatangan menantu barunya. Begitu juga Windy, yang harusnya sudah pulang, tapi ia malah asyik melihat drama rumah tangga sang kakak. Padahal, ia tak tahu jika apa yang ia tabur akan menuai hasilnya.“Jadi, kalian kapan menikah?” tanya Bu Atik.“Kemarin, Tante,” ujar Sinta.“Pantas kamu di hubungi tak bisa, kamu non aktifkan, ya Nu?” tanya sang ibu.Wisnu hanya mengangguk, pikirannya masih kacau memikirkan Anisa. Ia tak menyangka akan terjadi hal seperti itu. Wisnu hanya berpikir jika Anisa akan mara
Bu Asih bergeming, sudah lama semuanya tertutup rapat. Bahkan keberadaan mereka di desa itu pun pihak keluarga tak ada yang tahu. Masa lalu tertutup rapat hingga kini dan mungkin tak akan ia ceritakan pada sang anak.Pak Anjar semakin pucat, penyakitnya yang menggerogoti dirinya pun sudah lama tak bisa di sembuhkan karena biaya. Keuangan mereka hancur kala terus menerus berobat. Beberapa simpanan emas pun ludes terjual.“Bu, kenapa enggak bilang sama aku kalau Bapak sakit sudah lama,” ujar Anisa.“Kami tidak mau membuat kamu cemas, lagi pula kami pikir kamu akan sibuk dengan suamimu. Bapak juga enggak mau bikin kamu cemas, Nis,” jawab sang ibu.“Kaya gini yang bikin aku cemas, Bapak kita rujuk saja ke Jakarta.”“Ibu sudah enggak ada uang lagi.”Anisa bergeming, ia pun tak memiliki biaya. Bahkan hanya membawa baju saja keluar dari rumah sang suami. Emas yang di berikan Wisnu pun tak ia bawa karena malas jika di tuduh membawa barang yang bukan miliknya walau itu sang suami memberikannya