Malam tiba, Anisa pun kembali mencoba mencari tahu tentang wanita selingkuhan suaminya. Saat Wisnu terlelap tidur, ia mulai kembali membuka w******p milik suaminya, dan mulai menjelajahi semua pesan yang ada di sana. Awalnya Anisa tidak melihat sesuatu yang aneh dari aplikasi w******p suaminya. Sampai pada akhirnya, dirinya melihat pesan yang disematkan oleh suaminya dan Anisa begitu yakin jika itu bukan nomor w******p miliknya karena profil yang terpasang di sana berbeda.
Akhirnya, dengan bermodal rasa penasaran, Anisa membuka profil pemilik pesan yang disematkan itu dan betapa terkejutnya Anisa saat melihat profil itu terpasang sebuah foto wanita dengan baju yang kurang bahan. Memang, Anisa akui wajah wanita itu cukup cantik, tetapi masih kalah jauh dengannya. Wanita itu berkulit kuning langsat sedangkan dirinya putih bersih.
Setelah puas memandangi foto wanita itu, Anisa mulai membuka pesan yang dikirimkan wanita itu pada suaminya.
[ Sayang, kamu ke mana saja, sih? Kenapa gak datang ke mari?] Itu isi pesan yang dikirimkan wanita itu.
[Maaf, Sayang. Tadi keluargaku datang ke rumah dan baru pulang setelah azan isya. Jadi aku gak bisa ke mana-mana.]
[Maaf, Sayang. Balas dong, Sayang. Please jangan marah.] Balas Wisnu.
[Oke, aku gak marah kalau besok kamu ke sini.]
[Siap, Sayang.]
[Love you.]
[Love you too, Sayang]
Itu adalah percakapan terakhir mereka. Anisa bahkan belum sempat membaca pesan yang berada di yang lainnya dan tunggu, mereka sing memanggil satu sama lain dengan sebutan sayang. Apakah itu pantas padahal suaminya sudah mempunyai seorang istri di rumah. Hati Anisa telanjur sakit melihat suaminya berbalas pesan seperti itu dengan wanita lain. Padahal jika dirinya dibandingkan dengan wanita itu, dirinya jauh bahkan sangat jauh di atas wanita itu. Dirinya yang memiliki kulit putih, bentuk tubuh yang sempurna. Lalu, perempuan itu? Kulit yang kuning langsat bahkan cenderung hitam, dan juga tubuhnya yang jauh dari kata semampai. Wanita itu bahkan gemuk.
Mata Anisa berkaca-kaca. Tangannya mengepal erat, dirinya tidak menyangka jika suaminya berbuat seperti itu di belakangnya. Selama ini apa yang kurang dari Anisa? Dirinya bahkan selalu memberikan yang terbaik untuk suaminya. Namun, apa yang suaminya berikan padanya? Pengkhianatan!
"Dasar laki-laki tidak tahu diri!" ujar Anisa pelan, tapi penuh amarah.
Dan akhirnya, air mata yang ditahannya tumpah juga. Dirinya tidak bisa Lagi menahannya. Hatinya benar-benar sakit mengetahui hal ini. Apa suaminya tidak pernah sadar jika selama ini dirinya berusaha untuk bersabar menghadapi ibunya yang begitu keterlaluan padanya hanya agar pernikahan mereka tetap terjaga? Memikirkan hal itu membuat kepala Anisa terasa ingin pecah saja.
Anisa menatap nyalang pada laki-laki yang sudah menikahinya tujuh tahun lalu itu. Laki-laki yang dicintainya dengan sepenuh hati, yang selalu dirinya prioritaskan. Namun, pada kenyataannya dirinya sudah kalah. Dirinya kalah mempertahankan posisinya, rumah tangganya.
"Awas kamu, Mas. Aku gak pernah nyangka kalau kamu sejahat ini sama aku. Selama ini aku percaya sama kamu, tapi kamu menyalah gunakan kepercayaan itu!" Anisa berucap dengan menekan kata-katanya.
Dirinya benar-benar merasa terluka. Terkhianati. Selama ini dirinya selalu menghormati suaminya, dan tidak pernah melakukan hal yang aneh-aneh. Namun, suaminya malah justru dengan begitu jahatnya bermain wanita di luar sana.
Pun selama ini Anisa begitu mempercayai suaminya. Diirinya tak pernah sekali pun membuka ponsel suaminya dan ini pertama kalinya bagi Anisa membumka ponsel suaminya. Dirinya terlalu dibodohkan dengan rasa percaya hingga semua ini terjadi. Suaminya melakukan sesuatu sesuka hatinya tanpa memikirkan perasaannya sebagai seorang istri.
Dulu, dirinya merasa jika rasa percaya sudah cukup untuk dijadikan landasan dari sebuah rumah tangga. Namun, pada kenyataannya tidak seperti itu. Dirinya malah menjadi korban perselingkuhan suaminya karena terlalu menjunjung tinggi kepercayaan di dalam sebuah pernikahan.
Belum hilang rasa sakit hatinya akibat perkataan ibunya Wisnu yang menuduhnya mandul dan tidak sehat. Kini, dirinya harus dihadapkan dengan sesuatu yang bahkan tidak pernah dirinya bayangkan. Perselingkuhan yang dilakukan suaminya sendiri. Tidak. Anisa tidak boleh membiarkan ini terus terjadi.
Anisa harus bisa membongkar seluruh perlakuan suaminya yang telah berani berselingkuh di belakangnya. Ya, harus.
Anisa akhirnya mengembalikan ponsel suaminya ke tempat semula. Karena terlalu lelah, Anisa akhirnya memilih untuk mengistirahatkan tubuhnya. Malam ini, dirinya tidak tidur satu ranjang dengan suaminya, melainkan tidur di sofa. Sebelumya Anisa sudah mengambil bantal miliknya dan segera membaringkan tubuhnya di sofa. Dirinya terlalu malas dan sakit saat melihat wajah suaminya. Maka sari itu, dia lebih memilih tidur di sofa.
Anisa ingin menenangkan dirinya terlebih dahulu, sebelum merencanakan pembalasan untuk perbuatan suaminya. Anisa akan memikirkannya dengan matang-matang, dirinya tidak boleh gegabah. Tak berapa lama, Anisa akhirnya terlelap dan mulai mengarungi pulau mimpi.
***
Matahari mulai menampakkan diri, Anisa yang sudah terbangun sedari tadi segera bergegas menuju dapur untuk melakukan kegiatannya sehari-hari. Yakni memasak makanan untuk keluarga ini. Tanpa membangunkan suaminya terlebih dahulu, Anisa sudah pergi ke bawah dan berkutat di dapur. Ini bukan perilakunya dan Anisa tahu itu. Namun, sakit di hatinya masih belum bisa dirinya lupakan.
Tak ingin terlalu memikirkan hal itu, Anisa bergerak cepat, tak ingin mendengar kalimat pedas yang nanti akan keluar dari mulut mertuanya hanya karena dirinya yang telat menyajikan sarapan. Anisa sudah hafal betul bagaimana sikap mertuanya itu. Dirinya menjadi menantu di keluarga ini bukan setahun atau baru beberapa bulan saja, tetapi tujuh tahun. Maka dari itu dirinya merasa sudah tidak asing dengan sikap atau perlakuan mereka yang terkadang tidak mengenakkan untuknya.
Setelah masakannya selesai, Anisa segera menghidangkannya di meja makan. Lalu, mulai membereskan rumah, mulai dari lantai dua hingga lantai bawah.
Sementara itu, ibu Wisnu menatap aneh pada Anisa. Tidak biasanya perempuan yang sudah menjadi menantunya selama tujuh tahun ini bersikap seperti itu. Biasanya gadis itu akan mengeluh lelah atau sebagainya. Meminta diizinkan untuk beristirahat terlebuh dahulu, dan berakhir dengan omelan yang keluar dari mulutnya.
Ibu Wisnu tak acuh melihat perubahan menantunya. Bahkan dirinya berpikir jika menantunya itu sudah berubah. Jadi, dirinya tidak perlu lagi mengeluarkan tenaganya hanya untuk memarahi gadis itu.
Anisa lalu duduk di sofa depan dan bermain ponsel. Bu Atik tak suka melihat Anisa yang santai dengan bermain ponsel seperti itu. Lalu, ia menghampiri sang menantu.
"Sekarang kamu sudah berani mengabaikan saya? Lalu, duduk santai seperti ini. Apa kamu mau saya suruh Wisnu menceraikan kamu, hah!"
Anisa berankak dari sofa, sudah muak dengan semua ucapan sang ibu mertua.
"Bu, aku sudah mengerjakan semuanya, apa masih kurang?" Anisa yang biasanya tak pernah membantah kini berani bicara keras di depan sang mertua.
"Kamu--"
**
Bu Atik geram dengan sikap Anisa, tapi mencair saate terdengar ketukan dari pintu arah depan. Ibu Wisnu yang penasaran langsung saja membukakannya dan yang datang ternyata adalah anak perempuannya.Dengan antusias, ibu Wisnu menyambut kedatangan anak perempuan yang sudah menikah dan jarang sekali berkunjung ke rumahnya. Namun, kini dia datang dengan anaknya pula. Dengan gemas ibu Wisnu mencium pipi cucunya. Ibu Wisnu segera mengajak anak perempuannya masuk dan duduk di sofa."Nisa! Tolong buatkan minum! Cucu dan anak Ibu kemari! Cepat!" teriak ibu Wisnu.Anisa yang tidak ingin bertengkar pun segera membuatkan minuman yang diminta mertuanya. Setelahnya, Anisa keluar dari dapur dengan membawa nampan berisi dua gelas minuman untuk iparnya serta anaknya.Seulas senyum Anisa berikan pada iparnya itu. Namun, bukannya membalas dengan senyuman yang sama, iparnya itu justru tertawa mengejek. Anisa hanya diam, tak ingin terlalu menanggapi iparnya itu. Memang, sejak awal dirinya datang ke rumah
Sesampainya di kantor, Wisnu dikejutkan dengan kedatangan Sinta, wanita yang selama ini menjadi selingkuhannya. Dengan segera Wisnu membawa Sinta masuk ke dalam ruangannya. Sinta yang ditarik oleh Wisnu pun dengan segera melepasnya, tetapi ditahan oleh Wisnu.Sampai di ruangan Wisnu, Sinta menghempaskan tangan Wisnu dan menatap Wisnu tajam."Kamu apa-apa sih, Mas?! Sakit tahu gak?!" marah Sinta.Sinta melihat sang kekasih terlihat aneh sejak datang dan cemas. Baru kali ini ia melihat Wisnu begitu tak tenang datang menemuinya."Ck. Gawat, Sin, istriku tahu kalau aku selingkuh dan dia marah." Wisnu berucap dengan nada memelas. Sekaligus frustrasi, berulang kali ia mengacak-acak rambutnya lalu mengusap wajah kasar."Beneran? Bagus dong!" ujar Sinta dengan mata berbinar. Ia sudah lama menunggu saat itu, di mana Anisa tahu dan ia akan menikah dengan Wisnu."Bagus? Kamu bilang bagus? Kamu sadar gak sih amaa yang kamu omongin, Sinta?" Wisnu emosi dengan apa yang di katakan oleh Sinta.Sinta
Anisa tak sengaja menjatuhkan piring ke lantai. Suara keras itu membuat ibu mertuanya datang dan langsung mengomel seperti biasanya. “Aduh, ada saja yang kamu lakukan. Habisin saja semua piring dan barang di rumah ini. Perempuan tak berguna!” Bu Atik terus saja memaki Anisa. Belum selesai mendengar ocehan ibu mertuanya, adik iparnya pun datang menghampiri. Gadis berusia 23 tahun itu ikut memanasi ibunya. “Mas Wisnu dapat perempuan model kaya gini di mana sih, Bu. Bawa piring saja susah. Ih, amit-amit, enggak guna buat apa di pelihara di rumah,” cecar Windy. Sejak tadi Anisa jengkel, semakin iparnya bicara, ia semakin emosi. Tangan itu tak sabar dan menampar wajah Windy. Anak kecil yang bisa melawannya, harusnya Windy bersikap sopan padanya bukan mengejeknya sepeti itu. sungguh kurang didikan dari orang tua pikir Anisa. Bu Atik terkesiap melihat apa yang di lakukan menantunya. Ia ingin membalas dan ingin menampar balik menantunya. Tapi, Anisa sigap menangkis tangan ibu mertuanya. T
Anisa sudah tak tahan dengan segala hinaan. Kini ia pun mencoba membela diri dengan membantah semua ucapan ibu mertua.“Ayo jawab, kalian bingung dengan apa yang saya lakukan. Saya muak, Bu dengan semua hinaan kalian. Terserah, kalian mau mengadakan aku pada Mas Wisnu atau tidak. Aku tidak peduli, mulai sekarang, lakukan apa yang kalian bisa. Kalau kalian lapar, masak sendiri. Kalau tidak pesan saja online. Mulai saat ini, jangan pernah berteriak lagi memanggil namaku!”“Awas saja kamu, kami pasti melaporkan kamu,” oceh Bu Atik.“ Terserah.”Anisa melenggang ke kamar dan meninggalkan Bu Atik dan Windy yang melongok melihat sikap berontak dari menantu yang selama ini mereka perlakukan sebagai pembantu.“Bu, si Nisa punya kekuatan dari mana bisa melawan ibu?” tanya Windy heran.“Ibu juga heran, sejak beberapa hari sih ibu perhatikan, kira-kira kenapa, ya? Coba kamu telepon kakak kamu, tanyakan dan sekalian laporin aja tingkah istrinya itu. Biar tahu rasa si Nisa itu.”Bu Atik menyunggin
“Jangan di kejar, Mas,” cegah Sinta.“Benar, jangan di kejar. Nanti, dia pikir kamu masih cinta sama dia, Nu,” timpal sang ibu.Wisnu hanya bisa bergeming di tempat, ia pun memikirkan akan pergi ke mana Anisa saat ini. Ia tak punya sanak saudara di Jakarta. Akan tetapi, hanya kedua orang tua yang berada di kampung. Lagi pula, Wisnu tak bisa begitu saja membiarkan Nisa pergi, tapi sejak tadi tangan Sinta tak lepas memeganginya.Sinta menggandeng Wisnu duduk di ruang tamu. Bu Atik menyambut kedatangan menantu barunya. Begitu juga Windy, yang harusnya sudah pulang, tapi ia malah asyik melihat drama rumah tangga sang kakak. Padahal, ia tak tahu jika apa yang ia tabur akan menuai hasilnya.“Jadi, kalian kapan menikah?” tanya Bu Atik.“Kemarin, Tante,” ujar Sinta.“Pantas kamu di hubungi tak bisa, kamu non aktifkan, ya Nu?” tanya sang ibu.Wisnu hanya mengangguk, pikirannya masih kacau memikirkan Anisa. Ia tak menyangka akan terjadi hal seperti itu. Wisnu hanya berpikir jika Anisa akan mara
Bu Asih bergeming, sudah lama semuanya tertutup rapat. Bahkan keberadaan mereka di desa itu pun pihak keluarga tak ada yang tahu. Masa lalu tertutup rapat hingga kini dan mungkin tak akan ia ceritakan pada sang anak.Pak Anjar semakin pucat, penyakitnya yang menggerogoti dirinya pun sudah lama tak bisa di sembuhkan karena biaya. Keuangan mereka hancur kala terus menerus berobat. Beberapa simpanan emas pun ludes terjual.“Bu, kenapa enggak bilang sama aku kalau Bapak sakit sudah lama,” ujar Anisa.“Kami tidak mau membuat kamu cemas, lagi pula kami pikir kamu akan sibuk dengan suamimu. Bapak juga enggak mau bikin kamu cemas, Nis,” jawab sang ibu.“Kaya gini yang bikin aku cemas, Bapak kita rujuk saja ke Jakarta.”“Ibu sudah enggak ada uang lagi.”Anisa bergeming, ia pun tak memiliki biaya. Bahkan hanya membawa baju saja keluar dari rumah sang suami. Emas yang di berikan Wisnu pun tak ia bawa karena malas jika di tuduh membawa barang yang bukan miliknya walau itu sang suami memberikannya
Bu Asih dan Anisa menjerit histeris saat dokter menyatakan jika Pak Anjar sudah tak bernyawa lagi. Penyakitnya sudah kronis dan menjalar ke bagian tubuh lain hingga membuat komplikasi. Karena terbatasnya dana, Bu Asih tak membawa suaminya ke rumah sakit besar. Ia pun tak mengabari sang anak yang ada di Jakarta kala itu.Anisa memegangi tubuh sang ayah yang sudah kaku. Ia meratapi nasibnya yang malang. Kehancuran rumah tangannya dan juga kepergian sang ayah. Tangisnya tak henti, Bu Asih pun sama hatinya menjerit karena ia masih merasa membutuhkan sang suami.“Nis, sudah, kasihan Bapakmu kalau kau tangisi,” ujar sang ibu.“Bu, Nisa belum bisa membahagiakan Bapak, Bapak meninggal apa karena masalah yang Anisa bawa padanya?”“Bukan, ini memang kesalahan Ibu yang enggak bisa merawat Bapak, ibu tak punya uang untuk membawa Bapak ke rumah sakit besar. Ibu juga enggak mengabari kamu karena takut menggang6 rumah tangga kamu, Nis. Ini bukan salah kamu,” ujar sang ibu.Tetap saja Anisa masih mer
Bu Asih menjelaskan semuanya pada Anisa, bagaimana mereka bisa berada di kampung itu dan meninggalkan keluarga mereka di Jakarta. Hal itu bentuk protes sang ayah karena tak bisa menerima semua yang telah di putuskan oleh kakeknya Anisa.Jiwa pemberontak sang ayah begitu kuat, dia pun rela menjadi miskin demi harga diri. Kini, semua sudah berlalu dan Amara ingin mengajak keponakan dan Kakak iparnya kembali ke Jakarta dan menjalankan wasiat yang di berikan oleh sang ayah.“Apa aku enggak salah dengar? Ayah adalah anak salah satu konglomerat di Jakarta dulu?” tanya Anisa.“Iya, dulu memang kamu semua tak bisa melakukan apa pun untuk membuat kakek kamu sadar. Namun, ternyata sebenarnya kakek kamu sudah mengetahui rencana jahat istri barunya. Dia membiarkan ayahmu pergi bukan dengan senang hati. Tapi, sepanjang hidup kakek kamu sangat menyesal saat kehilangan anak laki-laki yang paling siap sayang,” ujar Amara.“Tante kenapa baru sekarang mencari kami?” Pertanyaan itu begitu saja terlontar