“Kamu pikir proses bayi tabung itu mudah? Sudah mahal, belum tentu berhasil. Kamu mau buat suami kamu bangkrut, hah?” Suara melengking Bu Atik membuat Anisa menunduk.
Tidak menyangka ibu mertuanya mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Anisa tak berani menatap Bi Atik yang sudah bertolak pinggang di ambang pintu.
Dalam sebuah pernikahan belum terasa sempurna jika belum adanya kehadiran sang buah hati. Apalagi ketika sudah memasuki tahun keenam Anisa dan Wisnu belum juga mendapatkan momongan anak. Belum lagi permintaan sang ibu untuk segera memiliki cucu dalam waktu dekat ini pun membuat Anisa dan Wisnu kerap membahas masalah itu.
Anisa menggigit bibir bawah saat Bu Atik dengan lantang menolak usaha terakhir mereka untuk memiliki anak. Apalagi sang suami adalah anak laki-laki yang sangat di harapkan memiliki keturunan.
“Ma, kita coba dulu,” ujar Wisnu.
“Enggak, bagi mama tidak ada kata mencoba. Ibu beri pilihan, menceraikan Anisa atau menikah dengan wanita lain.”
Jantung Anisa terasa berdetak sangat kencang saat mendengar ucapan ibu mertuanya. Sebuah pilihan yang tak akan menguntungkan dirinya. Apalagi, harus menerima madu di antara rumah tangganya.
“Ma, jangan seperti itu,” tolak Wisnu.
“Kalau kamu menikah dengan wanita lain, kamu masih bisa bersama dengan Anisa. Lagi pula, Anisa itu bibit enggak bagus, orang kampung. Sementara, jika kamu mencari wanita lain, carilah perempuan dari keluarga terhormat. Sayangnya, kenapa dulu Mama malah mengizinkan kamu menikah dengan wanita yang kamu bawa dari kampung ini!”
“Cukup, Ma. Jangan hina aku seperti itu, apa Mama enggak sadar sudah menyakiti hati aku?” Anisa yang sejak tadi diam kini berani bicara.
Wisnu meminta sang istri untuk tidak menentang sang ibu, tapi Anisa sudah tak sanggup lagi. Apalagi keinginan sang mertua untuk Wisnu menikah dengan wanita lain. Bagaimana bisa ia berdiam diri seperti itu.
“Lihat, istrimu berani bicara lantang pada mama, sudah mama duga, suatu saat kejelekannya terbongkar bukan. Lihat saja,” ujar sang Ibu.
Anisa beranjak dari tempat duduk dan melangkah masuk kamar. Wisnu serba salah, ia mengejar sang istri dan berbicara di kamar agar tak terdengar sang ibu.
***
“Kita enggak ada pilihan lain, kamu tahu sikap Mama, kan?” Wisnu kembali meyakinkan sang istri.
“Mas, jadi kamu lebih memilih mengorbankan perasan aku dari pada Mama kamu?” Anisa bertanya lirih. Hatinya belum juga sembuh dengan perkataan menyakitkan dari ibu mertuanya. Ini lagi harus menerima jika sang suami akan menikah lagi.
“Aku hanya enggak mau menjadi durhaka, Nis. Apa yang dikatakan Mama mungkin ada benarnya, lagi pula jika aku menikahi wanita lain pun masih bisa bersama kamu.” Wisnu mencoba membujuk sang istri.
Anisa benar-benar tidak mengerti jalan pikiran sang suami. Bagaimana bisa ia setuju dengan pemikiran sang ibu, jika memang Wisnu mencintainya pun tak akan menerima atau menikah lagi dengan wanita lain hanya demi anak yang diinginkan sang ibu.
“Durhaka apa sih, Mas? Kamu hanya menolak menikah karena kamu sudah mempunyai istri, apa yang salah,” ungkap Anisa geram.
Anisa menatap lirih sang suami, gurat wajahnya begitu tak tenang jika sang ibu sudah marah. Ia tak mau semua berlarut panjang.
“Memang enggak ada yang salah. Aku juga ingin memiliki keturunan, Mama menolak proses bayi tabung, pasti Papa juga sama seperti Mama.”
“Jadi, kamu setuju menikah dengan wanita lain? Atau memang kamu sudah punya calon, iya?” Anisa menatap bengis sang suami. Kalau memang benar dugaannya, ia tak akan terima begitu saja.
Wisnu bergeming, ia kembali menggenang tangan sang istri. Lalu, ia pun memberanikan diri untuk mengatakan apa yang ia rasakan. Keinginannya memiliki anak sangat besar untuk saat ini.
“Iya, Mas setuju menikah dengan wanita lain, demi mendapatkan keturunan.”
Jawaban Wisnu sungguh membuat hati Anisa tersayat. Harusnya pria itu menolak, bukan malah menyetujui, keputusan macam apa itu pikir Anisa. Ia kembali terasa sesak memenuhi rongga dada. Hidupnya kini seperti tak ada artinya lagi, sang suami malah ikut dalam permainan ibunya.
“Apa kamu yakin yang bermasalah aku, bisa jadi kamu yang mandul, Mas.”
Sebuah tamparan mengenai pipi Anisa, Wisnu tidak terima saat dirinya dikatakan tidak subur. Tangannya kembali menarik lengan sang istri, Wisnu mencengkeram dengan keras hingga Anisa merasa sakit.
“Lepas, Mas.” Anisa mencoba berontak dan meminta Wisnu tak kasar dengannya.
Wisnu melepaskan lengan Anisa, ia mengusap wajah kasar saat merasa lepas kendali. Ucapan Anisa benar-benar sudah membuatnya muak, apalagi dengan mengatakan dirinya tidak sempurna.
“Kamu pikir aku mandul? Ternyata benar kata Mama, harusnya aku membuang perempuan tak berguna seperti kamu ke jalan!”
Anisa kembali terbelalak, apalagi saat cercaan terlontar dari mulut sang suami. Darahnya berdesir, ia kembali merasa sangat sesak. Ia gegas merapikan baju ke tas dan berniat ke luar dari neraka itu. Namun, Wisnu menahannya kembali.
“Sayang, maaf.” Wisnu menahan tangan Anisa yang sibuk memasukkan baju ke kopernya. Pria itu tidak mau sang istri pergi. Ia berharap Anisa tak pergi dari rumah itu karena dirinya memang masih sangat mencintai istrinya.
“Mas, kami sudah main tangan. Biarkan aku pergi dari rumah ini. Lagi pula, perempuan miskin seperti aku enggak pantas untuk jadi istri kamu sama seperti yang ibu kamu katakan.”
Wisnu memeluk sang istri, Anisa pun mencoba berontak tapi sang suami memeluknya erat. Kecupan manis mendarat di pipi Anisa. Setiap pertengkaran, Wisnu selalu memperlakukan Anisa seperti itu. Terkadang emosinya membaut dirinya kalap dan setelah sadar ia memeluk dan menciumi sang istri. Lalu, Anisa pun kembali luluh dengan kata-kata manis dari sang suami.
“Iya, nanti kita coba untuk program. Tapi jangan sampai ibu tahu,” ujar Wisnu.
Anisa bergeming, ia masih tak terima dengan perlakuan suaminya. Kali ini memang sangat keterlaluan. Ia pun berpikir apa sebenarnya sang suami memang memiliki wanita lain hingga ia ingin berpoligami.
Sang suami lalu kembali menemui ibunya. Setelah ia menenangkan Anisa. Sementara, Anisa nyatanya masih tak bisa tenang dengan perbincangan tadi. Netranya terhenti saat melihat ponsel sang suami bergetar di nakas.
Tangannya ragu ingin membukanya. Tak lama terlihat nama wanita di benda pilih itu. Lama beredering, Anisa hanya menatapnya tanpa berniat menjawab.
Ponsel itu terhenti sendiri. Lalu, pesan masuk pun seperti dari orang yang sama. Anisa menarik napas panjang, lalu perlahan memutuskan mengambil ponsel yang kebetulan tak ber kode password saat membukanya walau belum semuanya ia periksa.
Jantung Anisa seakan berhenti ketika membaca kata-kata manis romantis serta rayuan-rayuan suaminya pada wanita lain.
"Oh, jadi begini kelakuanmu di belakang Ki, Mas?"
***
Malam tiba, Anisa pun kembali mencoba mencari tahu tentang wanita selingkuhan suaminya. Saat Wisnu terlelap tidur, ia mulai kembali membuka whatsApp milik suaminya, dan mulai menjelajahi semua pesan yang ada di sana. Awalnya Anisa tidak melihat sesuatu yang aneh dari aplikasi whatsApp suaminya. Sampai pada akhirnya, dirinya melihat pesan yang disematkan oleh suaminya dan Anisa begitu yakin jika itu bukan nomor whatsApp miliknya karena profil yang terpasang di sana berbeda.Akhirnya, dengan bermodal rasa penasaran, Anisa membuka profil pemilik pesan yang disematkan itu dan betapa terkejutnya Anisa saat melihat profil itu terpasang sebuah foto wanita dengan baju yang kurang bahan. Memang, Anisa akui wajah wanita itu cukup cantik, tetapi masih kalah jauh dengannya. Wanita itu berkulit kuning langsat sedangkan dirinya putih bersih.Setelah puas memandangi foto wanita itu, Anisa mulai membuka pesan yang dikirimkan wanita itu pada suaminya.[ Sayang, kamu ke mana saja, sih? Kenapa gak datan
Bu Atik geram dengan sikap Anisa, tapi mencair saate terdengar ketukan dari pintu arah depan. Ibu Wisnu yang penasaran langsung saja membukakannya dan yang datang ternyata adalah anak perempuannya.Dengan antusias, ibu Wisnu menyambut kedatangan anak perempuan yang sudah menikah dan jarang sekali berkunjung ke rumahnya. Namun, kini dia datang dengan anaknya pula. Dengan gemas ibu Wisnu mencium pipi cucunya. Ibu Wisnu segera mengajak anak perempuannya masuk dan duduk di sofa."Nisa! Tolong buatkan minum! Cucu dan anak Ibu kemari! Cepat!" teriak ibu Wisnu.Anisa yang tidak ingin bertengkar pun segera membuatkan minuman yang diminta mertuanya. Setelahnya, Anisa keluar dari dapur dengan membawa nampan berisi dua gelas minuman untuk iparnya serta anaknya.Seulas senyum Anisa berikan pada iparnya itu. Namun, bukannya membalas dengan senyuman yang sama, iparnya itu justru tertawa mengejek. Anisa hanya diam, tak ingin terlalu menanggapi iparnya itu. Memang, sejak awal dirinya datang ke rumah
Sesampainya di kantor, Wisnu dikejutkan dengan kedatangan Sinta, wanita yang selama ini menjadi selingkuhannya. Dengan segera Wisnu membawa Sinta masuk ke dalam ruangannya. Sinta yang ditarik oleh Wisnu pun dengan segera melepasnya, tetapi ditahan oleh Wisnu.Sampai di ruangan Wisnu, Sinta menghempaskan tangan Wisnu dan menatap Wisnu tajam."Kamu apa-apa sih, Mas?! Sakit tahu gak?!" marah Sinta.Sinta melihat sang kekasih terlihat aneh sejak datang dan cemas. Baru kali ini ia melihat Wisnu begitu tak tenang datang menemuinya."Ck. Gawat, Sin, istriku tahu kalau aku selingkuh dan dia marah." Wisnu berucap dengan nada memelas. Sekaligus frustrasi, berulang kali ia mengacak-acak rambutnya lalu mengusap wajah kasar."Beneran? Bagus dong!" ujar Sinta dengan mata berbinar. Ia sudah lama menunggu saat itu, di mana Anisa tahu dan ia akan menikah dengan Wisnu."Bagus? Kamu bilang bagus? Kamu sadar gak sih amaa yang kamu omongin, Sinta?" Wisnu emosi dengan apa yang di katakan oleh Sinta.Sinta
Anisa tak sengaja menjatuhkan piring ke lantai. Suara keras itu membuat ibu mertuanya datang dan langsung mengomel seperti biasanya. “Aduh, ada saja yang kamu lakukan. Habisin saja semua piring dan barang di rumah ini. Perempuan tak berguna!” Bu Atik terus saja memaki Anisa. Belum selesai mendengar ocehan ibu mertuanya, adik iparnya pun datang menghampiri. Gadis berusia 23 tahun itu ikut memanasi ibunya. “Mas Wisnu dapat perempuan model kaya gini di mana sih, Bu. Bawa piring saja susah. Ih, amit-amit, enggak guna buat apa di pelihara di rumah,” cecar Windy. Sejak tadi Anisa jengkel, semakin iparnya bicara, ia semakin emosi. Tangan itu tak sabar dan menampar wajah Windy. Anak kecil yang bisa melawannya, harusnya Windy bersikap sopan padanya bukan mengejeknya sepeti itu. sungguh kurang didikan dari orang tua pikir Anisa. Bu Atik terkesiap melihat apa yang di lakukan menantunya. Ia ingin membalas dan ingin menampar balik menantunya. Tapi, Anisa sigap menangkis tangan ibu mertuanya. T
Anisa sudah tak tahan dengan segala hinaan. Kini ia pun mencoba membela diri dengan membantah semua ucapan ibu mertua.“Ayo jawab, kalian bingung dengan apa yang saya lakukan. Saya muak, Bu dengan semua hinaan kalian. Terserah, kalian mau mengadakan aku pada Mas Wisnu atau tidak. Aku tidak peduli, mulai sekarang, lakukan apa yang kalian bisa. Kalau kalian lapar, masak sendiri. Kalau tidak pesan saja online. Mulai saat ini, jangan pernah berteriak lagi memanggil namaku!”“Awas saja kamu, kami pasti melaporkan kamu,” oceh Bu Atik.“ Terserah.”Anisa melenggang ke kamar dan meninggalkan Bu Atik dan Windy yang melongok melihat sikap berontak dari menantu yang selama ini mereka perlakukan sebagai pembantu.“Bu, si Nisa punya kekuatan dari mana bisa melawan ibu?” tanya Windy heran.“Ibu juga heran, sejak beberapa hari sih ibu perhatikan, kira-kira kenapa, ya? Coba kamu telepon kakak kamu, tanyakan dan sekalian laporin aja tingkah istrinya itu. Biar tahu rasa si Nisa itu.”Bu Atik menyunggin
“Jangan di kejar, Mas,” cegah Sinta.“Benar, jangan di kejar. Nanti, dia pikir kamu masih cinta sama dia, Nu,” timpal sang ibu.Wisnu hanya bisa bergeming di tempat, ia pun memikirkan akan pergi ke mana Anisa saat ini. Ia tak punya sanak saudara di Jakarta. Akan tetapi, hanya kedua orang tua yang berada di kampung. Lagi pula, Wisnu tak bisa begitu saja membiarkan Nisa pergi, tapi sejak tadi tangan Sinta tak lepas memeganginya.Sinta menggandeng Wisnu duduk di ruang tamu. Bu Atik menyambut kedatangan menantu barunya. Begitu juga Windy, yang harusnya sudah pulang, tapi ia malah asyik melihat drama rumah tangga sang kakak. Padahal, ia tak tahu jika apa yang ia tabur akan menuai hasilnya.“Jadi, kalian kapan menikah?” tanya Bu Atik.“Kemarin, Tante,” ujar Sinta.“Pantas kamu di hubungi tak bisa, kamu non aktifkan, ya Nu?” tanya sang ibu.Wisnu hanya mengangguk, pikirannya masih kacau memikirkan Anisa. Ia tak menyangka akan terjadi hal seperti itu. Wisnu hanya berpikir jika Anisa akan mara
Bu Asih bergeming, sudah lama semuanya tertutup rapat. Bahkan keberadaan mereka di desa itu pun pihak keluarga tak ada yang tahu. Masa lalu tertutup rapat hingga kini dan mungkin tak akan ia ceritakan pada sang anak.Pak Anjar semakin pucat, penyakitnya yang menggerogoti dirinya pun sudah lama tak bisa di sembuhkan karena biaya. Keuangan mereka hancur kala terus menerus berobat. Beberapa simpanan emas pun ludes terjual.“Bu, kenapa enggak bilang sama aku kalau Bapak sakit sudah lama,” ujar Anisa.“Kami tidak mau membuat kamu cemas, lagi pula kami pikir kamu akan sibuk dengan suamimu. Bapak juga enggak mau bikin kamu cemas, Nis,” jawab sang ibu.“Kaya gini yang bikin aku cemas, Bapak kita rujuk saja ke Jakarta.”“Ibu sudah enggak ada uang lagi.”Anisa bergeming, ia pun tak memiliki biaya. Bahkan hanya membawa baju saja keluar dari rumah sang suami. Emas yang di berikan Wisnu pun tak ia bawa karena malas jika di tuduh membawa barang yang bukan miliknya walau itu sang suami memberikannya
Bu Asih dan Anisa menjerit histeris saat dokter menyatakan jika Pak Anjar sudah tak bernyawa lagi. Penyakitnya sudah kronis dan menjalar ke bagian tubuh lain hingga membuat komplikasi. Karena terbatasnya dana, Bu Asih tak membawa suaminya ke rumah sakit besar. Ia pun tak mengabari sang anak yang ada di Jakarta kala itu.Anisa memegangi tubuh sang ayah yang sudah kaku. Ia meratapi nasibnya yang malang. Kehancuran rumah tangannya dan juga kepergian sang ayah. Tangisnya tak henti, Bu Asih pun sama hatinya menjerit karena ia masih merasa membutuhkan sang suami.“Nis, sudah, kasihan Bapakmu kalau kau tangisi,” ujar sang ibu.“Bu, Nisa belum bisa membahagiakan Bapak, Bapak meninggal apa karena masalah yang Anisa bawa padanya?”“Bukan, ini memang kesalahan Ibu yang enggak bisa merawat Bapak, ibu tak punya uang untuk membawa Bapak ke rumah sakit besar. Ibu juga enggak mengabari kamu karena takut menggang6 rumah tangga kamu, Nis. Ini bukan salah kamu,” ujar sang ibu.Tetap saja Anisa masih mer