Anggi mulai digelandang masuk oleh pasukan berseragam. Seorang wanita tua sekitar 60 tahun umurnya sedang duduk di meja makan.
"Ini dia, Nyonya!" seru kedua lelaki berseragam itu menahan tangan Anggi dengan kuat.
"Lepaskan dia!" perintah nenek itu dengan dingin dan datar.
"Siapa lagi kamu? Apa yang kamu inginkan dariku? Apa kamu juga ingin membakar aku hidup-hidup seperti yang sudah anda lakukan kepada bundaku? Atau mau lebih sadis lagi? Apa salahku pada kalian? Aku dan bundaku bukanlah orang kejam yang memiliki ilmu hitam. Jangankan membunuh orang lain, membunuh semut pun bundaku tidak tega!" teriak histeris Anggi memerontak.
"Duduklah, minum susu kurma di depanmu itu! Untuk memulihkan staminamu!" perintah wanita tua itu, Oma Gina.
"Kamu mau meracuni aku ya? Aku sudah lelah, aku tidak takut mati, jangan khawatir pasti aku minum. Aku ingin secepatnya menyusul bundaku!" hardik Anggi. "Daripada kamu menyiksaku lebih baik dengan cara seperti ini," lanjutnya.
"Sudah jangan bawel! Minum dulu susunya baru aku cerita!" gumam Oma Gina datar.
"Tidak!" ketusnya.
"Tidak sopan, keras kepala juga kamu, sama seperti bundamu! Kalau saja bundamu tidak susah diatur, semua ini tidak akan terjadi!" hardik Oma Gina emosi.
"Apa maksudmu? Kenapa kamu bicara seperti itu tentang bundaku?" jawab Anggi balas menghardik.
"Rahma adalah anakku satu-satunya. Dia kawin lari dengan pemuda kere tidak punya apa-apa. Baru diberi rejeki sedikit saja suaminya sudah gelap mata berani selingkuh sama wanita lain ...," gumamnya terhenti seolah menguak luka lama yang menyakitkan.
"Jadi nenek adalah mama bundaku?" tanya Anggi ragu.
"Iya, Anggi, ayahmu selingkuh dengan pegawainya. Dan bundamu menjadi korban fitnah pelakor itu. Akhirnya dalam keadaan hamil tua dia pergi meninggalkan rumah," ujar Oma Gina sambil pandangannya jauh.
"Kenapa Oma tidak menolong bunda? Kenapa Oma membiarkan bunda dihakimi massa, dibunuh dengan tragis. Terlambat sudah, untuk apalagi Oma datang ke rumahku!" hardik Anggi. "Apakah Oma tidak menyesal?" lanjutnya.
Oma Gina terdiam, dia mulai menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. Sebenarnya hatinya sudah lama hancur semenjak dia memutuskan kawin lari dengan Herlambang seorang bodyguardnya.
Dan kata-kata Anggi benar-benar membuat hatinya bertambah hancur. Dua wanita itu sama-sama keras kepala dan gengsi untuk saling menyatakan isi hatinya. Sebenarnya mereka saling menyayangi, tapi gengsi untuk mengungkapkannya.
"Aku tidak tahu kalau kamu dan bundamu tinggal di situ. Aku sudah bertahun-tahun mencari kalian. Aku menemukan tempat kalian setelah semuanya terjadi, Oma terlambat, Anggi!" Oma Gina menangis.
"Aku benci pada masyarakat sekitarku yang tidak punya hati nurani memperlakukan bundaku seperti itu," runtuk Anggi penuh dendam.
"Kamu salah Anggi, mereka bukanlah pelakunya, orang-orang desamu adalah masyarakat yang lugu dan terbelakang. Ada orang yang sengaja memprovokasinya. Dan bukan masyarakat desa yang mengeksekusi bundamu, tapi ada orang lain dibalik itu," Oma Gina menjelaskan.
"Kita pasti menemukan orang itu, Anggi!! Kita cincang tubuhnya, baru kemudian kita bakar sama seperti dia memakar bundamu," gumam Oma penuh dendam.
"Kopermu sudah ada di kamarmu, pergilah dan istirahat!" perintah Oma Gina.
"Mari Nona!" ajak salah seorang pembantu dengan sopan.
Akhirnya Anggi mengikuti pembantu itu dengan tanpa bicara sepatah kata pun.
Kini Anggi tidak lagi kebingungan harus tinggal dimana. Dia masih memiliki Oma bahkan wanita tua yang dingin itu adalah seorang yang kaya raya.
***
Aslan sudah sampai di rumah. Hanya seorang pembantu yang menyambutnya.
"Mama dan papa pergi kemana, Bik Iyem?" tanya Aslan kecewa.
"Ke luar.kota, Tuan Muda, sejak kemarin," jawab pembantu sambil menutup pintu kembali.
Pembantu membawa tas kampingnya ke belakang.
"Bik Iyem, semua yang di dalam itu kotor, tolong dicuci saja semua ya?" perintah Aslan.
"Mau saya bikinkan makan malam, Tuan Muda?" tanya pembantu yang lain.
"Tidak usah, aku mau mandi langsung tidur," jawab Aslan berjalan lesu menuju kamarnya.
Aslan segera menarik handuk dari lemari dan pergi mandi. Setelah badan segar dengan aroma terapi wewangian membuat rileks dan seluruh rasa capek terobati. Dia banting tubuhnya di atas kasurnya yang empuk. Kasur nyaman yang berhari-hari dia rindukan.
Lamunannya melayang ke masa saat bunda Anggi berjuang lepas dari api, berlarian kesana-kemari bak bola api, ngeri. Dan semua mata hanya menatap, bak tontonan gratis, sadis.
Aslan menatap ke langit-langit kamarnya, sehingga mempermudah menggambarkan lamunannya. Saat-saat dia melampiaskan nafsu bejatnya kepada Anggi.
"Ih!" teriak Aslan sambil memukul keningnya. "Kenapa aku tega melakukannya dan meninggalkan dia di pinggir telaga? Bagaimana kalau dia masih menungguku di sana, dan ada orang jahat mengganggunya? Bodohnya aku!" runtuknya sambil beranjak bangun dan mengambil mantel di lemari. Dia berlari sambil meraih kontak mobil di atas meja.
Saat meremot mobilnya seorang bodyguard menghampirinya sambil bertanya,
"Tuan Muda mau pergi lagi? Ini sudah larut malam kok pergi lagi?"
"Sejak kapan aku harus laporan kamu kalau aku mau pergi? Suka-suka akulah mau kemana?" hardik Aslan.
"Tapi nanti kalau tuan dan nyonya datang menanyakan, gimana ...?" sahut satpam.
"Tugas kamu menjaga rumah, tau! Kalau tanya, kamu suruh saja langsung telepon aku kan beres, bikin ribet!" bentak Aslan.
"Baik Tuan Muda," jawab bodyguard dan satpam bersamaan.
Aslan melajukan mobilnya dengan kencang, berharap dia masih bisa menemukan Anggi. Rasa bersalah selalu menyiksa dan menghantuinya. Kenapa dia tega meninggalkan Anggi sendirian di tepi telaga setelah memperkosanya?
"Bagaimana kalau dia putus asa dan mengakhiri hidupnya?" batin Aslan makin merasa bersalah.
Aslan harus menempuh perjalanan lagi 32 Km untuk sampai ke telaga itu. Suasana telaga tampak sepi dan hening, hanya ada gerombolan para lelaki yang sedang mabok. Juga ada beberapa muda-mudi berpasangan yang sedang bercinta di sepanjang tepi telaga.
Aslan ingat betul, dia meninggalkan Anggi di bangku di gubug bambu yang reot tidak dipakai lagi itu. Tapi suasana sepi tidak ada seorang pun di sana.
Aslan semakin merasa bersalah, hatinya tertekan. "Kenapa aku harus meninggalkan gadis malang itu di sini?" runtuknya pada dirinya sendiri.
Aslan turun dari mobil dan mencari-cari di sekitar gubug itu. Tak jauh dari tempat itu ada seseorang yang sedang memancing ikan.
"Pak, mau tanya apakah Bapak melihat ada seorang wanita di sini?" teriak Aslan bertanya.
"Tidak melihat mas, aku fokus memancing disini," jawab pemancing itu.
"Dia berdiri di sini sejak sore tadi, Pak," kata Aslan kemudian.
"Tidak tahu, tapi petang tadi ada seorang gadis yang bunuh diri di sini. Tapi anak sekolah pakai seragam SMA," jawab pemancing itu sekenanya.
"Bukankah Anggi mengenakan seragam sekolah yang dibungkus jaketku. Dia pasti Anggi, ...!" katanya pada dirinya sendiri.
"Bagaimana keadaan dia, Pak? Apakah ada orang yang menolongnya?" tanya Aslan parau menahan gejolak hatinya.
"Ada yang menolong, tapi saya tidak tahu keadaanya bagaimana?" jawab pemancing itu.
"Semoga dia bisa selamat, aku bersalah pada gadis itu, bagaimana cara aku menemukannya? Semoga dia mau mencariku dengan identitas yang ku tinggalkan di dompetku itu. Semoga dia selamat ...!" doanya bergumam lirih.
Dengan rasa bersalah yang menyiksa, Aslan mengemudikan mobilnya kembali dengan kencang. Wajah sendu Anggi selalu mengganggu ingatannya.
Pagi pukul 05.00, Aslan sampai kembali di rumahnya. Langkahnya gontai penuh keputusasaan. Kedua orang tuanya sudah berdiri di depannya.
"Apa yang terjadi, Aslan? Katanya kamu pulang dan pergi lagi?" tanya Widya, mamanya.
"Aku menolong gadis yang hampir dibakar massa, tapi aku malah meninggalkannya di tepi telaga. Aku datang lagi ke sana, dia bunuh diri, Ma. Aku merasa bersalah, seharusnya aku membawanya ke tempat yang layak, setelah hatinya tenang, baru aku pergi," kata Aslan penuh penyesalan.
"Kenapa massa mau membakar dirinya?" sahut Tarmuji, papanya.
"Bundanya dibakar hidup-hidup, Pa! Aku ngeri melihatnya, e ... tiba-tiba anaknya juga mau dibakar. Aku spontan menolong dan membawanya lari, Pa," ungkap Aslan berapi-api.
Tarmuji dan Widya saling berpandangan. Dia tahu siapa orang yang sedang diceritakan Aslan. Karena dialah otak pelaku pembakaran itu.
"Bagaimana kamu ada di situ sih, dimana kamu kamping?" sahut Widya.
"Di kaki gunung, bagaimana mama tahu lokasi ...?" tanyanya terputus.
"Maksud mama, kan kamu lagi kamping, dan ada kejadian di desa kok kamu tahu?" ralat Widya yang hampir saja keceplosan.
"Aku menikmati pemandangan, Ma, sambil motoran keliling desa sekitarnya," Aslan menjelaskan.
Tarmuji dan Widya saling berpandangan, dan tatapannya seolah memberi kode.
"Gimana keadaan gadis yang kamu tolong itu, Aslan?" tanya Widya penasaran.
"Tidak tahu, Ma, ada yang bilang dia bunuh diri, tapi ada orang yang sudah menolongnya. Mengenai selamat atau tidak aku tidak tahu. Aku merasa bersalah, Ma!" sesal Aslan.
Kenapa orang tua Aslan menjadi otak pembakaran itu?
Bersambung ...
Thok ... Thok ... Thok! Suara pintu kamar Anggi di ketuk. Dia baru saja keluar dari kamar mandi. Dengan bergegas Anggi menghampiri pintu dan membukanya."Iya ada apa, Mbak?" tanyanya kemudian setelah melihat seorang wanita muda mengenakan seragam putih hijau berclemek."Nyonya Besar memanggil Nona Anggi, beliau menunggu di meja makan," jawab asisten rumah tangga.."Iya sebentar lagi aku keluar, Mbak," jawab Anggi pelan.Semalam Anggi masih belum bisa tidur dengan nyenyak. Trauma pembantaian dengan sadis terus datang menghantuinya. Sontak sesak di dadanya dan ketakutan yang hebat datang menghampiri. Wajah Rahma yang menangis histeris dengan tangan menggapai-nggapai mengharap pertolongan terus lekat di pelupuk mata Anggi.Setelah berdandan sekedarnya dia berjalan keluar kamar menemui Oma Gina. Seorang wanita lansia yang masih tampak kuat dan energik serta tampak dari kalangan darah biru. Rumahnya mewah dan penuh dengan bodyguard maupun pembantu
Wisnu menceritakan tentang foto yang dilihatnya. Dan Aslan mengakuinya, membuat urusan segera selesai tanpa melibatkan Bagus yang sedang menyimpan foto pernikahan mereka. "Apa yang terjadi Aslan? Bagaimana kamu harus menikahi gadis udik itu? Kamu pasti sedang dijebak, iya kan?" tuduh papanya Aslan dengan geram. "Tidak Papa, aku melakukannya saat gadis itu sedang pingsan. Aku bersalah, makanya aku bertanggungjawab dengan suka rela, Pa, Ma," jawab Aslan dengan pelan penuh penyelasan. "Tidak Pak Guru, ini pasti ada kesalahpahaman," sahut mamanya Aslan sambil mencubit pantatnya Aslan seolah memberi kode agar dia tidak berterus terang. "Jangan bunuh diri bodoh, jangan mengakuinya!" bisik papanya lirih di telinga Aslan. Mungkin rasa bersalahnya yang membuat dia tidak bisa mengelak semua kejahatan yang dilakukannya. Dengan jujur dia menceritakannya bahkan siap dengan resiko apapun. "Ini kriminal, Aslan," kata Junaedi. "Tapi seka
Oma Gina mengantarkan Dokter Alex ke luar kamar. Meskipun hatinya hancur Oma Gina bisa menyembunyikannya dari orang-orang. "Musri, antarkan Dokter Alex ke depan!" perintah Oma Gina kepada Musri. "Baik Oma," jawab Musri. Oma Gina kembali menghampiri Anggi yang terpuruk. Dia menangis dan menjambak rambutnya sendiri. "Kenapa ini harus aku alami? Apa salah ku, kenapa penderitaanku semakin lengkap, kenapa?" runtuk Anggi menangis. "Katakan apa yang terjadi?" pinta Oma Gina pura-pura tenang. "Oma, kalau saja pada saat itu aku tidak ditolong seseorang, mungkin aku bernasib sama seperti bunda. Tadinya kukira dia adalah malaikat penolong bagiku ternyata aku salah. Dalam keadaan tak berdaya justru dia menodaiku, Oma. Hiks ... Hiks ... Hiks!" ungkap Anggi diiringi tangisnya yang terisak-isak. Oma Gina sontak ikut menangis dan tangannya meremas penuh dendam. Hatinya sama hancurnya dengan Anggi, hanya saja nenek tangguh itu bisa menelan saki
Ternyata pertemuan tak terduga itu membuat Anggi sangat terluka. Dia berharap Aslan mengejarnya dan menanyakan keadaannya, ternyata tidak. Wajah tampannya yang bringasan dan tampak badung terus lekat di ingatannya. "Aku harus menemukan dia, aku harus bicara, aku ingin menampar wajah brengseknya ... hanya untuk menamparnya saja," lamunannya. "Pak Yusuf, pulanglah, aku pulang kuliah naik taksi saja," perintah Anggi kepada Yusuf sopir pribadi Anggi. "Tapi Non, nanti saya dimarahi Oma," jawab Yusuf khawatir. "Ya udah Pak Yusuf pulang dulu, nanti kalau aku waktunya pulang tak telepon," ujar Anggi. "Baik saya pulang, saya menunggu telepon dari Non Anggi, hati-hati, Non," jawab Yusuf berpesan. "Jangan khawatir Pak Yusuf," jawab Anggi. Yusuf pun pergi masuk mobil dan melajukan mobilnya keluar kampus. Anggi memanggil taksi on-line lewat aplikasi, sebentar kemudian taksi pun datang. "Jalan Diponegoro no 56," ujar Anggi kepa
Usia kandungan Anggi sudah menginjak 34 minggu, mulai minggu depan dia sudah mulai cuti melahirkan. Selalu menjadi pusat perhatian mahasiswa lain karena selalu dikawal bodyguard dengan mobil mewahnya. Anggi turun dari mobilnya, seorang mahasiswa dengan motor balapnya berwarna merah melaju di depannya. Karena menghindari Anggi, tak sengaja motor itu masuk dalam lubang yang berisi genangan air hujan. Sontak air itu muncrat dengan hebatnya kearah Anggi maupun mobilnya. "Auh!" jerit Anggi spontan. Motor itupun berhenti, dua bodyguard menghampiri Angga dan menarik krah bajunya bahkan hendak mengganjar dengan bogemnya. Anggi berteriak menghentikannya. "Berhenti! Jangan Pak Karta, ini lingkungan kampus!" pinta Anggi. Angga melepas helmnya, mereka saling berpandangan. Pertemuan yang tak terduga kembali terjadi. Angga terkejut melihat Anggi yang sudah hamil besar. Perlahan dia berjalan mendekati Anggi dengan penuh pertanyaan. Apa yang terjadi saa
Setelah sholat subuh Anggi mulai gelisah, perut sejak semalam terasa kaku dan kencang. Padahal dokter merencanakan masih minggu depan untuk caesar. Karena Anggi hamil anak kembar maka dia harus caesar. Melahirkan normal terlalu banyak resiko, apalagi tensi darah Anggi tidak setabil. "Anggi, ada apa sayang? Kamu gelisah?" tanya Oma Gina. "Oma, sejak semalam aku tidak bisa tidur, perutku terasa kencang dan sakit," keluh Anggi manja. "Kita ke rumah sakit sekarang!" ujarnya panik. "Musri ...!" panggil Oma Gina. "Iya Oma?" Musri datang tergopoh-gopoh. "Bantu menyiapkan keperluan kita, kita mau ke rumah sakit. Siapkan sopir juga ya, Musri!" perintah Oma Gina kepada kepala pelayan. "Baik Oma," jawab Musri berlari mencari sopir. Anggi meraih mantel di lemari dan bergegas ke luar dituntun Oma Gina. Mobil sudah parkir di depan pintu rumah. Anggi dan Oma Gina segera masuk di bangku belakang, dan mobil pun segera me
Oma Gina semakin sayang kepada Anggi apalagi setelah dia melahirkan dua Arjuna tampan. Dia tidak perduli dengan status Anggi yang hanya istri siri seorang pria belia yang masih ingusan. Setelah bodyguard nya bisa menemukan identitas Aslan dan mengetahui siapa keluarganya, Oma Gina semakin yakin bahwa mereka tidak boleh bersatu. Tidak sulit bagi Oma Gina untuk mengorek siapakah Aslan sebenarnya. Tapi Oma Gina tidak berani menyampaikan berita ini kepada Anggi takut apa yang menimpa Rahma akan menimpa juga kepada Anggi. "Untung saja dia berada di luar negeri, kalau tidak pasti mereka akan sering bertemu dan makin sulit dipisahkan," batin Oma Gina yang sedang melamun di ruang tengah. Tok ... Tok ... Tok ...! Suara pintu diketuk. Sebenarnya di samping pintu ada bel, tapi sengaja Angga tidak menekannya. Takut kalau bayi-bayi Anggi akan terkejut dan terbangun. Seorang pembantu datang membuka pintu. "Selamat siang, Mbak?" sapa Angga kepada pembantu.
Tok ... Tok ... Tok ...! Pintu diketuk, seorang pembantu sambil mengomel keluar dari ruang tengah. "Sudah dipasang bel pintu juga tidak mau memencet sih. Untung saya dengar kalau tidak denga terus gimana?" gerutunya. Hah! Musri terperanjat kaget, berdiri seorang lelaki dewasa berbadan tegap denga parasnya yang ganteng. "Mau ketemu siapa, Tuan?" tanya Musri. "Mama Gina ada?" tanyanya. "Ada, Tuan siapa ya?" tanya Musri. "Mama? Kok panggil mama, apa itu artinya Tuan ini anaknya Oma Gina?" tanya Musri ragu. "Iya aku anak menantu, Bik, namaku Herlambang," ujar Herlambang. "O jadi Tuan ini ayahnya Nona Anggi?" tanya Musri lagi. "Anggi? Apakah dia yang ketemu di rumah sakit saat itu?" tanya Herlambang penasram. "Mungkin iya Tuan, karena Nona Anggi saat itu sedang caesar melahirkan dua bayi kembarnya. "Jadi?" pekik 55 bertanya seolah tak percaya. "Silakan Tuan duduk dulu, biar saya pa