Wisnu menceritakan tentang foto yang dilihatnya. Dan Aslan mengakuinya, membuat urusan segera selesai tanpa melibatkan Bagus yang sedang menyimpan foto pernikahan mereka.
"Apa yang terjadi Aslan? Bagaimana kamu harus menikahi gadis udik itu? Kamu pasti sedang dijebak, iya kan?" tuduh papanya Aslan dengan geram.
"Tidak Papa, aku melakukannya saat gadis itu sedang pingsan. Aku bersalah, makanya aku bertanggungjawab dengan suka rela, Pa, Ma," jawab Aslan dengan pelan penuh penyelasan.
"Tidak Pak Guru, ini pasti ada kesalahpahaman," sahut mamanya Aslan sambil mencubit pantatnya Aslan seolah memberi kode agar dia tidak berterus terang.
"Jangan bunuh diri bodoh, jangan mengakuinya!" bisik papanya lirih di telinga Aslan.
Mungkin rasa bersalahnya yang membuat dia tidak bisa mengelak semua kejahatan yang dilakukannya. Dengan jujur dia menceritakannya bahkan siap dengan resiko apapun.
"Ini kriminal, Aslan," kata Junaedi.
"Tapi sekarang kita sudah suami istri, Pak, tidak mungkin kan istriku melaporkan saya," ujar Aslan dengan percaya diri.
"Aslan, ini kriminal dan kalian sudah berkeluarga, apa mungkin sekolah kita bisa menerimanya? Saya harus membahas ini dengan Kepsek. Selanjutnya nanti kita akan menyampaikannya kepada kamu, Aslan!" ujar Junaedi.
Akhirnya Guru BK mempersilakan Aslan dan Wisnu kembali ke kelas. Kedua orang tua mereka pun juga kembali pulang. Kedua orang tua Aslan sangat terkejut dengan apa yang sudah dilakukan anak semata wayangnya.
***
Anggi sudah mulai mendatangi Universitas ternama yang kebetulan jaraknya dekat dari rumah. Seorang sopir dengan mobil mewahnya mengantar dan menunggu karena Anggi sekedar mencari informasi jurusan yang akan ditempuh. Sekalipun dia sudah membacanya lewat media sosial tapi baginya perlu juga survei langsung.
Akhirnya dia menentukan juga pilihannya, Fakultas Hukum. Dengan kobaran dendam yang membara Anggi ingin menjadi ahli hukum yang kelak bisa menjerat para manusia laknat yang membantai bundanya.
"Mari Pak Yusuf, kita pulang," ajak Anggi.
"Langsung pulang,Nona?" tanya Yusuf sopir pribadi Anggi.
"Iya Pak, pulang saja," jawab Anggi tegas.
"Baik, Non!" jawab tegas Yusuf.
Anggi mengambil tempat di bangku belakang. Baru beberapa meter melaju mobil pun berhenti karena lampu merah di perempatan jalan. Datang sebuah mobil mewah sedan merah berhenti sejajar dengan mobilnya.
Tanpa sengaja mata Anggi menatap lelaki yang juga duduk di bangku belakang dengan papa dan mamanya. Seperti mimpi di siang bolong, Anggi terperanjat.
"Bagaimana lelaki itu ada di sini? Apakah artinya dia juga tinggal di kota ini? Dia memakai seragam SMA, jadi saat itu aku diperkosa oleh anak ingusan yang masih ABG. Aku hampir bunuh diri gara-gara kamu? Kamu menghancurkan hidupku!" batinnya meronta.
Perlahan mobil pun melaju karena lampu rambu-rambu telah hijau. Tatapan mata Anggi benar-benar tidak bisa lepas barang sekejap pun. Ada rasa sakit yang kembali terkuak, demikian juga dengan rasa dendam. Sayang sekali Aslan tidak melihatnya, kalau saja dia bertemu saat itu pasti ada kesempatan bagi Aslan untuk meminta maaf kepadanya. Selama ini dia dihantui rasa bersalah yang menyiksa.
Ternyata Aslan mendapat sanksi, dia dikeluarkan dari sekolahnya karena pengakuannya itu.
"Aku tidak habis pikir kenapa kamu berterus terang sih, andai saja kamu diam semua masalah tak akan timbul. Terus sekarang kamu mau sekolah kemana, Aslan?" tanya papanya kesal.
"Biar ikut adikku Diana ke London, Pa! Biar dia sekolah di sana," usul mamanya.
"Masak SMA harus sekolah ke luar negeri sih?" sahut papanya membantah.
"Pa, kita harus membawa dia ke luar negeri secepatnya, takutnya ini akan menjadi masalah kriminal dan polisi akan mengejar-ngejar Aslan," ujar mamanya sedih.
"Aslan bisa bilang mereka melakukannya atas dasar suka sama suka dan beres, toh sudah terjadi beberapa minggu yang lalu tidak ada visum," sahut papanya licik.
"Anak kamu tidak ingin berbohong, dia selalu dihantui rasa bersalahnya, Pa," sahut mamanya.
"Dasar anak bego!" sahut papanya berseru.
"Kenapa aku harus berpisah dengan teman-temanku, Ma? Lagian mama bisa aku pergi ke luar rumah dalam jangka waktu yang lama?" tanya anak manja itu.
"Terpaksa Aslan, daripada kamu masuk penjara," sahut mamanya.
***
Anggi menghampiri sarapannya di meja makan. Oma Gina sudah menunggunya sambil memainkan ponselnya, bak anak muda yang lancar tehnologi.
"Pagi Oma," sapa Anggi.
"Pagi, duduklah!" jawab Oma Gina.
Anggi mengambil tempat duduk di depan Oma Gina. Melihat Anggi sudah duduk dengan manis, Oma Gina segera menaruh ponselnya di meja.
"Apa rencana kamu hari ini? Apa kamu akan ke kampus lagi?" tanya Oma Gina asal.
"Tidak Oma saya hanya butuh membeli beberapa barang untuk Ospek hari Senin," jawab Anggi pelan.
"Kenapa kamu pucat, kamu sakit?" tanya Oma Gina.
Belum sampai Anggi menjawab pertanyaan Oma Gina, tiba-tiba dia berlari ke kamar mandi dan muntah-muntah.
Oma Gina terperanjat melihat cucu kesayangannya muntah-muntah. Dia bergegas menyusul Anggi ke kamar mandi dan mengelus-elus punggung Anggi.
"Ougk ... Ougk ... Ougk!" Anggi masih terus muntah-muntah.
"Ada apa dengan dia, apakah dia sakit atau hamil?" batin Oma Gina penasaran.
"Musri ... Musri ...!" teriak Oma Gina.
"Saya Oma," jawab Musri yang datang tergopoh-gopoh.
"Panggilkan dokter!" perintah Oma Gina.
"Baik, Oma!" jawabnya kemudian bergegas pergi.
Oma menuntun Anggi yang sedang berkeringat dingin untuk rebahan di atas tempat tidur.
"Apakah aku hamil? Kalau benar aku hamil maka aku akan mencari kamu sampai ketemu. Aku ingat kamu memberikan alamatmu padaku di dompet itu," batin Anggi. "Kamu harus tanggungjawab!" lanjutnya meruntuk.
"Ada apa dengan kamu, Anggi? Apa kamu masuk angin?" tanya Oma Gina seolah menjawab rasa penasarannya sendiri.
Perasaan Anggi semakin berkecambuk, hancurlah masa depannya kalau ternyata benar dia hamil. Seorang dokter keluarga yang kebetulan tempat prakteknya tidak jauh dari rumah sudah datang. Musri mengantarnya ke kamar Anggi.
"Pagi dokter," sapa Oma Gina.
"Pagi Oma," jawab Dokter Alex. "Siapa yang sakit, Oma?" lanjutnya bertanya.
"Cucu saya, Dokter," jawab Oma.
"Oh cantik sekali cucunya, Oma," kata dokter menyanjung.
"Siapa namamu, nona cantik?" tanya dokter menggoda.
"Anggi, Dokter," jawab Anggi malu.
"Nama yang manis."
Dokter Alex mulai memeriksa Anggi dengan intensive. Oma Gina tampak gusar, dia takut mendapat kenyataan yang menyakitkan.
"Kapan kamu terakhit mentruasi, Nona?" tanya dokter.
Serasa sebongkah batu menghantam dada Anggi maupun Oma Gina. Mendengar dokter menanyakan itu baik Anggi maupun Oma Gina sudah bisa menebak arah pertanyaannya.
"Tanggal 2, dokter," jawabnya ragu.
"Selamat, usia kandungan kamu sudah tujuh Minggu. Atau kalau mau lebih detailnya lagi bisa langsung ke dokter kandungan, Anggi!" usul Dokter Alex.
"Dokter yakin?" tanya Oma Gina gemetar menahan rasa antara percaya dan tidak.
Apakah yang akan Anggi lakukan dengan kehamilannya?
Bersambung ...
.
Oma Gina mengantarkan Dokter Alex ke luar kamar. Meskipun hatinya hancur Oma Gina bisa menyembunyikannya dari orang-orang. "Musri, antarkan Dokter Alex ke depan!" perintah Oma Gina kepada Musri. "Baik Oma," jawab Musri. Oma Gina kembali menghampiri Anggi yang terpuruk. Dia menangis dan menjambak rambutnya sendiri. "Kenapa ini harus aku alami? Apa salah ku, kenapa penderitaanku semakin lengkap, kenapa?" runtuk Anggi menangis. "Katakan apa yang terjadi?" pinta Oma Gina pura-pura tenang. "Oma, kalau saja pada saat itu aku tidak ditolong seseorang, mungkin aku bernasib sama seperti bunda. Tadinya kukira dia adalah malaikat penolong bagiku ternyata aku salah. Dalam keadaan tak berdaya justru dia menodaiku, Oma. Hiks ... Hiks ... Hiks!" ungkap Anggi diiringi tangisnya yang terisak-isak. Oma Gina sontak ikut menangis dan tangannya meremas penuh dendam. Hatinya sama hancurnya dengan Anggi, hanya saja nenek tangguh itu bisa menelan saki
Ternyata pertemuan tak terduga itu membuat Anggi sangat terluka. Dia berharap Aslan mengejarnya dan menanyakan keadaannya, ternyata tidak. Wajah tampannya yang bringasan dan tampak badung terus lekat di ingatannya. "Aku harus menemukan dia, aku harus bicara, aku ingin menampar wajah brengseknya ... hanya untuk menamparnya saja," lamunannya. "Pak Yusuf, pulanglah, aku pulang kuliah naik taksi saja," perintah Anggi kepada Yusuf sopir pribadi Anggi. "Tapi Non, nanti saya dimarahi Oma," jawab Yusuf khawatir. "Ya udah Pak Yusuf pulang dulu, nanti kalau aku waktunya pulang tak telepon," ujar Anggi. "Baik saya pulang, saya menunggu telepon dari Non Anggi, hati-hati, Non," jawab Yusuf berpesan. "Jangan khawatir Pak Yusuf," jawab Anggi. Yusuf pun pergi masuk mobil dan melajukan mobilnya keluar kampus. Anggi memanggil taksi on-line lewat aplikasi, sebentar kemudian taksi pun datang. "Jalan Diponegoro no 56," ujar Anggi kepa
Usia kandungan Anggi sudah menginjak 34 minggu, mulai minggu depan dia sudah mulai cuti melahirkan. Selalu menjadi pusat perhatian mahasiswa lain karena selalu dikawal bodyguard dengan mobil mewahnya. Anggi turun dari mobilnya, seorang mahasiswa dengan motor balapnya berwarna merah melaju di depannya. Karena menghindari Anggi, tak sengaja motor itu masuk dalam lubang yang berisi genangan air hujan. Sontak air itu muncrat dengan hebatnya kearah Anggi maupun mobilnya. "Auh!" jerit Anggi spontan. Motor itupun berhenti, dua bodyguard menghampiri Angga dan menarik krah bajunya bahkan hendak mengganjar dengan bogemnya. Anggi berteriak menghentikannya. "Berhenti! Jangan Pak Karta, ini lingkungan kampus!" pinta Anggi. Angga melepas helmnya, mereka saling berpandangan. Pertemuan yang tak terduga kembali terjadi. Angga terkejut melihat Anggi yang sudah hamil besar. Perlahan dia berjalan mendekati Anggi dengan penuh pertanyaan. Apa yang terjadi saa
Setelah sholat subuh Anggi mulai gelisah, perut sejak semalam terasa kaku dan kencang. Padahal dokter merencanakan masih minggu depan untuk caesar. Karena Anggi hamil anak kembar maka dia harus caesar. Melahirkan normal terlalu banyak resiko, apalagi tensi darah Anggi tidak setabil. "Anggi, ada apa sayang? Kamu gelisah?" tanya Oma Gina. "Oma, sejak semalam aku tidak bisa tidur, perutku terasa kencang dan sakit," keluh Anggi manja. "Kita ke rumah sakit sekarang!" ujarnya panik. "Musri ...!" panggil Oma Gina. "Iya Oma?" Musri datang tergopoh-gopoh. "Bantu menyiapkan keperluan kita, kita mau ke rumah sakit. Siapkan sopir juga ya, Musri!" perintah Oma Gina kepada kepala pelayan. "Baik Oma," jawab Musri berlari mencari sopir. Anggi meraih mantel di lemari dan bergegas ke luar dituntun Oma Gina. Mobil sudah parkir di depan pintu rumah. Anggi dan Oma Gina segera masuk di bangku belakang, dan mobil pun segera me
Oma Gina semakin sayang kepada Anggi apalagi setelah dia melahirkan dua Arjuna tampan. Dia tidak perduli dengan status Anggi yang hanya istri siri seorang pria belia yang masih ingusan. Setelah bodyguard nya bisa menemukan identitas Aslan dan mengetahui siapa keluarganya, Oma Gina semakin yakin bahwa mereka tidak boleh bersatu. Tidak sulit bagi Oma Gina untuk mengorek siapakah Aslan sebenarnya. Tapi Oma Gina tidak berani menyampaikan berita ini kepada Anggi takut apa yang menimpa Rahma akan menimpa juga kepada Anggi. "Untung saja dia berada di luar negeri, kalau tidak pasti mereka akan sering bertemu dan makin sulit dipisahkan," batin Oma Gina yang sedang melamun di ruang tengah. Tok ... Tok ... Tok ...! Suara pintu diketuk. Sebenarnya di samping pintu ada bel, tapi sengaja Angga tidak menekannya. Takut kalau bayi-bayi Anggi akan terkejut dan terbangun. Seorang pembantu datang membuka pintu. "Selamat siang, Mbak?" sapa Angga kepada pembantu.
Tok ... Tok ... Tok ...! Pintu diketuk, seorang pembantu sambil mengomel keluar dari ruang tengah. "Sudah dipasang bel pintu juga tidak mau memencet sih. Untung saya dengar kalau tidak denga terus gimana?" gerutunya. Hah! Musri terperanjat kaget, berdiri seorang lelaki dewasa berbadan tegap denga parasnya yang ganteng. "Mau ketemu siapa, Tuan?" tanya Musri. "Mama Gina ada?" tanyanya. "Ada, Tuan siapa ya?" tanya Musri. "Mama? Kok panggil mama, apa itu artinya Tuan ini anaknya Oma Gina?" tanya Musri ragu. "Iya aku anak menantu, Bik, namaku Herlambang," ujar Herlambang. "O jadi Tuan ini ayahnya Nona Anggi?" tanya Musri lagi. "Anggi? Apakah dia yang ketemu di rumah sakit saat itu?" tanya Herlambang penasram. "Mungkin iya Tuan, karena Nona Anggi saat itu sedang caesar melahirkan dua bayi kembarnya. "Jadi?" pekik 55 bertanya seolah tak percaya. "Silakan Tuan duduk dulu, biar saya pa
Oma Gina tampak bersikap lunak kepada Herlambang, tapi berbeda dengan Anggi. Sedari kecil hidupnya menderita karena ayahnya bukanlah lelaki kuat yang bisa dibanggakan. "Anggi, bawa Mika dan Miko ke sini!" teriak Oma Gina. Seorang suster keluar mendorong kereta bayi untuk bayi kembarnya. Bayi mungil itu tidur berdampingan dengan lucu dan menggemaskan. Suster membawa dan mendekatkannya ke tempat Herlambang duduk. "Mana Nona Anggi?" tanya Oma Gina. "Nona Anggi sedang ada di kamar, Oma," jawab suster. Herlambang sadar bahwa Anggi masih belum bisa menerimanya. Herlambang cukup tahu diri, sehingga dia bisa menerima sikap Anggi. "Mereka cucumu, Herlambang!" ujar Oma Gina. "Si kembar yang tampan!" ujar Herlambang dengan kagum. "Cucu ku yang tampan, siapa nama kalian?" tanya Herlambang. "Dia Mika dan yang ini Miko, Tuan," jawab suster. "Halo Mika...halo juga Miko!" sapa Herlambang. "Boleh aku gendong, Ma! S
"Aku tidak mengenalnya, Angga. Paling juga lelaki hidung belang," ujar Anggi berbohong. "Mika-Miko, jangan main jauh-jauh sayang!" pesan Anggi kepada kedua anaknya. "Ma, itu opa di sana," kata Mika sambil menunjuk ke arah Herlambang sedang duduk. "Bukan sayang," bantah Anggi sambil menarik tangan Mika yang sedang menunjuk Herlanbang dan dialihkan perhatiannya. "Iya Ma, itu opa ... mau ikut opa!" sahut Miko menimpali. "Mika, sayang, ayo kita melihat ikan cantik-cantik di kolam sana, ayo Miko, sayang!" ajak Anggi kepada kedua anaknya beranjak dari duduk. Tak sadar pandangan Anggi mengarah ke Herlambang yang kebetulan sedang memperhatikannya. Sesaat mereka saling berpandangan. Tatapan benci Anggi membuat Herlambang merasa bersalah. Tapi dia tidak berdaya, Herlambang takut kalau Pratiwi dan Nadya akan semakin membencinya setelah tahu kalau Anggi adalah anaknya yang selama ini sedang dicarinya. "Itulah kelemahan kamu yang aku benci,