Antara sadar dan tidak, semua seperti mimpi. Anggi berusaha menyengkal tubuh Aslan yang mulai menindihnya. Tapi Anggi tidak memiliki kekuatan, tubuhnya serasa terpaku tak mampu bergerak.
Hati Anggi berontak, tapi tubuhnya tiada daya. Aslan mulai melucuti satu-persatu bajunya. Dengan tanpa perduli tubuh Anggi yang sedang demam dan menggigil kedinginan.
Air mata Anggi mengucur deras dari sudut matanya.
"Jangan ... jangan!" desah Anggi lirih hampir tak terdengar, tapi justru Aslan semakin kesetanan.
Mata Anggi terbelalak, seolah tak percaya dengan apa yang dilakukan Aslan malam ini. Dengan kepasrahannya dia menggigit kuat bibir bawahnya menahan sakit hatinya.
Seperti tidak punya hati Aslan terus mereguk kenikmatan itu. Akhirnya dia terkapar setelah melepaskan geloranya yang tak terbendung.
Setelah sadar dengan apa yang telah dilakukan, Aslan mengutuk dirinya sendiri. Kepalanya dipukul-pukul dengan bogemnya sendiri meratapi penyesalannya.
Anggi tergolek tak sadarkan diri dengan suhu tubuhnya yang semakin tinggi. Dan tubuhnya menggigil kedinginan. Aslan segera membantu Anggi mengenakan kembali bajunya.
"Bagaimana aku tega melakukannya pada gadis yang malang ini, bahkan keadaannya lagi sakit? Benar-benar otak iblis!" kutuk Aslan pada dirinya sendiri.
Aslan kembali mengopres kening Anggi. Kemudian menyelimuti tubuhnya dengan mantel dan jaket. Dengan erat Aslan mendekap tubuh mungil Anggi.
***
Anggi membuka matanya dengan pelan. Betapa terkejutnya ada lelaki yang tidur di sampingnya. Aslan memberikan lengannya untuk bantal Anggi tidur. Perlahan Anggi meraba keningnya yang masih menumpang sapu tangan untuk mengompres. Anggi menatap dalam lelaki tampan yang tertidur dengan tenang di sisinya.
Sekilas Anggi bisa mengingatnya bahwa dialah lelaki yang melarikan dirinya dari pembantaian warga. Tapi Anggi juga mengingatnya bahwa dia telah menodainya.
Perlahan Aslan pun membuka matanya. Dia mendapati Anggi yang sedang menatap tajam dirinya. Akhirnya mereka berdua saling berpandangan.
Brog ... Brog ... Brog! Suara pintu digedor-gedor.
"Kita dobrak saja!" teriak seorang laki-laki dengan kasar.
"Iya kita dobrak!" sahut serempak orang-orang.
Sontak Anggi meraih tubuh Aslan, dia membayangkan warga desanya yang datang dan menemukan persembunyiannya. Anggi semakin dalam menenggelamkan tubuhnya ke dalam dekapan Aslan. Dan tanpa berpikir panjang Aslan pun menyambutnya, dia mendekap erat. Tidak beda dengan Anggi, Aslan pun berpikir yang menggerebek adalah warga desa Anggi yang mengejarnya.
Brog! Akhirnya pintu didobrak dan terbuka.
"Apa yang kalian lakukan disini? Kalian berbuat mesum ya?" tanya salah seorang diantara mereka.
"Mereka masih anak-anak, Pak Ustad," kata salah seorang yang lain.
"Rajam saja, Ustad!"
"Bakar saja, Pak Ustad! Dia sudah berani mengotori desa kita, Pak Ustad!" hardik seorang yang lain lagi.
"Ini ladang saya, saya mengutuk keras mereka melakukan di tanah tempat saya mencari rejeki," hardik pemilik kebun teh.
Anggi masih trauma dengan kejadian kemarin. Dia menyembunyikan wajahnya dibalik jaket yang dikenakan Aslan. Bahkan tanpa disadari Aslan pun membantu menyembunyikan wajahnya. Takut kalau ada orang lain yang mengenali wajahnya.
"Dengarkan kalian semua, kita tidak boleh main hakim sendiri! Kita panggil kedua orang tua mereka. kita nikahkan," usul Ustadz melerai.
"Siapa nama kamu? Dan siapa nama kekasih kamu?" tanya Ustadz dengan suara datar.
"Saya Aslan, Pak Ustadz, dan kekasih saya Anggi," jawab Aslan masih dengan menyembunyikan wajah Anggi.
"Mana KTP kalian?" pinta Ustadz.
Tanpa ragu lagi Aslan menyerahkan KTP yang diambilnya dari dompet.
"Mana punya Anggi?" tanya Ustadz.
"Hilang Pak, dia habis kecopetan." jawab Aslan berbohong.
Ustadz dan seorang perangkat desa mengamati kartu identitasnya.
"Wah kamu orang kota, dan usia kamu belum 17 tahun? Kelas berapa kamu? Dan acara apa kamu datang ke desa saya?" Aslan diberondong dengan pertanyaan oleh pamong desa.
"Saya SMA kelas dua, Pak. Saya sedang kamping bersama teman-teman di kaki gunung," jawab Aslan ragu.
"Anggi siapanya kamu? Apa kamu melakukannya atas dasar suka sama suka atau perkosaan?" tanya perangkat desa menyelidiki.
"Dia kekasih saya, Pak. Kami saling mencintai, tentu saja kami melakukannya atas dasar suka sama suka, Pak," jawab Aslan berbohong lagi.
Anggi hanya diam, dia takut diantara mereka ada yang mengenali dirinya. Tangannya menggenggam erat lengan Aslan.
"Anggi, apakah yang dikatakan Aslan itu benar?" tanya Ustad lebih lembut.
"Aku tidak berdaya, kalau aku bilang diperkosa urusannya semakin panjang. Karena warga desaku pasti akan mendengar dan tahu akan keberadaanku. Lagian Aslan sudah menyelamatkan nyawaku, aku tidak akan menjeratnya dengan hukum," pikir Anggi dalam hati.
"Anggi, kamu bisa mendengar pertanyaanku?" tanya Ustadz lagi.
Aslan dan Anggi saling berpandangan, tatapan mata Aslan mengiba penuh pengharapan.
"Iya Pak, kami melakukannya atas dasar suka sama suka, bukan perkosaan," jawab Anggi masih menyembunyikan wajahnya.
"Aslan ... Anggi, ada pilihan buat kalian, kalian mau kita nikahkan atau kalian memilih kita menghukum rajam?" tanya Ustadz tegas.
"Tapi kita masih remaja, Pak Ustadz," sahut Aslan.
"Apa itu berarti kalian memiilih dihukum rajam?" sela perangkat desa.
"Tidak Pak, kita menikah saja," sahut Aslan.
"Bagaimana Anggi?" tanya perangkat desa.
"Iya menikah, Pak Ustadz," sahut Anggi terbata-bata dan terpaksa.
"Sekarang, bersihkan diri kalian. Kita menunggu di sini!" perintah Ustadz.
Tanpa menjawab, Anggi dan Aslan pergi ke belakang untuk mandi. Dan Aslan masih tetap melindungi wajah Anggi dari mereka semua.
"Anggi, maafkan aku!" bisik Aslan di telinga Anggi.
Tapi Anggi diam tak menjawab. Dia tidak pernah membayangkan akan mengalami nasib setragis ini. Anggi benar-benar tidak berdaya, semua berjalan menyakitkan dan tidak bisa dihindarinya.
Tak lama Anggi dan Aslan keluar dengan keadaan sudah rapi, cantik dan tampan. Bahkan Anggi mengenakan kacamata dan tahi lalat buatan diatas bibirnya, untuk mengaburkan identitas fisiknya.
Mereka duduk berdampingan di kursi.
"Anggi, kamu masih punya Ayah? Dia harus datang sebagai wali nikah buat kamu," tanya Ustadz.
"Ayahku sudah meninggal, Pak Ustadz saat saya masih kecil, menyusul kemudian bunda saya. Sekarang saya tidak punya siapa-siapa," kata Anggi bersedih.
"Ayo masuk mobil kita ke baledesa!" ajak perangkat desa.
Saat Aslan dan Anggi keluar gubug, datang dua temannya, dia adalah Rio dan Bagus.
"Ini ada apa, Pak?" tanya Rio heran.
"Kalian teman mereka?" tanya salah seorang diantara mereka.
"Benar Pak,' jawab Bagus.
"Mereka harus kita nikahkan! Ikuti kita ke baledesa!" perintah pamong desa.
Akhirnya sebuah mobil diikuti iring-iringan motor menuju ke Baledesa Campursari, desa tetangga Anggi. Di dalam mobil Aslan memberikan mantelnya yang sangat kebesaran dikenakan Anggi. Dengan maksud agar bisa menutupi seragam sekolah Anggi.
Setelah mobil berhenti di halaman baledesa, Aslan dihampiri dua temannya. Aslan meminta topi yang dikenakan Bagus dan kain sal yang dikalungkan dileher Rio. Topi itu dipakai Aslan dan salnya untuk kerudung Anggi. Dia merangkul pundak Anggi menuju ruangan di baledesa.
Dalam perjalanan masuk ada obrolan pamong yang mengagetkan Anggi dan Aslan.
"Mereka membakarnya dengan keji seperti bukan manusia. Tapi anehnya sekian banyak orang yang dominan hanya sepuluh orang. Selebihnya mereka diam saja sebagai penonton. Ini seperti ada skenario," kata pamong desa.
"Itu kalau ternyata hanya fitnah belaka, bisa dipolisikan tidak, Pak?" tanya pamong yang lain.
"Siapa yang akan mempolisikan, sedang satu-satunya anaknya yang bisa melakukannya sedang diburu sekarang," jawab pamong yang lain.
Untung aku didandani seperti ini, kalau tidak mereka akan mengenaliku," batin Anggi.
Akhirnya didepan para perangkat desa dan disaksikan dua sahabatnya, Aslan mengucapkan ijab qobul.
"Saya terima nikah dan kawinnya Anggita Putri Herlambang dengan mas kawin uang sebesar Lima juta rupiah dibayar .... tunai!" Aslan mengucapkannya dengan tegas.
"Bagaimana, Sah?" tanya seorang Ustadz yang menikahkannya.
"Sah ...!" jawab serempak mereka yang hadir disitu.
Meskipun hanya sah menurut agama mereka adalah suami istri. Mereka hanya menikah siri karena selain masih pelajar, usia mereka belum di terima KUA untuk melakukan pernikahan sah menurut hukum negara. Karena usia Aslan 17 tahun kurang dua bulan. Sedang Anggi sudah berusia 18 tahun lebih. Dia sedang mengurus ijazah saat kejadian itu terjadi.
Kini Aslan dan Anggi sudah sah menjadi suami istri. Bagaimanakah kehidupan mereka selanjutnya ...
Bersambung ...
Kini Aslan dan Anggi sudah sah menjadi suami istri. Bagi Aslan maupun Anggi pernikahan yang dilakukannya tadi hanyalah sebatas syarat agar lolos dari tuntutan massa. Bagi mereka pernikahan tadi belum mempunyai arti yang dalam di dalam kehidupnya. Berbagai tekanan berat belum bisa terhapus dalam ingatannya barang sekejap pun. Akhirnya kedua temannya pulang dengan naik ojek ke perkemahan. Sedang Aslan mengendarai motor berboncengan dengan Anggi. Sepanjang perjalanannya mereka berdua saling diam tanpa bicara. Mereka berkeliling tanpa tujuan. Akhirnya Aslan memarkirkan motornya di pinggir telaga. "Kita harus bicara sebentar, Anggi," ujar Aslan sambil duduk di bangku di pinggir telaga. "Aku tidak tahu makna pernikahan tadi buat kita. Aku dan kamu masih muda dan masih pelajar. Untuk membina rumah tangga aku masih belum siap. Menurut kamu, aku harus bagaimana, Anggi?" ungkap Aslan sedih. "Aku harus pulang kemana, Aslan? Aku tidak
Anggi mulai digelandang masuk oleh pasukan berseragam. Seorang wanita tua sekitar 60 tahun umurnya sedang duduk di meja makan."Ini dia, Nyonya!" seru kedua lelaki berseragam itu menahan tangan Anggi dengan kuat."Lepaskan dia!" perintah nenek itu dengan dingin dan datar."Siapa lagi kamu? Apa yang kamu inginkan dariku? Apa kamu juga ingin membakar aku hidup-hidup seperti yang sudah anda lakukan kepada bundaku? Atau mau lebih sadis lagi? Apa salahku pada kalian? Aku dan bundaku bukanlah orang kejam yang memiliki ilmu hitam. Jangankan membunuh orang lain, membunuh semut pun bundaku tidak tega!" teriak histeris Anggi memerontak."Duduklah, minum susu kurma di depanmu itu! Untuk memulihkan staminamu!" perintah wanita tua itu, Oma Gina."Kamu mau meracuni aku ya? Aku sudah lelah, aku tidak takut mati, jangan khawatir pasti aku minum. Aku ingin secepatnya menyusul bundaku!" hardik Anggi. "Daripada kamu menyiksaku lebih baik dengan cara seperti ini
Thok ... Thok ... Thok! Suara pintu kamar Anggi di ketuk. Dia baru saja keluar dari kamar mandi. Dengan bergegas Anggi menghampiri pintu dan membukanya."Iya ada apa, Mbak?" tanyanya kemudian setelah melihat seorang wanita muda mengenakan seragam putih hijau berclemek."Nyonya Besar memanggil Nona Anggi, beliau menunggu di meja makan," jawab asisten rumah tangga.."Iya sebentar lagi aku keluar, Mbak," jawab Anggi pelan.Semalam Anggi masih belum bisa tidur dengan nyenyak. Trauma pembantaian dengan sadis terus datang menghantuinya. Sontak sesak di dadanya dan ketakutan yang hebat datang menghampiri. Wajah Rahma yang menangis histeris dengan tangan menggapai-nggapai mengharap pertolongan terus lekat di pelupuk mata Anggi.Setelah berdandan sekedarnya dia berjalan keluar kamar menemui Oma Gina. Seorang wanita lansia yang masih tampak kuat dan energik serta tampak dari kalangan darah biru. Rumahnya mewah dan penuh dengan bodyguard maupun pembantu
Wisnu menceritakan tentang foto yang dilihatnya. Dan Aslan mengakuinya, membuat urusan segera selesai tanpa melibatkan Bagus yang sedang menyimpan foto pernikahan mereka. "Apa yang terjadi Aslan? Bagaimana kamu harus menikahi gadis udik itu? Kamu pasti sedang dijebak, iya kan?" tuduh papanya Aslan dengan geram. "Tidak Papa, aku melakukannya saat gadis itu sedang pingsan. Aku bersalah, makanya aku bertanggungjawab dengan suka rela, Pa, Ma," jawab Aslan dengan pelan penuh penyelasan. "Tidak Pak Guru, ini pasti ada kesalahpahaman," sahut mamanya Aslan sambil mencubit pantatnya Aslan seolah memberi kode agar dia tidak berterus terang. "Jangan bunuh diri bodoh, jangan mengakuinya!" bisik papanya lirih di telinga Aslan. Mungkin rasa bersalahnya yang membuat dia tidak bisa mengelak semua kejahatan yang dilakukannya. Dengan jujur dia menceritakannya bahkan siap dengan resiko apapun. "Ini kriminal, Aslan," kata Junaedi. "Tapi seka
Oma Gina mengantarkan Dokter Alex ke luar kamar. Meskipun hatinya hancur Oma Gina bisa menyembunyikannya dari orang-orang. "Musri, antarkan Dokter Alex ke depan!" perintah Oma Gina kepada Musri. "Baik Oma," jawab Musri. Oma Gina kembali menghampiri Anggi yang terpuruk. Dia menangis dan menjambak rambutnya sendiri. "Kenapa ini harus aku alami? Apa salah ku, kenapa penderitaanku semakin lengkap, kenapa?" runtuk Anggi menangis. "Katakan apa yang terjadi?" pinta Oma Gina pura-pura tenang. "Oma, kalau saja pada saat itu aku tidak ditolong seseorang, mungkin aku bernasib sama seperti bunda. Tadinya kukira dia adalah malaikat penolong bagiku ternyata aku salah. Dalam keadaan tak berdaya justru dia menodaiku, Oma. Hiks ... Hiks ... Hiks!" ungkap Anggi diiringi tangisnya yang terisak-isak. Oma Gina sontak ikut menangis dan tangannya meremas penuh dendam. Hatinya sama hancurnya dengan Anggi, hanya saja nenek tangguh itu bisa menelan saki
Ternyata pertemuan tak terduga itu membuat Anggi sangat terluka. Dia berharap Aslan mengejarnya dan menanyakan keadaannya, ternyata tidak. Wajah tampannya yang bringasan dan tampak badung terus lekat di ingatannya. "Aku harus menemukan dia, aku harus bicara, aku ingin menampar wajah brengseknya ... hanya untuk menamparnya saja," lamunannya. "Pak Yusuf, pulanglah, aku pulang kuliah naik taksi saja," perintah Anggi kepada Yusuf sopir pribadi Anggi. "Tapi Non, nanti saya dimarahi Oma," jawab Yusuf khawatir. "Ya udah Pak Yusuf pulang dulu, nanti kalau aku waktunya pulang tak telepon," ujar Anggi. "Baik saya pulang, saya menunggu telepon dari Non Anggi, hati-hati, Non," jawab Yusuf berpesan. "Jangan khawatir Pak Yusuf," jawab Anggi. Yusuf pun pergi masuk mobil dan melajukan mobilnya keluar kampus. Anggi memanggil taksi on-line lewat aplikasi, sebentar kemudian taksi pun datang. "Jalan Diponegoro no 56," ujar Anggi kepa
Usia kandungan Anggi sudah menginjak 34 minggu, mulai minggu depan dia sudah mulai cuti melahirkan. Selalu menjadi pusat perhatian mahasiswa lain karena selalu dikawal bodyguard dengan mobil mewahnya. Anggi turun dari mobilnya, seorang mahasiswa dengan motor balapnya berwarna merah melaju di depannya. Karena menghindari Anggi, tak sengaja motor itu masuk dalam lubang yang berisi genangan air hujan. Sontak air itu muncrat dengan hebatnya kearah Anggi maupun mobilnya. "Auh!" jerit Anggi spontan. Motor itupun berhenti, dua bodyguard menghampiri Angga dan menarik krah bajunya bahkan hendak mengganjar dengan bogemnya. Anggi berteriak menghentikannya. "Berhenti! Jangan Pak Karta, ini lingkungan kampus!" pinta Anggi. Angga melepas helmnya, mereka saling berpandangan. Pertemuan yang tak terduga kembali terjadi. Angga terkejut melihat Anggi yang sudah hamil besar. Perlahan dia berjalan mendekati Anggi dengan penuh pertanyaan. Apa yang terjadi saa
Setelah sholat subuh Anggi mulai gelisah, perut sejak semalam terasa kaku dan kencang. Padahal dokter merencanakan masih minggu depan untuk caesar. Karena Anggi hamil anak kembar maka dia harus caesar. Melahirkan normal terlalu banyak resiko, apalagi tensi darah Anggi tidak setabil. "Anggi, ada apa sayang? Kamu gelisah?" tanya Oma Gina. "Oma, sejak semalam aku tidak bisa tidur, perutku terasa kencang dan sakit," keluh Anggi manja. "Kita ke rumah sakit sekarang!" ujarnya panik. "Musri ...!" panggil Oma Gina. "Iya Oma?" Musri datang tergopoh-gopoh. "Bantu menyiapkan keperluan kita, kita mau ke rumah sakit. Siapkan sopir juga ya, Musri!" perintah Oma Gina kepada kepala pelayan. "Baik Oma," jawab Musri berlari mencari sopir. Anggi meraih mantel di lemari dan bergegas ke luar dituntun Oma Gina. Mobil sudah parkir di depan pintu rumah. Anggi dan Oma Gina segera masuk di bangku belakang, dan mobil pun segera me