Aku terkejut dengan perkataan Mak Sinta, Bu Kades benci Bang Erianto? Ah, Sinta pasti mengada-ada, tidak mungkin Bu Kades itu benci Suamiku, andaipun benar dia benci, pasti karena suamiku perhitungan, seperti yang dia bilang saat pertama aku mengadu padanya. "Aku benci laki-laki berpikiran kolot seperti itu ""Mak Doly, kamu masih di situ, kan?"Kata Mak Sinta lagi."Iya, masih,""Bu Kades mana?""Ini, di sampingku,""Hati-hati saja sama ibu itu," Katanya, sambungan telepon pun terputus.Kutatap Bu Kades yang dudukndi sampingku, saat itu kami sudah mau pulang, Karena hujan, kami berteduhnsebentar."Telepon dari siapa?" tanya Bu Kades."Itu, Mak Sinta," jawabku."Oh, apa katanya?""Katanya Bu Kades benci Bang Erianto," kataku jujur saja.Untuk sesaat wanita itu melihatku, biarpun sudah agak tua, akan tetapi masih tersisa gurat kecantikan di wajah ibu tersebut."Kan sudah kubilang, aku benci laki-laki model' begitu, laki-laki seperti itu harus diberi pelajaran, pikirannya bisa menular, b
Bang Erianto menatapku dengan pandangan seperti hendak menelanku saja bulat-bulat. Matanya melotot dan merah, mungkin dia benar-benar sudah marah."Berapa yang kau minta!" dia membentak."Jangan kau pikir kalau abangku dipenjara bisa kau kuasai kebun, oh, tidak," Lena ikut-ikutan."Aku hanya minta hakku," kataku kemudian."Hak apa? Emang ada ada yang kau kerjakan di situ, satu rumput saja tidak pernah kau cabut," kata Bang Erianto."Aku ikut belinya, uangku ikut beli lahan itu dulu," kataku kemudian."Berapa uangmu, oh, yang dua puluh juta itu, baik, kuberikan itu, berhenti ganggu aku," kata Bang Erianto."Tidak, aku mau setengah harta gono-gini, selanjutnya kita bicara di pengadilan," kataku kemudian."Hahaha," Bang Erianto tertawa."Tertawalah, silakan, kita buktikan di pengadilan," kataku lagi."Pasti si nenek peot itu yang racuni otakmu, kan, kau pikir mudah urus harta gono-gini itu? Butuh dana butuh biaya, sebelum kelar kau sudah mati kelaparan," katanya lagi."Kita lihat saja,"
Aku masih di atas motor saat didorong oleh Mak Sinta, motorku oleng dan terjatuh di aspal. Mobil yang datang tak bisa menghindar lagi, akan tetapi refleks aku berguling ke kiri. Motorku yang ditabrak mobil warna hitam tersebut.Kupandangi motor yang hancur, Mak Sinta mencoba membantuku berdiri, aku menepis tangannya, kemudian gelap, aku sudah tidak ingat apa-apa lagi.Saat aku sadar, aku berasa di ruangan serba putih, lalu seorang wanita berpakaian putih datang mendekat."Ibu sudah siuman, ibu hanya lecet sedikit," katanya."Aku di mana?" tanyaku kemudian."Ini di rumah sakit, Bu,""Aku harus pulang, anakku tinggal," kataku sambil berdiri.Lalu muncul seorang pria tinggi besar, perutnya sedikit buncit.
PoV Mak Sinta"Pemuda memang nyaman, duda lebih menggoda, akan tetapi suami orang lebih menantang"Pernah dengar ungkapan itu? Itulah yang terjadi padaku. Entah ini kelainan atau apa, akan tetapi aku suka suami orang. Aku lebih tertarik dengan orang yang sudah beristri, jika dia duda, entah kenapa rasanya kurang menantang, apalagi kalau cuma anak muda.Itu juga yang terjadi pada Erianto, kami sudah berteman sejak kecil, semenjak SMP sudah tumbuh benih-benih cinta, akan tetapi aku selalu menolaknya. Entah sudah berapa kali dia nyatakan rasa cintanya. Aku selalu menolak dengan halus.Saat dia sudah ingin menikah, aku tetap menolak, sampai akhirnya dia menikah dengan gadis tetangga. Apa yang terjadi denganku? Setelah dia resmi' jadi suami orang, aku justru berusaha mendekati. Entahlah, makin tampan saja dia di pandanganku.&
Betul juga prediksi Bu Kades, polisi akan menyarankan perdamaian, tidak diproses sampai pengadilan. Pagi itu Bu Kades menelepon, katanya aku harus hadir di kantor polisi hari ini. Tentu saja aku minta didampingi Bu Kades.Saat kami tiba di kantor polisi, disambut seorang pria berkameja putih dan berdasi."Saya pengacara saudara Erianto Sinaga," katanya memperkenalkan diri."Ibu ini pengacaranya?" tanyanya lagi seraya menunjuk Bu Kades."Oh, bukan, saya ketua PKK desa, ini mendampingi anggota saya," jawab Bu Kades."Oh, kita langsung bicara saja ya, tidak usah melibatkan pihak kepolisian dulu, saya menawarkan perdamaian dari klien saya, cabut laporan itu, kita buat perjanjian bermeterai, jika klien saya mengulangi perbuatannya akan dihukum sesuai hukum yang berlaku, " katanya kemudian.
PoV Mak SintaTak tega rasanya melihat Eri di tahanan polisi, bagaimana pun juga dia adalah ayah biologis anakku. Di nama anakku ada namanya, yaitu Sinaga yang kusingkat jadi Sin. Sementara itu suamiku belum pernah datang lagi sudah empat bulan, katanya bus yang dia sopiri berganti jalur, tak lagi melewati daerah kami. Uang kirimannya pun makin lama makin sedikit. Hari itu Lena mengajakku ke kantor polisi menjenguk abangnya. Melihat Eri di tahanan bercampur dengan berbagai penjahat membuat aku terenyuh. Saat kami melihat pelipisnya bengkak. Lena langsung bertanya ke polisi yang jaga."Kenapa abangku bisa bengkak matanya, kalian pukuli ya, awas saja kuadukan, kami punyanpengacara," kata Lena. Gaya bicara wanita ini memang ceplas-ceplos, sebelas dua belas dengan Mak Doly."Bu, jangan langsung menuduh, itu sudah resiko di tahanan polisi, bisa jadi bertengkar dengan sesama tahanan," kata polisi tersebut."Jadi kalian biarkan?" kata Lena lagi."Bukan, tak mungkin dipisah, gini Bu ya, di
"Permainan apa maksudmu, Eri?" tanyaku kemudian."Maksudnya bukan membunuh orang, Tamina, Kamu pikir bisa bebas setelah membunuh orang, maksudku permainan catur, ingat gak saat kita beli lahan baru itu, ingat gak saat kita dapatkan bibit gratis, kita langsung ke rajanya, kita langkahi wewenang kepala desa, bukan berarti membunuh, Tapi negosiasi, ah, kamu memang gila'," kata Eri."Ah, kamu gak jelas ngomong," kataku lagi."Kamu itu bukan menyelesaikan masalah, tapi tambahan masalah,""Tidak akan, panen besok kami bisa sendiri, gak akan berani lagi si Taing itu mengganggu, nyawa taruhannya," kataku lagi.Aku yakin kejadian hilangnya Bu Kades akan jadi semacam peringatan pada Mak Doly, dia pasti tidak akan berani lagi macam-macam. Aku akan panen sawit tersebut bersama Lena lagi, takkan berani
Desa kami geger, ibu Kepala desa hilang, pencarian sudah dilakukan mulai tadi malam. Pagi harinya baru kepala desa datang ke rumah. Entah kenapa aku seperti merasa dicurigai. Karena akulah yang terakhir bertemu dengan ibu tersebut.Aku dibawa ke kantor polisi, kata polisi untuk dimintai keterangan. Saat aku menceritakan apa adanya, aku melihat Mak Sinta datang berkunjung. Dia mengunjungi Eri. Entah kenapa aku jadi curiga pada Mak Sinta."Maaf, Pak, bukan hendak mengajari polisi bekerja, tapi aku curiga dengan perempuan yang itu," kataku seraya menunjuk ke kaca. Kaca itu tembus pandang sebelah, dari dalam bebas melihat, dari luar tidak."Kita pelajari, Bu, tapi kita bekerja berdasarkan alat bukti, bukan perasaan," Kata polisi tersebut."Tugasnkalian yang cari buktinya, pokoknya aku curiga ini pekerjaannya," kataku. Polisi itu lalu be