Share

Mas Erianto

Aku terkejut dengan perkataan Mak Sinta, Bu Kades benci Bang Erianto? Ah, Sinta pasti mengada-ada, tidak mungkin Bu Kades itu benci Suamiku, andaipun benar dia benci, pasti karena suamiku perhitungan, seperti yang dia bilang saat pertama aku mengadu padanya. "Aku benci laki-laki berpikiran kolot seperti itu "

 

"Mak Doly, kamu masih di situ, kan?"Kata Mak Sinta lagi.

 

"Iya, masih,"

 

"Bu Kades mana?"

 

"Ini, di sampingku,"

 

"Hati-hati saja sama ibu itu," Katanya, sambungan telepon pun terputus.

 

Kutatap Bu Kades yang dudukndi sampingku, saat itu kami sudah mau pulang, Karena hujan, kami berteduhnsebentar.

 

"Telepon dari siapa?" tanya Bu Kades.

 

"Itu, Mak Sinta," jawabku.

 

"Oh, apa katanya?"

 

"Katanya Bu Kades benci Bang Erianto," kataku jujur saja.

 

Untuk sesaat wanita itu melihatku, biarpun sudah agak tua, akan tetapi masih tersisa gurat kecantikan di wajah ibu tersebut.

 

"Kan sudah kubilang, aku benci laki-laki model' begitu, laki-laki seperti itu harus diberi pelajaran, pikirannya bisa menular, bagaimana kalau anakmu kelak seperti ayahnya, makin banyak kita kaum wanita yang tersakiti," kata Bu Kades tersebut.

 

"Iya, Bu," jawabku. Akan tetapi entah kenapa seperti ada yang disembunyikan Bu Kades. Entah apa itu aku tidak tahu.

 

"Ibu kenal Bang Erianto secara pribadi?" tanyaku kemudian.

 

"Ya, kenallah, kenal dari dia masih bayi," kata Bu Kades seraya tertawa.

 

Memang suamiku yang kelahiran desa ini, aku berasal dari desa sebelah. Rumah yang kami tempati adalah rumah peninggalan mertua. Sedangkan kebun kami berada tidak jauh dari desa.

 

Kami pulang karena hujan sudah reda, aku langsung saja ke rumah ibuku. Kami berpisah di persimpangan jalan. 

 

Keesokan harinya aku mengantar ke-dua anakku sekolah seperti biasa, sekolah dua anakku masih satu komplek.  SD dan taman kanak-kanak satu atap. Karena tidak ada kegiatan, aku menunggu anak pulang sambil makan di kantin sekolah. 

 

"Mak Dolly, aku mau bicara, ini serius," tiba-tiba Mak Sinta sudah suduk di sampingku.

 

"Ya, silakan," jawabku.

 

"Apa benar kau adukan suamimu ke polisi?" tanyanya lagi 

 

"Bukan," 

 

"Lo, kamu?"

 

"Bukan suami, tapi mantan suami, dia sudah ceraikan aku, kamu dengar sendiri kan?" kataku kemudian.

 

"Astaghfirullah, itu ayah anakmu lo,"

 

"Iya, benar, siapa juga tahu,"

 

"Kamu kok menjengkelkan sekarang,"  katanya lagi.

 

"Kamu yang menjengkelkan, katanya teman, tapi gak pernah dukung," kataku.

 

"Mak Doly, teman yang baik itu yang tidak menjerumuskan temannya,"

 

"Jadi biarkan saja aku tersiksa gitu, seumur hidup itu terlalu lama lo, aku masih tiga puluh tahun, takkan kusiasiakan hidupku dengan lelaki seperti itu," kataku 

 

"Memang dia seperti apa? kan kau yang memposisikan dirimu sebagai pekerja, bukan sebagai istri," katanya lagi.

 

"Kamu tanya lagi? dia kasih adiknya tiga juta sebulan, beli skincare, aku seumur hidup gak pernah beli skincare, dia beli adeknya mesin cuci, sekarang aku tanya, kamu kok bela dia terus? Jangan-jangan kamu selingkuh sama dia," kataku.

 

"Astaghfirullah, semenjak berteman dengan Bu Kades kamu jadi berubah,"

 

"Oh ya, memang kenapa Bu Kades? Kenapa dia benci suamiku," tanyaku kemudian.

 

Belum sempat dia menjawab, Lena sudah datang, begitu datang langsung marah-marah. 

 

"Dasar ipar maut kau, kau polisikan suamimu sendiri, di mana otakmu," katanya seraya berkacak pinggang.

 

"Ini, otakku masih di sini," jawabku seraya menunjuk kening.

 

"Kau jebak suamimu sendiri, apa maumu, heh, gara-gara mesin cuci ya, ambil itu mesin cuci, aku lebih sayang sama saudaraku dari pada mesin cuci, gak kayak kau," katanya seraya menunjuk wajahku.

 

"Terserah mau bilang apa," kataku.

 

"Kau cabut laporan itu, atau aku lawanmu," katanya lagi.

 

"Gak akan kucabut silakan lawan aku," kataku kemudian. Aku sudah bertekad tidak akan maur digertak lagi.

 

 

"Kau bukan hanya memenjarakan suami, tapi membuat anakmu kehilangan ayahnya,.."

 

"Membuat kau kehilangan jatah bulanan kan?" kataku dengan santai.

 

 

"Dasar memang kau!" Lena ternyata emosi juga, tangannya sudah terangkat.

 

"Silakan pukul, biar kau menyusul abangmu di penjara," kataku seraya menyodorkan pipi. Tangannya kembali turun.

 

"Awas saja kau," katanya seraya pergi 

 

Setelah Lena pergi, Mak Sinta geleng-geleng kepala melihat ke arahku, mungkin dia tak menyangka aku yang lemah lembut selama ini bisa jadi begini.

 

"Hebat kau, Mak Doly, mana Mak Doly yang dulu?" tanyanya.

 

"Masih  di sini," jawabku.

 

"Ini bukan Mak Doly yang kukenal,"

 

"Ini masih aku, oh ya, apa tadi alasan Bu Kades benci suamiku," tanyaku kemudian," eh, mantan suami," ralatku lagi.

 

"Kau ingat bantuan bibit sawit dari pemerintah?" tanya Mak Sinta.

 

"Ya, itu tahun kemarin,"

 

"Kan Mas Erianto ketua kelompok tani, dia dapat bantuan bibit tanpa melibatkan kepala desa, dia melangkahi wewenang kepala desa," kata Mak Sinta.

 

"Emangnya bisa tanpa kepala desa,"

 

"Ya, entah bagaimana caranya, tapi bibit itu turun juga, Mereka bagi-bagi, tapi kepala desa tidak dapat bagian, saat pertemuan, Ibu Kades kan suka ngurusi orang, yang bukan urusannya pun dia urusi, kepala desa bertanya siapa saja yang dapat bibit, berapa saja, tapi Mas Erianto bilang, itu bukan urusanmu, sejak itu mereka tidak pernah saling tegur," kata Mak Sinta.

 

"Lo, kok kamu bisa tahu sampai sedetail itu, terus sejak kapan kau panggil mantan suamiku dengan panggilan Mas?" tanyaku kemudian. Aku tahu tentang bibit itu, itu juga yang sudah ditanam di lahan baru kami, tapi tidak tahu sampai Ibu Kades berselisih dengan Bang Erianto.

 

"Lalu aku panggil apa, si Eri gitu?" jawab Mak Sinta.

 

"Tunggu, dia gak pernah dipanggil Eri, selalu Anto, kok kamu punya panggilan khusus?" tanyaku makin curigai.

 

"Ah, kamu makin aneh saja, udahlah, aku pergi dulu," kata Mbak Sinta.

 

Semenjak aku menikah dengan Bang Erianto dan aku diboyong ke desa ini, temanku yang pertama adalah Mak Sinta. Dia sudah punya anak perempuan satu, namanya Sinta, seumur dengan  anak bungsuku, suaminya jarang pulang, kerja supir lintas pulau. 

 

Lena datang lagi, kali ini dia bersama Bang Erianto. Kantin sudah sepi, dia lalu duduk di depanku.

 

"Berapa yang kau minta?" katanya.

 

"Apa?"

 

"Ini soal uang, kan? Berapa yang kau minta supaya kau cabut laporan itu?" katanya lagi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status