PoV Mak Sinta"Pemuda memang nyaman, duda lebih menggoda, akan tetapi suami orang lebih menantang"Pernah dengar ungkapan itu? Itulah yang terjadi padaku. Entah ini kelainan atau apa, akan tetapi aku suka suami orang. Aku lebih tertarik dengan orang yang sudah beristri, jika dia duda, entah kenapa rasanya kurang menantang, apalagi kalau cuma anak muda.Itu juga yang terjadi pada Erianto, kami sudah berteman sejak kecil, semenjak SMP sudah tumbuh benih-benih cinta, akan tetapi aku selalu menolaknya. Entah sudah berapa kali dia nyatakan rasa cintanya. Aku selalu menolak dengan halus.Saat dia sudah ingin menikah, aku tetap menolak, sampai akhirnya dia menikah dengan gadis tetangga. Apa yang terjadi denganku? Setelah dia resmi' jadi suami orang, aku justru berusaha mendekati. Entahlah, makin tampan saja dia di pandanganku.&
Betul juga prediksi Bu Kades, polisi akan menyarankan perdamaian, tidak diproses sampai pengadilan. Pagi itu Bu Kades menelepon, katanya aku harus hadir di kantor polisi hari ini. Tentu saja aku minta didampingi Bu Kades.Saat kami tiba di kantor polisi, disambut seorang pria berkameja putih dan berdasi."Saya pengacara saudara Erianto Sinaga," katanya memperkenalkan diri."Ibu ini pengacaranya?" tanyanya lagi seraya menunjuk Bu Kades."Oh, bukan, saya ketua PKK desa, ini mendampingi anggota saya," jawab Bu Kades."Oh, kita langsung bicara saja ya, tidak usah melibatkan pihak kepolisian dulu, saya menawarkan perdamaian dari klien saya, cabut laporan itu, kita buat perjanjian bermeterai, jika klien saya mengulangi perbuatannya akan dihukum sesuai hukum yang berlaku, " katanya kemudian.
PoV Mak SintaTak tega rasanya melihat Eri di tahanan polisi, bagaimana pun juga dia adalah ayah biologis anakku. Di nama anakku ada namanya, yaitu Sinaga yang kusingkat jadi Sin. Sementara itu suamiku belum pernah datang lagi sudah empat bulan, katanya bus yang dia sopiri berganti jalur, tak lagi melewati daerah kami. Uang kirimannya pun makin lama makin sedikit. Hari itu Lena mengajakku ke kantor polisi menjenguk abangnya. Melihat Eri di tahanan bercampur dengan berbagai penjahat membuat aku terenyuh. Saat kami melihat pelipisnya bengkak. Lena langsung bertanya ke polisi yang jaga."Kenapa abangku bisa bengkak matanya, kalian pukuli ya, awas saja kuadukan, kami punyanpengacara," kata Lena. Gaya bicara wanita ini memang ceplas-ceplos, sebelas dua belas dengan Mak Doly."Bu, jangan langsung menuduh, itu sudah resiko di tahanan polisi, bisa jadi bertengkar dengan sesama tahanan," kata polisi tersebut."Jadi kalian biarkan?" kata Lena lagi."Bukan, tak mungkin dipisah, gini Bu ya, di
"Permainan apa maksudmu, Eri?" tanyaku kemudian."Maksudnya bukan membunuh orang, Tamina, Kamu pikir bisa bebas setelah membunuh orang, maksudku permainan catur, ingat gak saat kita beli lahan baru itu, ingat gak saat kita dapatkan bibit gratis, kita langsung ke rajanya, kita langkahi wewenang kepala desa, bukan berarti membunuh, Tapi negosiasi, ah, kamu memang gila'," kata Eri."Ah, kamu gak jelas ngomong," kataku lagi."Kamu itu bukan menyelesaikan masalah, tapi tambahan masalah,""Tidak akan, panen besok kami bisa sendiri, gak akan berani lagi si Taing itu mengganggu, nyawa taruhannya," kataku lagi.Aku yakin kejadian hilangnya Bu Kades akan jadi semacam peringatan pada Mak Doly, dia pasti tidak akan berani lagi macam-macam. Aku akan panen sawit tersebut bersama Lena lagi, takkan berani
Desa kami geger, ibu Kepala desa hilang, pencarian sudah dilakukan mulai tadi malam. Pagi harinya baru kepala desa datang ke rumah. Entah kenapa aku seperti merasa dicurigai. Karena akulah yang terakhir bertemu dengan ibu tersebut.Aku dibawa ke kantor polisi, kata polisi untuk dimintai keterangan. Saat aku menceritakan apa adanya, aku melihat Mak Sinta datang berkunjung. Dia mengunjungi Eri. Entah kenapa aku jadi curiga pada Mak Sinta."Maaf, Pak, bukan hendak mengajari polisi bekerja, tapi aku curiga dengan perempuan yang itu," kataku seraya menunjuk ke kaca. Kaca itu tembus pandang sebelah, dari dalam bebas melihat, dari luar tidak."Kita pelajari, Bu, tapi kita bekerja berdasarkan alat bukti, bukan perasaan," Kata polisi tersebut."Tugasnkalian yang cari buktinya, pokoknya aku curiga ini pekerjaannya," kataku. Polisi itu lalu be
"Hanya gara-gara dua tamparan, sampai hati kau penjarakan ayah anakmu sendiri," katanya lagi"Bagaimana dengan perselingkuhan?" kataku kemudian.Dia diam, dia selingkuh sejak lama, akan tetapi entah kenapa biarpun aku baru tahu, tak ada lagi rasa cemburuku. Kata orang jika kita tak cemburu lagi , berarti rasa cinta sudah habis."Kamu bertahun-tahun selingkuh?" kataku lagi."Biar kau tahu saja, kami tidak selingkuh,""Hahaha, jadi sampai punya anak ini namanya apa?""Kamu tak akan ngerti, kami sudah berteman sejak kecil, dari SD sudah seringkali main kawin kawinan, hanya nasib yang membuat kami tidak bisa bersama,""Udah, sana susul teman kawin kawinmu ke penjara," kataku kemudian.
Aku merasa sedikit lega, bos perkebunan itu membatalkan membeli kebun tersebut. Dia ternyata sangat baik, bahkan memberikan bantuan hukum untukku, juga memberikan motor. Motorku yang lama memang sudah tidak terpakai lagi. Karena biayai memperbaikinya sudah lebih mahal dari harga motor tersebut.Aku akhirnya dapat pengacara, pengacara perempuan bersuara keras. Dia memperkenalkan diri dengan nama Boru Lubis, aku disuruh memanggil Bu Lubis saja. Wanita empat puluhan tahun yang tampak masih enerjik.Bu Lubis mempelajari kasusku, lalu dia meminta visum dari puskesmas, video rekaman tamparan tersebut, terus bukti laporan ke polisi, terus saksi jika saja kami sudah cerai secara agama. Semua bisa kusanggupi kecuali saksi. Saksinya Bu Sinta, sementara dia sudah di penjara.Sidang kedua berjalan lancar saja, biarpun Erianto tetap tidak mau datang, masih diwakili pengacara, akan tetapi hakim mengetuk
Untuk sesaat aku masih tak tahu harus berbuat apa, masih berdiri di depan sekolah. Dua anakku ada di kanan dan kiriku, tak bisa kubayangkan akan ditangkap polisi di depan anak-anakku.Erianto mendekatiku, dia memasang wajah sedih, aku tahu wajah sedih itu wajah mengejek."Maaf, Taing, poin terbalik, tidak usah khawatir dengan anak-anak, aku akan mengurusnya," kata Erianto, rautr wajah itu membuat aku jijik.Kulihat mobil patroli polisi tersebut, para polisi belum turun dari mobil. Mereka seperti menunggu, entah menunggu apa."Udahlah, sini anak-anak, jangan sampai anak-anak melihat mamaknya ditangkap polisi," kata Erianto lagi."Tidak," kataku seraya memegang erat ke-dua tangan anakku.