Bagian 13
“Oh, tidak, Mbak Nadya. Mbak Nadya … apakah masih mau ke Samarinda untuk bekerja sama dengan kami di rumah sakit?” tanyaku dengan agak menyimpan keraguan yang besar. Astaga, apa yang kupikirkan sebenarnya? Mengapa malah pertanyaan itu yang terlontar di mulut?
“Maaf Mbak Risa. Aku sedang fokus membuka bisnis klinik estetika dan salon kecantikan. Rencananya bulan depan aku juga akan menikah dengan seorang dokter spesialis kulit. Dokter Hendrawan. Vadi pasti kenal. Nanti undangannya aku kirimkan via WhatsApp tidak apa-apa, kan?”
Deg! Aku langsung merasa menjadi manusia yang sangat konyol detik itu juga. Bodoh! Keputusanku untuk berbasa basi dan mengajaknya ke sini sungguh sangat kusesali sebagai hal yang paling konyol. Astaga,
Bagian 14 “Gejalanya mirip dengan almarhummah Umma dulu,” bisik Mas Vadi lagi. Aku terhenyak luar biasa. Tertegun diriku untuk beberapa saat sambil menatap Ibu dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ya Allah … Ibu. Rasanya aku sangat sedih mendengar apa yang diungkap oleh suamiku. Sebagai seorang perawat yang pernah PKL di rumah sakit jiwa saat semester lima dulu, aku pun kerap melihat orang-orang yang depresi berat dengan gejala yang sama seperti ini. Menarik diri, tidak berminat dengan apa pun, dan terlihat enggan mengurus tubuh. Nafsu makan beliau pun menurun drastis. Ibu, apakah kencintaannya akan harta telah membuat dia menjadi begini? “Bu, ayo kita berberes. Ikuti kata-kata Risa,” Mas Vadi kini meringsek maju. Lelaki itu berusaha
Bagian 15 “Sayang, hari ini masak apa?” Mas Vadi tiba-tiba mengejutkanku. Aku yang tengah sibuk dengan gulai kepala ikan, mendadak kaget luar biasa. Apalagi ketika lelaki tampan itu memeluk tubuhku dari belakang dan melayangkan kecupan mesranya di leher. “Ih, geli,” kataku mengelak sambil merasa kurang percaya diri karena seharian belum mandi. Dari pagi hingga tengah hari, aku cukup sibuk dengan urusan domestik. Berberes rumah, mencuci pakaian, belanja ke pasar, dan masak makan siang untuk suami. Semua kulakukan sendiri tanpa bantuan siapa pun. “Masa? Kutambah ya, ciumannya,” kata Mas Vadi manja sambil mengeratkan pelukannya. “Mas, aku belum mandi, lh
“Ris, Mama boleh pinjam uang? Sejuta saja. Buat bayar cicilan motor Indy.”“Lho, Ma? Bukannya bulan lalu juga pinjam sejuta dan belum dikembalikan?” Alisku sampai bertaut. Bisa-bisanya Mama pinjam uang terus menerus tanpa mikir aku kerja banting tulang tiap hari di rumah sakit itu rasanya seperti mau mati!“Ya, gimana lagi, Ris? Mama kan udah nggak kerja. Indy masih sekolah. Minta sama Rauf, bilangnya selalu nggak ada uang.”Aku menarik napas dalam. Menenangkan diri. Mencoba menghilangkan kesal. Enak sekali mereka. Benar-benar keterlaluan! Setelah Mas Rauf jarang memberi nafkah dengan alasan usaha bengkelnya sepi, sekarang malah mama mertua yang kerap keluar masuk mal bersama anak bungsunya yang centil dan gemar TikTok-an itu kini mulai melunjak dan minta uang terus menerus. Kemarin pinjam buat nyicil motor, sekarang mau pinjam lagi padahal belum juga dikembalikan. Jadi, aku ini apa? Sapi perah?“Ma, Risa baru nik
Aku akhirnya bangkit dari terpuruk. Tak kuhiraukan lagi kangkung yang belum disiangi, ayam yang masih dimarinasi dan belum digoreng, dan beras yang belum dicuci. Masa bodoh! Harga diriku sudah hancur dibuat oleh Mama dan Mas Rauf. Buat apalagi aku repot-repot membaktikan diri. Sudah lelah bekerja dari jam 07.30 hingga 14.00 di poli umum mengasisteni dr. Vadi, eh di rumah masih juga harus masak. Mending kalau dihargai. Ini malah ditampar dan dicaci maki. Apa mereka pikir aku ini binatang? Cepat kuhapus jejak air mata. Berjalan ke arah kamar yang tak jauh dari dapur yang bersatu dengan ruang makan. Pelan kubuka pintu kamar yang tak terkunci. Ternyata, Mas Rauf sedang duduk melamun di pinggir kasur. Tubuhnya yang kekar akibat bekerja keras di bengkel, kini hanya terlilit dengan handuk dari bawah pusat hingga menutupi batas lutut. 
“Kamu ingin memukul lagi, Mas? Baiklah. Silakan! Biar setelah ini aku kabur dan melaporkan tindakanmu ke polisi!” Aku semakin berteriak. Menantangnya dan berharap dia benar-benar memukulku lagi. Namun, Mas Rauf malah mengembuskan napas masygul. Mulutnya berkali-kali merapalkan istighfar. Cuih! Dia tidak mantas mengucapkan kalimat suci semacam itu. Kelakuannya sudah seperti preman kampung yang hanya berani memukul istri. Tidak ada akhlak! “Kita cukupkan pertengkaran ini, Ris. Aku mohon.” Mas Rauf tampak putus asa. Jujur aku belum bisa melupakan tentang prasangka kemana larinya uang hasil bengkel selama sepuluh bulan belakangan ini. Lihat saja. Akan kukorek sampai ke akarnya kalau perlu. “Oke. Aku juga capek! Berdebat denganmu tidak ketemu ujung pangkalnya. Akhir-akhirnya kita hanya ber
Beberapa saat menikmati makan malam di dalam kamar sendirian, Mas Rauf akhirnya ikut masuk. Wajahnya tampak tak senang. Cemberut. Terserah, ya. Aku tidak mau peduli. “Sudah selesai makannya?” tanya Mas Rauf padaku dengan nada yang kesal. “Bisa lihat sendiri, kan? Piringku sudah habis.” Kuletakkan begitu saja piring bersama gelas kosong yang telah duluan berada di atas meja rias. Masa bodoh Mas Rauf marah. Kalau dia mau, taruh saja di wastafel dapur sendiri. “Kata-katamu tadi sungguh membuat Indy sakit hati, Ris.” “Sama, dong! Aku juga kesal dengar omongan dia tadi, Mas. Satu sama artinya.” Aku menj
Pagi-pagi sekali aku bangun dari peraduan. Tanpa menyentuh dapur terlebih dahulu seperti hari-hari lalu, kuputuskan untuk segera mandi dan berkemas diri. “Awal sekali, Ris? Kamu sudah mau berangkat jam segini?” Mas Rauf yang baru tercelang matanya tepat pukul 05.30 pagi, menatapku dengan penuh heran. Sedang aku tengah mematut diri di depan cermin sembari mengenakan bedak dan pemerah bibir.Meski masih terasa sesak dada ini akibat dugaan perselingkuhan yang dilakukan Mas Rauf, tetapi aku mencoba untuk terlihat santai. Kujawab pertanyaannya dengan nada dan ekspresi datar.“Iya. Dokter Vadi yang nyuruh.” Aku menyampirkan tas kerja yang sudah kuisi dengan dompet dan cap perawat yang akan kupakai nanti setelah sampai di poli. “Nggak siapin sarapan dulu?” Pertanyaan Mas Rauf entah mengapa malah
Kupacu terus sepeda motor bebek milik Mak Ambar di belakang kendaraan Mas Rauf yang terus melaju dengan kecepatan sedang. Sekuat tenaga kukendalikan diri agar tak merasa ciut atau pun takut bakal ketahuan. Aku menarik napas dalam, mencoba bersantai di balik masker wajah dan helm yang kukenakan. Semoga dengan penyamaran ini, Mas Rauf tak menyadari bahwa aku adalah Risa, perempuan yang telah dia khianati. Kendaraan Mas Rauf menerobos jalanan yang semakin dipenuhi oleh motor dan mobil yang lain. Maklum, jamnya anak-anak berangkat ke sekolah dan orang dewasa ngantor. Namun, yang membuat kuheran, arah perjalanan Mas Rauf sungguh berbeda dengan jalan menuju bengkel miliknya yang berada dekat kawasan pasar. Mas Rauf malah berbelok ke kiri dari lampu merah perempatan jalan besar. Harusnya dia lurus terus jika memang mau berangkat bekerja. Makin kuat feelingku bahwa dia benar-benar akan menjemput perempuan tersebut.