Share

4

Beberapa saat menikmati makan malam di dalam kamar sendirian, Mas Rauf akhirnya ikut masuk. Wajahnya tampak tak senang. Cemberut. Terserah, ya. Aku tidak mau peduli.

              “Sudah selesai makannya?” tanya Mas Rauf padaku dengan nada yang kesal.

              “Bisa lihat sendiri, kan? Piringku sudah habis.” Kuletakkan begitu saja piring bersama gelas kosong yang telah duluan berada di atas meja rias. Masa bodoh Mas Rauf marah. Kalau dia mau, taruh saja di wastafel dapur sendiri.

              “Kata-katamu tadi sungguh membuat Indy sakit hati, Ris.”

“Sama, dong! Aku juga kesal dengar omongan dia tadi, Mas. Satu sama artinya.” Aku menjawab santai. Duduk bersandar pada kepala ranjang sembari memainkan ponsel. Menengok-nengok beranda F******k, sekadar mencari hiburan lewat postingan status teman-teman.

              “Kamu selalu tidak mau kalah, Ris. Jauh berubah kamu sekarang. Apa karena bekerja, kamu jadi bertindak begini?”

              Aku cuma diam. Malas menanggapi. Aduh, capek banget. Dari sore sampai malam tidak ada habisnya membahas masalah ini. Rasanya aku ingin langsung tidur saja. Kemudian terbangun saat matahari telah bersinar dan pergi ke RS untuk menjalani pekerjaan yang mengasyikan.

              “Ris, kamu dengar aku bicara tidak?” Mas Rauf meninggikan suaranya. Aku yang sangat malas, terpaksa harus mengalihkan pandangan dari layar.

              “Aku dengar. Lantas? Kita masih ingin bertengkar, Mas?”

              Mas Rauf terdiam. Lelaki itu tampak menggemelutuk. Rahangnya sampai terlihat semakin tegas.

              “Sudah ya, Mas. Besok lagi. Aku harus bekerja besok.”

              “Aku juga bekerja! Bukan hanya kamu yang kerja di rumah ini.” Mas Rauf begitu terdengar emosional. Kenapa dia? Kesurupan jin?

              Mas Rauf kemudian merogoh saku celananya dan sedikit mengempaskan ponsel di atas nakas samping ranjang. Heran. Kenapa barang yang malah jadi pelampiasannya? Kalau rusak, dia pikir beli hape itu bisa pakai daun?

              Suamiku lantas berbaring dengan gerakan yang kasar. Terasa getaran di kasur yang membuat tubuhku agak terguncang. Luar biasa. Hari ini sikapnya sangat membuatku jengkel.

              Namun, aku berusaha diam. Sabar dan tak ambil peduli. Biar saja dia begitu. Asal jangan menyakiti tubuhku saja.

              Kulirik sekilas, tampak Mas Rauf memejamkan matanya. Dia berbaring terlentang dengan sebelah tangan di atas dahi. Seperti posisi orang yang sedang mumet.

              Kring! Suara ponsel yang sedang kupegang tiba-tiba berdering. Aku kaget. Mas Rauf apalagi. Dia langsung terbangun dan menatap ke arahku.

              Cepat kulihat ke layar. Panggilan dari dr. Vadi. Tumben, pikirku. Ada apa gerangan beliau menelepon semalam ini? Tidak biasanya.

              “Halo?”

              “Ris, besok datang ke rumah sakit pagi-pagi, ya. Sebelum jam tujuh. Aku disuruh ngasih penyuluhan di ruang tunggu pendaftaran sama tim PKRS. Kamu bantuin aku.” PKRS itu promosi kesehatan rumah sakit. Duh, ada-ada saja. Kok mendadak begini?

              “Kok ngasih tahunya mendadak, Dok?” Aku mengerutkan kening.

              “Iya, maaf. Lupa. Oke. Udah dulu, ya. Selamat malam.” Klik. Sambungan langsung dimatikan.

              Aku sontak manyun sembari menatap ponsel. Dih, si dokter. Baik sih baik, tapi sukanya apa-apa mendadak.

              “Siapa yang telepon?” Suara Mas Rauf terdengar tak suka. Aku menatap malas ke arahnya.

              “Dokter Vadi. Kenapa?” Mataku mendelik. Tak suka ditanyai begitu. Seolah ada yang salah saja.

              “Kalian sering teleponan kalau aku tidak ada?” Pertanyaan yang sangat aneh. Mas Rauf, sebenarnya dia ini kenapa?

              “Kamu lihat saja sendiri. Apa pernah aku teleponan sama dia? Aneh!” Maka semakin sebal lah aku pada Mas Rauf. Bisa-bisanya orang ini semakin aneh. Tak cukupkah dia membuatku kesal seharian ini?

              “Jangan karena dia dokter dan masih lajang, kamu bisa bebas dekat dengannya, Ris. Ingat, kamu itu sudah punya suami.” Mas Rauf lalu membalik badannya. Berbaring dengan memeluk guling dan memunggungiku.

              Aku yang merasa tersinggung dan belum bisa meredakan amarah, kini semakin merasa kesal luar biasa. Dasar kurang waras! Dari mulai masalah membela Mama, pembahasan nafkah, uang kuliah, hingga dr. Vadi. Rentetan kejadian hari ini sungguh luar biasa menguras emosiku. Kalau saja kepala ini bisa meledak, mungkin sudah hancur berkeping-keping.

              “Kalau sampai aku berselingkuh, itu artinya ada yang salah denganmu.”

              Namun, Mas Rauf tak lagi menjawab. Suasana seketika hening. Lama kelamaan, hanya suara ngoroknya yang terdengar. Syukurlah lelaki itu sudah terkapar. Aku jadi tak perlu kehabisan banyak tenaga untuk meladeninya.

              Saat aku kembali sibuk berselancar di dunia maya untuk sekadar membaca berita terkini, tiba-tiba terdengar suara getaran ponsel. Berkali-kali seperti ada panggilan masuk. Mataku langsung sigap mencari dari mana asal bunyi. Ternyata, dari nakas yang berada di samping Mas Rauf berbaring. Lelaki itu malah tak terbangun. Sibuk mengorok dan larut dalam alam mimpi.

              Aku langsung memanjangkan tangan demi meraih ponsel milik Mas Rauf. Hati-hati kubergerak agar jangan sampai menyentuh lelaki yang terlihat sangat nyenyak tersebut. Kala ponsel sudah berada di genggaman, panggilan tersebut masih terus berlangsung dan tampak pada layar sebuah deretan angka yang tak disimpan nama kontaknya. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengangkat telepon tersebut.

              “Halo, Sayang.” Terdengar sebuah suara perempuan di seberang sana. Manja dan mendayu-dayu. Membuat jantung ini mendadak nyeri akibat kaget luar biasa.

              “Kamu lagi apa? Ada istrimu kah? Kalau ada, ya udah. Kamu diam saja, nggak perlu ngomong. Aku cuma pengen ngucapin selamat malam dan kangen.” Sontak duniaku serasa runtuh. Sesak dada ini. Tersengal napasku.

              Untunglah, aku bisa mengendalikan diri untuk segera meraih ponsel dan menekah tombol kamera. Cepat-cepat kufoto nomor yang tertera di layar, serta menekan tombol rekam suara pada ponsel Mas Rauf.

              “Sayang, udah dulu, ya. Besok pagi jangan lupa jemput ke rumah dan antar aku seperti biasa. Uangku juga udah nipis, Yang. Besok jangan lupa kirim, ya.”

              Betul-betul darahku mendidih mendengarnya. Mas Rauf ... ternyata dugaanku benar. Kau telah bermain api di belakang. Mengkhianati rumah tangga dan hubungan yang empat tahun telah kita bina. Sia-sia semua. Terkuak sudah kebusukanmu satu per satu.

              “Bye, Sayang. Good night.”

              Sambungan telepon langsung dimatikan. Namun, irama jantungku masih sangat cepat sampai membuat diri ini limbung dan hampir tersandar. Tenang, Ris. Selesaikan semuanya pelan-pelan. Sebelum menggugat, kamu perlu bukti yang kuat.

              Tangan ini langsung mengutak atik ponsel milik Mas Rauf yang terkunci dengan password berupa angka. Kutebak dengan tanggal lahirnya, salah. Tanggal lahirku, apalagi. Tanggal pernikahan kami, bukan juga. Aku hampir putus asa. Karena geram, kutekan 123456 dengan kesal. Dan ... ponsel itu malah terbuka.

              Tolol! Dasar laki-laki bodoh. Password macam apa yang kau buat. Kalau Cuma begini, anak PAUD pun pasti bakal bisa menebaknya.

Tanpa buang waktu lagi, aku segera masuk ke galeri untuk mencari file suara tadi. Buru-buru kukirim lewat W******p. Setelah berhasil kuunduh, langsung kuhapus riwayat obrolan dan file rekaman asli. Untungnya, W******p milik Mas Rauf sama sekali kosong dan bersih. Tak ada satu pun bekas percakapan masuk. Grup pun tak ada yang diikutinya. Semua putih bersih tanpa menyisakan apa-apa.

              Kulihat lagi riwayat panggilan. Hanya ada panggilan masuk dari perempuan misterius tadi. Cepat kuhapus dan tak menyisakan apa pun di sana.

              Gila! Benar-benar gila. Rapi sekali permainannya. Tak berjejak sedikit pun. Jika Tuhan tak membuatnya terkapar malam ini dan meletakkan ponsel di nakas, mungkin aku tak bakal tahu bahwa selama ini Mas Rauf ternyata sedang bermain api.

              Dengan sangat berhati-hati, kuletakkan ponsel tersebut ke tempat semula. Susah payah aku menahan agar tak ada amuk atau bahkan tangisan. Sudah cukup. Air mata kesedihan tak boleh lagi meluncur membasahi pipi. Semua bukti yang kudapat malam ini telah lebih dari cukup untuk mengungkap akar permasalahan dalam rumah tangga yang kami arungi.

              Ya, benar. Ketiadaan nafkah yang dia katakan ditabung untuk membuat rumah. Semua hanya bullshit! Tipuan semata. Ternyata, ada seorang gundik yang sedang dipelihara sampai-sampai membuat perpecahan antara aku dan mertua serta ipar.

              Bagus kamu, Mas. Lanjutkan kecuranganmu! Kita lihat, sampai di mana kamu bisa bertahan dengan segala kebohongan ini. Yang jelas, aku siap kapan pun untuk menendang namamu dari hati. Buat apa? Buat apa kita teruskan jika lagi-lagi aku yang jadi korban. Ingat, aku bukan perempuan tolol yang tak bisa mencari sesuap nasi untuk bertahan hidup. Kalau perlu, akan kucicil segala uang yang pernah kau berikan selama ini!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ancha Aishiteru
sangat menarik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status