Share

6

Kupacu terus sepeda motor bebek milik Mak Ambar di belakang kendaraan Mas Rauf yang terus melaju dengan kecepatan sedang. Sekuat tenaga kukendalikan diri agar tak merasa ciut atau pun takut bakal ketahuan. Aku menarik napas dalam, mencoba bersantai di balik masker wajah dan helm yang kukenakan. Semoga dengan penyamaran ini, Mas Rauf tak menyadari bahwa aku adalah Risa, perempuan yang telah dia khianati.

            Kendaraan Mas Rauf menerobos jalanan yang semakin dipenuhi oleh motor dan mobil yang lain. Maklum, jamnya anak-anak berangkat ke sekolah dan orang dewasa ngantor. Namun, yang membuat kuheran, arah perjalanan Mas Rauf sungguh berbeda dengan jalan menuju bengkel miliknya yang berada dekat kawasan pasar. Mas Rauf malah berbelok ke kiri dari lampu merah perempatan jalan besar. Harusnya dia lurus terus jika memang mau berangkat bekerja. Makin kuat feelingku bahwa dia benar-benar akan menjemput perempuan tersebut.

            Dengan mengambil jarak yang tak terlalu dekat, mungkin sekitar sepuluh meter jauhnya, aku tetap memantau pergerakan Mas Rauf yang untungnya tak kencang membawa motor. Lelaki itu tampak tenang dan tiada beban. Seakan dia sedang hendak berjalan menuju tempat yang sudah sangat biasa didatanginya. Aku tak tahu sejak kapan dia melakukan hal ini. Namun, seperti telah berlangsung beberapa lama. Jangan-jangan ... sejak kami menikah? Sialan!

            Mas Rauf terus memacu motornya masuk ke jalan Dr. Soetomo dan kemudian belok ke kiri. Tepatnya di sebuah gerbang perumahan rakyat bersubdi. Aku pernah masuk ke perum ini. Penjagaannya memang tak ketat seperti perumahan elit yang dijaga oleh satpam segala. Namun, jika ikut masuk, aku khawatir bakal ketahuan. Lagi-lagi nyaliku menciut. Namun, rasa penasaran ini terlalu kuat dan sulit untuk dibendung. Setelah menepi sesaat di dekat trotoar yang jaraknya beberapa meter dari gerbang perumahan, aku akhirnya memutuskan untuk ikut ke sana. Mencoba mencari ke mana perginya Mas Rauf yang semoga saja tak begitu jauh atau masuk ke blok yang membingungkan.

            Saat aku mulai memacu kendaraan dan memasuki blok A, tak kuduga, Mas Rauf sudah berbalik arah untuk keluar dari perumahan dan membonceng seorang perempuan. Betapa napasku tercekat. Jantung berdegup sangat keras. Kubiarkan mereka melalui diriku begitu saja sementara aku terus memacu motor dengan kecepatan pelan. Kini, Mas Rauf bersama selingkuhannya sudah keluar dari gerbang dan aku cepat-cepat berbelok dan mengejar mereka.

            Jangan tanya bagaimana perasaanku. Hancur berkeping. Rusak semua kenangan indah yang telah kami rajut bersama selama ini. Masa-masa SMA yang indah dan jalinan persahabatan selama tiga tahun, kemudian dilanjutkan dengan pacaran selama tiga tahun juga, dan sepuluh bulan pernikahan ini. Semua ternyata telah tiada artinya lagi bagi Mas Rauf. Tak kunyana, lelaki yang dulunya sangat baik dan ringan tangan untuk menolong, royal serta perhatian, kini berganti menjadi lelaki penuntut plus kikir. Ternyata semua ini memiliki alasan. Ya, perselingkuhannya dengan perempuan yang sekilas kulihat mengenakan seragam sebuah minimarket frenchise.

            Otakku langsung bekerja keras. Jangan-jangan ... perempuan itu bekerja di minimarket yang letaknya tak jauh dari bengkel. Ya, di arah yang sama, sekitar lima puluh meteran dari bengkel Mas Rauf yang rukonya masih menyewa tersebut, terdapat minimarket waralaba yang kerap didatangi oleh suamiku untuk berbelanja. Memang, setiap pulang bekerja, Mas Rauf kerap membawa plastik berlogo minimarket tersebut dengan bermacam barang belanjaan. Mulai dari cuma sebungkus rokok, susu steril kalengan, sampai alat cukur maupun shampo. Apakah ini ada hubungannya?

            Keluar dari gerbang, feelingku begitu kuat untuk berbelok ke arah kanan. Meski tak kutemukan Mas Rauf di ujung jalan sana, tetapi aku sangat yakin dengan instingku sebagai seorang wanita yang dikhianati. Kupacu motor dengan kecepatan tinggi. Melewati dan menyalip kendaraan lain tanpa memikirkan risiko yang mengancam. Biarlah, daripada aku harus kehilangan kesempatan untuk memergoki pasangan selingkuh tersebut.

            Di perempatan lampu merah, aku mengambil lajur kiri tanpa harus menunggu lampu apil hijau. Terus membawa motor dengan kecepatan lumayan kencang dan menerobos hiruk pikuk jalanan yang semakin padat merayap.

            Tuhan memang sangat sayang padaku. Di depan sana, sekitar tiga puluh meter, tampak olehku motor milik Mas Rauf yang sedang membonceng perempuan dengan helm warna putih dan atasan seragam warna merah dengan logo minimarket terkenal berinisial ‘A’ tersebut. Kini kupacu motor agak lambat, agar tak menyalip mereka. Kita tunggu, sampai di mana mereka berdua akan bermesraan di atas motor yang suara knalpotnya berisik.

            Dengan mata kepalaku sendiri, tampak dua sejoli itu sangat lengket. Bahkan, si perempuan tak segan untuk memeluk erat pinggang milik Mas Rauf. Kalau tak berselingkuh, lantas apa namanya? Kakak-adik? Teman tapi bangs**? Persetan! Yang jelas mereka berdua benar-benar telah menyakiti hati. Tunggu, ya. Kita harus bertatap enam mata pagi ini juga. Tenang. Tak bakal seperti video viral seorang istri sah yang ngamuk-ngamuk di depan umum hanya untuk memberi tahu bahwa dia telah dicurangi oleh suami. Aku akan mengambil tindakan yang lebih elegan dan manusiawi karena aku adalah seorang insan yang sejatinya terpelajar dan berpendidikan. Nama baik adalah taruhannya dan bagiku Mas Rauf tidak pantas menjadi alasan bagiku untuk mencoreng harga diri ini.

            Dan ya! Benar sekali dugaanku. Tak meleset sedikit pun. Mas Rauf membawa motornya berbelok ke kanan. Masuk ke jalan Tanjung di mana area pasar dan bengkel Mas Rauf berada. Pasti mereka akan singgah ke minimarket yang letaknya sebelum bengkel milik suamiku. Taruhan. Aku bahkan berani potong jari jika memang dugaanku salah.

            Motor Mas Rauf benar-benar berhenti di depan parkiran minimarket tersebut. Aku pun tak mau lengah. Semakin kupacu kencang sepeda motorku dan berhenti beberapa jengkal di belakang motor Mas Rauf. Saat aku akan turun dari motor, Mas Rauf dan perempuan yang telah menenteng pengaman kepala yang sebelumnya dia gunakan, tengah bersalaman. Mesra sekali perempuan bertubuh ramping dengan wajah yang dihias dengan make up natural tersebut mencium tangan berbulu milik Mas Rauf. Dan si bajing*n itu mengelus puncak kepala sang selingkuhan yang ditutupi dengan jilbab warna hitam yang senada dengan celana panjangnya.

            Telingaku bahkan dapat menangkat kata-kata manis dari mulut Mas Rauf yang bahkan akhir-akhir ini sama sekali tak kudengar lagi. Bahkan aku sudah lupa kapan terakhir kalinya dia mengatakan hal serupa pada aku istri sahnya.

            “Semangat kerjanya ya, Yang. Jangan lupa, makan siangnya jangan sampai telat. Mas nggak mau kamu sakit.”

            Mendidih darahku. Sampai mengepal kedua tinju ini. Risa, dianggap apa kamu oleh suamimu sendiri? Sebatas pemuas nafsu bir*hinya, kah? Sekadar mesin pencetak uang untuk memberi makan keluarganya?

            Hancur betul perasaanku. Ternyata aku tak sekuat yang kubayangkan. Lutut ini bahkan seketika melemas dengan kaca-kaca di mataku yang mulai akan luruh sebagai tangis kekecewaan. Aku pun jadi setengah yakin, sanggupkah aku untuk melangkah ke arah mereka serta melabrak keduanya? Mas Rauf ... kamu sebenarnya manusia atau binatang, Mas? Bisa-bisanya hatimu begitu jahat dan licik bagai srigala!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status