Share

2

Aku akhirnya bangkit dari terpuruk. Tak kuhiraukan lagi kangkung yang belum disiangi, ayam yang masih dimarinasi dan belum digoreng, dan beras yang belum dicuci. Masa bodoh! Harga diriku sudah hancur dibuat oleh Mama dan Mas Rauf. Buat apalagi aku repot-repot membaktikan diri. Sudah lelah bekerja dari jam 07.30 hingga 14.00 di poli umum mengasisteni dr. Vadi, eh di rumah masih juga harus masak. Mending kalau dihargai. Ini malah ditampar dan dicaci maki. Apa mereka pikir aku ini binatang?

              Cepat kuhapus jejak air mata. Berjalan ke arah kamar yang tak jauh dari dapur yang bersatu dengan ruang makan. Pelan kubuka pintu kamar yang tak terkunci. Ternyata, Mas Rauf sedang duduk melamun di pinggir kasur. Tubuhnya yang kekar akibat bekerja keras di bengkel, kini hanya terlilit dengan handuk dari bawah pusat hingga menutupi batas lutut.

              Aku rasanya jadi makin muak. Ingin pergi saja dan keluar dari kamar. Saat akan berbalik badan, Mas Rauf langsung memanggilku.

              “Masuk kamu, Ris! Kita harus berbicara empat mata.”

              Aku terpaksa menoleh padanya. Menatap lelaki yang akan pergi mandi itu dengan perasaan muak. Seharusnya, dia meminta maaf setelah menampar pipiku. Eh, dia malah terlihat santai saja dan tak merasa bersalah sedikit pun. Laki-laki biawak! Tau sikapmu bakal seperti ini, lebih baik dulu kujual saja ke pengepul barang bekas.

              “Apalagi, Mas? Kamu ingin menamparku? Lagi?” Aku menatapnya dengan geram. Bahkan mata ini masih sembab akibat tangis yang dia ciptakan barusan.

              Mas Rauf yang sangat maskulin itu pun bangkit dari duduknya. Dia berjalan mendekat ke arahku yang kini tersandar di depan pintu. Jika dia macam-macam dan mau menampar lagi, maka akan kutendang burungnya sekarang juga. Biar dia mati sekalian! Aku tidak peduli. Rasa sakit hatiku benar-benar tak bisa terobati.

              “Ris, maaf.” Mas Rauf berucap dengan memandangku dalam. Tangannya yang berurat dan kasar mulai meraih tanganku untuk digenggam. Namun, hati ini benar-benar terluka. Sakit bukan main! Mereka sudah memperlakukanku bagai sampah untuk pertama kali. Risa, pantang disakiti. Apalagi ditampar bagai hewan meski oleh suami sendiri.

              “Omong kosong!” Kutepis tangan Mas Rauf dengan kasar. Dia harus tahu, bahwa tak semudah itu memaafkan kelakuan jahat mereka.

              “Aku khilaf telah memukulmu. Maafkan aku, Ris.” Wajah Mas Rauf kini tampak menyesal. Nasi sudah jadi bubur. Biar pun kau menyesal, sampai mati akan kuingat perbuatan kalian hari ini.

              “Pilih sekarang juga, Mas. Mamamu atau aku?” Emosiku kian memuncak. Rasanya aku ingin membalas rasa sakit yang sudah mereka lakukan padaku.

              “Ris, jangan begitu. Tidak ada yang bisa dipilih dari kalian berdua.” Mas Rauf kini menangkap pergelangan tanganku. Menariknya paksa dan memeluk tubuh ini. Jangan berpikir bahwa aku senang! Tidak sama sekali. Bahkan bau keringatnya yang dulu sangat kunanti, kini malah membuat jijik bukan main.

              “Lepas, Mas!” Aku coba meringsek dari dekap Mas Rauf. Namun, sialnya malah gagal. Dia jelas lebih bertenaga dan tubuhnya kelewat besar buat kusingkirkan.

              “Tidak. Aku tidak mau melepaskanmu sebelum kamu memberi maaf.”

              Aku makin sesak akibat pelukan erat Mas Rauf. Akhirnya, menyerah. Aku tak tahan lagi. Daripada mati akibat kekurang oksigen, lebih baik kubuat dia melepaskan peluk dahulu.

              “Iya, kumaafkan! Tapi lepaskan tubuhku sekarang juga!” Aku berteriak nyaring, berharap Mas Rauf yang tenaganya seperti pegulat itu mau melepaskan tubuh kecilku.

              “Jadi, kamu memaafkanku, kan?” Mas Rauf menatap dalam. Sinar matanya tulus. Namun, aku jadi teringat akan rayuan-rayuannya dulu. Beginilah cara dia untuk mendapatkan apa yang dia ingin. Merayu sampai aku berkata iya. Sungguh menyebalkan!

              “Dengan satu syarat!”

              “Apa itu?”

              “Pindah dari rumah ini. Sekarang! Atau kita bercerai.” Aku bahkan tak ragu untuk mengucap cerai. Tiada yang kutakutkan. Pekerjaan ada, ijazah pun punya. Andai menjadi janda detik ini pun, aku tetap bisa melanjutkan hidup!

              “Jangan mudah bicara cerai. Aku tidak suka!” Mas Rauf malah ngegas. Dia tampak tersulut emosinya.

              “Aku lebih tidak suka sikap mamamu dan Indy! Mereka berdua sama saja. Terlalu menuntut banyak padaku. Bahkan ibu kandungku saja tidak berbuat demikian.”

              “Itu karena ibumu tidak pernah melakukan apa pun dalam hidupmu. Kamu lupa, Ris, siapa yang dulunya peduli saat hidupmu sedang di bawah?”

              Deg! Aku benar-benar tertohok dengan kata-kata Mas Rauf. Tega sekali dia mengungkit semua-semua yang telah dikorbankannya padaku.

              “Ternyata kamu dan keluargamu memang tidak tulus padaku, Mas!” Hampir tumpah lagi air mataku. Namun, kutahan sekuat tenaga. Buat apa menangisi lelaki macam Mas Rauf yang ternyata di balik kebaikannya tersimpan sebuah kebusukan yang besar.

              “Aku hanya menyadarkanmu, Ris. Aku tidak mau sampai kamu lupa dengan asal usulmu.” Baru saja dia meminta maaf, ternyata sekarang malah menyulut api pertengkaran kembali.

              Sabar, Risa. Menghadapi masalah seperti ini harus tenang. Jangan sampai Mas Rauf melayangkan tamparannya lagi. Bisa-bisa dr. Vadi yang baik dan perhatian itu, besok pagi malah menanyai mengapa wajahku lebam. Tidak! Aku pasti bakal merasa sangat malu kepada atasanku yang usianya baru menginjak 29 tahun tersebut.

              “Terima kasih, Mas. Ya, aku sudah sadar. Aku hanya anak yatim yang kau bantu biaya kuliah dan hidupnya. Jangan lupakan juga perjuanganku untuk mendukung serta setia berada di sisimu saat kau memulai semua usaha dari nol.” Aku menatapnya dengan mata yang berkaca. Sakit benar perasaanku. Terlebih saat mengatakan bahwa aku adalah seorang yatim. Ya Tuhan, aku jadi teringat Bapak. Beliau yang rela ditinggal lari Ibu hanya karena alasan ekonomi dan penyakitnya yang membuat dia tak berdaya serta berujung pada kematian tersebut. Andai beliau sehat, tak perlulah aku sampai merelakan tubuhku untuk dinikmati Mas Rauf hanya demi bisa membayar kuliah.

              “Ya, aku tahu kamu juga berjasa dalam hidupku. Kita sama-sama saling berjasa, Ris. Jadi, berhentilah untuk berpikir siapa yang paling banyak berkorban.”

              Aku hanya diam. Muak untuk membahas masalah ini panjang lebar. Ujung-ujungnya, tetap saja Mas Rauf yang merasa benar.

              “Aku tidak memberimu banyak uang untuk nafkah, karena aku sedang menabung, Ris. Menabung untuk beli tanah dan membangun rumah sendiri. Apa kamu tidak mau, Ris, punya rumah sendiri?” Pernyataan Mas Rauf membuatku termangu. Seketika aku gelagapan. Sungguhan kah? Apa betul yang diucapkan Mas Rauf?

              “Kamu tidak pernah membicarakan hal ini, Mas. Mana mungkin aku bisa percaya kalau tidak ada buktinya.” Aku menjawab acuh tak acuh. Mencoba untuk menguatkan hati bahwa aku tak seharusnya lagi-lagi mudah luluh pada Mas Rauf. Aku sungguh kapok dengan pengalaman hari ini!

              “Apa aku pernah berdusta padamu, Ris? Pernah?”

              Aku menatap Mas Rauf. Tajam. Tak gentar dengan pertanyaannya yang penuh intimidasi tersebut. “Aku tidak tahu.”

              Mas Rauf menarik napas dalam dan menggelengkan kepala sembari memejamkan matanya sesaat. Jangan kira dia saja yang pusing. Aku pun juga!

              “Kamu semakin keras kepala sejak kita menikah, Ris. Aku kadang tak habis pikir. Jujur, aku rindu sosokmu yang penurut dan sabar saat kita pacaran dulu.”

              “Aku juga rindu sosokmu yang royal dan tidak pelit, Mas. Kalau memang alasanmu untuk membeli tanah dan rumah, memangnya tidak ada sisa sepeser pun lagi untukku minta sekadar buat beli beras? Mengapa semua jadi tertumpu pada gajiku? Bayar cicilan motor adikmu pun harus aku juga. Lantas, mana tanggung jawabmu, Mas?” Kuberondong Mas Rauf dengan rentetan pertanyaan yang membuatnya keder dan seketika mati kutu. Wajah lelaki yang semula wajahnya sampai merah padam akibat menahan emosi, kini malah pias pucat pasi.

              “Boleh kan kalau aku berspekulasi macam-macam, Mas?” Aku kini berhasil mengembalikan kondisi. Membuat Mas Rauf tersudut dan diam seribu bahasa.

              “Jangan-jangan ... uangmu untuk berselingkuh?” Maka, keluarlah ucapan menyakitkan itu dari mulutku. Selama kami saling mengenal, tak pernah sekali pun aku menuduhnya untuk mendua hati. Namun, kali ini entah mengapa firasatku merasakan sedang ada yang tak beres.

              Mas Rauf masih terdiam. Tangannya malah mengepalkan tinju hingga urat-urat di lengan besarnya semakin tampak. Oh, jadi kau ingin menghajarku lagi, Mas? Tenang! Aku tak akan tinggal diam dan tentu saja akan membalasnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status