“Pak, turunin saya di sini aja. Ini ongkosnya, Pak!” ujar wanita muda beriris cokelat itu pada sang sopir, sambil menyerahkan selembar uang kertas biru sesuai argo, setelah taksi berwarna biru langit dengan lambang burung biru itu pun berhenti di lobi masuk Shinning Hotel.
Setelah menarik dan membuang napas sejenak, wanita muda itu turun. Ia tampak anggun dengan Tunik Asimetris berwarna putih dengan corak mawar maroon kecil yang senada dengan warna jahitan pakaiannya yang mengerucut di bagian bawah. Sneakers dan tas kecil di tangannya juga dipadukan warna seperti pakaiannya hari ini—putih. Rambut lurusnya yang terurai bebas ditambah dengan riasan simple khas anak muda di wajahnya yang cantik, membuat siapa saja yang memandangnya bak melihat setangkai mawar putih dengan sedikit corak maroon, sederhana tapi selalu anggun. “Kamu Annisa? Ya, ampun… Kamu datang juga? Akhirnya…” ucap heran seorang wanita muda seumurannya saat melihat sosoknya ada di sana juga. Annisa Lesmana, wanita muda berusia 24 tahun itu mengangguk sambil tersenyum sebelum menjawab dan bertanya balik, “Hmm, aku datang. Pak Rangkuti udah di dalam?” “Belum. Kami juga lagi nungguin Pak Rangkuti sama anak-anak lain. Kamu masuk aja dulu ke dalam. Pasti semuanya kaget lihat kamu datang, Nis!” Annisa menangguk lagi, “Ya udah, aku masuk dulu,” Hari ini adalah reuni SMA Tunas Murni yang ke-18. Kali ini sekolah terkenal di kota Bandung itu mengadakannya di Shinning Hotel dan Annisa yang merupakan alumni sekolah itu turut datang. Setelah tujuh tahun menamatkan sekolah menengah atasnya itu, baru kali ini Annisa mengikuti acara reuni. Tapi kehadirannya hari ini pun disebabkan karena sang guru kesayangan—Pak Rangkuti memanggilnya secara langsung karena ia akan berpamitan untuk menetap di Brunai Darussalam bersama anak dan menantunya. Adapun alasan Annisa enggan menghadiri acara tahunan sekolahnya itu karena terdapat luka menganga yang bahkan belum bisa tertutup selama tujuh tahun terakhir. Annisa berharap orang itu tidak ada di sana. Aula tempat reuni dibuka olehnya dan pemandangan keramaian teman seangkatannya langsung membuat Annisa canggung karena setiap mata tertuju padanya. “Apa kabar semuanya?” sapanya dengan ramah. “Annisa? Kamu datang juga? Sini-sini!” “Kode alam, nih! Gue harus pasang nomer!” “Gila! Si Annisa masih cantik kayak dulu aja. Resepnya apaan sih itu anak?” Mendengar banyak tanggapan dari setiap pemilik mata yang heran memandangnya, Annisa hanya bisa memberikan senyuman. Karena memang sejak sekolah dulu, dia hanya akrab dengan beberapa orang saja. “Hai, Nis. Akhirnya kamu datang juga. Udah lama banget nggak ketemu kamu. Kamu apa kabar?” sapa seorang pria muda yang dulunya merupakan ketua kelas di kelas Annisa—Azmi. “Kabarnya baik, Mi. Makanya aku di sini,” jawabnya sambil mengalihkan pandangannya ke sekeliling, “Pak Rangkuti belum datang, ya?” “Barusan aja Pak Rangkuti telepon aku. Bentar lagi sampai sini. Dia kena macet di lampu merah ujung jalan sebelum hotel. Ya udah, cari tempat duduk, gih!” Annisa mengangguk setuju dan mencari tempat yang agak sepi untuk duduk. Meskipun ini adalah acara reuni seangkatannya, tapi Annisa memang tidak terlalu akrab, itu hanya sebatas menyapa dan mengenal. ‘Semuanya berubah banget, ya? Makin cantik, makin bergaya. Udah pasti mereka jadi orang sukses,’ gumamnya dalam hati sambil melengkungkan senyuman miris. Gumamannya bukan tanpa arti saat melihat para teman sejawatnya. Itu karena SMA Tunas Murni merupakan sekolah elite di kota Bandung, dan rata-rata anak yang bersekolah di sana merupakan anak orang berada. Sudah dipastikan masa depan mereka yang tamat dari sana terjamin sukses. Tapi Annisa tidak menyadari satu hal. Setiap mata para seangkatannya itu juga memiliki pandangan yang sama pada Annisa, kalau siswi teladan yang dikenal jenius itu juga semakin berkilau sekalipun ia melepaskan kesempatan emas yang diberikan sekolah sebagai imbalan prestasinya. Dulu, Annisa ditawari untuk masuk ke Universitas bergengsi di ibukota tanpa biaya sepeserpun hingga tamat asalkan nilainya tetap di atas. Tapi Annisa menolak dan malah melanjutkan study di sekolah perawat. Jika para temannya kini sudah menjadi kepala kantor, manajer, ataupun jabatan tinggi lainnya di kota besar mereka, tapi Annisa hanya menjadi perawat magang di sebuah rumah sakit swasta di kota Bandung—RSUS Grand Healthy. Namun, Annisa tidak minder sedikit pun. Mungkin kehidupan teman seangkatannya sukses dan baik, tapi hidupnya juga tidak begitu buruk. Sekarang Annisa sudah hidup mandiri. Dia juga sudah bisa menyicil sebuah rumah KPR bersama kekasihnya—Zaky dan tinggal bersama. Zaky adalah seorang dokter magang bagian pengobatan mata di rumah sakit yang sama dengannya. Jadi, sekalipun tidak kaya, Annisa merasa hidupnya baik-baik saja. Hidup dengan tenang dengan masa depan yang baik bersama Zaky. Annisa jatuh dalam lamunannya sejenak sebelum dikagetkan oleh tepukan di pundaknya dari belakang. “Woi, anak perawan nggak boleh melamun. Jodoh Lo jauh!” Annisa merasa lega karena yang mengagetkannya adalah sahabatnya sendiri—Novellin. “Kalau jantung gue lompat gimana? Jantung Lo yang gue cabut terus gue tempel di sini, ya!” Annisa langsung mengomel. Bersama sobat karibnya kini Annisa jauh lebih santai. “Siapa yang suruh Elo ingkar janji? Elo bilang mau nungguin gue di depan, tapi nggak taunya Elo masuk duluan!” Novellin juga langsung membalas. “Gue tadi udah mau nungguin Elo. Tapi kata mereka yang di depan, anak-anak udah pada di dalam. Gue kira Elo juga udah di sini. Ya, gue masuk aja!” jawabnya riang dan sikapnya yang bocor seperti ini hanya ditunjukkan pada Novellin. Novellin Sugiarto, 24 tahun. Seorang wanita yang energiknya sama dengan Annisa. Novellin kini bekerja sebagai pramugari di sebuah maskapai penerbangan domestik dan mancanegara. Novellin adalah satu-satunya sahabat dekat Annisa sejak SMA dan sampai saat ini masih terus berhubungan baik dengannya. Bersama Novellin tidak ada sapaan ‘aku-kamu’ karena itu terasa canggung dan mengartikan kalau mereka tidak dekat sama sekali. Sapaan ‘Elo-Gue’ lebih menunjukkan kalau mereka sahabat sejati. “Kok Elo di sini? Katanya mau terbang ke Kalimantan?” “Gue kedapetan pesawat malam. Tadi udah gue roker sama temen gue yang berangkat pagi. Ini, kan, acara sekali setahun, masa iya gue nggak dateng buat ngelihatin alumni mana yang cantiknya hampir ngimbangin gue?” jawabnya sombong sambil mengibaskan rambutnya ke belakang. “Songong banget, Lo! Iya, deh. Novellin Sugiarto yang paling cantik se-antero SMA Tunas Murni!” cibir Annisa seketika dan mereka pun tertawa bersama. “Eh, Pak Dokter Elo mana? Nggak diajak? Sekali-sekalinya dateng malah sendirian. Itu laki gunanya apaan, sih?” Novellin bertanya setelah menyadari kalau Annisa datang sendiri. Annisa menggeleng, “Zaky ada operasi pagi. Nggak mungkin gue ajakin ke sini, kan?” “Oke, gue ngerti,” jawabnya singkat, “Kalian benaran jadi nikah? Elo udah pikirin bener-bener, Nis?” sambungnya bertanya. Kali ini suasana lebih tenang di antara keduanya. Mengingat sahabatnya itu tidak memiliki perasaan yang sebenarnya pada Zaky. Lebih dari siapa pun, Novellin tahu kalau di hati Annisa akan selalu ada orang itu. Benar saja, wajah Annisa langsung tertekuk dan menunduk. Membahas soal perasaannya pada Zaky, Annisa menjadi muram tidak berdaya. “Memangnya gue punya pilihan? Gue sama Zaky udah kenal lama. Kita juga udah tinggal serumah. Walaupun kamar kita dipisah, tapi Zaky itu baik banget sama gue. Dia nggak pernah nuntut lebih,” “Apa baik aja udah cukup buat Lo? Elo sendiri nggak cinta sama dia, kan? Yakin Lo mau nikah sama dia? Terus gimana sama si…“ “Ngapain disebutin lagi, sih?” Annisa langsung memotong ucapan Novellindan raut wajahnya semakin sedih, “Dia yang ninggalin gue tujuh tahun lalu. Apa lagi yang harus gue tungguin dari dia sampai sekarang? Gue sama dia udah putus, Lin, jangan bahas dia lagi,” Sebelum Novellin menjawab kalimat sedih Annisa, suara gaduh dari teman seangkatan mereka di ruangan tersebut membuat perhatian dua sahabat itu tergugah. Mau tidak mau Annisa dan Novellin juga ikut menoleh ke sumber keributan. “I-itu? D-dia dateng juga?” seperti ekspresi semua teman seangkatannya, Novellin juga terperangah melihat sosok laki-laki yang tidak pernah menghadiri reuni setiap tahunnya, tapi kini malah datang bersama Pak Rangkuti.Jika semua orang terperangah dengan kedatangan laki-laki itu, Annisa sudah lebih dulu merasakan kakinya dingin dan melemas. Pikirannya bercampur aduk tidak karuan ketika tatapan matanya dengan laki-laki itu bertemu satu sama lain.“Dimas? Dia Adimas, kan? Adimas datang?”“Ya ampun, Adimas tambah ganteng! Aku mau nyapa dia!”“Adimas, apa kabar? Masih kenal aku, nggak?”Banyak pertanyaan dan sapaan tertuju pada sosok laki-laki di depan pintu masuk. Baik itu teman laki-laki ataupun perempuan, semuanya seperti tersihir dengan kedatangan Adimas Sagala.Dia adalah salah satu alumni SMA Tunas Murni seperti yang lainnya, tapi Dimas (sapaan akrabnya) adalah bintang sesungguhnya di acara reuni ini selain Annisa. Dia siswa berbakat yang selalu mendampingi Annisa di berbagai situasi. Ya, dia adalah laki-laki yang terus ingin disebutkan oleh Novellin tadi.Adimas Sagala, putra tunggal keluarga Sagala yang memiliki perusahaan terkaya di deretan 5 perusahaan tersukses di Indonesia. Sagala Corporatio
‘Untuk apa kamu datang lagi?’ tanya Annisa dalam hati.Seakan mengerti, Dimas juga terdetak di hati, ‘Aku kangen banget sama kamu, Nis. Aku nggak tahan lagi,’Tapi Annisa hanya sesaat menatap Dimas sebelum hatinya jatuh lagi. Ia hanya mengangguk dan tersenyum singkat sebelum beralih menoleh pada Pak Rangkuti.“Apa kabarnya, Pak?” Annisa menyapa ramah sebelum duduk di samping Novellin, tepatnya di seberang tempat duduk Pak Rangkuti dan Adimas yang dipisahkan oleh meja bundar.“Kabar saya sehat, Annisa. Kamu yang gimana kabarnya? Sudah lama kita nggak ketemu, ya?” Pak Rangkuti menjawab senang. Semua mantan murid beliau pun ikut mendengarkan obrolan yang dimulai pada Annisa.“Kita belum banyak ngobrol di telepon kemarin karena sama-sama sibuk. Jadi, kemarin kamu bilang kamu sekarang jadi perawat magang di rumah sakit Grand Healthy, kan? Kenapa nggak ikut kuliah jurusan kedokteran aja, Annisa? Kamu, kan, jenius banget,” Pak Rangkuti bertanya karena peduli. Annisa memang murid yang membang
“Kita udah putus, Dimas, dan kamu yang tinggalin aku dulu. Jadi tolong jaga sikap kamu sekarang. Aku udah punya pacar dan kamu cuma masa lalu!” bentak Annisa sebelum berbalik, “Sial banget!” makinya sambil berjalan meninggalkan Dimas yang masih terdiam.“Kata siapa kita putus, Nis? Aku memang pergi, tapi aku nggak pernah mutusin hubungan kita. Kamu tetap milikku,” “Aku udah pulang, jadi aku akan perbaiki semuanya. Kita bakalan terus sama-sama lagi kayak dulu,” Gumam Dimas pelan sambil terus menatap hangat punggung Annisa yang berjalan meninggalkannya. Ia pun ikut beranjak dari sana dan segera memulai rencananya mendapatkan Annisa kembali.Yang sebenarnya terjadi hari ini semuanya adalah rencana Adimas. Ia yang sudah kembali memanfaatkan momen reuni sekolah mereka dan meminta tolong pada Pak Rangkuti untuk memanggil Annisa agar datang ke acara tahunan sekolah, karena ia tahu Annisa tidak akan menolak permintaan guru yang dihormatinya. Nyatanya, rencana Adimas berhasil. Tidak hanya m
Annisa menurunkan tangan Adimas, “Makanya kamu sadar, dong. Jangan keras kepala terus! Aku udah punya calon suami dan kami bakalan nikah sebentar lagi. Kurang jelas gimana lagi, sih, Dimas? Aku sakit kalau kamu terus gini sama aku!”“Makanya nikah sama aku. Aku nggak bakalan sakitin kamu lagi dan aku akan bayar semuanya sama kamu. Semua yang kamu lewatkan waktu aku pergi. Biarin aku bayar hutang janjiku sama kamu, Nis…” bujuk Adimas sambil mengambil tangan Annisa untuk ditariknya perlahan.Ia tidak ingin kalah berdebat dan seolah ucapan tentang Annisa yang memiliki calon suami selalu diabaikan Adimas. Tangisan kesal dan penolakan Annisa membuatnya sakit. Tapi dengan kesabaran akhirnya tubuh Annisa mengalah untuk dipeluk Adimas.“Jangan gini, Dimas, lepasin aku. Kita nggak boleh gini. Kita nggak punya hubungan apa pun lagi. Kamu udah mutusin hubungan kita waktu kamu pergi, dan aku udah terbiasa nggak ada kamu di hidup aku. Jadi tolong, ngertiin aku dan pergi aja, Dimas…” tolaknya sambi
“Ya udah, aku pergi dari sini. Tapi aku pergi karena aku mau kasih kamu waktu buat jelasin hubungan kamu sama dia. Kamu itu punyaku, Nis, cuma milik aku!” tegasnya sebelum pergi dari sana. Tapi sebelum itu Dimas masih sempat menatap hangat wajah Nissa yang banjir air mata.“Maafin aku karena udah buat kamu nangis lagi. Tapi aku janji kalau ini air mata kamu yang terakhir. Jelasin hubungan kita sama dia dan setelah itu cuma bahagia yang bakalan kamu lihat di samping aku. Sampai jumpa, Nissa sayang,” ucapnya lembut sebelum benar-benar melangkahkan kakinya.“Mau ke mana kamu, hei!” Zaky memanggil Dimas. Ia keberatan kalau Adimas pergi dari sana, tapi Nissa menahannya agar membiarkan Adimas pergi.“Biarin dia pergi, Zaky. Aku bakalan jelasin semuanya sama kamu,""Jelasin apa lagi? Jelasin kalau dia memang mantan pacar kamu waktu SMA? Ternyata dia orangnya yang buat kamu selalu nolak kalau aku ajakin nikah? Iya, kan?”Pertanyaan Zaky yang mendesak membuat Nissa diam dan menunduk. Sekalipun
“Sumpah, ya, Nis... Aku ini cinta banget sama kamu. Bahkan setelah tadi si brengsek itu bilang kalau dia yang dapetin kesucian kamu ke aku, aku masih berusaha tahan emosi aku dan bakalan dengerin penjelasan kamu. Aku udah cukup sabar tekan ego aku yang nolak kalau kamu itu bekasnya dia. Itu semua karena aku sayang sama kamu,”Semua ucapan Zaky yang meremehkannya itu membuat Nissa terdiam. Ia tidak menyangka kalau laki-laki baik yang ia kenal selama ini bisa mengatakan hal semenyakitkan itu.“Jadi, patokannya cinta dan ketulusannya aku sama hubungan kita cuma dari mau enggaknya aku buka baju di depan kamu? Mau enggaknya aku tidur sama kamu sebelum kita nikah? Itu yang ada di pikiran kamu?” tanyanya tidak percaya.“Sebenarnya enggak, tapi kamu yang buat aku tekanin hal itu sama kamu. Lagian alasan buat kamu nolak tidur bareng aku itu apa? Toh, kamu kan udah bekasnya si brengsek itu. Apa lagi yang harus kamu tutupin sama aku?” lagi-lagi Zaky memperjelas isi kepalanya pada Nissa.Nissa be
“Aku juga nggak lihat langsung, Mbak. Aku ditelepon Bik Lina kalau ibu dibawa ke sini. Bik Lina bilang sebelum pingsan, ada tamu datang. Dia orang kaya, Mbak, dan Bik Lina lihat kalau ibu sempet ngusir orang itu sambil marah-marah. Tapi habis tamunya pergi, ibu langsung pingsan,”Cerita Arul bisa dimengerti oleh Nissa dengan baik. Seperti virus, di mata ibu mereka orang kaya adalah hal yang harus dibenci dan dijauhi. Tapi semua itu memiliki sebab yang memang menghancurkan sang ibu dan keluarga mereka.“Ya udah, mbak udah di sini. Mbak masuk dulu ke dalam buat ngomong sama dokter,” Nissa menjawab yakin dan mulai bangkit. Tapi Arul kembali menahan dengan tetap memegangi tangan kakaknya.“Kalau dokter bilang ibu harus dioperasi, duitnya dari mana, Mbak? Operasi jantung pasti mahal, kan? Dan kita nggak punya uang sebanyak itu. Tapi aku nggak mau ibu kenapa-kenapa. Udah cukup ayah yang pergi, aku nggak mau kalau ibu…”“Shhh… stop ngeluarin kata-kata nggak guna. Doain aja ibu lekas sehat. I
‘Ibu anda masih bisa diselamatkan tanpa harus menerima operasi. Tapi satu kali saja pasien menerima kejutan lagi yang mengakibatkan guncangan di hatinya, mungkin pasien tidak akan tertolong,’‘Anda seorang petugas kesehatan, kan? Tolong jaga kesehatan mentalnya juga selain kesehatan fisiknya. Usia ibu anda juga sangat rentan mengingat riwayat penyakit jantung yang sudah lama pasien derita,’Pesan dokter yang menangani ibunya terus terngiang di benak Nissa. Kini ia duduk termenung di sebuah café di depan rumah sakit tempat ibunya dirawat. Tanpa memperdulikan sakit memar di pipinya, Nissa terus mengingat beberapa saat tadi setelah ia kembali menjenguk ibunya yang baru sadar dari pingsan.‘Kenapa kamu di sini? Pergi! Aku nggak sudi lihat muka kamu, tau! Arul, usir perempuan sial ini! Ibu nggak mau lihat dia di sini atau kamu mau lihat ibu jadi mayat!’‘Suruh dia balik sama laki-laki dari keluarga pembunuh ayah kamu aja. Jangan biarin dia dateng lihat ibu lagi, Arul! Ibu nyesal kenapa dul