Share

Menagih Janji

“Aku juga nggak lihat langsung, Mbak. Aku ditelepon Bik Lina kalau ibu dibawa ke sini. Bik Lina bilang sebelum pingsan, ada tamu datang. Dia orang kaya, Mbak, dan Bik Lina lihat kalau ibu sempet ngusir orang itu sambil marah-marah. Tapi habis tamunya pergi, ibu langsung pingsan,”

Cerita Arul bisa dimengerti oleh Nissa dengan baik. Seperti virus, di mata ibu mereka orang kaya adalah hal yang harus dibenci dan dijauhi. Tapi semua itu memiliki sebab yang memang menghancurkan sang ibu dan keluarga mereka.

“Ya udah, mbak udah di sini. Mbak masuk dulu ke dalam buat ngomong sama dokter,” Nissa menjawab yakin dan mulai bangkit. Tapi Arul kembali menahan dengan tetap memegangi tangan kakaknya.

“Kalau dokter bilang ibu harus dioperasi, duitnya dari mana, Mbak? Operasi jantung pasti mahal, kan? Dan kita nggak punya uang sebanyak itu. Tapi aku nggak mau ibu kenapa-kenapa. Udah cukup ayah yang pergi, aku nggak mau kalau ibu…”

“Shhh… stop ngeluarin kata-kata nggak guna. Doain aja ibu lekas sehat. Ibu kita nggak bakalan kemana-mana. Ibu harus sehat!” Nissa menepis anggapan buruk Arul yang ketakutan. Ia mengerti sekali apa yang ada di pikiran adiknya itu.

“Lagian siapa yang bilang kalau kita nggak punya uang? Mbak ada, kok. Walau nggak banyak, nanti mbak bisa minta tolong temen-temen mbak buat pinjamin uang mereka. Kamu nggak usah nambahin beban pikiran mbak gini, deh. Jadi anak baik budi dan terus doain ibu sama mbak aja. Mbak masuk dulu, kamu jangan nangis lagi, ya!” jawab Nissa tegas.

Namun, itu hanya ia tunjukkan pada Arul agar adiknya tegar. Padahal sebenarnya ia juga sudah hampir tidak berdaya menopang tubuh dan pikirannya yang lelah.

Setelah menarik dan membuang napas dalam-dalam, Nissa melangkah dan membuka pintu IGD dengan tangannya yang bergetar.

***

Aston Martin milik Adimas berhenti dan terparkir di depan pintu masuk utama mansion besar keluarga Sagala. Rumah bak istana itu berdiri kokoh di tanah seluas dua ribu lima ratus meter persegi. Wow, bahkan kediaman pribadi pemerintah tertinggi negara ini saja tidak sebesar itu. Tapi memang begitulah adanya rumah bak istana yang menjadi bagian profil kekayaan keluarga Sagala.

Kedatangan Dimas sontak disambut oleh belasan pelayan di rumah tersebut.

“Di mana papa?” tanya Dimas tanpa menunjuk seorang pun. Tapi seorang pria paruh baya—Pak Manan, yang merupakan kepala pelayan di rumah itu maju dengan menundukkan kepalanya pada Dimas sebelum menjawab.

“Izin menjawab, Den Dimas. Tuan besar ada di ruang kerja beliau dan Nyonya besar sedang keluar. Aden mau saya siapin makanan sekarang?” Pak Manan tampak hati-hati bicara dengan Dimas karena saat ini ekspresi Dimas jelas sedang tidak dalam emosi yang baik.

“Nggak perlu. Aku mau ke atas!” ujarnya dengan nada datar tanpa menoleh pada para pelayan rumahnya yang tetap menundukkan kepala.

Meskipun Dimas tidak tinggal bersama mereka dalam rumah itu selama tujuh tahun, tapi siapa pun tahu kalau perangai Adimas itu dingin. Pelayan di rumah itu tidak berani mengusiknya atau pekerjaan mereka akan tamat.

“Pa, ini aku!” ucap Adimas setelah mengetuk pintu ruang kerja sang papa beberapa kali.

“Masuk!” suara berat yang tidak kalah datarnya dari Dimas terdengar dan membuatnya langsung masuk ke dalam.

Seperti kepribadian pemiliknya, ruang kerja bergaya klasik mewah itu mencerminkan betapa ketenangan dan ketegaran bisa berbaur dengan cara yang elegan.

“Kenapa baru pulang? Ke mana aja kamu dari pagi? Bukannya pesawat kamu landing dari subuh?” pria berwibawa berusia lima puluhan tahunan itu bertanya dan menoleh pada Adimas setelah meletakkan buku tebal di mejanya.

Dia adalah Midi Sagala, keturunan kedua dari keluarga Sagala yang terkenal di Indonesia. Sikap Adimas yang cenderung pendiam dan dingin berasal dari beliau.

“Banyak yang harus diiurus. Papa tau kalau aku nggak bisa santai, kan?” Dimas menjawab seadanya.

“Termasuk ketemu sama perempuan itu? Kamu nggak mau nyerah aja? Kalian udah pisah tujuh tahun dan itu bukan waktu yang sebentar, Mas,” Tuan Midi kembali berucap.

“Nissa bukan urusan Papa lagi. Aku udah cukup besar buat nentuin sendiri masa depan aku sama Nissa,” Adimas menjawab lebih dingin.

“Berhubung Papa langsung sebutin nama Nissa, aku ke sini mau nagih janji Papa dulu. Aku udah berhasil jadi orang sukses kayak yang Papa harapin, dan sekarang aku juga udah terima jabatan wakil Presdir sesuai kemauan Papa,”

“Jadi, karena tugas aku udah tercapai, aku minta sama Papa, mulai hari ini jangan ikut campur soal hubunganku sama Nissa. Papa nantangin aku selama tujuh tahun ini dan aku udah buktikan ke Papa sendiri. Jadi, tolong bayar janji Papa sama aku atau Papa tau aku bisa ngelakuin apa aja kalau aku kecewa!”

Dimas dengan serius menuntut haknya untuk janji yang sudah ayah dan anak itu sepakati. Meninggalkan Nissa setelah mereka meluluskan SMA lalu menjadi pebisnis muda yang handal dan berkompeten sebagai pewaris tunggal Sagala Corporation adalah janji yang harus Adimas lakukan.

Adimas melakukan pengorbanan perasaan, jarak, dan waktu untuk jauh dari kekasihnya hanya untuk imbalan besar yang setimpal, yaitu menikah dengan Nissa tanpa penolakan dan campur tangan orang tuanya yang sejak awal melarang hubungan beda kasta tersebut.

“Untuk yang terakhir kalinya papa tanya sama kamu, Dimas. Apa kamu nggak bakalan menyesal sama keputusan kamu mau nikahin perempuan itu?” Tuan Midi kembali bertanya keputusan Dimas yang terakhir kalinya.

“Lebih dari siapa pun, Papa yang paling tahu gimana hancurnya aku waktu ninggalin Nissa sama semua kebencian mama ke keluarga Nissa,”

“Papa yang paling tau kalau aku cinta banget sama Nissa sampai aku bisa korbanin apapun buat kebahagiaan dia. Papa nggak usah mikirin apa-apa lagi. Cukup sebutin persetujuan Papa buatku bahagia sama Nissa. Aku nggak perlu yang lain, Pa,”

Setelah mendengar kalimat dingin tanpa ekspresi dari Adimas, Tuan Midi menghela napas berat sebelum menjawab.

“Papa serahin semuanya sama kamu. Masa depan kamu itu penting buat keluarga ini, termasuk siapa yang akan jadi istri kamu nanti. Tapi, kalau kamu yakin perempuan itu memang perempuan yang tepat buat kamu, silahkan lakuin yang kamu mau. Papa ikhlas terima perempuan itu jadi istri kamu,”

Setelah mendengar jawaban sang papa, barulah senyuman simpul terlihat di wajah kaku Adimas. Ia berdiri lalu mengulurkan tangannya ke papanya sendiri.

“Deal! Mulai hari ini aku minta Papa bisa jaga mama buat nggak ngerusuhin hubungan aku sama Nissa termasuk keluarganya. Yang Papa Mama lakuin ke keluarganya udah cukup buat mereka menderita, tapi aku bakalan perbaiki semuanya,” ujarnya mantap dan sang ayah pun menyambut dengan bertanggung jawab.

“Bilang sama mama kalau aku nggak pulang. Jangan cari-cari aku atau suruh orang buat ngikutin ke mana aku pergi. Aku udah besar,"

“Aku pergi, Pa. Terima kasih karena Papa udah nepatin janji Papa ke aku. Aku nggak bakalan buat Papa kecewa sama keputusan aku,”

Setelah mendapatkan anggukan singkat sang papa, Adimas keluar dari ruang kerja sang papa.

‘Nissa, mulai hari ini nggak ada lagi yang bakalan ngehalangi langkahku buat bahagiain kamu,’ gumamnya dalam hati dengan senyuman bahagia.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Wanita tercinta yang baru saja disebutnya dalam hati, langsung muncul dengan panggilan telepon.

“Ya, Nis?”

[Aku mau kita ketemu sekarang. Aku tunggu kamu di café Ring Stone depan rumah sakit Grand Healthy!]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status