‘Untuk apa kamu datang lagi?’ tanya Annisa dalam hati.
Seakan mengerti, Dimas juga terdetak di hati, ‘Aku kangen banget sama kamu, Nis. Aku nggak tahan lagi,’ Tapi Annisa hanya sesaat menatap Dimas sebelum hatinya jatuh lagi. Ia hanya mengangguk dan tersenyum singkat sebelum beralih menoleh pada Pak Rangkuti. “Apa kabarnya, Pak?” Annisa menyapa ramah sebelum duduk di samping Novellin, tepatnya di seberang tempat duduk Pak Rangkuti dan Adimas yang dipisahkan oleh meja bundar. “Kabar saya sehat, Annisa. Kamu yang gimana kabarnya? Sudah lama kita nggak ketemu, ya?” Pak Rangkuti menjawab senang. Semua mantan murid beliau pun ikut mendengarkan obrolan yang dimulai pada Annisa. “Kita belum banyak ngobrol di telepon kemarin karena sama-sama sibuk. Jadi, kemarin kamu bilang kamu sekarang jadi perawat magang di rumah sakit Grand Healthy, kan? Kenapa nggak ikut kuliah jurusan kedokteran aja, Annisa? Kamu, kan, jenius banget,” Pak Rangkuti bertanya karena peduli. Annisa memang murid yang membanggakan bagi sekolah mereka saat itu. “Nggak apa-apa, Pak. Saya memang milih jadi perawat. Saya suka, kok, sama kerjaan saya sekarang,” Annisa juga menjawab seadanya, jujur, tanpa basa basi atau meninggikan kemampuannya. Semuanya ikut senang mengetahui tentang Annisa yang jarang terekspose di grup chat alumni. Obrolan kemudian dilanjutkan dengan ramah-tamah sebelum semuanya terdiam ketika Maya bertanya pada Annisa. “Tapi, Nis. Aku dengar-dengar kamu mau nikah, ya? Calon kamu dokter mata di rumah sakit tempat kamu kerja, kan? Udah tentuin tanggal belum? Jangan lupa ngundang kita semua, dong!” Sengaja. Maya jelas sengaja mengangkat topik panas ini di depan semua orang, terlebih di depan Adimas agar status Annisa yang kini sudah memiliki calon suami jelas didengarnya. Bagaikan petir menyambar hatinya, Dimas langsung terkesiap. Tatapan kini semakin tajam tertuju pada Annisa seakan meminta jawaban kalau semua itu bohong. “Hmm, iya. Tahun ini kami punya rencana nikah. Tapi belum tahu tepatnya kapan. Orang tua kami belum mutusin tanggal yang baik. Nanti bakalan dikabarin ke grup alumni kalau memang tanggalnya udah disepakati bersama,” dengan agak takut Annisa menjawab. Jelas ia menyadari kalau Dimas terus menatapnya tajam, maka dari itu Annisa tidak berani menghadapnya ketika bicara. “Kamu masih muda, Annisa. Nggak usah terburu-buru nikah,” Pak Rangkuti mengalihkan percakapan ketika menyadari ada aroma hangus di sana, tapi itu jelas bukan makanan. Ada hati yang terbakar mendengar status Annisa. Sebagai wali kelas mereka dulu, Pak Rangkuti yang paling tahu seberapa naifnya cinta di masa muda yang ditunjukkan Adimas pada Annisa. Bahkan dulu, Pak Rangkuti seperti malu melihat cinta anak remaja seperti Adimas yang begitu memanjakan Annisa sebagai kekasihnya, dibandingkan dirinya yang masih melajang saat itu. “Dengan kepintaran kamu, kamu bisa jadi dokter juga, Annisa. Menikah memang harus dan penting, tapi masa depan yang cemerlang juga harus jadi pertimbangan kamu. Kamu itu kebanggaan saya, dan dulu saya punya mimpi kalau kamu akan jadi dokter seperti cita-cita kamu,” Menanggapi nasihat sang guru, Annisa hanya tersenyum legowo tanpa bantahan, “Saya akan dengar nasihat Bapak. Kami juga nggak terburu-buru. Kami juga punya cita-cita besar ke depannya, Pak. Terima kasih nasihatnya, saya jadi pengen balik sekolah dan jadi murid Bapak lagi,” ucapnya santai sambil sedikit terkekeh. “Ya, saya juga rindu masa-masa kebandelan kalian semua, haha!” Pak Rangkuti tertawa bebas, diikuti tawa mantan muridnya yang duduk mengelilinginya. “Pak, sepertinya saya izin pulang duluan. Saya dapet shif sore, jadi mau beres-beres dulu,” Annisa yang meminta izin pamit membuyarkan nostalgia masa lalu yang menyenangkan. Banyak yang menyayangkan pamitnya Annisa saat ini. Tapi Pak Rangkuti sebagai orang yang bijak, tidak akan memaksakan acara santai ini untuk mengganggu waktu Annisa yang penting. Jadi beliau mengizinkan Annisa untuk undur diri dari sana. Tanpa diikuti Novellin yang masih ingin menghabiskan waktu di sana, Annisa keluar dari aula reuni. Dia tidak tahu kalau seseorang juga ikut meninggalkan acara tahunan itu. Annisa berjalan linglung, tidak memperhatikan orang yang berlalu lalang di sana. Tepat di lorong toilet yang sebelumnya ia masuki, tangan Annisa tertarik ke ruangan di sebelah toilet, tempat di mana peralatan kebersihan berada. Jantungnya hampir melompat ketika tubuhnya didekap erat dari belakang. “Nis, aku kangen kamu...” suara berat dan lirih itu jelas ia tahu siapa pemiliknya. Tubuhnya semakin bergetar, tapi itu bukan takut melainkan sedih. “Lepasin aku,” Annisa yang sekuat tenaga menahan sesak tangis yang hampir keluar, hanya bisa mengucap penolakan singkat. Tapi sepertinya Adimas tidak peduli. Ia menjatuhkan hidungnya untuk bersandar di pundak Annisa untuk menghirup aroma parfum yang masih sama seperti tujuh tahun ia meninggalkannya. “Sebentar aja, Nis, tolong... Biarin aku peluk kamu kayak gini sebentar,” mohon Dimas pada wanita yang dicintainya sejak dulu. Ia benar-benar merindukan Annisa hingga sakitnya rindu seakan ingin membunuhnya. Ingin terlarut dalam pelukan rindu Adimas, tapi akal sehat Annisa yang merespon cepat membuatnya tidak berani menerima rindu itu. Ia langsung ingat pada Zaky kekasihnya, terlebih pada sakitnya ditinggalkan Adimas tujuh tahun lalu. Annisa cepat membuka kuncian tangan Adimas ketika terasa melonggar, dan ia pun berbalik mendorong Adimas. “Kamu jangan gila! Kamu nggak—“ belum lagi Annisa selesai, tubuhnya terdorong Dimas hingga membentur dinding. Dimas mengunci Annisa dengan tangan yang disandarkannya ke dinding. Jarak wajah mereka diperpendek Dimas tanpa mengalihkan tatapan mata sayunya ke seluruh wajah Annisa yang panik. “Stop, kamu mau apa?” Tidak menjawab, tapi Adimas malah lebih mendekatkan wajahnya hingga hanya tertinggal beberapa inci saja sebelum berucap, “Aku nggak kuat lagi tahan kangen ini, Nis... [kiss] Sedetik kemudian Dimas tanpa malu dan bersalah mendaratkan miliknya untuk disatukan dengan daging lembut beraroma peach milik Annisa. Dimas akhirnya bisa mengurangi rasa rindu yang seakan membunuhnya. ‘Mulai hari ini kamu pacarku, kamu hanya milikku. Aku janji, akan selalu buat kamu bahagia, Annisa,’ Kalimat manis pertanda hubungan mereka yang baru saja dimulai dulu, kembali terngiang di benak Annisa yang saat ini memejamkan mata, menikmati sentuhan daging lembut dingin yang dirinduinya. ‘Kamu mau berapa banyak? Dua puluh juta? Lima puluh juta?’‘Lupakan Adimas dan hidup dengan baik selayaknya anak perempuan miskin yang tahu diri. Kamu dan Adimas itu masih kecil. Yang kalian sebut hubungan, itu cuma cinta monyet. Pasti nanti akan bubar kalau kalian sama-sama dewasa. Adimas akan kami bawa ke Amerika, jadi jangan ingat-ingat dia lagi!’ Mata Annisa membuka lebar. Air matanya seketika jatuh ketika ingatan lain yang menyakitkan ikut terbawa di momen haru ini. Annisa langsung menarik wajahnya dari rengkuhan Dimas dan… [Plak!!!] Sebuah tamparan keras di pipi Dimas membangunkannya dari mimpi indah ketika ia bisa memeluk dan mencium Annisa lagi seperti dulu.“Kita udah putus, Dimas, dan kamu yang tinggalin aku dulu. Jadi tolong jaga sikap kamu sekarang. Aku udah punya pacar dan kamu cuma masa lalu!” bentak Annisa sebelum berbalik, “Sial banget!” makinya sambil berjalan meninggalkan Dimas yang masih terdiam.“Kata siapa kita putus, Nis? Aku memang pergi, tapi aku nggak pernah mutusin hubungan kita. Kamu tetap milikku,” “Aku udah pulang, jadi aku akan perbaiki semuanya. Kita bakalan terus sama-sama lagi kayak dulu,” Gumam Dimas pelan sambil terus menatap hangat punggung Annisa yang berjalan meninggalkannya. Ia pun ikut beranjak dari sana dan segera memulai rencananya mendapatkan Annisa kembali.Yang sebenarnya terjadi hari ini semuanya adalah rencana Adimas. Ia yang sudah kembali memanfaatkan momen reuni sekolah mereka dan meminta tolong pada Pak Rangkuti untuk memanggil Annisa agar datang ke acara tahunan sekolah, karena ia tahu Annisa tidak akan menolak permintaan guru yang dihormatinya. Nyatanya, rencana Adimas berhasil. Tidak hanya m
Annisa menurunkan tangan Adimas, “Makanya kamu sadar, dong. Jangan keras kepala terus! Aku udah punya calon suami dan kami bakalan nikah sebentar lagi. Kurang jelas gimana lagi, sih, Dimas? Aku sakit kalau kamu terus gini sama aku!”“Makanya nikah sama aku. Aku nggak bakalan sakitin kamu lagi dan aku akan bayar semuanya sama kamu. Semua yang kamu lewatkan waktu aku pergi. Biarin aku bayar hutang janjiku sama kamu, Nis…” bujuk Adimas sambil mengambil tangan Annisa untuk ditariknya perlahan.Ia tidak ingin kalah berdebat dan seolah ucapan tentang Annisa yang memiliki calon suami selalu diabaikan Adimas. Tangisan kesal dan penolakan Annisa membuatnya sakit. Tapi dengan kesabaran akhirnya tubuh Annisa mengalah untuk dipeluk Adimas.“Jangan gini, Dimas, lepasin aku. Kita nggak boleh gini. Kita nggak punya hubungan apa pun lagi. Kamu udah mutusin hubungan kita waktu kamu pergi, dan aku udah terbiasa nggak ada kamu di hidup aku. Jadi tolong, ngertiin aku dan pergi aja, Dimas…” tolaknya sambi
“Ya udah, aku pergi dari sini. Tapi aku pergi karena aku mau kasih kamu waktu buat jelasin hubungan kamu sama dia. Kamu itu punyaku, Nis, cuma milik aku!” tegasnya sebelum pergi dari sana. Tapi sebelum itu Dimas masih sempat menatap hangat wajah Nissa yang banjir air mata.“Maafin aku karena udah buat kamu nangis lagi. Tapi aku janji kalau ini air mata kamu yang terakhir. Jelasin hubungan kita sama dia dan setelah itu cuma bahagia yang bakalan kamu lihat di samping aku. Sampai jumpa, Nissa sayang,” ucapnya lembut sebelum benar-benar melangkahkan kakinya.“Mau ke mana kamu, hei!” Zaky memanggil Dimas. Ia keberatan kalau Adimas pergi dari sana, tapi Nissa menahannya agar membiarkan Adimas pergi.“Biarin dia pergi, Zaky. Aku bakalan jelasin semuanya sama kamu,""Jelasin apa lagi? Jelasin kalau dia memang mantan pacar kamu waktu SMA? Ternyata dia orangnya yang buat kamu selalu nolak kalau aku ajakin nikah? Iya, kan?”Pertanyaan Zaky yang mendesak membuat Nissa diam dan menunduk. Sekalipun
“Sumpah, ya, Nis... Aku ini cinta banget sama kamu. Bahkan setelah tadi si brengsek itu bilang kalau dia yang dapetin kesucian kamu ke aku, aku masih berusaha tahan emosi aku dan bakalan dengerin penjelasan kamu. Aku udah cukup sabar tekan ego aku yang nolak kalau kamu itu bekasnya dia. Itu semua karena aku sayang sama kamu,”Semua ucapan Zaky yang meremehkannya itu membuat Nissa terdiam. Ia tidak menyangka kalau laki-laki baik yang ia kenal selama ini bisa mengatakan hal semenyakitkan itu.“Jadi, patokannya cinta dan ketulusannya aku sama hubungan kita cuma dari mau enggaknya aku buka baju di depan kamu? Mau enggaknya aku tidur sama kamu sebelum kita nikah? Itu yang ada di pikiran kamu?” tanyanya tidak percaya.“Sebenarnya enggak, tapi kamu yang buat aku tekanin hal itu sama kamu. Lagian alasan buat kamu nolak tidur bareng aku itu apa? Toh, kamu kan udah bekasnya si brengsek itu. Apa lagi yang harus kamu tutupin sama aku?” lagi-lagi Zaky memperjelas isi kepalanya pada Nissa.Nissa be
“Aku juga nggak lihat langsung, Mbak. Aku ditelepon Bik Lina kalau ibu dibawa ke sini. Bik Lina bilang sebelum pingsan, ada tamu datang. Dia orang kaya, Mbak, dan Bik Lina lihat kalau ibu sempet ngusir orang itu sambil marah-marah. Tapi habis tamunya pergi, ibu langsung pingsan,”Cerita Arul bisa dimengerti oleh Nissa dengan baik. Seperti virus, di mata ibu mereka orang kaya adalah hal yang harus dibenci dan dijauhi. Tapi semua itu memiliki sebab yang memang menghancurkan sang ibu dan keluarga mereka.“Ya udah, mbak udah di sini. Mbak masuk dulu ke dalam buat ngomong sama dokter,” Nissa menjawab yakin dan mulai bangkit. Tapi Arul kembali menahan dengan tetap memegangi tangan kakaknya.“Kalau dokter bilang ibu harus dioperasi, duitnya dari mana, Mbak? Operasi jantung pasti mahal, kan? Dan kita nggak punya uang sebanyak itu. Tapi aku nggak mau ibu kenapa-kenapa. Udah cukup ayah yang pergi, aku nggak mau kalau ibu…”“Shhh… stop ngeluarin kata-kata nggak guna. Doain aja ibu lekas sehat. I
‘Ibu anda masih bisa diselamatkan tanpa harus menerima operasi. Tapi satu kali saja pasien menerima kejutan lagi yang mengakibatkan guncangan di hatinya, mungkin pasien tidak akan tertolong,’‘Anda seorang petugas kesehatan, kan? Tolong jaga kesehatan mentalnya juga selain kesehatan fisiknya. Usia ibu anda juga sangat rentan mengingat riwayat penyakit jantung yang sudah lama pasien derita,’Pesan dokter yang menangani ibunya terus terngiang di benak Nissa. Kini ia duduk termenung di sebuah café di depan rumah sakit tempat ibunya dirawat. Tanpa memperdulikan sakit memar di pipinya, Nissa terus mengingat beberapa saat tadi setelah ia kembali menjenguk ibunya yang baru sadar dari pingsan.‘Kenapa kamu di sini? Pergi! Aku nggak sudi lihat muka kamu, tau! Arul, usir perempuan sial ini! Ibu nggak mau lihat dia di sini atau kamu mau lihat ibu jadi mayat!’‘Suruh dia balik sama laki-laki dari keluarga pembunuh ayah kamu aja. Jangan biarin dia dateng lihat ibu lagi, Arul! Ibu nyesal kenapa dul
“Sekalipun benar kalau kamu pulang untuk aku, tapi nyatanya kepulangan kamu buat aku hancur. Pernikahan aku batal dan ibu masuk rumah sakit. Aku tahu kalau ibu pasti habis ketemu kamu, kan?”“Mau kamu apa, sih? Kalau kamu berkeras cinta sama aku, tolong pergi aja. Dengan kamu pergi dan jauh dari aku, semua itu cukup buat aku bahagia!”Nissa bangkit dari tempat duduknya dan menatap Dimas sebelum pergi. Tersirat penyesalan ketika ia mengusir Dimas dari hidupnya dengan kalimat yang pastinya membuat Dimas sakit.‘Maaf, tapi aku harus buat kamu sakit dulu biar kamu pergi,’ batinnya yang ikut hancur dibawa pergi dari sana, meninggalkan Dimas yang hanya bisa tersenyum miris memandang Nissa.“Aku tahan kok, Nis. Mau kamu bilang kamu benci aku dan kamu ngusir aku, selangkah pun aku nggak bakalan pergi lagi. Aku akan tetap di sini dan jadikan kamu milik aku seutuhnya,”“Nggak ada yang bisa sakitin kamu lagi karena aku udah di sini, Nis… Dulu dan sekarang pun janji aku tetap sama. Aku bakalan bu
Nissa sampai di depan pos perawat di depan lorong Dahlia, ruang rawat ibunya. “Pagi, Mbak Nita… Saya mau tanya kondisi ibu saya yang dirawat di kamar Dahlia 4. Kata adik saya, ibu saya di off-kan besok. Itu benar, ya, Mbak?” Nissa bertanya ramah pada suster penjaga di sana. Kebetulan Nissa mengenal baik perawat di sana. Berada di satu rumah sakit dengan profesi yang sama membuat mereka harus saling mengenal, sekalipun mereka berada di departemen yang berbeda. “Iya, Mbak Nissa. Dokter udah kasih izin buat pulangin ibunya Mbak Nissa besok. Tapi dokter masih harus lihat kondisi pasien seharian ini, Mbak. Kalau belum, nanti dokter bakalan konfirmasi lagi. Tapi kalau ibunya Mbak Nissa udah pulih benar, besok pasti pulang, kok,” “Mbak Nissa konfirmasi aja dulu ke bagian RRI (Ruang Registrasi Informasi) buat selesaikan tagihannya. Biar cepet, Mbak, soalnya bagian RRI bilang banyak pasien baru masuk tapi harus di-hold karena ruangan penuh,” Suster Nita menjelaskan dengan jelas pada Nissa.