*Sembilan bulan yang lalu di Negri Kahyangan tepatnya kantor tempat produksi manusia.*
Han sedang sibuk dengan pekerjaannya.
Ia adalah malaikat yang bertugas meracik genetik makhluk di bumi seperti, golongan darah, sidik jari, warna kulit, warna mata, dan berbagai jenis bentuk tubuh lainnya.
Bisa dibilang pekerjaanya sangat rumit dan butuh ketelitian luar biasa.
Dia harus memasukkan ramuan sesuai takaran yang tertulis di dokumen. Misalnya, takaran lebar mulut dan tinggi hidung tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. Jika tidak, akibatnya bayi yang lahir akan berbeda dengan wajah kedua orang tuanya.
"Tok ... tok ... tok ... " suara ketukan pintu dari luar.
"Masuklah!"
Yejun pun masuk dengan membawa tumpukan berkas setelah dipersilahkan.
"Siang, Tuan Han! Ini berkas-berkas manusia yang akan lahir sembilan bulan ke depan."
"Aissh ... Kenapa banyak sekali?"
"Entahlah! Beberapa hari ini saya juga selalu lembur untuk mendata semuanya. Kalau begitu, saya pamit keluar dulu."
"Silahkan!"
Han mulai mengerjakan tugasnya dengan terburu-buru, "Aku harus cepat menyelesaikan secepatnya atau aku akan gagal menonton konser Yellow Pink malam ini."
Ya, malaikat tampan ini adalah Fanboy dari salah satu Girlgroup Korea selatan.
Dia kerap turun ke bumi menyamar menjadi manusia hanya untuk menyaksikan konser.
Tak terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul 20.32.
Kurang dari setengah jam, konser akan segera digelar. Tapi, masih tersisa beberapa berkas yang belum dikerjakan. Hal itu membuatnya semakin mempercepat pekerjaan.
"Berhati-hatilah saat bekerja, Han!" tegur Sang Ketua malaikat yang baru saja memasuki ruangan.
"Oh, Ketua Joon," kata pria itu sambil menoleh sebentar dan lanjut bekerja, "tentu saya sangat berhati-hati, Ketua. Saya hanya sedikit mempercepat pekerjaan."
"Kau ingat kesalahan yang kau perbuat 10 tahun yang lalu? Akibatnya, gadis manusia itu masih dibully orang-orang sekitarnya karena warna kulitnya terlalu gelap dan sangat bebeda dengan ras keluarganya."
"Ah, aku sangat merasa bersalah. Tapi, itu mungkin terjadi karena aku masih training. Dan aku yakin tidak akan melakukan kesalahan lagi. Aku sudah cukup lihai dalam bidangku sekarang."
"Semoga saja begitu."
Kemudian Ketua Joon keluar dari ruangan dan Han berhasil menyelesaikan pekerjaanya sebelum konser berlangsung.
*Sembilan bulan kemudian.*
Pemimpin malaikat dari bagian kematian melaporkan pada Ketua Joon selaku pimpinan dari bagian produksi manusia bahwa telah terjadi aksi kematian manusia sebelum tanggal takdirnya tiba.
Mereka duduk saling berhadapan di meja kerja Ketua Joon.
"Kang Areum, wanita 23 tahun, domisili di bumi bagian Korea Selatan. Dia baru saja melakukan bunuh diri. Hal ini terjadi karena kesalahan bawahan Anda, Tuan Joon."
"Bagaimana bisa hal kematian disebabkan oleh bawahan saya? Bukankah ini tidak ada kaitannya?"
"Sesuai hasil yang kami amati, manusia bernama Kang Areum tersebut baru saja melahirkan tanpa status pernikahan. Ia meminta pasangannya untuk bertanggung jawab. Tetapi, pasangannya tidak yakin jika anak itu adalah darah dagingnya, sehingga meminta bukti dari tes DNA. Namun, hasil tes menununjukan anak itu bukan keturunannya meski faktanya anak tersebut memang benar keturunannya. Jadi, sudah jelas ini merupakan kesalahan dari pihak malaikat bagian produksi manusia."
Mendengar penjelasan dari pemimpin malaikat kematian, Ketua Joon segera memanggil Yejun dan Han sebagai tersangka untuk datang ke ruangan.
Mereka berdua pun telah sampai tanpa memakan waktu yang lama.
"Maaf sebelumnya. Ada perlu apa Ketua memanggil kami?" ucap Yejun.
"Duduklah! Baca laporan itu!"
Yejun dan Han segera duduk di kursi kosong sesuai perintah lalu membaca laporannya.
"Saya akan bertanya pada Han sebagai tersangka pertama. Apakah kamu merasa atau bahkan menyadari telah melakukan sebuah kesalahan dalam pekerjaan sembilan bulan yang lalu?"
Termenung sejenak, sebelum akhirnya Han menjawab, "Saya rasa saya tidak melakukan kesalahan apa pun."
"Baiklah. Yejun sebagai tersangka kedua. Buka data pembuatan manusia anak dari Kang Areum dan James William yang kamu kerjakan."
Yejun menunjukkan data yang ia buat pada Ketua Joon.
"Sudah kuduga ini kesalahan dari Han," ucapnya setelah memeriksa data membuat Han terbelalak.
"Data yang dibuat Yejun tidak ada yang salah. Jelas, kasus ini terjadi karena kelalaianmu saat bekerja. Ini bukan pertama kalinya kau membuat kesalahan, Han. Bahkan, kali ini sangat fatal! Kau mengakibatkan seorang anak manusia mengakhiri hidup dan membuat seorang bayi manusia terlantar. Kau akan dihukum."
Han hanya bisa menelan ludah mendengar dirinya akan dihukum.
"Ada dua pilihan hukuman untukmu. Rawat bayi malang tersebut atau hancur menjadi debu."
Mendengar itu, Han merasa pusing.
Merawat bayi manusia mungkin sangat berat, tetapi malaikat yang musnah karena kesalahan merupakan hal terhina.
Dengan berat hati ia memilih, "Saya bersedia diturunkan ke bumi untuk merawat bayi tersebut, Ketua."
Malam semakin larut. Han membopong bayi tersebut sambil menelusuri jalan dengan perut kelaparan. Dia menoleh kanan dan kiri. Namun, tiada satu pun tempat yang dapat ia singgahi. Toko dan tempat-tempat makan semua nampak redup. Bagai menemukan secercah cahaya dalam gulita, saat langkahnya terasa semakin berat, pandangannya berhasil menemukan sebuah toko yang masih buka. Segera ia bergegas menuju ke sana. Tempat yang sedang dituju malaikat kelaparan itu adalah sebuah toko yang menjual beragam roti dan kue. Di dalam sana, terdapat sang pemilik toko yang duduk menopang dagu. Dia terlihat bukan seperti gadis Asia dengan rambut pirang dan bola mata biru. "Lima menit lagi aku akan menutup toko jika tidak ada pembeli yang datang," katanya sambil melirik jam dinding dengan jarum panjang dan pendek saling tumpang tindih di angka 11. "Bisa-bisanya jumlah roti yang terjual sama saja meskipun buka lebih awal dan tutu
Angin malam yang berhembus kencang mengingatkannya agar tak lupa untuk mengenakan jaket.Beberapa menit yang lalu, Evelyn baru saja selesai membereskan kedai. Kini, lengkap dengan pengaman kepala serta kaos tangan ia siap mengendarai motor maticnya dan meluncur pulang.Dari kejauhan, samar-samar matanya melihat seseorang sedang berjalan dipinggir jalan. Dan semakin jelas pada jarak kurang dari 50 meter."Bukankah itu pria yang tadi?"Ya, orang tersebut adalah Han yang masih berada di jalanan sambil berusaha menenangkan bayinya.Awalnya, Evelyn ingin mengabaikan. Tapi, melihat bayi yang dibawa menangis kencang, ia pun memilih berhenti meskipun sudah melewati Han beberapa meter."Kenapa kalian masih berada di sini?" tanyanya setelah turun dari motor."Oh, Nona Roti. Saya tidak tahu harus ke mana dan bayi ini terus menangis sampai-sampai saya juga ingin menangis.""Jadi kalian tidak punya tempat tinggal?"Han ha
"Tok ... tok ... tok ... " suara pintu yang diketuk oleh Han. "Nona Roti, bangunlah sebentar! Maaf kalau mengganggu tapi ini sangat darurat," katanya panik. "Tok ... tok ... tok ..." "Nona Roti!" Suara berisik Han berhasil membangunkan Evelyn dari tidur nyenyaknya. Dengan rambut berantakan dan tentunya dengan ekspresi marah, ia membuka pintu kamar. "Sudah kubilang jangan mengganggu kenapa malah ribut-ribut tengah malam?" "Tunda marahmu sebentar saja, Nona! Sesuatu terjadi pada Si bayi. Tolong bantu saya!" Dia menarik tangan Evelyn menuju kamarnya. "Owek ... owek ... " "Lihatlah! dia belum berhenti menangis sedari tadi. Bahkan aku sudah membuatkan susu untuknya malah dia seperti menolak." Mereka melangkah bersama mendekati si bayi. Evelyn mengecek popoknya, "Hoek!" Secara reflek, dia menutup hidung setelah melihat kotoran didalam popok bayi itu. "Dia buang air besar. Cepat gant
"Kita mulai dari membuat sarapan terlebih dahulu. Perhatikan baik-baik, oke!""Oke!" Mengacungkan jempol tangan kanan sementara tangan kiri menggendong bayi.""Nyalakan kompornya terlebih dahulu seperti ini! Ceklik ..." bunyi kompor dinyalakan."Aku akan mengajarkan menu paling sederhana dulu. Yaitu ... telur ceplok." Gaya bicara Evelyn meniru pembawa acara progam memasak di stasiun televisi."Panaskan teflon! Lalu pecahkan telur diatasnya! Tambahkan sedikit garam! Ini yang namanya garam. Kau juga harus belajar membedakan mana garam, mana gula, dan lain-lain."Han sangat fokus meperhatikan Evelyn, "Bagaimana cara membedakannya?""Kau bisa menjilatnya sedikit. Nanti lama kelamaan kau bisa membedakan hanya dengan melihatnya."Han pun menjilat masing-masing toples bumbu menggunakan ujung jari dengan menampilkan ekspresi sesuai rasa. Evelyn yang sedang mengangkat telur, melirik ke arah Han, "Sudah matang ... Pakai sendok, Bodoh! Itu menji
"Kau bisa memandikan Hyunki?"Belum sempat Han membuka mulut, Evelyn kembali berkata, "Sudahlah jangan menjawab! Kau pasti tidak bisa.""Hehe ... Kalau begitu tolong ajari!""Masalahnya aku juga belum pernah memandikan bayi." berpikir sebentar lalu mengeluarkan ponsel dari tas. Ia menonton sebuah video memandikan bayi di internet. Han juga ikut menonton."Aku tetap tidak berani melakukannya. Hyunki terlalu kecil," ucap Evelyn."Saya bisa melakukannya.""Kau yakin?"Sambil mengangguk, dia berkata, "Seperti yang saya bilang, saya bisa melakukan segala hal jika sudah pernah melihatnya."Segera, Han memandikan bayi yang diberi nama Hyunki tersebut dan benar dia bisa melakukannya dengan baik."Wah, ternyata kau tidak bodoh sepenuhnya," puji Evelyn, "Kalau begitu, aku juga tidak perlu mengajarimu cara melakukan pekerjaan rumah sendiri. Kau tonton saja video di internet!""Tentu saja," balas Han sambil tersenyum.
Sepanjang hari dan malam, pikiran Han tak berpaling sedikit pun dari kata-kata Evelyn bahwa dirinya adalah beban.Hal itu membuat dirinya bertekad untuk mencari kerja meski tanpa kartu identitas apa pun.Hari ini setelah Evelyn berangkat ke toko roti dan dia sudah selesai dengan pekerjaan rumah, ia pergi berangkat melamar pekerjaan.Di bawah sinar mentari pagi, ia berjalan menyusuri kota sambil mendorong kereta bayi yang berisi Hyunki.Dia mendatangi semua toko dan tempat makan menanyakan apakah ada lowongan pekerjaan.Tak banyak toko yang sedang menambahkan pekerja. Sekalipun ada, mereka selalu bertanya kartu identitas yang tak dimiliki oleh Han.Dia terus berjalan dan menemukan sebuah tempat makan yang sedang membutuhkan karyawan tanpa meminta identitas apa pun. Tapi tentunya, pemilik tempat makan itu tidak mau menerima karyawan yang bekerja membawa bayi.Hari semakin siang.Terik matahari terasa membakar kulit. Han memilih b
Biasanya, Han makan malam lebih dulu tanpa menunggu Evelyn. Tapi, berbeda dengan hari ini, ia mengganjal perutnya yang lapar dengan makanan ringan agar bisa makan malam bersama Evelyn.Waktu pulang Evelyn pun telah tiba. Ia datang dengan membawa bungkusan roti di tangan dan raut muka yang lesu."Selamat datang, Evelyn!" sambut Han begitu Evelyn masuk ke dalam."Untukmu!" kata Evelyn sambil memberikan bungkusan roti yang ia bawa, "kau pasti belum makan karena di rumah tidak ada bahan makanan.""Benar, saya belum makan karena menunggumu. Tapi, saya sudah memasak untuk makan malam kita. Ayo!""Kenapa menungguku? Setiap hari kan aku sudah makan malam di toko.""Sudah! Pokoknya malam ini kau harus makan malam dengan saya!" Han pun menarik tangan Evelyn menuju dapur.Melihat meja makan penuh dengan berbagai makanan yang tersaji, membuat Evelyn bertanya karena yang ia tahu bahan makanan dirumah sudah habis."Kau dapat dari mana semua
Di depan jendela kamarnya, Evelyn berdiri. Menatap gemerlap bintang di langit sambil menangis."Ev, Kau belum tidur?"Evelyn menoleh, "Kau? Kau sangat tidak sopan memasuki kamar perempuan sembarangan!" katanya sambil mengelap air mata."Maaf! Saya ingin mengetuk pintu tapi saya takut kau tidak mengijinkan saya masuk." Mendekat ke arah Evelyn."Kenapa menangis?" Mengelap air mata Evelyn menggunakan tangan kanannya.Evelyn hendak menolak perlakuan Han dengan menepis tangannya, tetapi Han malah memegang pipinya dengan kedua tangan dan menghapus air matanya.Hal itu membuat sebuah kenangan terbesit di kepalanya. Kenangan dengan seorang anak laki-laki yang mengusap air matanya ketika menangis di masa kecil.Air matanya mengalir semakin deras membuat Han bingung dan langsung memeluknya."Apakah saya menyakitimu sedalam itu? Maafkan saya." Mengusap punggung.Otak Evelyn hendak menolak, namun tidak dengan tubuhnya. Ia mera