Share

Bab 3

Part 3

 

Pukul tujuh malam akhirnya kedua orang tua Ning tiba juga di rumah. 

 

Perjalanan jauh ditambah suasana hati yang tidak baik-baik saja membuat penampilan kedua orangtua Ning terlihat begitu lusuh dan memprihatinkan.

 

Keduanya tampak begitu terpukul dan sedih. Sorot mata hampa jelas terlihat di kedua bola mata ibu dan bapak Ning.

 

Ya, selama ini Ning adalah harapan besar sepasang suami istri itu. Sebagai anak tertua, Ning adalah tulang punggung keluarga. Sejak bapaknya terkena hernia dan tak bisa kerja berat lagi, praktis Ning-lah yang mengambil alih peran sebagai kepala di keluarga itu.

 

Sayang, untuk ke depannya, tentu tak bisa lagi. Ning sudah meninggal dunia dan tak mungkin bisa membantu kedua orang tuanya lagi.

 

Entah bagaimana suami istri itu harus memenuhi kebutuhan hidup mereka kelak. Pasti kesulitan, sementara aku juga tak mungkin bisa membantu kecuali ada yang bersedia menggantikan Ning, karena bagaimanapun aku butuh asisten rumah tangga pengganti Ning.

 

Begitu ibu dan bapak Ning duduk, segera aku dan Mas Reno mengajukan permintaan maaf karena sebagai majikan, kami merasa tak bisa menjaga Ning hingga membuat gadis itu nekad memilih jalan yang salah seperti ini.

 

Beberapa saat, Ibu dan bapak Ning tampak diam, hingga akhirnya keduanya sama-sama menghela nafas.

 

"Sebenarnya kami yang salah, Bu. Seandainya kami izinkan Ning menggugurkan kandungannya, dan mencarikan orang yang bisa membantunya menggugurkan bayinya, tentu Ning tidak akan memilih bunuh diri. Kami yang salah, Bu. Kami yang salah ... ." Bapak Ning sesenggukan. Sementara aku  seolah-olah mendengar bunyi petir tiba-tiba meledak tepat di atas kepalaku.

 

Apa? Ning hamil? Jadi itu yang membuatnya nekad memilih bunuh diri? Karena hamil di luar nikah dan lelaki yang sudah menghamilinya tak mau bertanggungjawab? Ya, Tuhan, bagaimana ini bisa terjadi? Siapa yang menghamilinya kalau begitu? Apa ... Mas Reno atau bahkan ... Andre? Ya, siapa lagi yang punya kesempatan melakukan itu kalau bukan satu di antara dua orang lelaki di rumah ini? Cuma mereka yang intens berada di dekat Ning karena setahuku gadis itu tak pernah punya pacar dan jarang keluar rumah. 

 

Ya, siapa lagi ayah janinnya kalau bukan ... kalau bukan Mas Reno atau Andre???

 

"Astaghfirullahhaladzim, Pak, Bu. Menggugurkan kandungan bukanlah tindakan yang bisa dibenarkan, baik secara agama maupun kesehatan. Secara agama, sudah jelas itu dosa besar. Dan secara kesehatan, aborsi ilegal juga bisa membahayakan nyawa ibunya. Kalau memang benar Ning hamil, harusnya biarkan saja hingga melahirkan. Banyak 'kan pasangan yang belum dianugerahi buah hati yang mau mengadopsi anak seperti itu? Tapi, siapa yang sudah menghamilinya? Selama ini saya lihat, Ning tak pernah punya teman dekat lelaki. Ning juga jarang keluar rumah kecuali ke supermarket atau ke mall sesekali, dan nggak pernah cerita kalau punya pacar. Lalu siapa yang menghamilinya kalau begitu? Apa Bapak atau Ibu nggak pernah diberitahu?" tanya Mas Reno dengan tatapan menyelidik.

 

Dari tempatku duduk, aku hanya diam sembari mengatupkan bibir. Rasa curiga tak mampu kutepis, mulai menyelusup masuk ke dalam hati. Entah kenapa, aku merasa ada yang ditutup-tutupi dari sikap Mas Reno. 

 

Sikap biasa-biasa saja seolah berita kehamilan Ning adalah sesuatu yang biasa saja baginya, membuatku tak mampu menepis rasa buruk sangka itu terhadap suamiku sendiri, walau aku tahu hal itu salah.

 

Namun, kalau sekelas ustad saja kadang tanpa diduga-duga tiba-tiba punya istri muda, apalagi cuma Mas Reno yang laki-laki biasa meskipun suamiku itu juga rajin ke masjid?

 

Tidak menutup kemungkinan bukan, jika Mas Reno memiliki hasrat kepada Ning dan melampiaskannya hingga gadis itu hamil dan akhirnya bunuh diri karena tahu tak mungkin merebut Mas Reno dariku?

 

Ya, kemungkinan itu akan selalu ada!

 

"Kami nggak tahu siapa yang sudah menghamili Ning, Pak. Ning nggak mau cerita, katanya takut. Dia cuma nangis dan bilang ingin menggugurkan kandungannya karena takut dipecat dari sini kalau ketahuan hamil. Tapi saya cegah, saya suruh dia minta pertanggungjawaban pada laki-laki yang sudah membuat dia hamil, tapi Ning bilang nggak berani, karena laki-laki itu mengancam akan membunuhnya kalau dia sampai minta dinikahi apalagi kalau sampai berani cerita ke orang lain tentang kehamilannya," sahut Bapak Ning lagi dengan raut wajah sedih.

 

"Jadi, Ning nggak cerita siapa laki-laki itu?" potongku keras dan tak sabar. Ingin mendengar nama itu keluar dari bibir Bapak Ning. Meskipun pahit, tapi aku harus siap menerimanya. 

 

Mendengar pertanyaanku, Bapak Ning hanya menggelengkan kepalanya lemah.

 

"Ning nggak mau bilang meskipun sudah saya paksa, Bu. Cuma ... dari beberapa bulan lalu, Ning memang sudah ingin pindah kerja dari sini, tapi saya cegah karena nyari majikan yang baik kan susah. Saya tahu Ibu dan Bapak orang baik, nggak pernah berlaku zalim pada pembantu. Selalu membayar gaji Ning tepat waktu. Itu alasan saya kenapa saya melarang Ning pindah dari sini."

 

"Oh ya, Ning nggak cerita kenapa dia mau pindah?" kejarku lagi tak sabaran. 

 

Aku memang harus menemukan penyebab yang menjadi alasan bunuh dirinya Ning agar benakku tak lagi dihantui rasa penasaran. Agar ketidakjujuran itu bisa dibuka dan semuanya menjadi terang benderang. Sebagai istri, aku juga tidak mau terus menerus dibohongi kalau memang benar Mas Reno ada hubungannya dengan hamil dan bunuh dirinya Ning.

 

"Dia cuma bilang nggak enak sama Ibu, takut Ibu marah."

 

"Maksudnya?" Aku mendongak kaget. Merasa curiga dengan jawaban Ning itu. Aku kemudian menoleh pada Mas Reno dan bertanya tegas. "Pa, jujur sama aku, apa kamu ada hubungannya dengan kematian Ning?" 

 

💌💌💌💌

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status