Share

Pernikahan Bisnis

"Apa?" sungut Kamila, saat melihat Revan menatapnya dengan penuh kecurigaan sekembalinya dia dari restoran. "Sumpah aku cuma nyapa si Wisnu sama si gundik doang, abis itu pamitan," dalihnya sembari meletakkan tas tangannya di atas dasbord, lalu melembar heels ke bangku belakang.

"Yakin?" Revan menaikkan sebelah alis.

"Yakinlah."

"Terus itu apa?"

Tok! Tok! Tok!

"Kalina ... buka pintunya! Hapus foto itu sekarang!" Wisnu sudah berdiri di luar mobil yang dinaiki Kalina dan Revan, lelaki dengan setelan formal itu menggedor-gedor kaca satu arah yang melapisi kendaraan, lalu memanggil istrinya dengan suara tinggi.

"Kamu beneran nggak ngapa-ngapain, kan, Mil?" desak Revan yang membuat Kamila memutar bola mata kesal.

"Nggak. Udahlah, buruan cabut sekarang! Sebelum si Della sama Yayang koar-koar."

"Oke."

Revan akhirnya menyerah mendebat. Karena bagaimana pun identiknya fisik mereka, tak akan mengubah kenyataan bahwa Kamila dan Kalina adalah dua orang yang berbeda.

Mesin mobil pun dinyalakan, kendaran mewah itu melaju perlahan meninggalkan trotoar menuju jalan aspal.

"Buka kaca mobilnya!" pinta Kamila tiba-tiba.

"Buat apa?"

"Buka aja Revan nggak usah banyak tanya!"

Malas memperpanjang perdebatan, terpaksa Revan mengikuti keinginan Kamila. Sesaat setelah jendela terbuka Kamila mengulurkan tangan keluar dan mengacungkan jari tengah ke arah Wisnu yang masih berdiri kesal di tempatnya.

"F*ck you, Crocodile!"

***

"Gila, gila, gila! Apa, sih maunya si Lina? Bisa-bisanya dia tiba-tiba gabung grup W*, terus bertindak semaunya." Della menjambak rambut frustrasi sembari mengelus perut buncitnya yang bulan ini berjalan lima bulan.

"Ada yang janggal. Delapan tahun mengenalnya, aku nggak pernah menjumpai sikap Kalina yang begini. Dia berbeda, bukan cuma tatapannya, tapi cara bicara dan perilakunya juga makin berani." Yayang bertumpang kaki, tersenyum sinis sembari mengusap dagu. "Menarik, sekarang yang kita hadapi bukan lagi patung tanpa ekspresi, tapi Singa yang siap menerkam. Aku jadi semakin tertantang."

"Apa maksud Kak Yayang dengan semakin tertantang? Yang kita hadapi ini bukan cuma Singa, tapi orang gila yang sialnya cerdas. Siapa yang tahu kalau tanpa sepengetahuan kita, dia tiba-tiba melempar bom waktu yang siap meledak sewaktu-waktu. Kita semua sama-sama tahu, dia punya kartu, kartu AS masing-masing dari kita!" Della mengusap wajah kasar, lalu mengempaskan diri ke sandaran sofa. "Seandainya saja kita bisa membuat Papa dan Mama berpihak, mungkin keadaannya nggak akan seperti ini."

"Sulit, Della. Papa dan Mama sebenarnya tipe netral, sikap keduanya pada kita bisa dibilang sama, walaupun mereka cenderung nggak suka pada Kalina, karena kehadirannya tak cukup menguntungkan untuk kelangsungan bisnis keluarga. Tapi, bukan nggak mungkin kalau suatu saat nanti sikap mereka berbalik sembilan puluh derajat setelah Kalina berhasil mewarisi bisnis milik ayahnya di Surabaya."

Della mengangguk.

"Yah, aku emang nggak bisa memungkiri fakta pernikahan yang terjadi antara keluarga kaya 70% alasannya hanya untuk memperluas koneksi dan menjalin kerjasama antar perusahaan. Di usia yang muda ini aku bahkan sudah harus mengandung satu nyawa di perut ini. Kasarnya kita dijual demi kepentingan orangtua dengan dalih cinta akan datang seiring berjalannya waktu. Pada dasarnya pernikahan ini bisnis. Egois."

Yayang tersenyum sinis, tapi di satu sisi juga meringis.

"Ya. Bahkan ketika terjadi perceraian bukan cuma harga diri kita yang dipertaruhkan, tapi keluarga juga. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan hanya bertahan walaupun cinta bukan satu-satunya alasan. Logikanya siapa juga yang betah sama manusia absurd macam si Hendri?"

"Masih mending Bang Hendri punya kerjaan. Lah, suamiku udah pengangguran, kerjaannya mabok-mabokan sama hamburin uang." Della mengerucutkan bibir. "Emang yang paling bener cuma Bang Wisnu, udah tampan, mapan, elegan, bisa diandalkan dan yang pasti bukan beban. Sayang dia cuma terpaku sama, tuh artis Ikan Terbang. Sampe si Lina dianggurin."

Yayang tiba-tiba terdiam saat Della membahas Wisnu. Entah apa yang ada di benak wanita berambut pendek dengan tinggi 175 itu.

"I am home!" Suara nyaring seseorang menginterupsi mereka.

Dari koridor ruang utama terlihat Kamila melenggang santai menuju ruang keluarga. Yayang dan Della buru-buru menarik diri dan mengambil tempat duduk dengan arah berseberangan.

Sejenak Kamila menatap mereka bergantian. Kemudian berniat melempar pakaian laundry dan menu paket mekdi yang dua iparnya pesan. Namun, sebelum hal itu terjadi, tiba-tiba dia teringat nasehat Revan tentang pentingnya menjaga sikap. Akhirnya perempuan itu memutar bola mata kesal, lalu meletakkan pelan jas Hendri di hadapan Yayang, lalu paket Mekdi pesanan Della di atas meja.

"Lo ke mana aja, sih? Udah dua jam sejak gue W* tadi," gerutu Yayang seolah membuka perdebatan sore menjelang malam hari ini.

"Jakarta macet, Shay. Lo pikir gue bisa terbang terus sampe secepat Merpati? Pikir pake logika kali," balas Kamila dengan wajah julid.

"Ihh ... kok, pake saos, sih? Aku, kan udah bilang pake mayones aja, Lina!" pekikan heboh Della yang memprotes Burger pesanannya membuat Kamila naik pitam.

"Ck, repot amat lu, Del!" Dia menyambar Burger di tangan Della, lalu menjilati saosnya hingga menyisakan mayones saja. "Masalah selesai, selamat makan! Oh, iya lain kali panggil gue kakak, ya, Del. Biar lebih sopan, umur kita, kan beda sepuluh tahun. Kalau besok-besok masih panggil nama, gue panggil lo Della Takodel-kodel." Selanjutnya perempuan itu melepas lagi alas kaki, dan berlari kecil menuju kamar.

***

Kriiing!

Tok! Tok! Tok!

Suara nyaring weeker dan gedoran pintu memekkan telinga Kamila yang baru sempat terpejam dini hari tadi. Tak menyangka baru sehari menjalani hidup sebagai Kalina sudah terasa sangat melelahkan seperti ini.

Nyaris semua pekerjaan rumah tangga dia yang handle, apa lagi menyangkut menu makan tiga kali sehari, jadwal membersihkan taman, kolam berenang, mobil, mencuci, bahkan mengganti seprai tiap kamar yang ada di rumah besar ini.

"Bentar, oi!" teriak Kamila di balik selimut tebalnya.

"Buruan, Nya! Si Kuyang sama si Dede Lampir udah mengambil alih dapur. Kalau ada apa-apa dengan makanannya tetep Nyonya yang kena." Suara nyaring Cici terdengar panik di balik pintu.

"Arggh ... Setan, Kuyang, Demit, Lampir, Kampreeettt!" Dengan susah payah mengumpulkan nyawa yang tersisa di antara bunga tidurnya, Kamila beranjak dan menyeret langkah menghampiri pintu.

"Nggak cuci muka dulu, Nya?" tawar Cici saat melihat Kamila keluar dengan muka bantalnya.

"Nggak per--huahhh" Dia menguap lebar yang membuat Cici dan satu ART lain refleks menutup hidung.

"Jadi, menu apa yang kita bikin buat sarapan pagi ini?" tanyanya sembari menelusupkan sebelah tangan ke dalam celana piama, lalu menggaruk pantat.

"Me-menu prasmanan, Nya," cicit Cici sembari mengernyit geli.

"Hah, menu edan?"

"Pras-manan!" ulang Cici di telinga Kamila.

"Oh, prasma--Apa?" Kamila benar-benar tersadar sekarang. "Ngapain mereka buat menu prasmanan?"

"Hari ini bakal ada acara arisan sosialita, Nyonya Yayang ngusulin nggak perlu pesen catering, mending bikin di rumah aja untuk menghemat biaya," tutur ART yang lainnya.

"Nggak." Kamila menggeleng kuat. "Mereka bukan mau menghemat biaya, tapi mau menyiksaku dengan gaya," terka Kamila. "Berapa menu yang harus kita buat hari ini?"

"Li-lima belas, Nya," cicit Cici.

"Sudah kuduga." Kamila memicingkan mata.

"Okelah, nggak ada pilihan juga. Anda sopan saya pun segan, tapi kalau Anda yang mulai sudah pasti saya bantai."

"Merdeka!" Serempak Cici dan satu ART yang mendampingi, menggaungkan yel-yel menanggapi ucapan Kamila tadi.

"Ye, malah dikira teks proklamasi."

.

.

.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status